Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH : TEKNOLOGI FARMASI DAN


RANCANGAN FORMULA

Pengampu : apt. Erindyah, M.Si., PhD.

Dibuat oleh :

Ratih Guswinda Lestari (V100210016)

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telmisartan (TMS) memiliki nama kimia (2-(4-{[4-metil-6-(1-metil-1H-1,3-
benzodiazol-2-il)-2-propil-1H-1,3-benzo diazol-1-il ]metil}fenil) asam benzoat). TMS
memiliki mekanisme penghambat reseptor angiotensin II, telah banyak digunakan untuk
pengobatan hipertensi dan pencegahan stroke selama beberapa dekade terakhir. TMS
memiliki nilai pKa 4,45 dan dikategorikan sebagai obat sistem klasifikasi biofarmasi
(BCS) kelas II, menunjukkan bahwa itu sangat permeabel dan praktis tidak larut dalam
air. Penyerapan TMS dari saluran gastrointestinal (GI) berlangsung cepat (Tmax = 0,5–1
jam); namun, bioavailabilitas absolutnya (BA) relatif rendah (sekitar 43%) karena
kelarutannya yang terbatas dan bergantung pada pH. Praktis tidak larut dalam kisaran pH
3-9, sedangkan kelarutannya meningkat di bawah kondisi asam atau basa kuat (Son, et
al., 2018).
Terdapat beberapa strategi formulasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kelarutan seperti penyesuaian pH, pembentukan garam, penambahan kosolvent dan
surfatan, penambahan agen pengompleks, penggunaan vehicle yang tidak larut air,
liposom, dan pengecilan ukuran partikel (nanopartikel) (Amarantha et al., 2019). Di
antara teknik tersebut, penggabungan agen alkalinisasi (penyesuaian pH) merupakan
salah satu pendekatan yang paling efisien untuk melarutkan TMS. Dispersi padat yang
terdiri dari polivinilpirolidon K30 dan natrium karbonat meningkatkan kelarutan air dan
laju disolusi TMS masing-masing sekitar 40.000 dan 3 kali lipat. Namun, modulasi pH
menggunakan alkalinizer memiliki kekurangan yaitu stabilitasnya rendah dan terjadi
penurunan disolusi yang diakibatkan karena pengubahan pH tersebut membuat sediaan
lebih mudah mengalami rekristalisasi dan relatif toksik (Son et al., 2018).
Self-microemulsifying drug delivery system (SMEDDS) telah dianggap sebagai
metode alternatif untuk meningkatkan kelarutan dan disolusi obat. SMEDDS merupakan
campuran isotropik antara fase minya, surfaktan dan kosurfaktan yang secara cepat
membentuk emulsi minyak dalam air (o/w) halus. Karena fase terdispersi kecil sehingga
dapat memperluas area antarmuka dan meningkatkan distribusi obat. Formulasi
SMEDDS Telmisartan terdiri dari gliseril monooleat, kaprilokaproil polioksil-8 gliserida,
dietilena glikol monoetil eter murni, dan trietanolamin. Pengembangan SMEDDS
Telmisartan dapat memberikan kelarutan dan disolusi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sediaan telmisartan biasa. Namun untuk membentuk formula SMEDDS yang
optimal dibutuhkan pemilihan komponen minyak, surfaktan dan kosurfaktan yang sesuai
dan jumlah yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan statistik untuk
memperkirakan efek dari faktor campuran dan interaksi antarmulti komponen variabel
bebas. Desain campuran D-optimal adalah salah satu metode yang paling populer yang
digunakan untuk mengoptimasi suatu formula SMEDDS, karena dapat meminimalkan
varian terkait evaluasi koefisien sehingga dapat menghasilkan formula terbaik. (Son., et
al, 2018).
Rancangan optimal merupakan bagian dari perancangan percobaan (design of
experiments) yang mengestimasi parameter tanpa bias dan dengan varian minimum
sehingga akan menghasilkan inferensi statistik yang akurat dan biaya minimum. Menurut
de Aguiar et al. (1995) tujuan utama rancangan optimal adalah mengusulkan sejumlah n
titik rancangan atau level yang dapat membantu kita untuk menjelaskan koefisien-
koefisien pada model dengan sangat baik. Rancangan yang optimal bergantung dari model
yang digunakan dan banyaknya pengamatan yang diinginkan dengan menaksirnya
menggunakan kriteria-kriteria optimal. Kriteria D-optimal bertujuan untuk mendapatkan
kualitas estimasi parameter modelnya yaitu mendapatkan Var yang minimum. Hal ini
dapat dicapai dengan memaksimalkan determinan matriks informasinya, yaitu atau
meminimalkan determinan matriks dispersinya, yaitu (de Aguiar et al. 1995). Jadi, kriteria
D-optimal dapat digunakan dengan syarat bahwa invers dari matriks infomasinya yaitu
ada (Safitri et al., 2012).
BAB II
ISI
A. Metode

