Anda di halaman 1dari 9

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Deni Herdiyansah


NIM : 15022100007
Nama : Lucy Fitriani
NIM : 15022100031

Nama : Rani Mardiana


NIM : 15022100021
Nama : Muhammad Fahmi Azzi
NIM : 15022100017

Judul Paper : Keuangan Perpajakan / Tax Assignment

Mata Kuliah : Keuangan Negara


Dosen Pengampu : Ita Rosita Wahyiah, M.Si

TUGAS DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM


PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN
RETRIBUSI DAERAH

ABSTRAK
Tujuan dilakukannya penelitian yakni untuk mengetahui bagaimana tugas dan kewenangan
pemerintah dalam Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan menurut UU N0. 28 Tahun 2009
tentang pajak daerah dan retribusi daerah dan bagaimana kendala dan cara penanggulangan
pemerintah dalam pemungutan pajak, yang dengan metode penelitian hukum normatif
disimpulkan: 1. Tugas dan kewenangan pemerintah yaitu membuat surat ketetapan pajak,
pembayaran dan penagihan pajak. 2. Kendala yang dihadapi pemerintah yaitu timbulnya
utang pajak dan cara penanggulangannya yaitu pemerintah membuat surat ketetapan pajak,
daluwarsa penetapan dan penagihan pajak.
Kata kunci: pajak daerah, pajak bumi dan bangunan;
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bentuk pajak adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Bumi
dan Bangunan merupakan salah satu jenis pajak yang hasil penerimaannya
disumbangkan kepada Pemerintah Daerah. PBB pengelolaannya diserahkan kepada
Direktorat Jenderal Pajak dengan unit operasionalnya adalah Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KPPBB). Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak langsung,
sehingga penagihannya langsung kepada wajib pajak, dan saat terutangnya pada awal
tahun berikutnya. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak objektif, sehingga
obyek pajaknya berupa tanah dan atau bangunan menentukan terutang pajak atau
tidak. Pelaksanaan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan saat ini berdasarkan dengan
Undang- undang Nomor 12 Tahun 1994, sebagai pengganti Undang-undang yang
lama yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Disamping Undang- Undang tersebut, untuk mengatur pembagian hasil
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan
pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian
Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Hal yang mendasar dan yang sangat penting dalam Penarikan Pajak Bumi dan
Bangunan didasarkan pada fakta, bahwa dalam melaksanakan tugas- tugasnya,
pemerintah membutuhkan biaya yang sangat besar dalam rangka mensukseskan
pembangunan yang telah berjalan. Untuk mendapatkan biaya tersebut dapat ditempuh
dengan berbagai jalur, antara lain dengan penarikan pajak. Pajak ini merupakan
potensi yang harus digali dalam menambah penerimaan daerah dikarenakan obyek
pajak ini adalah bumi dan bangunan yang jelas sebagaian besar masyarakat
memilikinya. Hanya saja penagihan PBB sering kali mendapatkan hambatan, baik
dari sosialisai kepada masyarakat yang kurang, pemahaman masyarakat yang sempit
mengenai pajak sampai pada metode penagihannya yang kurang efektif dan efisien
dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tugas dan kewenangan pemerintah dalam Pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan menurut UU N0. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah?
2. Bagaimana kendala dan cara penanggulangan pemerintah dalam pemungutan
pajak

C. Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tugas dan Kewenangan Pemerintah Dalam Pemungutan Pajak Bumi dan


Bangunan Menurut UU No. 28 Tahun 2009
UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 100 Surat
Tagihan Pajak
(1) Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika :
a. Pajak dalam tahun berjalan tidak kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa buunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan paling lama 15 (limas belas)
bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
dan ditagih melalui STPD.
Pasal 101 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
(1) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat
terutangnya pajak dan paling lama
6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
(2) SPPT, SKDP,SKPDKB,SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Kemberatan, dan Pusan Banding, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan
harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dapat memberikan persetujuan Kepada Wajib pajak untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(3) Kepatuhan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 102
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputussan Keberatan, dan Putusan Banding
yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih
dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 103 Keberatan dan Banding


