DEMAM TIFOID
Oleh
G1A221042
Pembimbing
dr. Nadrizal, Sp. PD. FINASIM
DEMAM TIFOID
Oleh :
Yurisa Putrima Mardhotillah
G1A221042
Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit
Dalam RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang
berjudul “Demam Tifoid” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nadrizal, Sp. PD. FINASIM yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga
kiranya laporan Clinical Science Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................2
2.1 Definisi.....................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi.............................................................................................................2
2.3 Etiologi.....................................................................................................................4
2.4 Rantai infeksi S.typhi................................................................................................5
2.5 Patogenesis...............................................................................................................6
2.6 Manifestasi Klinis.....................................................................................................8
2.7 Diagnosis................................................................................................................10
2.8 Tatalaksana.............................................................................................................13
2.9 Komplikasi..............................................................................................................17
2.10 Pencegahan Demam Tifoid...................................................................................18
BAB III KESIMPULAN................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang dikarakteristikan dengan demam dan
nyeri abdomen yang disebabkan oleh S. Typhi. Bersama dengan S. Paratyphi, S.Typhi
juga disebut demam enterik. Penyakit ini disebut demam tifoid karena persamaan
manifestasi klinis dengan penyakit typhus. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut
yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran. Demam typhoid adalah penyakit infeksi bakteri yang
menyerang sistem pencernaan manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
2.2 Epidemiologi
Di Asia tenggara, ada lebih dari 100 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya.
Daerah yang lebih sering terdapat kasus ini atau yang merupakan daerah endemik
adalah daerah yang sanitasinya kurang dan air bersih sulit didapat. Penyakit ini lebih
sering diderita oleh anak-anak (balita atau bayi) dan remaja, dengan predisposisi
kepada pria. Negara-negara dimana penyakit ini menjadi penyakit endemik adalah
Negara- negara di afrika, asia selatan, dan asia tenggara, terutama India. Demam tifoid
dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik,
lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari
satu kasus pada orang-orang serumah. Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania
menyumbang 14,1% kasus global (2,02 juta kasus), dan region Afrika sub-Sahara
menyumbang 12,1% kasus global (1,73 juta kasus). Angka kematian rata-rata dari
demam tifoid secara global adalah 0,95%, dengan risiko lebih tinggi berada pada
anak- anak dan orang tua, serta orang-orang yang tinggal di negara berpendapatan
rendah.
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens
tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan
S.thypi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering karier. Di daerah
endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi, sedangkan makanan yang
tercemar
oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah non endemik. Regio Asia
Selatan merupakan daerah dengan insiden tertinggi (549 kasus per 100.000 populasi
per tahun) dan angka kasus terbesar (10,3 juta kasus) menyumbang 71,8% kasus
global di tahun 2017.
Angka insiden demam tifoid paling tinggi berada pada anak-anak, memuncak
pada usia 5-9 tahun dan kemudian menurun seiring bertambah usia menuju dewasa.
Angka kasus kematian tertinggi berada di region Asia Selatan, diikuti dengan
Afrika sub- Sahara, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania. Demam tifoid di negara
maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya, sedangkan di negara berkembang
demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta orang per tahun. Secara global
diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus dan 222.000
menyebabkan kematian. Demam tifoid menjadi penyebab utama terjadinya
mortalitas dan morbiditas di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah.Penelitian yang dilakukan di Kolkata, India menyatakan bahwa daerah
dengan risiko tinggi terkena demam tifoid adalah daerah dengan status ekonomi
rendah. Prevalensi demam tifoid di Jawa Tengah sebesar 1,6%, dan tersebar di
seluruh Kabupaten/Kota dengan rentang 0,2 – 3,5%.Sepanjang tahun 2016 di Jawa
Tengah tercatat sebagai provinsi dengan kasus penyakit suspek demam tifoid
tertinggi yaitu sebanyak 244.071 kasus yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota.
Berdasarkan data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Kementerian
Kesehatan tahun 2016, kasus demam tifoid di Jawa Tengah cenderung fluktuatif. Pada
tahun 2014 terdapat 17.606 kasus, turun pada tahun 2015 terdapat 13.397 kasus, dan
naik kembali pada tahun 2016 menjadi 244.071 kasus. Distribusi suspek demam tifoid
menurut tempat, kota Semarang menempati sepuluh besar penyakit tertinggi selama 4
tahun terakhir. Pada tahun 2016, kota Semarang menempati urutan ke-9 dari 35
kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai penderita demam tifoid terbanyak. Menurut
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, persentase Tempat Pengelolaan Makanan
(TPM) yang memenuhi syarat kesehatan secara Nasional pada tahun 2016 adalah
13,66%. Sedangkan persentase TPM yang memenuhi syarat di Jawa Tengah tahun
2016 sebesar 8,27%. Capaian ini belum memenuhi target Renstra Kementerian
Kesehatan
2016 untuk TPM memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 14%.
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian
lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),
angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi
2.3 Etiologi
Penyakit typhoid disebabkan oleh infeksi kuman S. typhi atau S. paratyphi.
