Anda di halaman 1dari 3

Chisytiyyah Pernah Bertemu Syekh Abdul Qodir Jaelani

INDIA, negara jajahan Inggris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan film-film
yang populer di Indonesia. Tapi, juga melahirkan tarekat Chisytiyyah. Imam
tarekat

Chisytiyyah ini adalah Khwaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia juga dijuluki
Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang miskin),
Khwaja-I-khwajagan (imam segala imam), Khwaja-I-Buzurg (Imam Agung),
Atha’ al Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja-I-Ajmeri (wali dari Ajmer). Chisyti
lahir pada 1142 M atau sebagian ahli tarekat menyebutkan tahun 1136 M di Sanjar,
sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya dihabiskan di
Sanjar, India.

Ia murid dari dan pengganti Khwaja Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama 20
tahun Chisyti hidup bersama Syekh Najmuddin Kubro, Syekh Awhaduddin
Kirmani, Syekh Syihabuddin Suhrawardi, dan Khwaja Yusuf Hamadani.
Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dibuktikan dengan
berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan
dimakamkan di Ajmer, India.

Dalam tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah labih jauh kepada
murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis.
Kemudian Syekh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh
kali serta membaca ayat al-Quran; Annisa: 103: “…Maka ingatlah Allah di waktu
kamu berdiri, duduk, dan berbaring,…”

Para Syekh tarekat Chisytiyyah menganjurkan metode zikir berikut ini: Murid
mesti duduk bersila, dan menghadap kiblat. Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu,
namun akan lebih sempurna jika ia berwudhu. Duduk dengan tegak, menutup
kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk
bersila, ia harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya.
Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat mampu menghilangkan bisikan-bisikan
was-was. Dengan duduk seperti itu murid mulai melakukan zikir jali (keras) atau
khafi (diam).

Dalam tarekat Chisytiyyah, Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam


tarekat Qodiriyah. Seperti dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Metode
pengamalannya adalah: sang Dzakir (orang yang berdzikir) mesti duduk dengan
melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam
keadaan istirahat di tanah. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya
tinggi-tinggi ke atas. Dan ketika mengucapkan Laailaaha, ia berdiri di atas kedua
lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu meletakkan kedua
tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat dan sampil mengucapkan
illallaah-dengan memukul dadanya dengan kata-kata yang sarat (penuh) dengan
makna keagungan dan kebesaran Allah swt. Sebagian orang mengucapkan
Laailaaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kalimat
illallaah. Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu (Dia Yang Maha Esa) pada dada.

Sang Dzakir antara lain diperintahkan melakukan zikir tiga ketukan: zikr-I-she-
paaya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: yaitu nama Allah, perenungan atas sifat-
sifat-Nya (Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya),
serta adanya perantara. Sang Dzakir dengan memahami maknanya-mengucapkan
Allaahu ‘alimun, Allaahu bashirun, Allaahu sami’un. Ini disebut nuzul atau tangga
turun. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau sirkulasi yakni sebuah zikir
yang terdiri atas ‘uruj dan nuzul. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan
pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan
jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.

Karena menurut Chisytiyyah dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh
akalnya dan apa yang diamatinya, yang lebih sempit ketimbang semua tahap
lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika sesudah
mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang luas, ia pun
menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai
pada tahap “kegaiban dalam kegaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun
memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali.
Dalam zikir tiga ketukan ini sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa
sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi
sebanyak 40 kali sampai 50 kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar
lemak dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan
kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sehingga sang dzakir diliputi oleh cinta
Allah dan keadaan fana (kesementaraan) diri bisa dikembangkan.

Selain itu jamaah tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir pas-I-anfas atau zikir
menjaga napas sebagai berikut: Orang yang berzikir mengucapkan Laailaaha
dalam napas yang dihembuskan, dan illallaah dalam napas yang dihirup, dengan
lidah hati. Artinya, penafian (Laailaaha) dilakukan ketika napas keluar, dan
penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini
pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar
pernapasan itu sendiri menjadi dzakir, baik di waktu sang dzakir itu tidur maupun
terbangun.

Anda mungkin juga menyukai