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daera atau
pejabat yang ditunjukan atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. Pemotongang atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai
alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal surat, tangggal pemotongan atau pemungutan sebgaimana dimaksud
pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan dluar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga
tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau pejabat
yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat
sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 104
(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal
Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala
Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajkan tersebut dianggap
dikabulkan.5
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan
terdiri dari sanksi administrasi dan sanksi pidana.
1. Sanksi Administrasi
Perpajakan terdiri dari sanksi denda,sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Sekian sanksi
tersebut dikenakan untuk berbagai jenis pelanggaran aturan
a) Pengenaan bunga
Sanksi berupa pengenaan bunga ini berlandaskan pada Pasal 9 Ayat 2(a) dan 2(b) UU
KUP.
Dalam Ayat 2(a) dikatakan, wajib pajak yang membayar pajaknya setelah jatuh
tempo akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal
jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Sementara, pada Ayat 2(b) disebutkan,
wajib pajak yang baru membayar pajak setelah jatuh tempo penyampaian SPT
tahunan akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan, yang dihitung sejak
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal pembayaran,
dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Jika wajib pajak baru membayar
kewajibannya lewat dari tanggal-tanggal tersebut, maka wajib pajak harus
membayar bunga sebesar 2% dari jumlah pajak yang terutang.
b) Sanksi kenaikan
Sanksi kenaikan ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran
tertentu. Contohnya seperti tindak pemalsuan data dengan mengecilkan jumlah
pendapatan pada SPT setelah lewat 2 tahun sebelum terbit SKP.
Jenis sanksi ini bisa berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar dengan
kisaran 50% dari pajak yang kurang dibayar tersebut.
c) Sanksi denda
Sanki pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan
dengan kewajiban pelapor.
Besarannya pun bermacam-macam, Sesuai dengan aturan Undang-Undang ,
contohnya
, telat menyampaikan SPT masa PPN, maka nominal denda yang dikenakan
senilai Rp.1.000.000 untuk wajib pajak badan dan RP.100.000 untuk wajib pajak
perorangan
2. Sanksi Pidana
Sanksi ini merupakan jenis sanksi terberat dalam dunia perpajakan. Biasanya,
sanksi pidana dikenakan bila wajib pajak melakukan pelanggaran berat yang
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan dilakukan lebih dari satu kali.
Dalam Undang-Undang KUHP , terdapat pasal 39 ayat I yang memuat sanksi
pidana bagi orang yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut. Sanksi tersebut adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling
lama 6 tahun, serta denda minimal 2 kali pajak terutang yang tidak dibayar atau
kurang dibayar .
Contohnya kasus untuk sanksi ini adalah pengusaha yang menerbitkan faktor
pajak dan memungut PPN, namun tidak mendaftarkan diri dan melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sehingga, disetorkan ke kas
Negara .Adapun Kewenangan pemerintah secara umum

B. Kendala dan cara penanggulangan pemerintah dalam pemungutan pajak


Timbulnya utang pajak
Timbulnya utang pajak seseorang kepada Negara, padahal tidak pernah ada suatu
perikatan antara Negara dengan seseorang dalam konteks membayar pajak tersebut.
Dalam hukum perdata, timbulnya utang seseorang disebabkan adanya perikatan antara
para pihak. Perikatan tersebut biasanya mewajibkan salah satu pihak untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Terjadinya perikatan tersebut bisa karena undang-
undang atau karena perjanjian. Perikatan yang terjadi karena undang-undang bisa timbul
karena undang-undang saja atau karena undang-undang dengan perbuatan manusia
(Pasal 1233 jo Pasal 1345 KUHPerdata).
Sedangkan dalam hukum pajak, timbulnya utang pajak didasarkan pada dua pendapat
yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa utang pajak timbul pada saat
diundangkannya undang-undang pajak. Artinya apabila suatu undang-undang pajak
diundangkan oleh pemerintah, maka pada saat itulah timbul utang pajak sepanjang apa
yang diautur dalam undang-undang tersebut menimbulkan suatu kewajiban bagi
seseorang menjadi terutang pajak.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan utang pajak timbul pada saat dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak oleh pemerintah. Direktorat Jenderal Pajak (fiskus). Artinya, bahwa
seseorang baru diketahui mempunyai utang pajak saat fiskus menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak atas namanya serta besarnya pajak yang terutang.

