Anda di halaman 1dari 4

Hizbul Wathan dan Sejarah Kepanduan di Indonesia

SEJARAH KEPANDUAN DI INDONESIA

KEPANDUAN

Kepanduan sebagai bentuk gerakan pemuda-pemudi menurut anggapan umum


didirikan tahun 1908 oleh Lord Robert Baden Powell yang dihormati sebagai
Bapak Kepanduan Sedunia. Tujuan : pembangunan mental, moral dan jasmaniah
dan latihan-latihan untuk menjadi warga negara yang baik.
JP.O. (Javansche Padvinders Organisatie), perhimpunan kepanduan Indonesia
yang pertama (1916) bermaksud pula menjadi tempat pembibitan (ketentaraan
Mangkunegaran). Tahun 1920 timbul banyak sekali kepanduan Indonesia sebagai
cabang (onderbow) perkumpulan-perkumpulan orang dewasa, unsur politik nasional
terkandung di dalamnya. PKI terutama di Semarang, membentuk kepanduan
beranggotakan murid-murid dari sekolah-sekolah rakyat. Banyak timbul kelompok-
kelompok kecil kepanduan yang berhubungan dengan PKI. Perhimpunan-
perhimpunan lain pun tak ketinggalan.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pergerakan kepanduan Indonesia
hidup kembali dan berkembang menanjak. Dalam, tahun 1954 tercatat tujuh puluh
satu (71) organisasi kepanduan dengan jumlah anggota lebih kurang seratus
sembilan puluh empat ribu (=194.000) pandu putra dan empat puluh satu ribu
(=41.000) pandu putri. Banyaknya perkumpulan kepanduan memerlukan badan
kerjasama dan koordinasi yang terwujud dengan pembentukan Ipindo (Ikatan
Pandu Indonesia, 16 September 1951). Jambore Nasional pertama diadakan pada
hari peringatan sepuluh tahun Indonesia Merdeka (17 Agustus 1955) di Karang
Taruna – Pasar Minggu, Jakarta, yang diikuti dari berbagai suku bangsa Indonesia.
Ipindo dalam bulan Mei 1960 direorganisasi dan diganti nama PERKINDO
(Persatuan Kepanduan Indonesia). Sejak tahun 1961 semua organisasi Kepanduan
di Indonesia diganti dengan satu nama yaitu Pramuka singkatan dari Praja Muda
Karana.

Gerakan Kepanduan – HIZBUL WATHAN

“ MUHAMMADIYAH sejak berdirinya maju pesat; jumlah anggotanya naik


cepat. Berhasil mendirikan banyak rumah sekolah, memberikan kursus-kursus
agama, mendirikan poliklinik, perumahan anak yatim-piatu, dll. Pengajaran
modern untuk anak-anak perempuan sangat diperhatikan. Bagian wanitanya
AISYIYAH, berdiri sendiri. Gerakan pemudanya ialah Kepanduan HIZBUL
WATHON.”
HIZBUL WATHAN pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan
oleh KH. Mas Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan
organisasi Nahdatul Wathan yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab
Hasbullah.
Muhammadiyah mengambil nama itu menjadi perkumpulan pandunya yang
didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Gagasan pembentukan barisan
kepanduan Hizbul Wathan dalam Muhammadiyah muncul dari KH. Ahmad
Dahlan sekitar tahun 1916 ketika beliau kembali dari perjalanan tabligh di
Surakarta pada pengajian SAFT (Sidiq, Amanah, Fathonah, Tabligh) yang secara
rutin diadakan di rumah KH. Imam Mukhtar Bukhari. Dengan pakaian seragam
sedang latihan berbaris di halaman pura Mangkunegaran.Dari cikal bakal lahirlah
Hizbul Wathan pada tahun 1918, pada waktu itu bernama Padvinder
Muhammadiyah. Kemudian, karena dianggap kurang relevan, atas usul H. Hadjid
nama itu ditukar menjadi Hizbul Wathan.
Setelah tahun 1924 Hizbul Wathan berkembang di Jawa, bahkan telah dapat
melebarkan sayapnya ke luar Jawa. Cabang-cabang baru Hizbul Wathan kian
banyak berdiri. Cabang pertama yang berdiri di luar Jawa ialah di Sumatra Barat,
Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta
tanah air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang
bertekad ikut serta dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping
itu, latihan-latihan kepanduan mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-
kader bangsa dalam menghadapi kaum kolonial yang sedang mencengkeramkan
kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu ternyata membuahkan hasil yang baik di
kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul Wathan ini muncul sederetan tokoh yang
cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus
Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik,
Suharto, M. Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain.
Ketika Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai
dengan kehendak Jepang yang membubarkan segenap organisasi yang ada pada
waktu itu. Meskipun demikian, aktivis-aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah
dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh Jepang seperti Keibondan,
Seinendan, PETA, Hizbullah, dan sebagainya.
Dalam organisasi-organisasi tersebut malah para anggota Hizbul Wathan
memegang peranan yang penting.Dalam rangka memenuhi seruan tersebut, maka
gerakan kepanduan Hizbul Wathan dalam suratnya tgl. 8 Juni 1961 kepada Panitia
Pembentukan Gerakan Pramuka menyatakan bersedia meleburkan diri dalam
perkumpulan Gerakan Pramuka. Surat tersebut ditandatangani oleh HM. Mawardi
dan H. Amin Luthfi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Majlis Hizbul
Wathan Yogyakarta.
Sebagai anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat
dengan cita-cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari Keputusan Kongres tahun
1938 yang menyatakan bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul
Wathan harus membiasakan diri mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah,
mereka harus siap menolong dan berjasa untuk keperluan Muhammadiyah
khususnya dan agama Islam umumnya.
Keanggotaan Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat I disebut
tingkat athfal yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 6-12 tahun, yang
dibedakan lagi Athfal Melati, Athfal Bintang Satu dan Athfal Bintang Dua.
Tingkat II disebut Pengenal, umur 12-17 tahun, yang terdiri dari Tangga I kelas III,
Tangga II kelas II, Tangga III kelas I. Di atasnya lagi ada tingkat Penghela, untuk
17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada dalam tingkat ditentukan oleh kemampuan
masing-masing anggota dalam latihan dan pelajaran.
KEBANGKITAN HW