Salmonella merupakan genus dari family Enterobacteriaceae. Manusia merupakan
reservoir dari Salmonella typhi. Salmonella Typhi memiliki kapasitas terpatas untuk
berkembang biak diluar inang tubuh manusia, namun dapat bertahan dalam beberapa
waktu tertentu di lingkungan dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada
suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70 oC
dan antiseptik. Salmonella adalah bakteri berbentuk batang, gram-negatif, anaerobik
fakultatif, dan kebanyakan bergerak menggunakan flagella peritrik (yang mengandug
antigen H). Salmonella merupakan bakteri yang dapat beradaptasi dengan baik pada
manusia dan hewan serta dapat menyebabkan penyakit berspektrum luas. Namun
pertumbuhan serotipe dari Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi hanya terbatas
pada inang manusia saja, yang menyebabkan demam tifoid (demam enterik).
Salmonella thyphosa mempunyai 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O : Ohne Hauch, yaitu somatik antigen (tidak menyebar)
b. Antigen H : Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
c. Antigen V : kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terdapat fagositosis.
2.4 Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bacteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit
perut.
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan diperkuat
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Orang dengan tifoid umumnya datang dengan demam non-spesifik yang makin
parah setelah beberapa hari dan tidak ada perbaikan gejala dengan pengobatan
suportif. Perlu dipastikan juga mengenai riwayat mengonsumsi makanan dan
minuman yang kurang higienis serta paparan terhadap lingkungan dengan
sanitasi yang buruk. Gejala dapat bervariasi antar individu satu dengan
individu lainnya, dari ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran klinis
yang khas.
1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pada awal sakit,
demamnya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun.
Pada pagi suhu rendah atau normal, sore dan malam suhu badan tinggi ,
dan dari hari ke hari demam makin tinggi yang disetai banyak gejala lain
seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diare frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah, pada minggu kedua
demam makin tinggi, kadang terus menerus, pasien membaik maka pada
minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu ke 3.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang terlalu
lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah, lidah kelihatan kotor dan di
tutupi selaput putih ujung lidah dan lidah kemerahan.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan penurunan kesadaran yaitu kesadaran ringan
seperti kesadaran berkabut (tifoid).
4. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa, ditemukan sering membesar. Demam ini bisa di ikuti oleh
gejala tidak khas lainnya seperti diare, atau batuk pada keadaan yang parah
bisa di sertai gangguan kesadaraan. Komplikasi yang bisa terjadi adalah
perforasi usus, perdarahan usus ,dan koma. Gejala demam tifoid
mengakibatkan tiga kelainan yaitu, demam berkepanjangan, gangguan
system pencernaan, gangguan kesadaran.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Pada minggu pertama sakit, tanda klinis tifod masih belum khas, mungkin
hanya didapatkan suhu badan meningkat.
2. Pada minggu kedua, tanda klinis menjadi lebih jelas berupa:
- Distensi abdomen
- Rose spot berupa bercak-bercak makulopapul berukuran 1-4 cm, dengan
jumlah tidak lebih dari 5, umumnya menghilang dalam 2-5 hari
- Lidah tampak kotor yang khas ditengah dan tepi, sedang ujungnya
merah dan tremor
- Teraba bradikardi relatif dan dicrotic pulse (denyut ganda, dimana
denyut kedua lebih lemah dari denyut pertama)
- Splenomegali
- Hepatomegali
3. Sedangkan pada minggu ketiga biasanya ditemukan:
- Berat badan menurun selama sakit
- Tampak konjungtiva terinfeksi
- Abdomen lebih membuncit
- Penurunan kesadaran ke dalam typhoid state, yaitu apatis, somnolen,
stupor, confusion, dan bahkan psikosis
- Penderita tampak takipneu, dengan denyut nadi teraba kecil dan lemah
- Terdengar krepitasi pada dasar paru
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sample darah untuk melihat
adanya bakteri salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan
darah pada 14 hari pertama. Selain itu tes widal (titter O dan H) mulai positif
pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya
penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan
progresif dari titter agglutinin (diatas 1/200) menunjukkan diagnosis pasti dari
infeksi aktif demam tifoid.
1. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap, pasien demam tifoid banyak
ditemukan leukopenia, namun juga dapat hasilnya normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa ada infeksi
sekunder. Anemia ringan serta trombositopenia juga dapat ditemukan.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit, dapat ditemukan aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah juga dapat meningkat pada penyakit
ini. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, namun akan kembali menjadi
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus.
Hingga saat ini, kultur darah merupakan gold standard untuk penegakkan
diagnosis demam tifoid.
2. Uji Widal
Tujuan dari uji widal adalah untuk mendeteksi antibodi pada bakteri S.
typhi. Uji ini akan terjadi reaksi aglutinasi antara antigen bakteri S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan
merupakan suspensi Salmonella yang telah dimatikan dan kemudian
diolah di laboratorium. Aglutinin yang dideteksi pada uji widal adalah: a).
Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H (flagela kuman), dan c).