A.1 Persiapan Kompleks Telmisartan- Fosfolipid (TPC)


Kompleks Telmisartan- Fosfolipid terbuat dari Telmisartan (TMS)
dan Soy phosphatidylcolline (SPC) dengan perbandingan tertentu. Jumlah
Telmisartan yaitu 150 mg dan Soy phosphatidylcolline masing-masing
formula dengan jumlah yang berbeda yaitu 150, 225, dan 300 mg dengan
perbandingan TMS:SPC 1,5:1, 1:1, dan 1:1,5 yang kemudian ditambahkan
diklorometana sebanyak 30 mL dalam labu alas bulat 100 mL. Campuran
diaduk menggunakan magnetic stirrer pada suhu 25˚C hingga diperoleh
larutan bening, kemudian pelarut diuapkan menggunakan vacuum rotary
evaporator. Residu putih yang tersisa dikumpulkan sebagai Kompleks
Telmisartan- Fosfolipid (TPC) dan disimpan dalam freezer pada suhu -
20˚C. Sampel digunakan untuk percobaan dalam waktu 4 minggu dan
tidak ada perubahan yang diamati sampai digunakan.

A.2 Karakterisasi Sifat Kompleks Telmisartan- Fosfolipid


(TPC)
Karakterisasi dilakukan pada TPC, TMS, SPC, dan campuran fisik
diuji dengan menggunakan DSC dan PXRD. Termogram DSC sampel
diperoleh dengan menggunakan DSC-Q20. Setiap sampel (3–5 mg)
ditempatkan dalam panci aluminium dan dipanaskan pada laju 5˚C/menit
untuk rentang suhu 0–300˚C di bawah aliran nitrogen (20 mL/menit). Pola
sampel PXRD diverifikasi menggunakan difraktometer sinar-X dengan
radiasi Cu Kα yang disaring Nikel. Difraktogram sinar-X dipindai pada 2θ
rentang 5–60˚ dengan kecepatan pemindaian 5˚/menit, dan sudut langkah
0,02˚.
A.3 Uji Kelarutan
Kelarutan Telmisartan dan Kompleks Telmisartan- Fosfolipid
dalam berbagai pembawa ditentukan dengan metode equilibrium dan
dinyatakan sebagai konsentrasi ekuivalen dari TMS terlarut. Secara
singkat, kelebihan jumlah Telmisartan atau Kompleks Telmisartan-
Fosfolipid ditambahkan ke 1 mL pembawa yang dipilih dari formulasi
SMEDDS atau komponennya. Tabung reaksi yang berisi campuran
ditutup rapat dan disimpan pada suhu 25˚C dengan pengocokan intermiten
selama 24 jam untuk mencapai kesetimbangan. Campuran kemudian
disentrifugasi selama 10 menit untuk menghilangkan TMS atau TPC yang
tidak larut. Supernatan disaring melalui filter membran polivinilidena
difluorida (PVDF) 0,45 μm, dan konsentrasi TMS dalam filtrat diukur
menggunakan HPLC setelah pengenceran yang sesuai dengan metanol.

A.4 Analisis Kadar Telmisartan dengan HPLC


Konsentrasi Telmisartan ditentukan menggunakan HPLC.
Pemisahan kromatografi dengan menggunakan instrumen HPLC
dilakukan menggunakan kolom pada panjang gelombang 298 nm dan laju
alir 1 mL/menit pada 25˚ C. Fase gerak isokratik terdiri dari metanol dan
buffer amonium dihidrogen fosfat (70:30, v/v), dan pH diatur dengan
menambahkan asam klorida 10%. Volume tertentu (20 μL) dari setiap
sampel disuntikkan, dan konsentrasi TMS dihitung dari kurva kalibrasi, di
mana linearitas regresi linier kuadrat terkecil ditetapkan dalam kisaran 1–
100 μg/mL dengan koefisien sebesar determinasi (r2) nilai > 0,99.

A.5 Formulasi SMEDDS


Daerah mikroemulsi ditentukan dengan menggunakan diagram
fase pseudoternary, terdiri dari minyak, surfaktan, dan kosurfaktan,
dimana masing-masing komponen ditunjukkan pada puncak segitiga.
Pembawa yang digunakan antara lain Capryol 90 dan Capmul MCM
sebagai fase minyak; Cremophor RH 140 dan tween 80 sebagai surfaktan;
tetragycol dan Transcutol P sebagai kosurfaktan. Mempertimbangkan
batas kelarutan dan mikroemulsi, Capryol 90, tween 80, dan tetraglikol
akhirnya dipilih, dan serangkaian formulasi SMEDDS kosong disiapkan
untuk masing-masing dari tiga komponen pada berbagai konsentrasi.
Untuk setiap campuran, jumlah konsentrasi ketiga komponen selalu 100%.
Sampel SMEDDS yang sudah disiapkan disimpan dalam kondisi sekitar
pada suhu 25˚C dan digunakan untuk percobaan dalam waktu 4 minggu.
Sampai digunakan, perubahan yang cukup berarti baik dalam penampilan
fisik maupun isi obat tidak diamati.

A.6 Penentuan Ukuran Droplet Mikroemulsi


Particle Size Analyzer (PSA) digunakan untuk mengukur ukuran
partikel tetesan emulsi. Aliquot (10 μL) dari setiap formulasi SMEDDS
bebas TPC diencerkan dengan 10 mL aquadest dan divortex untuk
mendapatkan dispersi yang homogen. Sampel dimasukkan ke dalam kuvet
yang ditempatkan di ruang termostatik pada suhu 25˚C, dan hamburan
cahaya dipantau menggunakan laser 50 mV pada sudut 90˚.

A.7 Rancangan Percobaan SMEDDS Telmisartan Optimal


Desain campuran D-optimal digunakan untuk mengoptimalkan
komposisi formulasi SMEDDS yang mengandung TPC menggunakan
perangkat lunak Minitab. Eksperimen dirancang menggunakan tiga
komponen sebagai variabel independen. Berdasarkan hasil diagram fase
pseudoternary, konsentrasi Capryol 90 (minyak; X1) berkisar 10–30% ,
tween 80 (surfaktan; X2) 30 –70%, dan tetraglikol (kosurfaktan; X3) 20–
60%, jumlah konsentrasi X1, X2, dan X3 adalah 100%. Ukuran droplet
(Y1; nm), solubilisasi TMS (Y2; mg/mL), dan persentase obat yang
dilepaskan dalam 15 menit (Y3; %) dievaluasi sebagai variabel respon
untuk menentukan formula yang optimal untuk formulasi SMEDDS yang
mengandung TPC. Rancangan terdiri dari 9 titik percobban yang
mengevaluasi pengaruh variabel bebas/ independen terhadap respon dan
memperkirakan kesalahan percobaan.

A.8 Uji Disolusi secara In Vitro


Uji disolusi dilakukan menurut metode USP apparatus II (dayung)
menggunakan Alat uji disolusi Vision Classic 6 dan pemanas Vision
(Hanson, Chatsworth, CA, USA) pada suhu 37 ± 0,5˚C. Kecepatan
putaran pengaduk dan volume media disolusi berturut-turut adalah 50 rpm
dan 900 mL. Air suling dan larutan pH 1,2 ; 4, dan 6,8 digunakan sebagai
media disolusi. Segera setelah dayung diputar, formula yang diuji setara
dengan 5 mg TMS dimasukkan ke dalam media disolusi. Sebanyak 5 mL
sampel diambil pada titik waktu yang telah ditentukan (5, 15, 30, 60, 90,
dan 120 menit) , kemudian disaring melalui filter membran PVDF 0,45
μm. Jumlah TMS terlarut dalam filtrat diukur menggunakan HPLC setelah
pengenceran yang sesuai dengan metanol.

B. Hasil dan Pembahasan

B.1 Kelarutan TMS dan TPC


Kelarutan obat dalam formulasi SMEDDS merupakan salah satu
faktor terpenting dalam pengembangan formulasi SMEDDS yang
mengandung obat. Dalam penyaringan awal komponen minyak seperti
Capryol 90 dan Capmul MCM dipilih karena kelarutan TMS yang relatif
lebih tinggi (8,7–9,7 μg/mL) dibandingkan dengan minyak lain yang diuji,
seperti minyak zaitun (0,06 μg/mL), jagung minyak (0,11 μg/ mL),
Laurogylcol 90 (3,87 μg/mL), dan Labrafil 1944 (2,41 μg/mL). Pada tabel
1 menyatakan kesetimbangan kelarutan TMS dan TPCs dalam pembawa
yang dipilih, yang telah digunakan sebagai komponen potensial formulasi
SMEDDS dalam penelitian sebelumnya. Secara keseluruhan, di sebagian
besar pembawa yang diuji, kelarutan TPC sekitar 100 kali lebih tinggi
daripada TMS ( kisaran kelarutan 1,3–6,1 mg/mL (TPC) dan 0,009–0,058
mg/mL (TMS)). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara TPC yang
disiapkan dengan rasio molar TMS:SPC yang berbeda. Namun, TPC rasio
molar 1:1 agak lebih unggul dari yang lain, kemudian dipilih sebagai TPC
yang representatif untuk studi lebih lanjut. Pembentukan kompleks
fosfolipid umumnya meningkatkan kelarutan obat. Maiti et al (2007)
menyatakan bahwa peningkatan kelarutan kompleks kurkumin-fosfolipid
dalam air dan n-oktanol (masing-masing meningkat 3,2 kali lipat dan 11,3
kali lipat), dibandingkan dengan kurkumin. Zhang dkk. menunjukkan
bahwa kelarutan kompleks morin-fosfolipid dalam berbagai minyak dan
aquadest secara signifikan lebih tinggi (masing-masing 3,9 hingga 6,5 kali
lipat dan 4 kali lipat) dibandingkan dengan molekul obat murni. Dalam
percobaan ini, kelarutan TPC meningkat secara signifikan dengan
menambahkan tween 80 sebagai surfaktan dan tetraglikol sebagai
kosurfaktan.

B.2 Karakterisasi TPC


Untuk mengevaluasi efek pembentukan kompleks pada struktur
kristal dari bahan aktif, yaitu sampel TMS, SPC, TPC, dan campuran fisik
TMS dan SPC dianalisis menggunakan DSC dan PXRD. Analisis termal
dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan titik leleh,
rekristalisasi, dekomposisi, dan perubahan kapasitas panas spesifik yang
menentukan sifat fisikokimia suatu senyawa. Kurva DSC untuk serbuk
TMS murni menunjukkan puncak endotermik yang tajam pada 269,1̊ C
yang sesuai dengan titik leleh intrinsiknya (261–263oC). Namun, tidak
terdapat puncak titik leleh TMS yang teridentifikasi pada TPC, hal
tersebut menunjukkan bahwa TMS memiliki bentuk non-kristal. SPC
menunjukkan dua puncak endotermik yang berbeda, yang konsisten
dengan penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa puncak endotermik
pertama pada 53,6˚C dapat dikaitkan dengan pergerakan panas pada
bagian kutub molekul fosfolipid, dan puncak endotermik kedua pada
228,3oC mungkin dihasilkan dari perubahan dari bentuk gel ke bentuk
kristal cair dan peristiwa melelehnya rantai karbon-hidrogen dalam
fosfolipid.

Campuran TMS dan SPC menunjukkan pola puncak endotermik


yang berbeda; terdapat pergeseran yang lemah pada baseline sekitar 60–80̊
C, yang mendekati puncak leleh pertama SPC, dan puncak yang tajam
pada 249,5˚C, yang mungkin berasal dari puncak TMS. Pola PXRD
serbuk TMS, SPC, TPC, dan campuran terlihat pada Gambar 1B . Pola
difraksi TMS menunjukkan banyak puncak intrinsik pada berbagai sudut
hingga 30̊0 yang menunjukkan sifat kristalnya. Sebaliknya, meskipun SPC
menghasilkan puncak yang luas namun tidak ada puncak intrinsik yang
diamati, yang menunjukkan TMS berada dalam bentuk amorf didalam
kompleks fosfolipid. Campuran fisik menunjukkan semua karakteristik
puncak dari serbuk TMS dan SPC pada berbagai sudut difraksi,
menunjukkan kristalinitas obat dalam campuran. Hasil ini menunjukkan
bahwa terjadi perubahan struktural TMS menjadi bentuk amorf yang
diinduksi oleh pembentukan TPC. Pembentukan kompleks fosfolipid
antara TMS dan SPC dapat terjadi melalui interaksi nonkovalen, termasuk
gaya van der Waals dan/atau ikatan hidrogen. Sejumlah penelitian
melaporkan interaksi molekul fosfolipid dengan obat terapeutik. Dalam
enkapsulasi liposomal indometasin, gugus karboksilat negatif dari obat
sebaiknya tetap berada di wilayah gugus trialkilamino positif
fosfatidilkolin.

B.3 Diagram fase terner untuk formulasi SMEDDS

Setelah pemilihan surfaktan (tween 80) dan kosurfaktan


(tetraglikol), Capryol 90 dan Capmul MCM digunakan untuk membuat
diagram fase terner. Pemilihan komponen minyak merupakan langkah
penting untuk formulasi SMEDDS karena bertindak sebagai eksipien
utama untuk melarutkan molekul obat hidrofobik. Dalam studi
pendahuluan dengan kedua minyak, formulasi SMEDDS berbasis Capryol
90 menunjukkan area self-microemulsifying yang lebih besar daripada
formulasi SMEDDS berbasis Capmul MCM. Oleh karena itu Capryol 90
akhirnya dipilih untuk selanjutnya dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengenai ukuran tetesan dan indeks polidispersitas (PDI). Seperti yang
ditunjukkan pada di bawah ini, area abu-abu muda merepresentasikan
daerah mikroemulsifikasi yang stabil dengan ukuran tetesan<200 nm.
SMEDDS menunjukkan nilai PDI<0,3 yang ditunjukkan dengan daerah
berwarna abu-abu gelap pada batas 10–30% Capryol 90, 30–70% tween
80, dan 20–60% tetraglikol, dan dianggap sebagai rentang pengujian untuk
studi desain eksperimental.
Gambar 2. Diagram Fase Terner dari Capryol 90 (minyak), tween 80 (surfaktan),
tetraglikol (kosurfaktan)

B.4 Analisis statistik menggunakan D-optimal Mixture Design


Untuk mengoptimalkan komposisi SMEDDS yang dimuat TPC,
metode desain campuran digunakan menggunakan perangkat lunak
Minitab (Minitab Inc, State College, PA, USA). Dalam metode ini, hasil
yang diperoleh diasumsikan bergantung pada proporsi eksipien yang
digunakan dalam campuran. Berdasarkan daerah eksperimental yang
diperoleh dari diagram fase terner, Capryol 90 (X1), tween 80 (X2), dan
tetraglikol (X3) dipilih sebagai variabel bebas .
Selanjutnya dipilih tiga faktor respons yaitu ukuran tetesan (nm;
Y1), derajat kelarutan TMS (mg/mL; Y2), dan persentase obat yang
dilepaskan dalam 15 menit (%; Y3). Dari sembilan percobaan ukuran
tetesan berada dalam rentang antara 15,2 hingga 169,2 nm, derajat
kelarutan dari 3,13 hingga 4,15 mg/mL, dan persentase obat yang
dilepaskan dalam 15 menit berkisar antara 69,7 - 98,7%. Ketiga respons
tersebut diploting pada model linier, kuadrat, kubik khusus, dan kubik penuh
yang ditunjukkan pada Tabel 4 . Standar eror (SE) regresi menunjukkan
jarak vertikal rata-rata nilai data dari garis regresi. Predicted residual error
sum of squares (PRESS) digunakan untuk menentukan seberapa baik
model yang diberikan cocok dengan data, di mana semakin kecil nilainya,
semakin baik kemampuan prediksi model R2 untuk mewakili variasi
dalam variabel respon karena semua variabel independen dalam model
tertentu. R2 yang lebih tinggi menunjukkan bahwa model menjelaskan
semua variabilitas variabel respon. Berdasarkan nilai SE, PRESS, dan R2,
model full cubic dianggap sebagai model yang paling sesuai. Oleh karena
itu, model kubik penuh dipilih untuk optimasi lebih lanjut.

B.5 Pengaruh variabel independen terhadap respon dalam desain


eksperimental
Tabel 5 menunjukkan hasil analisis varians untuk ketiga variabel
respon. Nilai Uji F untuk parameter ukuran droplet, kelarutan TMS dan %
obat yang dilepaskan dalam 15 menit menunjukkan perbedaan yang
signifikan yang menunjukkan bahwa setidaknya satu variabel independen
menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap variable yang lain.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 , nilai P yang kurang dari 0,05
menunjukkan bahwa ketiganya signifikan secara statistik dalam model.
Sehingga didapatkan persamaan regresi polinomial akhir sebagai berikut:
Besarnya masing-masing estimasi koefisien regresi menunjukkan
kontribusi relatif dari variabel bebas yang bersesuaian terhadap variabel
respon. Karena tujuan utama jurnal tersebut adalah untuk mengevaluasi
efek gabungan dari tiga variabel independen dan untuk mengidentifikasi
komposisi optimalnya, maka pada jurnal berfokus pada interpretasi
besarnya parameter efek linier. Dalam semua persamaan polinomial,
ditunjukkan bahwa Capyrol 90 akan menjadi variabel independen paling
penting dan kritis yang mempengaruhi ukuran droplet, kelarutan TMS dan
% obat yang dilepaskan dalam 15 menit dalam formulasi SMEDDS.
Seperti yang teramati pada Respons Surface dan Contour Plot pada
gambar 3, perubahan ketiga variabel respon sangat dipengaruhi oleh
komposisi Capyrol 90 yang digunakan. Efek positif dari Capyrol 90
terhadap ukuran droplet diamati dengan terjadinya penurunan ukuran
droplet sebagai akibat dari penurunan jumlah Capyrol yang digunakan.
Pada parameter kelarutan TMS, jumlah Capyrol menunjukkan hubungan
positif terhadap kelarutan TMS. Meskipun ketika hubungan antara
Capyrol dan kelarutan TMS dianalisis lebih lanjut menggunakan Contour
plot menunjukkan hubungan yang negative antara Capyrol dan kelarutan
TMS. Kelarutan TMS tertinggi didapatkan pada formula yang berisi
Capyrol 90 (15%), Tween 80 (60%), dan tetraglikol (25%). Pada
parameter jumlah % TMS yang dilepaskan dalam 15 menit menunjukkan
hubungan negative terhadap Capyrol 90, sesuai dengan contour plot yang
menunjukkan bahwa kelarutan TMS yang paling baik diperoleh ketika
Capyrol 90 yang digunakan sebesar 15%. Dari seluruh variable respon
yang diperoleh, komposisi SMEDDS yang paling sesuai adalah formulasi
yang berisi Capyrol 90 (15%), Tween 80 (60%) dan tetraglikol (25%).

Gambar 3. Efek variable independen terhadap respon (Y1:ukuran droplet, Y2:


kelarutan TMS, dan Y3: % TMS yang dilepaskan dalam 15 menit). (A: Plot
respon 3 dimensi: B: Contour Plot)
B.5 Optimalisasi SMEDDS yang dimuat TPC menggunakan nilai desirability

Dalam menentukan kondisi yang optimum terdapat tiga parameter


yang diperlukan: nilai batas (atas atau bawah), nilai target yang
diharapkan, dan apakah setiap respons yang diharapkan harus
dimaksimalkan atau diminimalkan. Ketika proses optimisasi digabungkan
dengan maksimalisasi maka perlu ditentukan nilai untuk batas bawahnya.
Sebaliknya, ketika variabel respons disetel untuk diminimalkan,
diperlukan nilai batas atas. Ukuran droplet diatur untuk diminimalkan
karena semakin kecil ukuran partikel formulasi SMEDDS maka akan
semakin baik penyerapan di saluran cerna. Beberapa penelitian tentang
SMEDDS dan mikroemulsi menyarankan bahwa diameter ideal
mikroemulsi yang stabil seharusnya <200 nm. Dalam percobaan ini,
ukuran tetesan minimum yang ditentukan adalah 15,2 nm (Tabel 3 ).
Sehingga nilai target dan batas atasnya adalah 15 dan 200 nm. Kelarutan
TMS ditetapkan untuk dimaksimalkan, dan nilai target dan batas bawah
yang digunakan yaitu 6 dan 1 mg/mL. Nilai target 6 mg/mL dipilih
berdasarkan kelarutan TPC tertinggi pada tween 80 (Tabel 1 ). Batas
bawah 1 mg/mL dipilih berdasarkan kelarutan TPC dalam Capryol 90
(Tabel 1 ). Persentase TMS yang dilepaskan dalam 15 menit ditetapkan
untuk dimaksimalkan, dan nilai target dan nilai batas yang ditentukan
adalah 100 dan 60%. Batas bawah 60% dipilih berdasarkan persentase
terendah obat yang dilepaskan dari TPC dalam 15 menit pada medium pH
6,8.
Gambar 4 mewakili plot untuk efek dari tiga variabel independen
pada semua variabel respon. Rasio formulasi optimum yang didapatkan
adalah Capryol 90 (14%), Tween 80 (59,9%), dan Tetraglikol (26,1%).
Nilai tersebut diperoleh dari nilai desirability sebesar 0,854. Nilai
desirability merupakan nilai fungsi yang menunjukkan kemampuan
program untuk memenuhi keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan
pada produk akhir. Nilai desirability yang semakin mendekati nilai 1,0
menunjukkan kemampuan program untuk menghasilkan produk yang
dikehendaki semakin sempurna. Nilai yang diprediksi dan diamati dari
ukuran droplet, kelarutan TMS, dan persentase TMS yang dilepaskan
dalam 15 menit dari Formulasi SMEDDS ditunjukkan pada Tabel 6
berikut ini :

Nilai kesalahan prediksi dihitung untuk mengevaluasi kemampuan


dan akurasi dari model. Meskipun kesalahan prediksi ukuran droplet
relatif tinggi namun masih cukup sesuai karena rentang yang ditentukan
cukup tinggi. Sedangkan kesalahan prediksi dari kelarutan TMS dan
persentase TMS yang dilepaskan dalam 15 menit sangat kecil. Oleh
karena itu, hasil optimasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat
diandalkan dan akurat. Untuk persentase obat yang dilepaskan dalam 15
menit (Y3), SMEDDS bermuatan TPC yang dioptimalkan menunjukkan
nilai 99,4%. Dengan nilai ukuran droplet 22,17 nm dan kelarutan TMS
4,06 mg/mL. Formula optimum selanjutnya dilakukan uji disolusi in vitro.

