Anda di halaman 1dari 23

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN LAPORAN KASUS

INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI MEI 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI TURP

DISUSUN OLEH:
Karina Dinda Lestari
YC065212017
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Rajab
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Masriani Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN


INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Karina Dinda Lestari

NIM : YC065212017

Judul Laporan Kasus : Manajemen Anestesi pada Operasi TURP

Adalah benar telah menyelesaikan tugas laporan kasus yang berjudul “Manajemen
Anestesi Pada Operasi TURP” dan telah disetujui serta telah dibacakan di hadapan
supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan
Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Mei 2023


Mengetahui,

Residen Pembimbing Supervisor

dr. Rajab dr.Masriani Sp.An


BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 31/12/1946 (76 tahun)
No. RM : 103685
Agama : Islam
Ruangan : Bangsal RSWS Lontara 4

2. Anamnesis

Keluhan utama : Tidak bisa buang air kecil

Anamnesis terpimpin :

Pasien masuk dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak 2 hari yang lalu,
keluhan disertai dengan nyeri perut bagian bawah, pasien ada kejang dua kali hari
ini, kejang seluruh badan dan mata mendelik ke atas, setelah kejang pasien
cenderung mengantuk, durasi kejang lebih dari 5 menit, setelah kejang pasien
tidak sadar dan sesak nafas. Demam tidak ada, batuk berdarah ada sejak 2 bulan
yang lalu.

Riwayat penyakit sebelumnya :

Riwayat psikososial :

3. Pemeriksaan Fisis

a. Status Generalis

Keadaan umum : Sakit berat

Kesadaran : E4M6Vx
Status gizi : BB = 50 kg, TB = 165 cm

b. Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 77 kali/menit

Pernapasan : 20 kali per menit

Suhu : 36

SpO2 : 99%

c. Head to Toe
Examination Kepala dan
Leher
Kepala : Normocephal

Konjungtiva : Anemis tidak ada

Sklera : Ikterik tidak ada

Pembesaran Kelenjar : Tidak ada

Thoraks

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, terpasang


WSD
Palpasi : Vocal fremitus dalam batas normal, nyeri tekan
(-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Bunyi napas vesikular,


Bunyi tambahan : Ronkhi dan wheezing tidak ada.

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba ICS 5 sinistra

Perkusi : Batas jantung

Kanan atas : ICS 3 linea parasternal dextra


Kiri atas : ICS 2 linea parasternal sinistra
Kanan bawah : ICS 6 linea parasternal dextra
Kiri bawah : ICS 5 linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : S1/S2 Murni regular

Bunyi tambahan : Murmur dan Gallop tidak ada

Abdomen

Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas (+) Darm contour


(+) Darm Steifung (+), Tidak tampak massa.

Palpasi : Nyeri tekan (+), tidak teraba massa hepar dan


lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+), kesan meningkat

Extremitas

Akral hangat, CRT <3 detik dan Tidak ada edema

4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (29/1/2023)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 6500 4-10 x 103/uL
HGB 8.3 12-16 g/Dl
MCV 89 80-100 fL
MCH 28 26-33 pg
PLT 223000 150-400 x 103 /uL
Neutrofil 55 52-75%
Limfosit 23 20-40%
PT 10.3 10-14 detik
APTT 27.6 22 – 30 detik
INR 0.95 -
SGOT 33 6-30 u/L
SGPT 9 7-32 u/L
Albumin 2.1 3.5-5.0
GDS 98 140 mg/dL
Ureum 129 10-50
Kreatinin 9.75 <1.3
Natrium 128 136-145 mmol/L
Kalium 4.4 3.5-5.1 mmol/L
Klorida 105 97-111 mmol/L

Laboratorium (1/2/2023)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


WBC 5400 4-10 x 103/uL
HGB 9.8 12-16 g/Dl
MCV 91 80-100 fL
MCH 27 26-33 pg
PLT 218000 150-400 x 103 /uL
Neutrofil 57 52-75%
Limfosit 25 20-40%
PT 10.2 10-14 detik
APTT 29.3 22 – 30 detik
INR 0.94 -
SGOT 21 6-30 u/L
SGPT 3 7-32 u/L
Albumin 2.5 3.5-5.0
GDS - 140 mg/dL
Ureum 84 10-50
Kreatinin 5.95 <1.3
Natrium 129 136-145 mmol/L
Kalium 4.9 3.5-5.1 mmol/L
Klorida 105 97-111 mmol/L

