Anda di halaman 1dari 5

A.

Kasus
Menurut Veronica, malpraktek medik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis
yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya . Banyak
persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien diangkat menjadi masalah pidana.
Bidan sebagai salah satu profesi yang termasuk dalam tenaga kesehatan seperti yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, tentu
tidak lepas dari permasalahan ini. Misalnya perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh
bidan untuk membantu seorang ibu atau wanita yang hamil justru mengakibatkan sang ibu
atau sang bayi menjadi cacat. Pasien yang mengalami hal ini, tentu saja merasa dirugikan
akibat perbuatan yang dilakukan oleh bidan tersebut. Hal inilah yang seringkali dijadikan
dasar untuk menuntut bidan dengan alasan malpraktek.
Seperti pada Kasus No. 3344/Pid.B/2006/PN Mdn yang akan saya analisis. Dalam
kronologi kasus dapat saya maknai bahwa Terdakwa Afrina Br. Sembiring telah didatangi
saksi korban Henny Vivi Yulianty bersama adik saksi korban di Klinik Bersalin Sari Buana milik
terdakwa di Jl. Setia Budi Medan pada pukul 09.00 WIB dengan mengatakan bahwa saksi
korban sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Kemudian terdakwa memeriksa kesehatan
pasien dan bayinya yang pada waktu itu kondisi kesehatan saksi korban Henny Vivi Yulianty
dan bayinya dalam keadaan sehat, kemudian terdakwa ketahui bahwa bukaan jalan lahir
bayi saksi korban sebesar 3 cm dan diperkirakan masih lama lagi. Lalu terdakwa
menyarankan saksi korban untuk jalan-jalan disekitar klinik kurang lebih lima menit.
Kemudian sekitar pukul 13.00 terdakwa memberi infus Deatrose 5 % sebanyak 500 cc untuk
menambah tenaga,pemasangan infus tersebut telah disetujui oleh saksi korban Henny Vivi
Yulianty dan menurut pengakuan saksi korban, saksi Hastaricka alias Adek, saksi Yusrah
Nasution, dan saksi Denny Armaya alias Deni, 10 menit kemudian saksi korban di SINTO
(obat perangsang untuk cepat melahirkan) melalui jarum infus yang dilakukan oleh
terdakwa.
Kemudian pada pukul 17.00 WIB jalan lahirnya sudah lengkap 10 cm dan disitulah saksi
korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dengan kondisinya ketika itu agak lemah dan saksi
korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dalam keadaan normal tanpa menggunakan ekstraksi
Vakum dan juga tidak dengan dioperasi lalu 10 menit kemudian keluar urinya. Pada pukul
18.00 WIB terdakwa melihat darah masih keluar sedikit-sedikit dari vagina saksi korban
Henny Vivi Yulianty dan pada pukul 20.00 terdakwa melihat saksi korban agak gelisah dan
lemah dan perutnya agak kembung dan ketika terdakwa mengukur tekanan darah
menunjukan 70/50 MMHg. Kemudian ibu saksi korban memberitahukan kepada terdakwa
bahwa telah terjadi pendarahan banyak dari vagina saksi korban, namun terdakwa
mengatakan “Jangan Cemas” dan membiarkannya begitu saja, lalu keluarga saksi korban
bersikeras agar saksi korban dibawa ke Rumah Sakit untuk ditangani lebih intensif, lalu
terdakwa menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica.
Waktu itu pihak keluarga saksi korban yaitu bapak saksi korban meminta ke Rumah Sakit
Tentara, namun terdakwa menyarankan kepada mereka, saksi agar dirujuk ke Rumah Sakit
Vina Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG sebagai Dokter Konsul terdakwa bisa
menangani pasien di Rumah Sakit Vina Estetica dan kemudian terdakwa menghubungi Dr.
Jhon Robert Simanjuntak, SpOG melalui Hp nya bahwa terdakwa membawa saksi korban ke
Rumah Sakit Vina Estetica. Kemudian pada malam itu juga sekitar pukul 20.00 WIB terdakwa
bersama keluarga saksi korban membawa saksi korban ke Rumah Sakit Vina Estetica di Jl.
Iskandar Muda Medan. Setibanya di Rumah Sakit Vina Estetica adalah sekitar pukul 20.30
WIB dan selanjutnya saksi lorban ditangani oleh pihak Rumah Sakit Vina Estetica sampai
dirinya ditangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjutak, SpOG. Sesuai dengan Resume Medik
Rumah Sakit Vina Estetica tanggal 5 Agustus 2004 yang ditandatangani oleh Dr. Jhon Robert
Simanjuntak, SpOG selaku dokter yang merawat saksi korban dan R. Sinaga, Bsc,SE selaku
Direktur Umum, bahwa pada tanggal 1 Juli 2004 telah dilakukan operasi buka perut
(laparatomi) yang dijumpai robekan rahim dan robekan dinding kemaluan bagian atas dan
dijumpai jaringan nekrotik, diputuskan untuk penggangkatan rahim.
