Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Perioperatif
1. Konsep Perioperatif
Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana pada
tubuh dan terdiri dari tiga fase yaitu pre operasi, intra operasi dan pasca
operasi. Tiga fase ini secara bersamaan disebut periode perioperatif (Kozier &
Berman, 2015).
Keperawatan perioperatif menjadi salah satu bagian dari bidang ilmu
keperawatan medikal bedah. Ilmu tentang keperawatan perioperatif terus
berkembang sejak zaman Florence Nightingale melaksanakan misi
kemanusiaan untuk membantu prajurit yang terluka dalam perang Crrimean
tahun 1854-1855. Perkembangan ilmu dan pengetahuan tentang keperawatan
perioperatif terus berkembang. Hal ini dikarenakan tindakan pembedahan
merupakan peristiwa yang dapat mengakibatkan trauma fisik dan mental pada
pasien yang menjalani proses pembedahan. Prosedur pembedahan perlu
diperhatikan oleh perawat, baik sebelum, sedang dan setelah dilakukan
pembedahan. Oleh karena itu, definisi dari keperawatan perioperatif adalah
tindakan perawatan yang dilakukan perawat saat di ruang operasi dan
berfokus pada proses pembedahan yang dimulai dari persiapan sebelum
dilakukan pembedahan sampai dengan proses perawatan pasca pembedahan
atau lebih diketahui sebagai tahap pre operatif, intra operatif dan pasca
operatif (HIPKABI, 2019) dalam (Susanti et al., 2021)
a. Preoperatif
Tahap sebelum pembedahan di ruang operasi dikenal dengan tahap
preoperatif. Tahap ini dimulai sejak pasien diberitahukan akan dilakukan
tindakan operasi, sehingga perawat mempersiapkan hal-hal yang berkaitan
dengan tindakan pembedahan. Hal-hal yang perlu diperhatikan perawat
bedah diantaranya informed consent yang telah ditandatangani pasien
setelah diberikan penjelasan mengenai prosedur pembedahan, kondisi

6
psikologis pasien yang akan menjalani proses pembedahan, diagnosis dan
tindakan operasi yang akan dilakukan pemeriksaan penunjang, status
hemodinamik pasien sebelum operasi dan pengkajian lainnya terhadap
pasien dana tau keluarga (HIPKABI, 2019). Tahap ini juga penting
memperhatikan klasifikasi American Society of Anaesthesiologists (ASA)
yang bertujuan untuk memastikan kondisi pasien dalam mempersiapkan
instrumen dan tindakan pembedahan di meja operasi.
b. Intraoperatif
Tahap intraoperatif merupakan tahap proses pembedahan. Tahap ini
dimulai sejak pasien dipindahkan ke meja operasi. Perawat bedah pada
tahap ini sudah mempersiapkan instrumen bedah yang akan digunakan
untuk proses pembedahan. Pada tahap intra operatif, perawat melakukan
monitor terhadap kondisi pasien yang bertujuan memastikan keselamatan
pasien, mencegah terjadinya infeksi dan memonitor terhadap kondisi
fisiologi, selama tindakan anestesi dan intervensi pembedahan yang
dilakukan (HIPKABI, 2019).
c. Pascaoperatif
Tahap pascaoperatif dimulai sejak pasien selesai menjalani pembedahan
dan dipindahkan ke ruang recovery room atau post anesthesia care unit.
Perawat bedah memiliki peranan dalam hal mengevaluasi efek dan
anestesi yang diberikan terhadap pasien, memonitor fungsi organ vital
pasien dan mencegah komplikasi yang terjadi pasca pembedahan
(HIPKABI, 2019). Tahap pascaoperatif akan berakhir ketika pasien
dipindahkan ke ruang perawatan atau pasien dinyatakan pulang.

B. Tinjauan Konsep Asuhan Keperawatan


Keperawatan perioperatif merupakan proses keperawatan untuk mengembangkan
rencana asuhan secara individual dan mengkoordinasikan serta memberikan
asuhan pada pasien yang mengalami pembedahan atau prosedur invasif (Aulia,
2021).

