Anda di halaman 1dari 30

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A221042


**Pembimbing/ dr. Nadrizal, Sp. PD. FINASIM

DEMAM TIFOID

Oleh

Yurisa Putrima Mardhotillah

G1A221042

Pembimbing
dr. Nadrizal, Sp. PD. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Clinical Science Session (CSS)

DEMAM TIFOID

Oleh :
Yurisa Putrima Mardhotillah
G1A221042

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit
Dalam RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Februari 2023
Pembimbing

dr. Nadrizal, Sp. PD. FINASIM


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang
berjudul “Demam Tifoid” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nadrizal, Sp. PD. FINASIM yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga
kiranya laporan Clinical Science Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Februari 2023

Yurisa Putrima Mardhotillah


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................2
2.1 Definisi.....................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi.............................................................................................................2
2.3 Etiologi.....................................................................................................................4
2.4 Rantai infeksi S.typhi................................................................................................5
2.5 Patogenesis...............................................................................................................6
2.6 Manifestasi Klinis.....................................................................................................8
2.7 Diagnosis................................................................................................................10
2.8 Tatalaksana.............................................................................................................13
2.9 Komplikasi..............................................................................................................17
2.10 Pencegahan Demam Tifoid...................................................................................18
BAB III KESIMPULAN................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan


oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber
air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah.
Di Indonesia insidensi kasus demam typhoid masih termasuk tinggi di Asia,
yakni 81 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi tifoid banyak ditemukan
pada kelompok usia Sekolah (5 – 14 tahun) yaitu 1.9% dan terendah pada bayi
(0.8%). Kelompok yang berisiko terkena demam typhoid adalah anak – anak yang
berusia dibawah usia 15 tahun. Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam
tifoid disebabkan oleh salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh salmonella
paratyphi. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, nyeri perut difus, dan
sembelit. demam tifoid adalah penyakit yang dapat berkembang menjadi delirium,
perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu 1 bulan.
Faktor-faktor risiko dapat terjadinya demam tifoid meliputi kontaminasi tinja
pada air minum atau es, banjir, jajanan pinggir jalan, buah dan sayuran yang ditanam
dekat limbah pembuangan kotoran manusia, kurangnya akses ke toilet dan mencuci
tangan, dan riwayat infeksi Helicobacter pylori sebelumnya (dihubungkan dengan
kemungkinan berkurangnya keasaman lambung secara kronis). Sebagai suatu
penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat diserang dan berbagai
komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam
tifoid yaitu komplikasi intestinal dan ekstra-intestinal. Sehingga diperlukan
pengetahuan yang mumpuni dalam menangani kasus demam tifoid, baik secara
preventif maupun kuratif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang dikarakteristikan dengan demam dan
nyeri abdomen yang disebabkan oleh S. Typhi. Bersama dengan S. Paratyphi, S.Typhi
juga disebut demam enterik. Penyakit ini disebut demam tifoid karena persamaan
manifestasi klinis dengan penyakit typhus. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut
yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran. Demam typhoid adalah penyakit infeksi bakteri yang
menyerang sistem pencernaan manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