KEBANGKITAN KEMBALI HW SEBAGAI ORTOM MUHAMMADIYAH

Semenjak dikumandangkannya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang


membubarkan konstituante dan menetapkan kembali ke UUD 1945, Bung Karno
berhasil mengambil jalan pintas membabat habis dan mematikan “rasionalitas”,
menggantinya dengan menancapkan tonggak-tonggak sejarah “irasionalitas” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok rasional dikejar-kejar,
ditangkap, disekap dan dipenjarakan tanpa proses hukum (peradilan).
MUHAMMADIYAH tidak ikut alias menolak secara halus dengan
memberikan gelar kepada Bung Karno sebagai NAHKODA AGUNG. Menjelang
ke puncak kedikdayaannya pada tahun 1961, menyematkan gelar pada dirinya
sebagai PANDU TERTINGGI atau PRAMUKA TERTINGGI di atas SRI
SULTAN HAMENGKUBUWONO Ke-IX sebagai PANDU AGUNG.

KEBANGKITAN HIZBUL WATHAN

Berawal dari Amien Rais Guru Besar UGM Yogyakarta yang mewacanakan
perlunya segera dilakukan suksesi kepemimpinan nasional, di dalam sidang Tanwir
Muhammadiyah tahun 1993 di Surabaya. Bola panas itu terus digelindingkan tanpa
waktu jedah, – membentur dan membakar kisi-kisi korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Belenggu Normalisasi Kehidupan Kampus dalam bentuk Badan
Keamanan Kampus dibongkar dan dilepaskan, sehingga mahasiswa memperoleh
kembali kebebasan dan kemerdekaan berkumpul dan berserikat, mengemukakan
gagasan dan pendapat yang eksploratif. Angin panas reformasi tak dapat
dibendung memasuki pintu-pintu istana, meruntuhkan kekuasan Pak Harto.
Momentum inilah yang digunakan oleh seorang Pandu Hizbul Wathan –
Amien Rais– mendorong Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membangkitkan
kembali Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan. Sense of Urgency dan kearifan
intelektual – spiritual para pimpinan Muhammadiyah – memutuskan dan
menetapkan KEBANGKITAN Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (1999).
Pertolongan Allah sudah datang, setelah terpinggirkannya semua yang harus
dipinggirkan oleh rezim orde baru.
Sekali pandu tetap memandu sepanjang hayatnya. Semakin maju peradaban,
semakin kompleks masalah yang dihadapinya. Ruang pengabdian yang berupa
MAJLIS tidak lagi mencukupi untuk mengelola wilayah pendidikan di luar sekolah
dan di laur rumah – di alam terbuka sebagai kampus kehidupan sosial. Dan oleh
sebab itulah kehadiran/kebangkitan HW sebagai organisasi otonom (ORTOM)
dalam Muhammadiyah harus di “follow up” tidak untuk diperdebatkan dari sisi
manapun.
Hizbul Wathan mengemban perintah melaksanakan keputusan persyarikatan
yang menetapkan sebagai ORTOM dengan pikulan beban dan tanggungjawab yang
amat berat – serta tanggungan resiko finansial dan nonfinansial. Dalam
melaksanakan keputusan itu dengan patrol system (beregu/berjamaah)
melangkahkan derap kakinya, menjejakkan kedua kakinya di atas “tanah realitas”
sosial. Karena sektor pendidikan harus tunduk pada keangkuhan kebijakan publik.
Maka catatan yang bisa saya sajikan adalah sebagai berikut:
1. Singsingkan lengan baju, bekerja dengan sungguh-sungguh menetapi JANJI
PANDU – berbakti, mengabdi dan mengawal ibu pertiwi tanpa henti.
2. Pandu itu adalah gerakan, maka bersegeralah bergerak ke wilayah pendidikan
di luar sekolah dan rumah.
3. Pendidikan non formal di alam terbuka dilakukan untuk menanamkan
kepercayaan dalam jiwa anak-anak bangsa bahwa keadaan di negeri ini dapat
diperbaiki.
4. PANDU tidak boleh memusuhi pemerintah ketika melihat kelemahan-
kelemahan, kekurang-arifan dan kealphaan dalam pimpinan nasional yang baru.
5. Hizbul Wathan bukan musuh Pramuka, tapi “teman sejawat” dalam pengabdian
cinta tanah air. Pendidikan formal di alam terbuka, secara bersama dan bahu
membahu memandu rakyat.
6. Dalam menghadapi dan memanage berbagai gejolak kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa
7. Perkuat pembangunan “Qobilah” di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM)
karena kita sadar bahwa dalam menyempurnakan kehidupannya, manusia terus
menerus mengasah akalnya di Perguruan TInggi untuk menciptakan
pengetahuan ilmiah baru di samping yang sudah ada. Kepada para calon
intelektual itu kita ratakan “Kode Kehormatan Pandu HW” sebagai tata nilai
(budaya) yang dipegang teguh.

Anda mungkin juga menyukai