7
Asuhan keperawatan perioperatif dilakukan pada pre operasi, intra operasi dan
post operasi. Menurut (Rosdahl & Kowalski, 2017) penatalaksanaan pada kasus
BPH.
1. Pre Operasi
a. Pengkajian
1) Premedikasi
Premedikasi merupakan memberikan obat-obatan sebelum anestesi,
kondisi yang diharapkan oleh anestesiologis adalah pasien dalam
kondisi tenang, hemodinamik stabil, post anestesi baik, anastesi lancar.
Diberikan pada malam sebelum operasi dan 1-2 jam sebelum anestesi.
2) Tindakan Umum
a) Memeriksa catatan pasien dan program pre operasi
b) Pasien dijadwalkan untuk berpuasa kurang lebih selama 8 jam
sebelum dilakukan pembedahan
c) Memastikan pasien sudah menandatangani surat persetujuan
pembedahan
d) Memeriksa riwayat medis untuk mengetahui obat-obatan,
pernapasan dan jantung
e) Memeriksa hasil catatan medis pasien seperti hasil laboratorium,
EKG dan USG
f) Memastikan pasien tidak memiliki alergi obat
3) Sesaat Sebelum Operasi
a) Memeriksa tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu dan mengecek identitas pasien
b) Mengkaji kondisi psikologis, meliputi perasaan takut atau cemas
dan keadaan emosi pasien dan melakukan pemeriksaan fisik
c) Menyediakan stok darah pasien pada saat persiapan untuk
pembedahan
d) Pasien melepaskan semua pakaian sebelum menjalani pembedahan
dan pasien menggunakan baju operasi

8
e) Memastikan semua catatan pre operasi sudah lengkap dan sesuai
dengan keadaan pasien
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2016), diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada pre operasi adalah sebagai
berikut:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari tiga bulan (PPNI, 2016b)

Tabel 2. 1 Gejala dan Tanda


Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
- Mengeluh nyeri - Tampak meringis
- Bersikap protektif (mis. Waspada,
posisi menghindari nyeri)
- Gelisah
- Frekuensi nadi meningkat
- Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
- - Tekanan darah meningkat
- Pola napas berubah
- Nafsu makan berubah
- Proses berpikir terganggu
- Menarik diri
- Berfokus pada diri sendiri
- Diaforesis

9
2) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap objek yang
tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
individu yang melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman (PPNI,
2016b).

Tabel 2. 2 Gejala dan Tanda


Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
- Merasa bingung - Tampak gelisah
- Merasa khawatir dengan akibat dan - Tampak tegang
kondisi yang dihadapi - Sulit tidur
- Sulit berkonsentrasi
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
- Mengeluh pusing - Frekuensi napas meningkat
- Anoreksia - Frekuensi nadi meningkat
- Palpitasi - Tekanan darah meningkat
- Merasa tidak berdaya - Diaphoresis
- Tremor
- Muka tampak pucat
- Suara bergetar
- Kontak mata buruk
- Sering berkemih
- Berorientasi pada masa lalu

c. Intervensi Keperawatan
Menurut SIKI (2018) intervensi keperawatan yang dilakukan berdasarkan
2 diagnosa diatas adalah sebaga berikut:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Manajemen Nyeri (I.08238)

10
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Idenrifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis,TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non faramakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional

11
Reduksi Ansietas (I.09314)
Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis, kondisi, waktu,
stressor)
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal)
Terapeutik
- Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang
Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengibatan dan
prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
- Latih peggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