2.2 Epidemiologi
Di Asia tenggara, ada lebih dari 100 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya.
Daerah yang lebih sering terdapat kasus ini atau yang merupakan daerah endemik
adalah daerah yang sanitasinya kurang dan air bersih sulit didapat. Penyakit ini lebih
sering diderita oleh anak-anak (balita atau bayi) dan remaja, dengan predisposisi
kepada pria. Negara-negara dimana penyakit ini menjadi penyakit endemik adalah
Negara- negara di afrika, asia selatan, dan asia tenggara, terutama India. Demam tifoid
dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik,
lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari
satu kasus pada orang-orang serumah. Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania
menyumbang 14,1% kasus global (2,02 juta kasus), dan region Afrika sub-Sahara
menyumbang 12,1% kasus global (1,73 juta kasus). Angka kematian rata-rata dari
demam tifoid secara global adalah 0,95%, dengan risiko lebih tinggi berada pada
anak- anak dan orang tua, serta orang-orang yang tinggal di negara berpendapatan
rendah.
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens
tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan
S.thypi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering karier. Di daerah
endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi, sedangkan makanan yang
tercemar
oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah non endemik. Regio Asia
Selatan merupakan daerah dengan insiden tertinggi (549 kasus per 100.000 populasi
per tahun) dan angka kasus terbesar (10,3 juta kasus) menyumbang 71,8% kasus
global di tahun 2017.
Angka insiden demam tifoid paling tinggi berada pada anak-anak, memuncak
pada usia 5-9 tahun dan kemudian menurun seiring bertambah usia menuju dewasa.
Angka kasus kematian tertinggi berada di region Asia Selatan, diikuti dengan
Afrika sub- Sahara, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania. Demam tifoid di negara
maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya, sedangkan di negara berkembang
demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta orang per tahun. Secara global
diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus dan 222.000
menyebabkan kematian. Demam tifoid menjadi penyebab utama terjadinya
mortalitas dan morbiditas di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah.Penelitian yang dilakukan di Kolkata, India menyatakan bahwa daerah
dengan risiko tinggi terkena demam tifoid adalah daerah dengan status ekonomi
rendah. Prevalensi demam tifoid di Jawa Tengah sebesar 1,6%, dan tersebar di
seluruh Kabupaten/Kota dengan rentang 0,2 – 3,5%.Sepanjang tahun 2016 di Jawa
Tengah tercatat sebagai provinsi dengan kasus penyakit suspek demam tifoid
tertinggi yaitu sebanyak 244.071 kasus yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota.
Berdasarkan data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Kementerian
Kesehatan tahun 2016, kasus demam tifoid di Jawa Tengah cenderung fluktuatif. Pada
tahun 2014 terdapat 17.606 kasus, turun pada tahun 2015 terdapat 13.397 kasus, dan
naik kembali pada tahun 2016 menjadi 244.071 kasus. Distribusi suspek demam tifoid
menurut tempat, kota Semarang menempati sepuluh besar penyakit tertinggi selama 4
tahun terakhir. Pada tahun 2016, kota Semarang menempati urutan ke-9 dari 35
kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai penderita demam tifoid terbanyak. Menurut
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, persentase Tempat Pengelolaan Makanan
(TPM) yang memenuhi syarat kesehatan secara Nasional pada tahun 2016 adalah
13,66%. Sedangkan persentase TPM yang memenuhi syarat di Jawa Tengah tahun
2016 sebesar 8,27%. Capaian ini belum memenuhi target Renstra Kementerian
Kesehatan
2016 untuk TPM memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 14%.
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian
lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),
angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi

Insiden demam tifoid di Indonesia juga banyak ditemukan pada populasi


berumur 3 – 19 tahun. Serta berkaitan dengan riwayat keluarga yang juga mengidap
demam tifoid, tidak mencuci tangan menggunakan sabun, makan menggunakanpiring
yang sama, serta tidak tersedianya tempat buang air besar di rumah. Peralatan sanitasi
sendiri dianggap tidak efektif untuk menurunkan beban penyakit yang ditransmisikan
melalui rute fecal-oral. Namun juga perlu disertai oleh perubahan perilaku. Penelitian
oleh Alba, dkk (2016) menyatakan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia dapat
ditekan dengan perilaku hygiene yang lebih baik. Seperti mencuci tangan
menggunakan sabun dan tidak jajan.

2.3 Etiologi
Penyakit typhoid disebabkan oleh infeksi kuman S. typhi atau S. paratyphi.
Salmonella merupakan genus dari family Enterobacteriaceae. Manusia merupakan
reservoir dari Salmonella typhi. Salmonella Typhi memiliki kapasitas terpatas untuk
berkembang biak diluar inang tubuh manusia, namun dapat bertahan dalam beberapa
waktu tertentu di lingkungan dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada
suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70 oC
dan antiseptik. Salmonella adalah bakteri berbentuk batang, gram-negatif, anaerobik
fakultatif, dan kebanyakan bergerak menggunakan flagella peritrik (yang mengandug
antigen H). Salmonella merupakan bakteri yang dapat beradaptasi dengan baik pada
manusia dan hewan serta dapat menyebabkan penyakit berspektrum luas. Namun
pertumbuhan serotipe dari Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi hanya terbatas
pada inang manusia saja, yang menyebabkan demam tifoid (demam enterik).
Salmonella thyphosa mempunyai 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O : Ohne Hauch, yaitu somatik antigen (tidak menyebar)
b. Antigen H : Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
c. Antigen V : kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terdapat fagositosis.

Gambar 2.2. Mikroskopik Salmonella Typhi

Salmonella parathyphi terdiri 3 jenis yaitu A, B, dan C. Ada dua sumber


penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam thypoid dan pasien dengan
carrier. Carrier adalah orang yang sembuh dengan demam typoid dan masih terus
mengekskresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun.
Lebih dari 200 serotipe dari Salmonella bersifat patogenik pada manusia, yang mana
sering menyebabkan gastroenteritis dan dapat dihubungkan dengan infeksi
lokaldan/atau bakteremia. Salmonella terdiri dari dua spesies, yaitu: Salmonella
enterica, yang mengandung enam subspecies dan Salmoella bongori. Subspecies I
pada
S. enterica memilki hampir semua serotipe yang bersifat patogenik pada manusia.
Penggolongan serotipe dibuat berdasarkan keberagaman antigen pada struktur
permukaan bakteri: antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida),
antigen permukaan Vi (terbatas pada S. typhi dan S. paratyphi C), dan antigen H
flagellar. Walaupun identifikasi serotipe pada permukaan antigen dapat digunakan,
namun kebanyakan laboratorium menggunakan reaksi aglutinasi sederhana yang
mendefinisikan serogrup antigen O spesifik, antigen A, C1, C2, D, dan E. Keenam
strain ini menyebabkan ~99% infeksi Salmonella pada manusia dan hewan berdarah
panas lainnya. Salmonella enterica serovar Paratyphi A dan Paratyphi B (dan jarang
pada Paratyphi C) menyebabkan penyakit demam Paratifoid yang tidak dapat
dibedakan menifestasi klinisnya dengan demam tifoid yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, terutama di bagian Asia.

2.4 Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bacteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit

perut.

Gambar 2.3. Patogenesis masuknya Salmonella Thyphi


Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis
berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas
seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang
hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon
imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel
plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama
kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang,
kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah
terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan
muncul pada hari ke 3-4 demam.
Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh melalui oral bersama dengan
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian bakteri akan
dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian bakteri Salmonella
yang lolos akan segera menuju ke usus halus tepatnya di ileum dan jejunum
untuk berkembang biak. Bila sistem imun humoral mukosa (IgA) tidak lagi baik
dalam merespon, maka bakteri akan menginvasi kedalam sel epitel usus halus
(terutama sel M) dan ke lamina propia. Di lamina propia bakteri akan
difagositosis oleh makrofag. Bakteri yang lolos dapat berkembang biak didalam
makrofag dan masuk ke sirkulasi darah (bakterimia I). Bakterimia I dianggap
sebagai masa inkubasi yang dapat terjadi selama 7-14 hari Bakteri Salmonella
juga dapat menginvasi bagian usus yang bernama plak payer. Setelah
menginvasi plak payer, bakteri dapat melakukan translokasi ke dalam folikel
limfoid intestin dan aliran limfe mesenterika dan beberapa bakteri melewati
sistem retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga melewati
organ hati dan limpa.
Di hati dan limpa, bakteri meninggalkan makrofag yang selanjutnya
berkembang biak di sinusoid hati. Setelah dari hati, bakteri akan masuk ke
sirkulasi darah untuk kedua kalinya (bakterimia II). Saat bakteremia II,
makrofag mengalami hiperaktivasi dan saat makrofag memfagositosis bakteri,
maka terjadi pelepasan mediator inflamasi salah satunya adalah sitokin.
Pelepasan sitokin ini yang menyebabkan munculnya demam, malaise, myalgia,
sakit kepala, dan gejala toksemia. Plak payer dapat mengalami hyperplasia pada
minggu pertama dan dapat terus berlanjut hingga terjadi nekrosis di minggu
kedua. Lama kelamaan dapat timbul ulserasi yang pada akhirnya dapat terbentuk
ulkus diminggu ketiga.
Terbentuknya ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi. Hal ini
merupakan salah satu komplikasi yang cukup berbahaya dari demam typhoid.

2.5 Rantai Infeksi S. typhi


Manusia merupakan reservoir dari Salmonella typhi. Salmonella typhi memiliki
kapasitas terpatas untuk berkembang biak diluar inang tubuh manusia, namun dapat
bertahan dalam beberapa waktu tertentu di lingkungan. Infeksi akut dari S. typhi
menjadi demam tifoid. Jika tidak diobati, kompliksi intestinal, neuropsikiatri, dan
lainnya dapat muncul pada pasien. Namun infeksi akut juga dapat menjadi ringan dan
self-limited. Feses menjadi portal of exit yang paling sering pada S. typhi. Bakteri ini
dapat bertahan di feses atau urine pada fase klinis maupun infeksi akut subklinis.
Bakteri ini dapat bertahan secara sementara mauapun kronis. Pada orang yang
membawa carrier, mereka dapat membawa infeksi ini tanpa gejala khusus mencapai
>12 bulan after onset dari infeksi akut.
Transmisi dari S. typhi adalah melalui rute fecal-oral. Air dan makanan yang
terkontaminasi oleh feses manusia menjadi sumber utama dalam terjadinya infeksi
dari
S. typhi. Transmisi dari S. typhi secara garis besar terdiri atas dua pola. Padatransmisi
siklus pendek, makanan dan air yang terkontaminasi akan termediasi ke tubuh
manusia melalui higiene dan sanitasi yang tidak adekuat. Pada transmisi siklus
panjang, terdapat kontaminasi pada lingkungan yang lebih luas. Seperti polusi pada
air yang tidak terkelola dan terkontaminasi oleh feses manusia atau penggunaan feses
manusia atau kotoran sebagai pupuk tanaman. Investigasi epidemiologi menekankan
pentingnya peran dari pembawa carrier pada wabah tifoid siklus pendek yang
ditularkan melalui makanan di negara dengan insiden demam tifoid yang rendah, dan
transmisi siklus panjang yang ditularkan melalui air pada negara dengan insiden
demam tifoid yang tinggi. Hal ini menandakan bahwa sumber kontaminasi dan tipe
pembawa penularan penyakit yang terlibat bervariasi tergantung pada tiap lokasinya.
Sehingga investigasi epidemiologi di tingkat lokal sangat penting untuk pencegahan
penyakit.
Portal of Entry dari infeksi S. Typhi adalah melalui mulut, biasanya melalui
proses menelan makanan atau air yang terkontaminasi. Infeksi terjadi inang manusia
yang rentan. Asam lambung dibuktikan menjadi penghalang penting untuk bakteri ini
mengakses mukosa usus kecil and kemudian sistem retikuloendotelial. Imunitas alami
atau yang melalui induksi vaksin dapat melindungi secara parsial dalam melawan
demam tifoid.

2.6 Manifestasi Klinis


Demam enterik memiliki gejala yang bervariasi. Gejala demam dicatat pada
>75% kasus, nyeri abdomen tercatat hanya 30 – 40% kasus saja. Masa inkubasi pada
infeksi
S. typhi berada pada rentang 5 – 21 hari namun rata-rata nya adalah 10 -14 hari. Hal
ini bergantung pada kesehatan inang dan status vaksinasinya. Gejala yang paling
khas adalah demam berkepangjangan (38,8℃ - 40,5℃) yang dapat berlangsung
hingga 4 minggu jika tidak diobati. S. paratyphi biasanya memiliki gejala yang lebih
ringan dari
S. typhi dengan gejala gastrointestinal lebih dominan.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
nyaman di perut, batuk. Karakteristik demam adalah meningkat perlahan-lahan
berpola seperti anak tangga (step-ladder temperature chart) dengan suhu makin
tinggi dari hari ke hari terutama pada sore hingga malam hari. Pada pemeriksaan
fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia
relatif adalah peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Rose spots berupa ruam makulopapular,
berwarna seperti salmon, dan pucat juga dapat muncul pada akhir minggu pertama
dan hilang setelah 2 – 5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri
pada dermis. Ruam ini sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung, umumnya terlihat pada orang kulit putih.
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif dimana setiap peningkatan suhu 1℃ tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput berupa lidah kotor di
bagian tengah sedangkan tepi dan ujung kemerahan, serta hepatomegali,
splenomegali, dan meteroismus, hingga perubahan status mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Komplikasi dari demam tifoid terjadi pada 27% pasien yang dirawat dan
berhubungan dengan semakin lama gejala yang muncul sebelum masuk rumah sakit,
faktor inang (genetik, imunosupresi, terapi supresi asam, paparan sebelumnya, dan
status vaksinasi), virulensi strain bakteri, dan pemilihan terapi antibiotik. Perdarahan
gastrointestinal (6%) dan perforasi usus (1%) biasanya terjadi di minggu ketiga dan
keempat penyakit dan merupakan hasil dari hiperplasia, ulserasi, dan nekrosis dari
plak peyeri di bagian ileocecal. Komplikasi tersebut sama-sama mengancam nyawa,
membutuhkan resusitasi cairan yang segera, dan intervensi pembedahan.

Gambar 2.4. Rose spots pada demam enterik

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan diperkuat
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Orang dengan tifoid umumnya datang dengan demam non-spesifik yang makin
parah setelah beberapa hari dan tidak ada perbaikan gejala dengan pengobatan
suportif. Perlu dipastikan juga mengenai riwayat mengonsumsi makanan dan
minuman yang kurang higienis serta paparan terhadap lingkungan dengan
sanitasi yang buruk. Gejala dapat bervariasi antar individu satu dengan
individu lainnya, dari ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran klinis
yang khas.
1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pada awal sakit,
demamnya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun.
Pada pagi suhu rendah atau normal, sore dan malam suhu badan tinggi ,
dan dari hari ke hari demam makin tinggi yang disetai banyak gejala lain
seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diare frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah, pada minggu kedua
demam makin tinggi, kadang terus menerus, pasien membaik maka pada
minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu ke 3.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang terlalu
lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah, lidah kelihatan kotor dan di
tutupi selaput putih ujung lidah dan lidah kemerahan.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan penurunan kesadaran yaitu kesadaran ringan
seperti kesadaran berkabut (tifoid).
4. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa, ditemukan sering membesar. Demam ini bisa di ikuti oleh
gejala tidak khas lainnya seperti diare, atau batuk pada keadaan yang parah
bisa di sertai gangguan kesadaraan. Komplikasi yang bisa terjadi adalah
perforasi usus, perdarahan usus ,dan koma. Gejala demam tifoid
mengakibatkan tiga kelainan yaitu, demam berkepanjangan, gangguan
system pencernaan, gangguan kesadaran.

b. Pemeriksaan Fisik
1. Pada minggu pertama sakit, tanda klinis tifod masih belum khas, mungkin
hanya didapatkan suhu badan meningkat.
2. Pada minggu kedua, tanda klinis menjadi lebih jelas berupa:
- Distensi abdomen
- Rose spot berupa bercak-bercak makulopapul berukuran 1-4 cm, dengan
jumlah tidak lebih dari 5, umumnya menghilang dalam 2-5 hari
- Lidah tampak kotor yang khas ditengah dan tepi, sedang ujungnya
merah dan tremor
- Teraba bradikardi relatif dan dicrotic pulse (denyut ganda, dimana
denyut kedua lebih lemah dari denyut pertama)
- Splenomegali
- Hepatomegali
3. Sedangkan pada minggu ketiga biasanya ditemukan:
- Berat badan menurun selama sakit
- Tampak konjungtiva terinfeksi
- Abdomen lebih membuncit
- Penurunan kesadaran ke dalam typhoid state, yaitu apatis, somnolen,
stupor, confusion, dan bahkan psikosis
- Penderita tampak takipneu, dengan denyut nadi teraba kecil dan lemah
- Terdengar krepitasi pada dasar paru

Apabila terjadi komplikasi, akan didapatkan melena, nyeri perut, simptom


neuropsikiatrik, ataupun penurunan kesadaran seperti delirium, kurang
waspada, stupor, koma, bahkan syok.

c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sample darah untuk melihat
adanya bakteri salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan
darah pada 14 hari pertama. Selain itu tes widal (titter O dan H) mulai positif
pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya
penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan
progresif dari titter agglutinin (diatas 1/200) menunjukkan diagnosis pasti dari
infeksi aktif demam tifoid.
1. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap, pasien demam tifoid banyak
ditemukan leukopenia, namun juga dapat hasilnya normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa ada infeksi
sekunder. Anemia ringan serta trombositopenia juga dapat ditemukan.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit, dapat ditemukan aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah juga dapat meningkat pada penyakit
ini. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, namun akan kembali menjadi
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus.
Hingga saat ini, kultur darah merupakan gold standard untuk penegakkan
diagnosis demam tifoid.

2. Uji Widal
Tujuan dari uji widal adalah untuk mendeteksi antibodi pada bakteri S.
typhi. Uji ini akan terjadi reaksi aglutinasi antara antigen bakteri S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan
merupakan suspensi Salmonella yang telah dimatikan dan kemudian
diolah di laboratorium. Aglutinin yang dideteksi pada uji widal adalah: a).
Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H (flagela kuman), dan c).
Aglutinin Vi (simpai kuman). Aglutinin yang digunakan untuk
mendiagnosis demam tifoid hanya aglutinin O dan H saja. Semakin tinggi
titer aglutinin tersebut, maka semakin besar kemungkinan terinfeksi bakter

S. typhi.

Gambar 2.5 Pemeriksaan Widal

Aglutinin mulai terbentuk terjadi pada akhir minggu pertama demam,


kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak di minggu
keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut, pada
mulanya timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H.
Aglutinin O masih tetap ditemukan pada pasien yang telah sembuh setelah
4-6 bulan. Sedangkan aglutinin H menetap sekitar 9-12 bulan. Oleh sebab
itu, uji Widal tidak digunakan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:
1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang,
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Hingga
saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai nilai bermakna akan
titer aglutinin yang digunakan untuk diagnostik demam tifoid.

3. Uji Typhidot
Uji typhidot digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG pada
protein membrane luar S. typhi. Uji typhidot dikatakan memiliki hasil
positif jika teridentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen S. typhi pada 2-3 hari setelah infeksi sebesar 50 kD, yang terapat
pada strip nitroselulosa.
Pada kasus reinfeksi, IgM sulit terdeteksi karena respon imun sekunder
(IgG) teraktivasi secara berlebihan. IgG dapat bertahan mencapai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus
infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini,
yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, yang memungkinkan terjadi
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien.

4. Uji IgM Dipstick


Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.
typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip
yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang
dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum
diinkubasi
dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini
stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25° C di tempat kering
tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip
pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu
kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna
dengan baik. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan
tanpa peralaatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila
pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.

Gambar 2.6 Interpretasi Hasil Rapid IgM

5. Uji Tubex
Pemeriksaan Tubex adalah pemeriksaan laboratorium yang mendeteksi
immunoglobulin M dalam melawan antigen spesifik O9 Salmonella typhi.
Tes ini menggunakan metode aglutinasi kompetitif semi kuantitatif dengan
partikel berwarna sebagai tolak ukur penegakan diagnosis. Pemeriksaan
Tubex sensitivitasnya mampu ditingkatkan melalui penggunaan partikel
berwarna, sedangkan spesifisitasnya ditingkatkan dengan penggunaan
antigen O9, antigen ini spesifik dan khas pada Salmonella serogrup D. Tes
ini mendeteksi adanya antibodi IgM. Respon terhadap antigen O9
berlangsung cepat karena antigen O9 bersifat imunodominan yang mampu
merangsang respon imun. Hal ini menguntungkan, sebab deteksi anti‐O9
dapat dilakukan lebih cepat, yaitu pada hari ke 4‐5 (infeksi primer) dan
hari ke 2‐3 (infeksi sekunder).
Gambar 2.6. Skema dari langkah kerja uji tubex

Tabel 2.1 Interpretasi hasil uji tubex


Skor Nilai Interpretasi

<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif

Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,

3 Borderline apabila masih meragukan lakukan

pengulangan beberapa hari

kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif

>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

6. Kultur Darah

Intepretasi hasil biakan yang positif mengartikan bahwa pasien tersebut


mengidap infeksi S. typhi. Namun hasil yang negatif belum tentu tidak
mengidap tifoid. Hal ini dikarenakan beberapa hal, yaitu:
a. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negatif

b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila


darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.

c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi


dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif.

d. Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin


semakin meningkat.

Sensitivitas diagnostik untuk kultur darah hanya sekitar 60% dan


menurun dengan sampel volume darah yang sedikit dan pada pasien yang
sedang mengonsumsi antibiotik pada satu minggu pertama, mengartikan
sedikitnya jumlah S. typhi didalam darah. Kultur sum-sum tulang memiliki
sensitivitas >80% dan tidak berkurang jumlah bakterinya hingga 5 hari
setelah penggunaan antibiotik.

7. Kultur Sumsum Tulang


Kultur aspirasi sumsum tulang meupakan gold standar untuk diagnosis
pasti demam tifoid. Kultur aspirasi sumsum tulang tepat untuk pasien yang
sebelumnya telah diobati dan hasil kultur darah negatif. Kultur sumsum
tulang memiliki sensitifitas tertinggi (>80%) dan relatif tidak terpengaruh
oleh antibiotik. Peningkatan sensitivitas kultur sumsum tulang
dibandingkan dengan kultur darah berkaitan dengan konsentrasi bakteri
yang lebih tinggi pada sumsum tulang. Kultur sumsum tulang lebih sering
positif pada pasien dengan penyakit berat dan rumit. Pada sisi lain, kultur
sumsum tulang diketahui lebih sensitif, namun bersifat invasif sehingga
tidak sesuai dilakukan secara rutin.

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan demam tifoid hingga saat ini adalah: istirahat dan perawatan,
diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dan pemberian antimikroba.
2.8.1 Tatalaksana Non-Farmakologis
a. Tirah Baring
Tirah baring paling tidak hingga 7 hari bebas demam atau kurang lebih
hingga 14 hari. Tirah baring memiliki tujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti minum, makan, buang
ait kecil, mandi, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan.

b. Diet lunak rendah serat

Kurangnya asupan makanan dapat menurunkan keadaan umum dan gizi pasien
akan semakin turun sehingga proses penyembuh menjadi semakin lama.
Pemberian makan padat dini seperti nasi, disertai lauk pauk rendah selulosa.
Asupan serat maksimal 8 gram/hari, menghindari: sayuran berserat, susu,
daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam serta
diberikan dalam porsi kecil.

c. Menjaga kebersihan

Mencuci tangan sebelum makan, sebelum menyentuh makanan, dan setelah


menggunakan toilet. Diperlukan menjaga kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan perlengkapan yang dipakai

2.8.2 Tatalaksana Farmakologis


Demam enterik sering dihubungkan dengan angka kematian rata-rata (case
fatality rate) sebesar 2,5% dan meningkat menjadi 4,5% pada pasien yang
dirawat dirumah sakit. Penggunaan antibiotik yang tepat dapat mencegah
komplikasi berat dari demam enteric dan mengurangi mortalitas <1%. Pilihan
utama dari antibiotik bergantung pada kerentanan strain S. typhi dan S.
paratyphi di lingkungan tersebut.

a. Kloramfenikol

Di Indonesia, kloramfenikol menjadi obat pilihan pertama untuk tatalaksana


demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan
secara oral Kloramfenikol memiliki mekanisme dapat menghambat sintesis
protein sel mikroba.7 Dosisnya adalah 4 × 500 mg perhari dapat diberikan
secara per oral maupun intravena. Diberikan hingga 7 hari bebas panas.
Terdapat sumber yang mengatakan obat ini dapat menurunkan demam rata-
rata 7,2 hari. Sumber lain mengatakan penurunan demam dapat terjadi rata-
rata setelah hari ke-5. Penelitian yang dilakukan pada 2002 hingga 2008
mendapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap
kloramfenikol.
Pada awal tahun 1980an di Indonesia, terdapaat penelitian pada pasien
demam tifoid yang sudah kritis mengenai penggunaan dexamethasone
(dosis awal 3mg/kg diikuti dengan delaman dosis 1mg/kg setiap 6 jam)
bersamaan dengan kloramfenikol dihubungkan dengan penurunan angka
mortalitas pada pasien demam tifoid dibangingkan dengan terapi hanya
dengan kloramfenikol saja. Namun, penelitian ini tidak dilakukan lagi di
masa setelahnya. Namun hingga saat ini penggunaan glukokortikoid tetap
menjadi indikasi pada demam tifoid yang sudah kritis.

b. Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel


mikroba. Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol, yang masih
digunakan di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk menyembuhkan
demam tifoid adalah tiamfenikol.7 Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada
ini demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi
komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 × 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
c. Kotrimoksazol
Efektivitas kotrimoksazol dilaporkan hampir in sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin.
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara
50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

e. Sefalosporin Generasi Ketiga


Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga telah dibuktikan
efektif pada demam tifoid adalah ceftriaxone, dosis yang dianjurkan
adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 30 menit
perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari. Ceftriaxone,
cefotaxime, dan cefixime oral efektif untuk tatalaksana demam tifoid
dengan MDR (multi drug resistance). Obat-obat ini dapat menurunkan
demam kurang
lebih selama satu minggu.
f. Fluorokuinolon
Fluorokuinolon menjadi salah satu antibiotik yang paling efektif untuk
infeksi S. typhi. Dengan angka kesembuhan mencapai 98%. Namun
kerentanan strain S. typhi terhadap golongan fluorokuinolon berkurang ada
beberapa daerah sekitar India, Nepal, dan Afrika. Berikut adalah jenis
bahan sediaan dan aturan pemakaian antibiotik golongan fluorokuinolon:

- Norfloksasin dosis 2 × 400 mg/hari selama 14 hari

- Siprofloksasin dosis 2 × 500 mg/hari selama 6 hari

- Ofloksasin dosis 2 × 400 mg/hari selama 7 hari

- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

- Levofloksasin dosis 1 × 500 mg/hari selama 5 hari

g. Azitromisin
Azitromisin 2 × 500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon. Azitromisin secara signifikan dapat
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupun NARST
(Nalidixic Acid Resistant S.typhi). Jika dibandingkan dengan seftriakson,
penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin
mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi
di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam
pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraselular.
Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral
maupun suntikan intravena.

2.9 Komplikasi
2.9.1 Komplikasi Intesinal
a. Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus
dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau
gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam
dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat,
mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai
80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang
terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebass di abdomen. Tanda- tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan syok. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adnya perforasi.

2.9.2 Komplikasi ekstra-intestinal


 Komplikasi kardiovaskular gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
 Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.
 Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
 Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
 Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis. komplikasi

tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.


 Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
2.10 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan demam enterik tergantung pada terapi yang
tepat, usia pasien, keadaan sebelumnya dari kesehatan, Salmonella serotipe penyebab,
dan munculnya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antimikroba yang tepat,
tingkat kematian kurang dari 1%. Di negara berkembang, angka kematian lebih tinggi
dari 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, rawat inap, dan pengobatan. Bayi
dan anak-anak dengan gangguan melemahkan mendasari berada pada risiko yang
lebih tinggi. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
berat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, terkait dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Kambuh setelah respon klinis awal terjadi pada 4-8% pasien yang tidak
diobati dengan antibiotik. Pada pasien yang telah menerima terapi antimikroba yang
tepat, manifestasi klinis kambuh menjadi jelas sekitar 2 minggu setelah menghentikan
antibiotik dan menyerupai penyakit akut. kambuh, namun, biasanya lebih ringan dan
durasi yang lebih singkat. Banyak kambuh dapat terjadi. Individu yang mengeluarkan
S.Typhi untuk ≥3 mo setelah infeksi biasanya menjadi pembawa kronis. Risiko
menjadi pembawa rendah pada anak-anak dan meningkat dengan usia; dari semua
pasien dengan demam tifoid, 1-5% menjadi pembawa kronis. Kejadian penyakit
saluran empedu lebih tinggi pada operator kronis dibandingkan pada populasi umum.
Meskipun kereta kemih kronis juga dapat terjadi, sangat jarang dan ditemukan
terutama pada individu dengan schistosomiasis.

2.11 Pencegahan
Rute utama penularan demam tifoid adalah melalui air minum atau makan
makanan yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi. Pencegahan didasarkan pada
menjamin akses ke air bersih dan dengan mempromosikan praktik penanganan
makanan yang aman. Pendidikan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan
kesadaran publik dan mendorong perubahan perilaku.
A. Preventif dan Kontrol Penularan
Akses ke air bersih dan sanitasi adekuat, edukasi kesehatan, hygiene yang baik
pada penjual makanan, dan vaksinasi tifoid merupakan strategi-strategi yang
efektif untuk pencegahan dan kontrol demam tifoid. Tindakan preventif sebagai
upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam
tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi
sebagai agen
penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan. Secara garis besar
ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu 1). Identifikasi
dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus
karier tifoid, 2). Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi
akut maupun karier, 3). Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.

B. Vaksinasi
Dengan adanya angka kejadian yang tinggi terhadap demam tifoid, vaksinasi di
anjurkan WHO sebagai langkah tindakan kontrol penanganan demam tifoid.
Segala program vaksinasi tifoid perlu diimplementasikan bersamaan dengan
tindak penanggulangan lainnya, seperti: edukasi kesehatan, sanitasi, dan
pelatihan tenaga kesehatan dalam diagnosis dan tatalaksana. Indikasi preventif
berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang ada, yaitu: faktor
individual atau populasi:
1. Populasi: anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer,
petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri
makanan/minuman.
2. Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemic, orang yang
kontak erat dengan tifoid karier.
BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran
cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal. Demam tifoid memiliki gejala
yang cukup spesifik berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf
pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan
turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi
konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan
tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa
Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan
yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis
pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam
tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan
yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat
ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan spesitifitas yang lebih
baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan
angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas
agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS
(decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen
fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone,
cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Loscalzo J, Kasper D, Longo D, Fauci A, Hauser S, Jameson J, editors.


Harrison’s Principles of Internal Medicine. 21st ed. New York: McGraw Hill
LLC; 2022.
2. AW S, B S, I A, M S, S S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2018.
3. World Health Organization. Typhoid vaccine: WHO position paper - March
2018. Wkly Epidemiol Rec [Internet]. 2018;13(93):153–72. Available from:
https://www.who.int/publications/i/item/typhoid-vaccines-who-position-paper-
march-2018
4. Stanaway JD, Reiner RC, Blacker BF, Goldberg EM, Khalil IA, Troeger CE, et
al. The global burden of typhoid and paratyphoid fevers: a systematic analysis
for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet Infect Dis.
2019;19(4):369– 81.
5. Alba S, Bakker MI, Hatta M, Scheelbeek PFD, Dwiyanti R, Usman R, et al.
Risk factors of typhoid infection in the Indonesian archipelago. PLoS One.
2018;11(6):1–14.
6. Crump JA. Progress in Typhoid Fever Epidemiology. Clin Infect Dis.
2019;68(Suppl 1):S4–9.
7. Rumfot I. SYSTEMATIC REVIEW : EFEKTIVITAS UJI TUBEX
DAN POLYMERASE CHAIN REACTION ( PCR ) UNTUK DIAGNOSIS
DEMAM TIFOID SYSTEMATIC REVIEW : EFEKTIVITAS UJI
TUBEX DAN POLYMERASE CHAIN REACTION ( PCR ) UNTUK
DIAGNOSIS DEMAM TIFOID. Univ ‘AISYIYAH YOGYAKARTA. 2020
8. Typhoid and Paratyphoid fever. Missouri Department of Health and Senior
Services. Section 4. Disease and Conditions. United State of America.2019;p.1-
21

9. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK,


Agtini MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries:
disease burden and implications for controls. http://www.who.int/
bulletin/volumes/86/4/06039818/ en/#content. [12 Februari 2023].
10. Levani, Yelvi dan Aldo Prastya. 2020. “DEMAM TIFOID : MANIFESTASI
KLINIS, PILIHAN TERAPI DAN PANDANGAN DALAM ISLAM.” JURNAL
BERKALA ILMIAH KEDOKTERAN 3:10–16.2020
11. lfa, Farissa dan Oktia Handayani. 2018. “KEJADIAN DEMAM TIFOID DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGIYANTEN.” HIGEIA JOURNAL OF
PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT 2:227–38. 2018
12. Anggit A. P. Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Kejadian Demam Tifoid
HIGEIA 2 (4) (2018)
13. Bhandari, J., Thada, P. K., & DeVos, E.Typhoid Fever. 2020
14. Dinaca, S. Gambaran hasil pemeriksaan widal metode. 2018
15. Murzalina, C. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Penunjang Diagnostik Demam
Tifoid. 2019
16. Pratama, O., Nurjanah, D., & Ph, D. Diagnosa Gejala Penyakit Demam Berdarah
dan Malaria Berbasis Ontologi. E-Proceeding of Engineering, 6(2), 8819–8829.
2019
17. Martha Ardiaria. JNH (Journal od Nutrition and Health). Epidemiologi,
Manifestasi Klinis, Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid, 7(2), 1. 2019
18. Rahmasari, V., & Lestari, K. Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid: Kajian
Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis. Farmaka, 16(1), 184–195. 2018

Anda mungkin juga menyukai