Aglutinin Vi (simpai kuman). Aglutinin yang digunakan untuk
mendiagnosis demam tifoid hanya aglutinin O dan H saja. Semakin tinggi
titer aglutinin tersebut, maka semakin besar kemungkinan terinfeksi bakter
S. typhi.
3. Uji Typhidot
Uji typhidot digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG pada
protein membrane luar S. typhi. Uji typhidot dikatakan memiliki hasil
positif jika teridentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen S. typhi pada 2-3 hari setelah infeksi sebesar 50 kD, yang terapat
pada strip nitroselulosa.
Pada kasus reinfeksi, IgM sulit terdeteksi karena respon imun sekunder
(IgG) teraktivasi secara berlebihan. IgG dapat bertahan mencapai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus
infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini,
yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, yang memungkinkan terjadi
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien.
5. Uji Tubex
Pemeriksaan Tubex adalah pemeriksaan laboratorium yang mendeteksi
immunoglobulin M dalam melawan antigen spesifik O9 Salmonella typhi.
Tes ini menggunakan metode aglutinasi kompetitif semi kuantitatif dengan
partikel berwarna sebagai tolak ukur penegakan diagnosis. Pemeriksaan
Tubex sensitivitasnya mampu ditingkatkan melalui penggunaan partikel
berwarna, sedangkan spesifisitasnya ditingkatkan dengan penggunaan
antigen O9, antigen ini spesifik dan khas pada Salmonella serogrup D. Tes
ini mendeteksi adanya antibodi IgM. Respon terhadap antigen O9
berlangsung cepat karena antigen O9 bersifat imunodominan yang mampu
merangsang respon imun. Hal ini menguntungkan, sebab deteksi anti‐O9
dapat dilakukan lebih cepat, yaitu pada hari ke 4‐5 (infeksi primer) dan
hari ke 2‐3 (infeksi sekunder).
Gambar 2.6. Skema dari langkah kerja uji tubex
kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
6. Kultur Darah
2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan demam tifoid hingga saat ini adalah: istirahat dan perawatan,
diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dan pemberian antimikroba.
2.8.1 Tatalaksana Non-Farmakologis
a. Tirah Baring
Tirah baring paling tidak hingga 7 hari bebas demam atau kurang lebih
hingga 14 hari. Tirah baring memiliki tujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti minum, makan, buang
ait kecil, mandi, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan.
Kurangnya asupan makanan dapat menurunkan keadaan umum dan gizi pasien
akan semakin turun sehingga proses penyembuh menjadi semakin lama.
Pemberian makan padat dini seperti nasi, disertai lauk pauk rendah selulosa.
Asupan serat maksimal 8 gram/hari, menghindari: sayuran berserat, susu,
daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam serta
diberikan dalam porsi kecil.
c. Menjaga kebersihan
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
g. Azitromisin
Azitromisin 2 × 500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon. Azitromisin secara signifikan dapat
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupun NARST
(Nalidixic Acid Resistant S.typhi). Jika dibandingkan dengan seftriakson,
penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin
mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi
di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam
pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraselular.
Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral
maupun suntikan intravena.
2.9 Komplikasi
2.9.1 Komplikasi Intesinal
a. Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus
dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau
gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam
dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat,
mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai
80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang
terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebass di abdomen. Tanda- tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan syok. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adnya perforasi.
2.11 Pencegahan
Rute utama penularan demam tifoid adalah melalui air minum atau makan
makanan yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi. Pencegahan didasarkan pada
menjamin akses ke air bersih dan dengan mempromosikan praktik penanganan
makanan yang aman. Pendidikan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan
kesadaran publik dan mendorong perubahan perilaku.
A. Preventif dan Kontrol Penularan
Akses ke air bersih dan sanitasi adekuat, edukasi kesehatan, hygiene yang baik
pada penjual makanan, dan vaksinasi tifoid merupakan strategi-strategi yang
efektif untuk pencegahan dan kontrol demam tifoid. Tindakan preventif sebagai
upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam
tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi
sebagai agen
penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan. Secara garis besar
ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu 1). Identifikasi
dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus
karier tifoid, 2). Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi
akut maupun karier, 3). Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.
B. Vaksinasi
Dengan adanya angka kejadian yang tinggi terhadap demam tifoid, vaksinasi di
anjurkan WHO sebagai langkah tindakan kontrol penanganan demam tifoid.
Segala program vaksinasi tifoid perlu diimplementasikan bersamaan dengan
tindak penanggulangan lainnya, seperti: edukasi kesehatan, sanitasi, dan
pelatihan tenaga kesehatan dalam diagnosis dan tatalaksana. Indikasi preventif
berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang ada, yaitu: faktor
individual atau populasi:
1. Populasi: anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer,
petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri
makanan/minuman.
2. Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemic, orang yang
kontak erat dengan tifoid karier.
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran
cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal. Demam tifoid memiliki gejala
yang cukup spesifik berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf
pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan
turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi
konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan
tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa
Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan
yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis
pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam
tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan
yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat
ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan spesitifitas yang lebih
baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan
angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas
agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS
(decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen
fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone,
cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA