Anda di halaman 1dari 5

POLITIK HUKUM PELAYANAN PUBLIK DAN TERBITNYA INPRES NOMOR 1

TAHUN 2022 TENTANG OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN


KESEHATAN NASIONAL
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung
makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem
pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima
dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik,
jasa publik, dan pelayanan administratif1

Demi tujuan konstitusional tersebut, Negara mengatur aturan main bagaimana pelayanan
publik dilakukan. Prinsip non diskriminasi, kepentingan umum kepastian hukum, dan
keterjangkauan menjadi salah prinsip dasar dalam jalannya penyelenggaraan pelayanan publik
di bawah payung UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Terbitnya Inpres No 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan


Kesehatan Nasional yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 6 Januari 2022 telah
menimbulkan polemik di tengah masyarakat bahkan telah mendapatkan kritik yang cukup
signifikan dari organisasi masyarakat sipil2 bahkan anggota DPR RI3.

Ada 30 Kementerian/Lembaga sesuai fungsinya diberi amanat khusus untuk mendukung


program JKN termasuk Pemerintah Daerah dari mulai Provinsi hingga Kabupaten/Kotamadya.
Pada dasarnya peraturan ini diterbitkan agar Pemerintah mencapai maksimal angka
keterlibatan masyarakat terhadap kepesertaan dan keaktifan masyarakat di dalam mengikuti
program jaminan Kesehatan Nasional.4

Sayangnya intruksi ini telah mengatur syarat bukti kepesertaan BPJS terhadap layanan publik
yang diterima masyarakat. Pembuatan SIM, STNK, SKCK, Calon Jemaah haji dan umrah,
bahkan penerima KUR wajib menyertakan dokumen kepesertaan BPJS sebagai syarat layanan
publik diberikan. Syarat tersebut sangat tidak masuk akal dan makin membebani masyarakat
karena menyertakan syarat khusus tertentu dalam hal pelayanan publik.

1
Penjelasan umum UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
2
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/21/12380001/bpjs-kesehatan-wajib-bagi-pekerja-migran-
migrant-care--kejar-setoran Ini artinya hanya ngejar setoran target kepesertaan tapi abai pada pelayanan dan
jangkauan,"
3
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37699/t/Luqman+Hakim%3A+Batalkan+Kepesertaan+BPJS+Kesehatan
+sebagai+Syarat+Pelayanan+Pertanahan Politisi Fraksi PKB ini menilai, terbitnya aturan yang memaksa rakyat
menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan menjadikannya sebagai syarat dalam layanan pertanahan, merupakan
bagian dari praktek kekuasaan yang irrasional dan sewenang-wenang.
4
https://www.suara.com/bisnis/2022/02/03/152803/inpres-no-1-tahun-2022-optimalisasi-jkn-sasar-98-
masyarakat-indonesia?page=1 "Sekarang ini sudah ada 235 juta peserta atau sekitar 86% yang sudah
terdaftar. Inpres tersebut memang agar seluruh kementerian/lembaga sesuai dengan tupoksinya mendorong
agar kepesertaan BPJS Kesehatan bisa mencapai 98% di 2024 “
Tindakan Pemerintah menerbitkan kebijakan Inpres No 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional potensial membatasi layanan publik
terhadap masyarakat dengan membebani masyarakat syarat tambahan dalam mengakses
layanan. Tindakan pembatasan tersebut merupakan tindakan yang bersifat diskriminatif.

Hasil survei dari Survei Populi yang dilakukan pada desember tahun 2021 menyatakan bahwa
11,4% masyarakat menilai bahwa persyaratan berbelit menjadi masalah pokok dari pelayanan
publik yang perlu segera diperbaiki.5 Inpres No 1 Tahun 2022 akan menambah beban
masyarakat dalam mengakses layanan publik karena persyaratan ditambah pada hal hal yang
tidak ada berkorelasi dengan konteks layanan publiknya.

Sebagai contoh dalam konteks layanan pertanahan, Inpres ini juga mengatur syarat yang tak
ada hubungannya antara isu Kesehatan dengan isu perolehan hak atas tanah. Pada bagian 17
intruksi Presiden terhadap Kementrian ATR/BPN menyatakan :

“ Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk


memastikan pemohon pendaftaran peralihan hak tanah karena jual beli merupakan
Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional.”
Walaupun No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur tentang
kewajiban kepesertaan, tapi di sisi lain juga menjelaskan bahwa kepesertaan wajib dilakukan
secara bertahap dan tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik ( Public
Goods). Layanan publik terhadap hak memperoleh kepastian hukum hak atas tanah tidak
boleh dihambat oleh kebijakan apapun, apalagi yang tak ada hubungannya dan dapat
dijelaskan secara rasional. Adakah hubungan antara hak memperoleh kepastian hukum dan
layanan publik yang mengiringinya dengan kebijakan kesehatan di sisi yang lain?

Hak atas kesehatan dan hak atas kepastian hukum memperoleh hak atas tanah adalah hak
warga Negara yang tidak bisa diperbandingkan satu sama lain. Kedua hak tersebut adalah hak
yang wajib Pemerintah penuhi sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusionalnya.

Oleh karena kebijakan Inpres No 1 Tahun 2022 bersifat diskriminatif dan potensial
menghambat hak masyarakat atas layanan publik, maka kebijakan tersebut perlu dikritisi dan
dikoreksi. Kritik dan koreksi tersebut adalah bagian dari kewajiban masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik.6

Dalam melakukan koreksi terhadap Inpres No 1 Tahun 2022, kita perlu melihatnya dari dua
kacamata, pertama melihatnya dari kacamata pelayanan publik serta administrasi
pemerintahan dan kedua melihatnya dari kacamata Hak Asasi Manusia.

5
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/459017/survei-populi-pelayanan-negara-masih-berbelit-di-
mata-rakyat
6
Lihat Pasal 19 huruf c UU No 25 Tahu 2009 Tentang Layanan Publik
INPRES NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DAN PRINSIP LAYANAN PUBLIK DAN ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN

Salah satu tujuan dibentuknya UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik adalah
terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan
kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.7 Dalam
penjelasannya ditegaskan bahwa Pemberian pelayanan publik tidak boleh menyimpang dari
peraturan perundang-undangan.

Salah satu prinsip terpenting di dalam penyelenggaran layanan publik oleh penyelenggara
layanan publik adalah prinsip non diskriminasi. Prinsip ini menekankan bahwa layanan publik
tidak boleh membeda-bedakan perlakuan layanan berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Layanan publik harus diberikan demi kepastian hukum dan memperhatikan prinsip Kecepatan,
kemudahan, dan keterjangkauan bukan membebaninya dengan syarat syarat tambahan.

Asas non diskriminasi juga diatur di dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan selain asas lain juga sama pentingnya. Asas asas
umum pemerintahan yang baik yang menjadi jaminan warga Negara adalah :

“AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:


a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.”

Di dalam penjelasan Pasal 10 ayat 1 huruf g Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan adapun yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah :

“ Asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.”
Di dalam Buku PENJELASAN HUKUM ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK yang
ditulis oleh CEKLI SETYA PRATIWI, SHINTA AYU PURNAMAWATI, FAUZI, CHRISTINA YULITA
PURBAWATI yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan

7
Lihat Pasal 3 huruf a UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
(LeIP) mengenai asas ketidakberpihakan atau tidak diskriminasi pada halaman 63-65
dinyatakan :

“asas ketidakberpihakan/tidak diskriminatif menurut UU PB 2009 memberikan


pemahaman bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh pelayanan yang adil dan
tidak diskriminatif dari Negara atau pemerintah. Hak atas pelayanan yang adil dan tidak
diskriminatif ini harus dilindungi dan dihormati oleh Negara demi mewujudkan tegaknya
keadilan dan kepastian hukum dalam pelayanan publik.“
INPRES NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DAN KERANGKA HAK ASASI MANUSIA

Di dalam peraturan perundang-undangan yang lain seperti Undang-undang Nomor 39 Tahun


1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) dianyatakan
bahwa :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum

“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi.“
Selain itu pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM) menyebutkan bahwa:

“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung


ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.”
Jaminan bebas dari diskriminasi ditegaskan dalam Pasal 26 Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik yang telah diratifikasi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menyatakan:

“Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang
sama, tanpa diskriminasi apa pun. Mengenai hal ini, hukum melarang segala
diskriminasi dan menjamin kepada semua orang akan perlindungan yang sama dan
efektif terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti kesukuan, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain.“
Bahwa prinsip non dikriminasi berdasarkan norma Kovenan Sipil Politik, terutama pada
Komentar Umum Nomor 18 Hak Sipil Politik Tahun 1989 mesti dipahami sebagai larangan
terhadap semua bentuk “ distinction, exclusion, restriction or preference” dengan dasar
apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, aliran politik atau pendapat
lainnya, warga negara atau asal sosial, kepemilikan, kelahiran dan status lainnnya, yang
bertujuan atau berdampak pada pengakuan, penikmatan atau pemenuhan semua hak dan
kebebasan manusia;

Bahwa terkait dengan diskriminasi sesungguhnya telah didefinisikan oleh Mahkamah dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 bertanggal 29 Maret 2006 yang di
antaranya menyatakan :

“Bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan,


pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya.“
PEMBATASAN DAN POTENSI KERUGIAN MASYARAKAT SECARA MELUAS

Tindakan Pemerintah menerbitkan kebijakan Inpres No 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi


Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional potensial akan membatasi layanan publik
terhadap masyarakat dengan membebani masyarakat syarat tambahan dalam mengakses
layanan. Tindakan pembatasan tersebut merupakan tindakan yang bersifat diskriminatif
karena mensyaratkan adanya dokumen tambahan yang dapat mengakibatkan masyarakat
terhambat dalam mengakses layanan.

Tindakan tersebut dapat dikatakan tindakan penerbitan kebijakan yang tidak cermat. Asas
kecermatan yang diatur di dalam UU Administrasi Pemerintahan adalah asas yang
mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi
dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan
Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan
dan/atau dilakukan.

Penerbitan kebijakan yang tidak cermat dan tidak didasarkan pada pertimbangan yang tidak
rasional mengakibatkan kerugian yang meluas bagi warga dalam memperoleh layanan publik
yang cepat, mudah dan terjangkau.

Anda mungkin juga menyukai