B.6 Uji Disolusi In Vitro


Profil disolusi in vitro dari TMS murni dan SMEDDS-TPC yang
telah dioptimasi dianalisis menggunakan berbagai media disolusi, meliputi
: aquadest pH 1,2; 4; dan 6,8 untuk mengamati pengaruh perbedaan pH di
saluran cerna terhadap disolusinya. Disolusi dari TMS murni diketahui
rendah dan sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Laju disolusinya
sangat rendah (<1% dalam 2 jam) pada media air dengan pH 4 dan 6,8.
Namun laju disolusinya cepat dan tinggi (>90% dalam 5 menit) pada
media air dengan pH 1,2. Hasil ini sejalan dengan penelitian terdahulu
yang menunjukkan bahwa kelarutan TMS sangat bergantung terhadap
perubahan pH dimana disolusinya baik dan cepat (hampir 100%
terdisolusi pada cairan lambung dalam 20 menit), namun disolusinya
sangat buruk pada pH 6,8 (<90% dalam 90 menit).
Hal ini sangat berbeda dengan SMEDDS-TPC yang telah
dioptimasi yang menunjukkan profil disolusi yang tidak terpengaruh oleh
perubahan pH media dimana lebih dari 90% terdisolusi dalam 5 menit
baik pada pH asam maupun pH netral. Meskipun terdapat sedikit
perbedaan laju disolusi pada pH 1,2. Namun secara keseluruhan optimasi
SMEDDS-TPC menghasilkan peningkatan profil disolusi dibandingkan
TMS murni. Peningkatan disolusi mungkin disebabkan beberapa factor.
Pertama, pembentukan kompleks fosfolipid menghasilkan perubahan
bentuk dari struktur kristalin menjadi bentuk amorf yang secara
termodinamik lebih tidak stabil dan menghasilkan perubahan fase padat-
cair yang lebih mudah. Seperti yang telah kita ketahui bahwa perubahan
bentuk struktur obat dari bentuk kristalin menjadi bentuk amorf dapat
meningkatkan laju disolusi. Kedua, formulasi SMEDDS yang seimbang
memberikan lingkungan yang lebih baik untuk pelarutan obat hidrofobik
secara terus menerus. Karena tetesan minyak yang tersebar secara
homogen, laju disolusi dapat berjalan dengan lebih cepat. Selain itu,
keberadaan surfaktan dalam formulasi selanjutnya meningkatkan
bioavaibilitas obat dengan mempengaruhi penyerapan obat. Disisi lain
tetesan emulsi berukuran nano atau mikro dapat meningkatkan laju
disolusi obat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pembentukan
kompleks fosfolipid dan formulasi SMEDDS dapat meningkatkan disolusi
TMS yang tidak dipengaruhi oleh pH. Selain itu, SMEDDS-TPC yang
dioptimasi merupakan kandidat yang baik untuk pengembangan produk
alternatif di masa mendatang.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kelarutan TMS secara drastis ditingkatkan dengan pembentukan


kompleks fosfolipid (TPC). Selain itu, studi formulasi SMEDDS bermuatan TPC
berhasil dilakukan dengan menggunakan desain campuran D-optimal. Formulasi
SMEDDS bermuatan TPC yang optimum, terdiri dari 14% Capryol 90 (minyak;
X1), 59,9% Tween 80 (surfaktan; X2), dan 26,1% tetraglikol (kosurfaktan; X3),
menunjukkan peningkatan kelarutan dan laju disolusi, dibandingkan dengan TMS
murni. Nilai prediksi model dan nilai eksperimental ukuran tetesan (Y1),
pelarutan TMS (Y2), dan persentase obat yang dilepaskan dalam 15 menit (Y3),
digunakan sebagai faktor respon menunjukkan hasil yang mendekati.
Pembentukan kompleks fosfolipid dan formulasi SMEDDS menggunakan metode
desain eksperimental mungkin merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk
meningkatkan disolusi obat yang sukar larut dalam air. Untuk pengembangan
praktis lebih lanjut diiperlukan uji in vivo untuk menilai bioavailabilitas dari
SMEDDS-TPC yang optimum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amararathna, M., Goralski, K., Hoskin, D.W., dan Rupasinghe, H.P.V.


2019. Pulmonary Nano-Drug Delivery System for Lung Cancer: Current
Knowledge and Prospects. Journal of Lung Health and Disease. 3(2).
2. Maiti K, Mukherjee K, Gantait A, Saha BP, Mukherjee PK. Curcumin–
phospholipid complex: Preparation, therapeutic evaluation and
pharmacokinetic study in rats. Int. J. Pharm. 2007 Sep 23; 330(1–2):155–
63. https://doi.org/10.1016/j.ijpharm.2006.09.025 PMID: 17112692.
3. Safitri, R.,Widiharih,T., dan Wuryandari,T. 2012. Rancangan D-Optimal
untuk Regresi Polinomial Faktor Derajat Dua. Jurnal Gaussian, 1(1).
4. Son HY, Chae BR, Choi JY, Shin DJ, Goo YT, Lee ES, et al. (2018)
Optimization of selfmicroemulsifying drug delivery system for
phospholipid complex of telmisartan using Doptimal mixture design.
PLoS ONE 13(12):e0208339.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0208339.

Anda mungkin juga menyukai