Atas dasar kronologi kasus inilah bahwa Afrina Br. Sembiring di dakwa dengan dakwaan
dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).

B. Isu Hukum
Mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah
masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus
tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek
atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau
tidak. Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek
etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek
yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka
penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian
sanksi dilakukan berdasarkan peraturanperaturan yang berlaku didalam organisasi IBI
tersebut. Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan
ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah
bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan
MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian
bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI
melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi
tuntutan atau gugatan di pengadilan.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah dalam kasus No. 3344/Pid.B/2006/PN Mdn IBI diwajibkan untuk memberi
bantuan hukum terhadap Terdakwa ?

D. Analisis Hukum
Dalam pelaksanaan prakteknya, setiap tenaga kesehatan telah mempunyai
kewenangannya masing-masing.Baik bidan maupun perawat kewenangannya tersebut telah
secara tegas diatur dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Kebidanan
dan Undang-Undang Keperawatan.Tugas seorang Bidan dapat dilihat dari dua hal yaitu
secara umum dan secara khusus.Secara umum bidan mempunyai tugas yaitu sebagai
pemberi, pengelola, penyuluh dan konselor.Pendidik, pemberdayaan perempuan, dan
sebagai peneliti.Selain tugas dan kewenangan secara umum, ada juga tugas dan
kewenangan khusus yang dimiliki bidan, antara lain melakukan kontrol terhadap kehamilan,
membantu persalinan, memberi bantuan masa nifas, bantuan kegawatdaruratan medis.
Dalam setiap aktivitasnya manusia pasti tidak akan luput dari suatu kesalahan, tidak
terkecuali pada tenaga kesehatan yaitu bidan dan perawat. Bidan dan perawat dalam
menjalankan tugasnya memberi tindakan medis, juga dapat melakukan malpraktek yang
berdampak pada keselamatan pasien.Malpraktek yang dilakukan oleh bidan dan perawat
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila ditemukan unsur kesalahan.Kesalahan
ini adalah unsur yang bersifat subyektif dari tindak pidana.kesalahan didefinisikan sebagai
keadaan batin dari pelaku yang melakukan tindak pidana dan mempunyai hubungan antara
keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga pelaku tersebut dapat dicela
atas perbuatan yang dilakukan. Unsur kesalahan dalam tindak pidana sangatlah penting,
sehingga dari sinilah muncul adagium “tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder
schuld)”.Unsur kesalahan juga berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dari pelaku
kejahatan.
Dalam bahasa asingnya, pertanggungjawaban pidana disebut criminal liability atau
criminal responbility.Pertanggungjawaban ini menganut asas culpabilitas (asas kesalahan),
yang berdasarkan pada prinsip keseimbangan monodualistik antara asas culpabilitas yang
mengacu pada nilai-nilai keadilan harus seimbang dan dipasangkan dengan asas legalitas
yang mengacu pada nilai-nilai kepastian.Hukum pidana memberikan pengertian bahwa
pertanggungjawaban itu bermakna setiap individu yang melanggar ketentuan hukum pidana
maka wajib hukumnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang ia lakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam arti lain setiap kesalahan akan
dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan porsi kesalahan yang dilakukan.
Kesalahan itu wajib memenuhi tiga unsur yaitu:
a. Kemampuan bertanggungjawab artinya dalam keadaan sehat jasmani.
b. Apakah perbuatan tersebut adalah bentuk kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
c. Tidak terdapat dalil-dalil pemaaf atau penghapus kesalahan.
Terkait malpraktek yang dilakukan oleh bidan dan perawat, kesalahan yang terjadi bisa
dikarenakan oleh kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).Secara eksplisit makna mengenai
kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) tidak diatur secara spesifik dalam Wetboek van
Strafrecht (KUHP). Mengenai malpraktek yang terjadi di dunia kesehatan yang dilakukan
oleh bidan dan perawat, belum ada aturan yang secara tegas mengatur mengenai hal
tersebut.Bahkan dalam KUHP maupun Undang-Undang Khusus yang berkaitan dengan
Kebidanan dan Keperawatan tidak ada aturan yang menjelaskan secara spesifik mengenai
malpraktek maupun standar yang menentukan pada saat kapan seorang bidan dan perawat
dikatakan melakukan malpraktek.