Cara pengenaan utang pajak :


Cara pengenaan terhadap utang pajak tersebut dapat dilakukan. Menurut teori ada tiga
cara pengenaan pajak dapat dilakukan, yaitu cara pengenaan di depan (stelsel fiksi), cara
pengenaan di belakang (stelsel riil) dan cara pengenaan campuran (kombinasi antara stelsel
fiksi dan stelsel riil).
a. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi) Pengenaan di depan merupakan suatu cara
pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapaan (fiksi) dan anggapan tersebut
tergantung pada ketentuan bunyi undang-undang. Misalnya penghasilan seorang Wajib
Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya,
tanpa memerhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun
berjalan yang seharusnya menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun
berjalan. Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah
menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang. Pasal 25 Undang-
undang PPh merupakan contoh cara pemajakan di depan yang dilakukan dengan suatu
perhitungan (formula) tertentu.
b. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil) Pengenaan di belakang merupakan suatu cara
pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata,
yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya penghasilan yang diperoleh
oleh seorang Wajib Pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan
baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Denan demikian, utang pajak
baru akan dikenakan di belakang yaitu sesudah berakhir tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pengenanaan cara campuran pengenaan cara campuran merupakan suatu cara
pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak diatas
(fiksi & rill). Pada awal tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan
anggapan yang ditentukan dalam undang-undang, yang selanjutnya setelah
berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang
sesungguhnya atau (riil). Undang- undang PPh pada prinsipsinya mendasarkan
pengenaan pajak dengan cara campuran ini
Ketetapan pajak
Berbagai macam produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB)
untuk mengetahui adanya kewajiban atau Hak Wajib Pajak (WP) adalah berupa surat
ketetapan pajak terdiri dari atas 6 (enam) macam, yaitu :
a. Surat tagihan pajak
Surat tagihan pajak adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan
atau sanksi administrasi berupaa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak dalam
Pasal 14 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983. Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000 (selanjutnya disebut dengan Undang- undang KUP). Surat Tagihan Pajak dapat
diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung;
3. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
b. Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya
jumlah produk pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
SKPKB diatur dalam Pasal 13 Undang-undang KUP yang dapat diterbitkan dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saatnya terutangnya pajak, berakhirnya masa
pajak atau tahun pajak yaitu dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
2. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga
seperti ditentukan dalam surat teguran;
3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau PPN (pertambangan nilai)
dan PPnBM (pajak penjualan barang mewah) ternyata tidak seharusnya
dikompenasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif
0%.
4. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak
memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang.
c. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
tambahan atau jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPKBT. SKPKBT
diatur dalam Pasal 15 Undnag-undang KUP yang diterbitkan untuk
menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti :
1. Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah
daripada perhitungan yang sebenarnya;
2. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam
SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan; dan
3. Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
yang ditetapkan ternyata lebih rendah.
d. Surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB)
SPLB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit karena jumlah pajak
lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
SKPLB diatur dalam Pasal 17 Undang-undang KUP.
e. Surat ketetapan pajak nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutangdan tidak ada kredit pajak. SKPN datur dalam Pasal 17A
Undang-undang KUP.
f. Surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT
diatur dalam Pasal 10 ayat (10)
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB). SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu
pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh Wajib
Pajak
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tugas dan kewenangan pemerintah yaitu membuat surat ketetapan pajak, pembayaran
dan penagihan pajak.
2. Kendala yang dihadapi pemerintah yaitu timbulnya utang pajak dan cara
penanggulangannya yaitu pemerintah membuat surat ketetapan pajak, daluwarsa
penetapan dan penagihan pajak.

B. Saran
Sebagai masyarakat yang baik agar Negara kita aman dari berbagai macam masalah
perpajakan dan untuk mempermudah pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan dalam pemungutan perpajakan mari kita sama-sama taat membayar pajak dan
taat akan kewajiban kita sebagai masyarakat dan taat pada aturan-aturan pemerintah untuk
kebaikan kita semua dan untuk kemajuan Negara kita. Dan untuk pemerintah lebih
mempertegas segala aturan yang ada agar masyarakat boleh taat dalam membayar pajak.dan
untuk pencapaian efektivitas pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan lebih baik lagi perlu
dilakukan penyempurnaan, dan peningkatan pelayanan public oleh seluruh aparatur pajak
sehingga dapat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran WP yang lebih baik lagi, yang
pada akhirmya juga dapat meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan setiap
tahunnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari Buku :
Ayza Bustamar, 2017, Hukum Pajak Indonesia, Jakarta, Kencana.
Bohari H. 2002. Pengantar Hukum Pajak.
Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Burton Wirawan B.Ilyas Richard. 2007. Hukum Pajak. Jakarta. Salemba Empat.
Farouq M, 2018, Hukum Pajak di Indonesia,
Jakarta, Kencana.
Guandi. 1999. Perpajakan. Jakarta. Fakultas Ekonomi UI.

Anda mungkin juga menyukai