12
d. Implementasi Keperawatan
Melakukan tindakan sebagaimana perencanaan, namun disesuaikan
dengan kondisi pasien.
e. Evaluasi Keperawatan
Menilai dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan sesudah
tindakan.
2. Intra Operasi
a. Pengkajian
1) Pengkajian status psikologis, apabila pasien di anestesi lokal dan
pasien dalam keadaan sadar maka sebaiknya perawatan menjelaskan
prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan
agar pasien tidak cemas atau takut menghadapi operasi
2) Mengkaji tanda-tanda vital bila terjadi ketidaknormalan maka perawat
harus memberitahukan ketidaknormalan tersebut pada ahli bedah
3) Transfusi dan infus, monitor cairan sudah habis atau belum
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2016), diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
1) Risiko hipotermia perioperatif dibuktikan dengan suhu lingkungan
rendah
Risiko hipotermia perioperatif adalah berisiko mengalami penurunan
suhu tubuh dibawah 36˚C secara tiba-tiba yang terjadi satu jam
sebelum pembedahan hingga 24 jam setelah pembedahan (PPNI,
2016b).
Faktor risiko:
- Prosedur pembedahan
- Kombinasi anastesi regional dan umum
- Skor American Society of Anestesiologist (ASA) >1
- Suhu pra operasi rendah (<36˚C)
- Berat badan rendah

13
- Neuropati diabetik
- Komplikasi kardiovaskuler
- Suhu lingkungan rendah
- Transfer panas (mis, volume tinggi infus yang tidak dihangatkan,
irigasi > 2 liter yang tidak dihangatkan)
c. Intervensi Keperawatan
Menurut SIKI (2018) intervensi yang dilakukan berdasarkan diagnosa
diatas adalah:
Manajemen Hipotermia (I.14507)
Observasi
- Monitor suhu tubuh
- Identifikasi penyebab hipotermia (mis, terpapar suhu lingkungan
rendah, pakaian tipis, kerusakan hipotalamus, penurunan laju
metabolisme, kekurangan lemak subkutan)
- Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia (hipotermia ringan:
takipnea, disartria, menggigil, hipertensi, diuresis; hipotermia sedang:
aritmia, hipotensi, apatis, koagulapati, reflex menurun; hipotermia
berat: oliguria, refleks menghilang, edema paru, asam-basa
abnormal)
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang hangat (mis, atur suhu ruangan, inkubator)
- Ganti pakaian atau linen yang basah
- Lakukan penghangatan pasif (mis, selimut, penutup kepala, pakaian
tebal)
- Lakukan penghangatan aktif eksternal (mis, kompres hangat, botol
hangat, selimut hangat, perawatan metode kangguru)
- Lakukan penghangatan aktif internal (mis, infus cairan hangat, lavase
peritoneal dengan cairan hangat)
Edukasi
- Anjurkan makan/minum hangat

14
d. Implementasi Keperawatan
Melakukan tindakan sebagaimana perencanaan, namun disesuaikan
dengan kondisi pasien.
e. Evaluasi Keperawatan
Menilai dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan sesudah
tindakan.
3. Post Operasi
a. Pengkajian
1) Setelah dilakukan pembedahan pasien akan masuk ke ruang pemulihan
untuk memantau tanda-tanda vitalnya sampai ia pulih dari anestesi dan
bersih secara medis untuk meninggalkan ruangan operasi. Dilakukan
pemantauan spesifik termasuk ABC yaitu airway, breathing dan
circulation. Tindakan dilakukan untuk upaya pencegahan post operasi,
ditakutkan ada tanda-tanda syok seperti hipotensi, takikardi, susah
bernapas, gelisah, sianosis dan SPO2 rendah.
2) Latihan tungkai (ROM)
3) Kenyamanan, meliputi : terdapat nyeri, mual dan muntah
4) Perawatan, meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah cairan,
kelancaran cairan.
5) Nyeri, meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang
memperberat.
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2016), diagnosa yang
mungkin muncul adalah:
1) Risiko perdarahan dibuktikan dengan tindakan pembedahan
Risiko perdarahan adalah berisiko mengalami kehilangan darah baik
internal (terjadi didalam tubuh) maupun eksternal (terjadi hingga
keluar tubuh) (PPNI, 2016b).
Faktor risiko:
- Aneurisme

15
- Gangguan gastrointestinal (mis, ulkus lambung, polip, varises)
- Gangguan fungsi hati (mis, sirosis hepatitis)
- Komplikasi kehamilan (mis, ketuban pecah sebelum waktunya,
plasenta previa/abrupsio, kehamilan kembar)
- Komplikasi pasca partum (mis, antoni uterus, retensi plasenta)
- Gangguan koagulasi (mis, trombositopenia)
- Efek agen farmakologis
- Tindakan pembedahan
- Trauma
- Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan
- Proses keganasan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari tiga bulan (PPNI, 2016b)

Tabel 2. 3 Gejala dan Tanda


Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
- Mengeluh nyeri - Tampak meringis
- Bersikap protektif (mis. Waspada,
posisi menghindari nyeri)
- Gelisah
- Frekuensi nadi meningkat
- Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
- - Tekanan darah meningkat
- Pola napas berubah
- Nafsu makan berubah
- Proses berpikir terganggu

16
- Menarik diri
- Berfokus pada diri sendiri
- Diaforesis

c. Intervensi Keperawatan
Menurut SIKI (2018) intervensi keperawatan yang muncul berdasarkan
diagnosa diatas adalah:
1) Risiko perdarahan dibuktika dengan tindakan pembedahan
Pencegahan Perdarahan (I.02067)
Observasi
- Monitor tanda dan gejala perdarahan
- Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan setelah
kehilangan darah
- Monitor tanda-tanda vital ortostatik
- Monitor koagulasi (mis, prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin atau
platelet)
Terapeutik
- Pertahankan bedrest selama perdarahan
- Batasi tindakan invasif, jika perlu
- Gunakan kasur pencegah dekubitus
- Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
- Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari
konstipasi
- Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
- Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
- Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan

17
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Idenrifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis,TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri

18
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non faramakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
d. Implementasi Keperawatan
Melakukan tindakan sebagaimana perencanaan, namun disesuaikan
dengan kondisi pasien.
e. Evaluasi Keperawatan
Menilai dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan sesudah
tindakan.

C. Tinjauan Konsep Penyakit Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


1. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar atau jaringan fibromuskuler yang
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Padila, 2019b)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah penyakit yang terjadi akibat
penekanan pada uretra menembus prostat, sehingga menyulitkan untuk
berkemih atau mengurangi kekuatan aliran urin serta paling sering terjadi
pada laki-laki berusia diatas 50 tahun akibat penuaan (Sarauw et al., 2021)
Menurut American Urological Association (AUA) Benigna Prostat
Hiperplasia merupakan diagnosis histologis yang mengacu pada proliferasi
otot polos dan sel epitel dalam zona transisi prostat. Proses hiperplasia pada
prostat diperkirakan terjadi sebelum usia 30 tahun dan secara progresif
meningkat dua kali lipat pada usia di atas 30 tahun (Satriawan et al., 2021).

19
2. Anatomi Fisiologi

Gambar 2 1 Kelenjar Prostat (Mary, 2016)


Kelenjar prostat terdiri atas jaringan dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Secara anatomi, prostat berhubungan erat
dengan kandung kemih, uretra, vas deferens dan vesika seminalis. Prostat
terletak diatas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafragma
tersebut dan dapat robek bersama diafragma apabila terjadi cedera. Prostat
dapat diraba dengan pemeriksaan colok dubur (Sjamsuhidajat & Jong, 2017).
Kelenjar prostat juga mengandung jaringan fibrosa dan jaringan otot
polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua ductus ejakulatorius dan
dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya iala kelenjar
limfe hipogastrik, sacral, obturator dan iliaka eksterna (Sjamsuhidajat & Jong,
2017).
3. Tanda dan Gejala
Menurut (Padila, 2019), gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna
Prostat Hiperplasia disebut sebagai Syndroma Protatisme. Syndroma
Protatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-

20
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot detrusor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan caliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
b. Gejala Iritasi
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
4. Etiologi
Menurut (Diyono & Mulyanti, 2019), pria yang mencapai usia lanjut
secara berangsur-angsur akan mengalami pembesaran prostat, sehingga
penyebab pembesaran prostat dikaitkan dengan proses menua (aging proses).
Sampai saat ini teori secara pasti penyebab terjadinya pembesaran kelenjar
prostat belum diketahui secara pasti. Namun demikian, terdapat beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar Dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Prostat dibentuk dari
testosterone di dalam sel prostat yang oleh enzim 5 alfa reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan

21
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan prostat secara berlebihan.
b. Ketidakseimbangan antara Estrogen-Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat.
c. Interaksi Stroma-Epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui
suatu mediator tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dan
DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
d. Teori Stem Sel
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel
yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan
sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada
BPH dipostulasikan sebagai tidak tepatnya aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel.
e. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologis untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
tersebut mengalami apoptosis dan akan difagositosis oleh sel-sel

22
disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Jika proses
apoptosis menurun maka sel prostat cenderung akan lebih besar.
5. Klasifikasi
Menurut (Sjamsuhidajat & Jong, 2017), BPH terbagi dalam 4 derajat
sesuai dengan gangguan klinisnya, yaitu :
a. Derajat I, ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa urin kurang dari 50
cc, pancaran lemah, nokturia, berat ± 20 gram.
b. Derajat II, keluhan miksi terasa panas, disuria, nokturia bertambah berat,
suhu badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba, sisa urin 50-100 cc dan beratnya ± 20-
40 gram.
c. Derajat III, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tidak
teraba, sisa urin lebih 100 cc, penonjolan prostat 3-4 cm dan beratnya 40
gram.
d. Derajat IV, inkontinensia, prostat lebih dari 4 cm, beberapa penyulit ke
ginjal seperti gagal ginjal, hidronefrosis.
6. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya
usia, dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, estrogen, karena
produksi testosterone menurun, produksi estrogen meningkat dan terjadi
konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Keadaan ini tergantung pada hormon testosterone yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormone ini akan diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hiperplasia yang
akan meluas menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra
prostatika dan penyumbatan aliran urine (Aulia, 2021).
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna

23
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot
detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli
dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau
lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatismus (Azizah, 2018).
Semakin meningkatnya resistensi uretra otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Retensi urin ini diberikan obat-obatan non
invasif tetapi obat-obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka
penanganan yang paling tepat adalah tindakan pembedahan salah satunya
adalah TURP. TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat
lewat menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskopi
dengan tabung 10-3-f untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik (Aulia,
2021).

24
Perubahan usia (usia
lanjut)

Kadar testosteron menurun


Ketidakseimbangan produksi
Kadar estrogen meningkat
hormon estrogen dan testosteron
Mempengaruhi RNA dalam inti
Hiperplasia sel stroma pada jaringan
BPH
Poliferasi sel prostat

Pre operasi Pasien kurang informasi kesehatan Intra operasi Post operasi

Obstruksi saluran kemih yang Krisis situasional Paparan lingkungan


Kerusakan
bermuara ke vesika urinaria dingin
jar.periutereal
Kurang pengetahuan
Penebalan otot detrusor
Risiko Hipotermia Pemasangan kateter
periuretral Ansietas
threeway

Dekompensasi otot detrusor


Bekuan darah
Tindakan TURP
Kerusakan spasme urin
Sukar berkemih, berkemih
Nyeri Akut Risiko
Akumulasi urin di vesika tidak lancar
Perdarahan
Peregangan vesika urinaria
Retensi Urine
melebihi kapasitas