Laboratorium (5/2/2023)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


WBC 5200 4-10 x 103/uL
HGB 8.5 12-16 g/Dl
MCV 89 80-100 fL
MCH 29 26-33 pg
PLT 131000 150-400 x 103 /uL
Neutrofil 67 52-75%
Limfosit 33 20-40%
PT 9.9 10-14 detik
APTT 29.3 22 – 30 detik
INR 0.92 -
SGOT 28 6-30 u/L
SGPT 14 7-32 u/L
Albumin 2.9 3.5-5.0
GDS - 140 mg/dL
Ureum 146 10-50
Kreatinin 9.41 <1.3
Natrium 132 136-145 mmol/L
Kalium 4.0 3.5-5.1 mmol/L
Klorida 104 97-111 mmol/L

Laboratorium (27/2/2023)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


WBC 10700 4-10 x 103/uL
HGB 5.5 12-16 g/Dl
MCV 81 80-100 fL
MCH 26 26-33 pg
PLT 124000 150-400 x 103 /uL
Neutrofil 55 52-75%
Limfosit 45 20-40%
PT 10.3 10-14 detik
APTT 29.6 22 – 30 detik
INR 0.95 -
SGOT 28 6-30 u/L
SGPT 12 7-32 u/L
Albumin 3.2 3.5-5.0
GDS 101 140 mg/dL
Ureum 58 10-50
Kreatinin 2.98 <1.3
Natrium 135 136-145 mmol/L
Kalium 3.7 3.5-5.1 mmol/L
Klorida 99 97-111 mmol/L
Foto Thorax (3/2/2023)

Kesan :

- Pneumonia dextra

- Edema pulmonum

- Efusi pleura bilateral

CT scan Abdomen (5/2/2023)

Kesan :

- Tidak tampak gambaran ileus

- Acites

5. Assesment

- Impending gagal napas

- Chronoc kidney disease G5D

- Efusi pleura dextra et causa infeksi dd malignancy post WSD

- Anemia normositik normokrom et causa anemia renal

- Hiponatremia (128-129-132-135 mmol/L)

- Hipoalbuminemia

6. Penatalaksanaan

- Monitoring hemodinamik

- Nefrosteril 250 ml/24 jam/IV


- Hemodialisa regular

- Meropenem 500 mg/12 jam/IV

- Furosemide 20 mg/12 jam/IV

- Transfusi PRC

- Vip albumin 2 caps/8 jam/NGT

- Kontrol darah rutin


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan kelenjar prostat yang


mengalami pembesaran yang dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Benigna Prostat
Hiperplasia didefinisikan sebagai proliferasi dari sel stroma pada organ prostat
yang dapat menyebabkan pembesaran pada kelenjar prostat. Insiden Benigna
Prostat Hiperplasia hanya terjadi pada laki-laki (berdasarkan struktur anatomi)
dan mempunyai kaitan erat dengan penuaan yang ditandai dengan timbulnya
gejala pertama kali pada usia lebih dari 40 tahun.1

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018


memperkirakan sekitar 59 pria dari 100.000 penduduk menderita Benigna Prostat
Hiperplasia atau sekitar 70 juta di seluruh dunia. Disability Adjusted Life Years
(DALY) (2015) lebih dari 3 juta populasi dunia menderita BPH dan sekitar 1,4
juta dari pasien BPH berusia 70 tahun keatas. Di Asia Tenggara merupakan
kawasan ketiga terbanyak di dunia yang memiliki penderita BPH hal ini
dibuktikan pada tahun 2015 tercatat sekitar 594.000 pasien.2

Dampak yang paling umum pada pasien BPH yaitu mengalami retensi urine
yang disebabkan karena terjadi penyumbatan pada saluran urin dan salah satu
penatalaksanaan selanjutnya yaitu tindakan pembedahan (Riana, 2021). Tindakan
yang paling banyak dilakukan pada pasien BPH adalah tindakan pembedahan
Transurethral Resection Of The Prostate (TURP) (Wayan Sumberjaya & Mertha,
2020). Pembedahan TURP dilakukan dengan bantuan alat yang disebut
resektoskopi bertujuan untuk menurunkan tekanan pada kandung kemih dengan
cara menghilangkan kelebihan jaringan prostat (Kocjancic & Iacovelli, 2018).
TURP merupakan prosedur baku untuk terapi bedah BPH. TURP memiliki
kelebihan kejadian trauma yang lebih sedikit dan masa pemulihan yang lebih
cepat.3

B. Etiologi
C. Anestesia

Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang dikuti oleh hilangnya
rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. American Society of
Anesthesiologists (ASA) menjelaskan anestesi umum sebagai "kehilangan
kesadaran yang disebabkan oleh obat, meskipun pasien menerima rangsangan,
bahkan dengan rangsangan yang menyakitkan". Anestesi umum modern
melibatkan pemberian kombinasi obat-obatan, seperti obat-obatan hipnotik, obat
penghambat neuromuskular, dan obat analgesik.5

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut. Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok
perifer. Spinal & perifer. Spinal & anestesi epidural anestesi epidural ini telah ini
telah secara luas secara luas digunakan di ortopedi, obstetri digunakan di ortopedi,
obstetri dan anggota tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal
anestesi, diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898, adalah teknik regional pertama
utama dalam  praktek klinis.

D. Patofisiologi

Kejadian hiponatremia dapat dikategorikan dalam tiga cara patofisiologi


utama berdasarkan osmolalitas plasma.4,8,9
1. Hipertonik hiponatremia, disebabkan oleh penyerapan air yang
ditarik osmol seperti glukosa ( hiperglikemia atau diabetes ) atau
manitol ( infus oleh hipertonik ).
2. Hiponatremia isotonik, lebih sering disebut pseudohiponatremia
disebabkan oleh kesalahan laboraturium karena hipertrigliseridemia
atau hiperparaproteinemia.
3. Hiponatremia hipotonik sejauh ini merupakan jenis yang paling umum.
Hiponatremia hipotonik dikategorikan dalam 3 cara berdasarkan
status volume pasien darah.
4. Hipervolemik hiponatremia dimana ada penurunan volume
sirkulasi efektif walaupun volume total tubuh meningkat. Volume
menurun beredar efektif menstimulasi pelepasan ADH yang
menyebabkan retensi air. Hipervolemik hiponatremia yang paling
umum akibat dari gagal jantung kongensif, gagal hati atau penyakit
ginjal.
5. Euvolemik hiponatremia dimana peningkatan ADH sekunder baik
fisiolagis namun rilis ADH yang berlebihan (eperti mual atau sakit
parah ) atau disebabkan oleh sekresi yang tidak pantas dan non-
fisiologis ADH, yaitu sindrom hipersekresi hormon antidiuretik tidak
pantas ( SIADH ).
6. Hipernatremia hipovolemik dimana sekresi ADH dirangsang
oleh deplesi volume. Klasifikasi volemik gagal memasukkan
hiponatremia palsu dan artifikulasi yang dibahas dalam klasifikasi
osmolar.
E. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non


spesifik. Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini akut
(memburuk dalam ≤ 48 jam) atau kronis (memburuk dalam ≥ 48 jam).
Tingkat toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang
menjadi kronis.10
Tujuan menggunakan ambang 48 jam untuk membedakan
hiponatremia ―akut‖ dan ―kronik‖, adalah dimana edema otak
tampaknya lebih sering terjadi dalam waktu kurang dari 48 jam. Penelitian
eksperimental juga menunjukkan bahwa otak memerlukan waktu sekitar
48 jam untuk beradaptasi dengan lingkungan yang hipotonik. Sebelum
adaptasi terjadi, terdapat risiko edema otak, akibat osmolalitas cairan
ekstraselular yang lebih rendah yang memicu terjadinya perpindahan air
kedalam sel. Tetapi, setelah adaptasi selesai, sel-sel otak dapat kembali
mengalami kerusakan jika kadar natrium plasma meningkat terlalu
cepat11,12.
Kerusakan pada selaput mielin yang menyelimuti neuron dapat
menimbulkan kondisi yang disebut sebagai sindrom demielinisasi osmotik.
Dengan demikian penting untuk membedakan antara hiponatremia akut
dan kronik untuk dapat menilai apakah seseorang memiliki risiko edema
otak yang lebih tinggi dibandingkan demielinisasi osmotik. Dalam praktik
klinis, perbedaan antara hiponatremia akut dan kronik sering tidak jelas,
terutama pada pasien yang datang ke unit gawat darurat.
Jikapenggolongan akut ataupun kronik sulit dilakukan atau jika ada
keraguan, sebaiknya dianggap kronik, kecuali ada alasan untuk
menganggapnya sebagai kondisi akut.2,11,12
Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan
anamnesa dan melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala,
bedah saraf, abdominal symptoms and signs, pigmentasi kulit (terkait
dengan penyakit Addison), riwayat obat, dan lainnya. Status cairan pasien
sangat penting untuk diagnosis dan pengelolaan selanjutnya.12,14

F. Diagnosis

Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema otak,


yang menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik
(CHF, Sirosis), hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel
dengan mempertahankan gradien osmolar dan melindungi dari terjadinya
edema serebri. Pada hiponatremia akut (postoperatif, drug-induced) , gejala
tidak spesifik dan sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia,
kesemutan, mual, muntah, sakit kepala, iritabilitas, disorietasi,
kebingungan, fatigue, dan letargi, dimana gejala lanjut yang dapat
ditemukan adalah adanya gangguan status mental, kejang, koma, dan
gagal napas, dan dapat menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari
hiponatremia muncul, disebut sebagai ensefalopati hiponatremia1,2.
Hiponatremia terkalsifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang
ditentukan melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan status
volume yang ditentukan melalui pemeriksaan fisik. Penentuan
hiponatremia secara sistematik diperlukan untuk menentukan penyebab
dan terapi yang akan diberikan. Dapat dilakukan pengukuran
osmolalitas plasma, status volume, konsentrasi natrium urin dan
osmolalitas . Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan
hiponatremia hipertonik >295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia,
hiponatremia isotonik, 280 – 295 mOsm/kg. Sedangkan pada penurunan
osmolalitas plasma, hiponatremia hipotonik < 280 mOsm/kg diperlukan
penentuan volume status yang akurat. Meskipun begitu, pengukuran
osmolalitas plasma seringkali kurang akurat dan tidak dapat digunakan
sebagai penentuan terapi15.
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dan paling dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis banding. Status volume diklasifikasikansecara klinis
sebagai hipervolemik, euvolemik, atau hipovolemik, dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang baik dilakukan untuk diagnosis akurat dan
terapi yang adekuat. Manifestasi klinis pada kondisi hipervolemik seperti
edema, crackles pada paru, tekanan vena jugular leher terdistensi, dan
terdapat S3 pada auskultasi jantung. Manifestasi klinis pada kondisi
hipovolemik yaitu adanya hipotensi orthostatik, takikardia, dan
oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan tanda- tanda diatas, status volume
dikategorikan sebagai keadaan euvolemik. Monitor ketat dan evaluasi serial
diperlukan pada hiponatremia15.
G. Penatalaksanaan

Penentuan osmolaritas plasma memberikan dasar terapi inisial


hiponatremia. Pada hiponatremia hipertonik, tata laksana diberikan
langsung pada penyebabnya. Tidak ada terapi spesifik pada hiponatremia
isotonik selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme lipid dan
protein yang mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara
simptomatis,dan berdasarkan status volume. Pada hiponatremia hipotonik,
gejala biasanya semakin terlihat saat konsentrasi plasma natrium <120
mEq/L. Tergantung pada status volume, terapi hiponatremia hipotonik
diberikan bertahap, dari pemberian salin hipertonik pada kasus berat
sampai pemberian salin isotonik pada kasus ringan dan sedang, dan
restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik1,2.
Pada kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus
diberikan secara agresif untuk pencegahan komplikasi neurologis yang
mengancam nyawa. Salin hipertonik hanya diberikan pada kasus berat
dengan konsultasi ahli dan hanya dalam waktu singkat. Diuretik dapat
diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya potensial volume
overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus dikurangi dan terfokus
pada koreksi penyebab dari ketidakseimbangan air dan natrium.
Reevaluasi serial dan tappering down harus dilakukan secara hati-hati
sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik.12,16
Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat
terkoreksi secara cepat. Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia
kronik asimptomatik terkadang tidak diberikan, seperti pada pasien
sirosis atau reset osmostat syndrome. Terlebih lagi, tata laksana
yang berlebihan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas.
Kerusakan batang otak yang permanen dapat muncul akibat osmotic
myelinolysis syndrome, yang terlihat dari adanya central pontine
myelinolysis akibat osmotically-induced demyelination. Secara umum,
pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan dalam 12 jam
pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus dibawah dapat
digunakan dalam mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam
konsentrasi plasma natrium3.

Total body water dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg)


dengan 0.5 pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita,
dan 0,5 pada lansia pria.
1. Tatalaksana Hiponatremia Hipervolemik Hipotonik

Tujuan tatalaksana pasien hiponatremia hipervolemik hipotonik adalah


untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2
mEq / L / jam baik dengan salin hipertonik atau salin isotonik, kadang-
kadang dalam kombinasi dengan diuretik, sampai gejala mayor
(misalnya, perubahan status mental yang berat, kejang) mereda.
Yang penting untuk diperhatikan adalah salin hipertonik merupakan
kontraindikasi relatif pada hipervolemia, sehingga penggunaan salin
isotonik lebih direkomendasikan pada pasien sebagai terapi inisial.
Sekali gejala mayor membaik, pengobatan harus menjadi kurang
agresif dan diarahkan pada memperbaiki penyebab dasar hiponatremia.
Akhirnya, restriksi cairan adalah pengobatan pilihan, dengan batas 0,5
sampai 1 L / hari, dengan atau tanpa diuretik, mengoreksi tidak lebih
dari 0,5 mEq/ L/jam. AVP- R antagonis dapat diperlukan pada pasien
simptomatik dengan CHF. Perawatan awal pasien asimtomatik adalah
restriksi air bebas dengan atau tanpa diuretik untuk memperbaiki
hiponatremia dan meningkatkan status volume14.
2. Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolumik

Tatalaksana pada pasien dengan gejala hiponatremia hipotonik


euvolemik adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma
dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam menggunakan salin hipertonik sampai
gejala mayor mereda, kemudian beralih ke salin isotonik 0,5-1 mEq/ L/
jam setelahnya. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi kelebihan
cairan selama pengobatan, tetapi penggunaannya harus diminimalkan.
Setelah kondisi telah asimtomatik, tatalaksana dapat diganti menjadi
restriksi air bebas. Tatalaksana inisial pada pasien asimptomatik adalah
restriksi cairan 0,5-1 L / hari, dengan koreksi tidak lebih dari 0,5
mEq / L / jam selama jangka waktu beberapa hari13,17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Larutan elektrolit sangat penting untuk proses kehidupan dalam tubuh


manusia. Gangguan sistem elektrolit dapat menyebabkan tidak
berfungsinya sistem metabolisme termasuk gangguan sistem enzim dan
gangguan potensial listrik dalam tubuh. Ion Na merupakan ion yang utama
di luar sel. Kadar ion Na di luar sel adalah 145 meq/L dan di dalam sel
adalah 10meq/L.
Keadaan keseimbangan elektrolit Na dipertahankan oleh sistem pompa
Na-K-ATPase. Karena merupakan partikel dengan jumlah yang terbesar
maka kadar ion Na sangat menentukan pengaruhnya dalam hal osmolitas
cairan ekstra sel. Hiponatremia adalah sebuah gangguan elektrolit
gangguan pada garam dalam darah, dimana konsentrasi natrium
dalam plasma lebih rendah dari normal, khususnya di bawah 135 meq/L.
Hiponatremia umumnya terjadi pada dewasa dan dapat mengakibatkan
gangguan hormonal. Walaupun tidak memiliki efek secara langsung,
hiponatremia dapat menyebabkan pembengkakan otak dan kematian
DAFTAR PUSTAKA
1. Muwafiq, Y. N., Budiman, & Tomy Muhamad Seno Utomo. (2022). Hubungan Gaya
Hidup dengan Benign Prostatic Hyperplasia. Bandung Conference Series: Medical Science,
2(1). https://doi.org/10.29313/bcsms.v2i1.562.
2. Yasifa, F. G., & Sugiharto, S. (2019). Gambaran Histopatologi Hasil Transurethral
Resection of Prostate ( TURP ) pada pasien Pembesaran Prostat di RS Sumber
Waras periode Tahun 2014 – 2016. Tarumanagara Medical Jurnal, 2(1), 43–47.
http://journal.untar.ac.id/index.php/tmj/article/view/5849.
3. Novelty, R., Rofinda, Z. D., & Myh, E. (2019). Korelasi Lama Operasi Dengan
Perubahan Kadar Natrium Pasca Operasi Transurethral Resection of the Prostate Di
Rsup Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(1), 37.
https://doi.org/10.25077/jka.v8.i1.p37-42.2019.
4.
5. Rehatta Margarita, H. E. A. (2019). Anestesiologi Dan Terapi Intensif: Buku Teks
Kati Perdatin. Diambil dari https://repository.unimus.ac.id
https://books.google.co.id/books?
id=d7q0DwAAQBAJ&dq=penyebab+PPOK&hl=i d&source=gbs_navlinks_s

Anda mungkin juga menyukai