Nyeri Akut

25
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Analisis urin dan mikroskopik urin untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Jika terdapat hematuria harus batu,
infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolic.
b. Prostat spesifik antigen (PSA) bersifat spesifik tetapi tidak spesifik
kanker. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai bagaimana perjalanan
penyakit BPH selanjutnya. Nilai PSA >4 ng/ml merupakan indikasi
tindakan biopsi prostat. Rentang normal nilai PSA sebagai berikut :
1) 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml
2) 50-69 tahun : 0-3,5 ng/ml
3) 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
4) 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml
c. Pemeriksaan darah lengkap mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum
(Sjamsuhidajat, 2016).
d. Pemeriksaan radiologis antara lain : foto polos abdomen dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli, dapat
juga dilihat lesi osteoblastic sebagai tanda metastase dari keganasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria dan residu
urin.
e. Ultrasonografi dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa
ginjal, mendeteksi residu ginjal dan batu ginjal. BNO/IVP untuk menilai
apakah ada pembesaran dari ginjal, apakah terlihat bayangan radioopak
daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat atau mengetahui fungsi ginjal,
apakah ada hidronefrosis, dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah

26
untuk melihat adanya tumor dan divertikel. Saat kencing (viding
cystografi) untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing untuk
menilai residu urin (Sjamsuhidajat, 2016).
8. Penatalaksanaan
a. Observasi (Watchful Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam yang diberikan
adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obat-obatan dekongestan (parasimpatolitik),
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minuman alkohol agar
tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan control keluhan (sistem skor),
sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.
b. Medikamentosa
5) Obat penghambta adrenergic alpha
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di
dalam prostat dan leher vesical berkurang dengan menghambat
rangsangan alpha adrenergic.
6) Obat penghambat enzim 5 alpha reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proskar) dengan dosis 1x5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan
dihidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat mengecil.
7) Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi
yang digunakan untuk pengobatan BPH yaitu Serenoa Respons atau
Saw Palmetto dan Pumpkin Seeds. Saw Palmetto menunjukan
perbaikan klinis dalam hal :
a) Frekuensi nokturia berkurang
b) Aliran kencing bertambah lancar
c) Volume residu di kandung kemih berkurang
d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang

27
e) Mekanisme kerja obat diduga kuat
f) Menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir
reseptor androgen
g) Bersifat anti inflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat
aktivitas enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase
c. Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasia prostat yang sudah
menimbulkan penyulit tertentu, antara lain : retensi urin, batu saluran
kemih, hematuria, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih
bagian atas atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan
adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra.
1) Retropubic Infravesika (Terence Millin)
2) Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
3) Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
4) Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP)
5) Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser Prostatectomy)
d. Invasif Minimal
1) Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
2) Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
3) Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
4) Stent Urethra
9. Konsep Tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
a. Definisi Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Menurut Farisa (2017) Transurethral Resection of The Prostate
(TURP) adalah prosedur pembedahan yang paling umum dilakukan pada
pasien pria berumur diatas 60 pasien. Prosedur TURP merupakan 90%
dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. Tindakan
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah
terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara

28
umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan laju pancaran urin hingga 100%.
Transurethral Resection of the Prostate (TURP) merupakan tindakan
pembedahan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) untuk
menyingkirkan jaringan prostat penyebab obstruksi saluran kemih. TURP
merupakan standar baku emas untuk tata laksana pasien BPH dengan
volume prostat 30-60 mL (Novelty et al., 2019).
Menurut Gleneagles Singapore, TURP adalah prosedur pembedahan
yang digunakan untuk merawat gejala Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
yang sedang hingga parah, juga dikenal sebagai pembesaran prostat.
Selama TURP dokter bedah memasukkan resectoscope (alat visual dan
bedah) ke dalam uretra untuk mengikis kelebihan jaringan prostat, sedikit
demi sedikit setiap kali. Pengangkatan jaringan prostatic yang
mengganggu dengan menggunakan TURP memungkinkan aliran air
kemih dari kandung kemih dipulihkan. Transurethral Resection of the
Prostate biasanya dilakukan di bawah pembiusan umum atau tulang
belakang (Izza et al., 2021)
b. Indikasi TURP
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan
gejala sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat atau
tidak dapat diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi TURP adalah gejala-
gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi (Aulia, 2021).
Berdasarkan Agency for Health Care Policy and Research untuk
diagnosa dan penanganan pembesaran prostat dan rekomendasi dari
Second International Consultation on Benign Prostatic Hypertrophy.
Indikasi absolut untuk pembedahan primer dalam penanganan pembesaran
prostat sebagai berikut: (Farisa, 2017)
1) Refrakter retensi urin

29
2) Infeksi saluran kemih rekuren karena pembesaran prostatic „gross
hematuria rekuren
3) Insufisiensi renal akibat obstruksi kandung kemih
4) Batu pada kandung kemih
5) Kerusakan permanen atau kelemahan pada kandung kemih
6) Diverticulum kandung kemih yang besar menyebabkan pengosongan
kandung kemih tidak sempurna akibat pembesaran prostat.
c. Komplikasi TURP
1) Kesulitan berkemih yang temporer, efek anestesi dapat mengurangi
sensasi ingin berkemih setelah operasi. Hal ini dapat menyebabkan
pasien secara temporer kesulitan dalam berkemih.
2) Infeksi saluran kemih bawah, luka insisi akibat TURP menyebabkan
jaringan sekitar terpapar langsung dengan urine atau kateter dan dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih bagian bawah.
3) Rendahnya natrium dalam darah merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, namun dapat menjadi berbahaya, sering juga disebut dengan
syndrome TUR (Transurethral Resection). Hal ini terjadi ketika tubuh
mengabsorbsi natrium yang digunakan untuk membilas luka reseksi
TURP.
4) Perdarahan yang berlebihan pada urine (hematuria), aliran urine,
mengejan, jaringan reseksi yang masuk ke dalam kandung kemih
dapat menyebabkan tercampurnya darah dengan urine.
5) Kesulitan menahan untuk berkemih, sfingter urin internus akan hilang
setelah TURP, pasien hanya mengandalkan sfingter urin eksterna.
6) Disfungsi seksual, belum diketahui jelas penyebabnya, namun diderita
kurang lebih 70% pasien pasca TURP. Hali ini dapat dikaitkan dengan
fungsi prostat itu sendiri untuk mengeluarkan cairan yang dikeluarkan
bersama dengan air mani saat ejakulasi.

30
d. Persiapan TURP
1) Bila seseorang perokok maka harus berhenti merokok beberapa
minggu sebelum operasi, untuk menghindari gangguan proses
penyembuhan.
2) Bila pasien menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka
harus berhenti paling tidak 2 minggu sebelum operasi. Hal ini
berhubungan dengan bahwa obat tersebut mempengaruhi pembekuan
darah.
3) Beritahu tentang anastesi lumbal dan posisi saat berlangsung
4) Riwayat penyakit harus kembali diinformasikan kepada bedah urologi
seperti hipertensi, diabetes, anemia dan pernah mengalami operasi apa
sebelumnya.
5) Informasikan kepada bedah urologi tentang obat dan suplemen yang
dikonsumsi, baik yang ada resepnya dari dokter atau non-resep.
6) Pemeriksaan diagnostic (CBC, coagulation profile, urinalis, X-ray dan
CT abdomen).
7) Puasa paling tidak 8 jam sebelum operasi.
e. Mekanisme TURP
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop
dengan suatu lengkung diafthermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis
demi selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan
dirawat dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30
sampai 120 menit tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai
irigasi aquades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur ini dilakukan
dengan anestesi regional. Setelah itu dipasang kateter nomor Ch 24 untuk
beberapa hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran
untuk spoel yang mencegah terjadinya pemantulan oleh pembekuan darah.
Balon dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau akuade
sebanyak 30-50 ml yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat
dengan cara traksi selama 6-24 jam. Traksi dapat dikerjakan dengan

31
merekatkan ke paha pasien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada
kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena
dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga
mengakibatkan stenosis buli-buli karena iskemia. Setelah traksi
dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal atau 24-48
jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas.
Kateter biasanya dilepas saat 3-5 hari kemudian. Untuk pelepasan kateter,
berikan antibiotik 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya
pasien boleh pulang setelah miksi baik, satu atau dua hari setelah kateter
dilepas.

D. Jurnal Terkait
1. Penelitian yang dilakukan oleh (Novianty & Nurdini, 2020) yang berjudul
Studi Kasus Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Transurethral Resection
of the Prostate (TURP) dengan Masalah Risiko perdarahan di RSUD dr.
Chasbullah Abdulmadjid kota Bekasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien post TURP dengan masalah risiko perdarahan. Penelitian
deskriptif ini menggunakan desain studi kasus dengan pendekatan asuhan
keperawatan. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
metode wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dokumentasi dan angket.
Didapatkan bahwa diagnosa keperawatan utama adalah risiko perdarahan.
Intervensi yang dilakukan pada pasien sesuai dengan kebutuhan pasien dan
evaluasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kedua pasien tidak terjadi
risiko perdarahan yang menyebabkan anemia, syok bahkan kematian.
2. Penelitian dilakukan oleh (Riniasih & Natassia, 2016) yang berjudul
Efektivitas Tehnik Relaksasi Napas Dalam dan Dzikir terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan pada Pasien Pre Operasi BPH di RSUD dr. Raden
Soedjati Soemodiardjo Purwodadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk

32
mengetahui efektvitas tehnik relaksasi napas dalam dan dzikir terhadap
penurunan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi BPH. Metode penelitian
yang digunakan pre eksperimen dengan rancangan pretest-posttest with
control group. Sampel penelitian didapatkan 36 orang dan alat instrument
yang digunakan yaitu HRS-A (Hamilion Rating Scale for Anxiety). Hasil dari
penelitian ini didapatkan p value 0,000 dimana hal ini menunjukkan bahwa
relaksasi napas dalam dan dzikir terbukti efektif dalam menurunkan tingkat
kecemasan pada pasien pre operasi BPH.
3. Penelitian dilakukan oleh (Sueb & Triwibowo, 2016) yang berjudul Relaksasi
Benson Dapat Menurunkan Nyeri Paska Transurethral Resection of The
Prostate (TURP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek
relaksasi benson terhadap intensitas nyeri pada pasien dengan TURP. Metode
penelitian yang digunakan eksperimen dengan rancangan Randomized
Pretest-Posttest With Control Group Design. Sampel penelitian didapatkan 14
orang. Hasil dari penelitian ini didapatkan p value 0,017 dimana hal ini
menunjukkan bahwa terapi kombinasi relaksasi benson dan pemberian
analgesik dapat mengurangi intensitas nyeri pada pasien paska tindakan
TURP.
4. Penelitian yang dilakukan oleh (Widiyono et al., 2020) yang berjudul
Hubungan antara Usia dan Lama Operasi dengan Hipotermi pada Pasien
Paska Anestesi Spinal di Instalasi Bedah Sentral. Tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui hubungan antara usia dan lama operasi dengan hipotermi
paska anestesi spinal di instalasi bedah sentral. Dengan metode penelitian
yang digunakan adalah deskripsi analitik dengan rancangan cross sectional
kepada 53 pasien. Hasil dari penelitian ini didapatkan p value 0,0028 dan
0,005 dimana hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara usia dan
lama operasi dengan hipotermi pada pasien paska anestesi spinal.
5. Penelitian yang dilakukan oleh (Cholifah & Purwanti, 2019) yang berjudul
Hubungan Pemberian Informasi Persiapan Operasi oleh Perawat dengan
Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruang Bougenville RSUD RAA

33
Soewondo Kabupaten Pati. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
hubungan pemberian informasi persiapan operasi oleh perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pre operasi. Dengan metode penelitian korelasional dengan
pendekatan cross sectional dengan sampe 80 responden. Hasil dari penelitian
ini didapatkan analisis rank spearman nilai rho sebesar 0,788 dan p value
0,000 dimana hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan
positif dalam pemberian informasi persiapan oleh perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pre operasi di Ruang Bougenville RSUD RAA Soewondo
Pati.

34

Anda mungkin juga menyukai