Bahkan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) yang menaungi bidan dan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) yang menaungi perawat, juga tidak dapat memberikan
penindakan terhadap bidan dan perawat yang diindikasi melakukan malpraktek selayaknya
yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap dokter. Hal ini dikarenakan
dalam Undang-Undang Kebidanan maupun Undang-Undang Keperawatan tidak ada dasar
hukum yang memberikan kewenangan terhadap IBI dan PPNI untuk melakukan pemeriksaan
dan penindakan etika profesi terhadap bidan dan perawat apabila terjadi laporan
malpraktek. Beda halnya dengan IDI yang berdasarkan Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Praktek Kedokteran dapat melakukan pemeriksaan apabila ada laporan malpraktek yang
dilakukan dokter. Transaksi terapeutik sangat berkaitan erat dengan Malpraktek yang
terjadi. Dalam transaksi terapeutik berisikan informed consent atau persetujuan dari pihak
pasien ataupun keluarganya, terkait tindakan medis yang akan diberikan pada pasien
kedepannya. Apabila dari tindakan medis yang dilakukan oleh bidan dan perawat tidak
sesuai dengan informed consent yang diberikan oleh pasien maka itu adalah bentuk
kesalahan.
Undang-Undang Tenaga Kesehatan sebagai aturan pokok dari tenaga kesehatan tidak
memberi pengaturan yang spesifik mengenai Malpraktek dan juga tidak dijelaskan pada saat
kondisi seperti apa tenaga kesehatan yang dalam hal ini bidan dan perawat dikatakan
melakukan malpraktek. Dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan hanya menjelaskan
apabila tenaga kesehatan melakukan kesalahan berupa kelalaian yang mengakibatkan
pasien luka berat maka diancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun namun bila pasien
mengalami kematian maka tenaga kesehatan diancam penjara maksimal 5 (lima) tahun.
Serta Undang-Undang ini juga menjelaskan mengenai ganti rugi yang harus didapat oleh
pasien apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Namun tetap saja
dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan belum memberikan pengaturan khusus terkait
malpraktek yang dilakukan oleh bidan dan perawat serta tidak memberikan penjelasan pada
saat kondisi seperti apa tenaga kesehatan dalam hal ini bidan dan perawat dikatakan
melakukan malpraktek. Sedangkan, apabila ditinjau berdasarkan Undang-Undang Kebidanan
dan UndangUndang Keperawatan, tidak satupun ditemukan pengaturan mengenai
Malpraktek ataupun pengaturan mengenai etika profesi yang menjadi dasar IBI dan PPNI
dapat melakukan penindakan terhadap bidan dan perawat yang melakukan malpraktek.
Berdasarkan hasil peninjauan terhadap Wetboek van Strafrecht (KUHP), KUHP juga tidak
memuat penjelasan mengenai malpraktek namun lebih kepada tindak pidana karena
kesalahan.Untuk memidanakan seseorang yang melakukan kesalahan dapat ditinjau dari dua
hal, yaitu melalui delik dolus (kesengajaan) dan delik culpa (kealpaan/kelalaian).
Melalui perspektif delik dolus yang artinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang didasarkan atas kesengajaan atau adanya niat dari si pelaku. Dalam rumusan
di KUHP delik dolus diawali dengan kata “dengan sengaja”. Berkaitan dengan hal tersebut,
dalam KUHP dijelaskan bahwa bila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja dan mengakibatkan orang lain meninggal dunia maka orang tersebut akan
dikenakan sanksi pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup, atau penjara maksimal
dua puluh tahun.16 Apabila ditelisik melalui perspektif delik culpa yaitu melihat bagaimana
tindak pidana yang terjadi dikarenakan tidak adanya kehati-hatian dari pelaku, yang
menyebabkan orang lain terluka atau menyebabkan kematian pada orang lain. Dalam KUHP,
perumusan mengenai delik ini biasanya diawali dengan kata “barangsiapa karena
kealpaannya”. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan berdasarkan sumber-sumber
hukum yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (KUHP), Undang-Undang Tenaga
Kesehatan, Undang-Undang Keperawatan, dan UndangUndang Kebidanan belum adanya
pengaturan yang tegas dan jelas terkait malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,
yang dalam hal ini adalah bidan dan perawat.
E. Amar Putusan
Dalam kasus diatas adapun amar putusannya adalah Menyatakan bahwa terdakwa Afrina Br.
Sembiring tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak
pidana: “Melakukan tindakan medik tidak sesuai dengan ketentuan”. Menjatuhkan pidana
kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, denda
Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan. Menetapkan masa
penahan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan; Memerintahkan agar barang bukti berupa: Nihil Membebankan kepada
terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-.
F. Kesimpulan
Dalam kasus No. 3344/Pid.B/2006/PN Mdn yang telah diterangkan diatas jika dilihat dari
amar putusannya maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa adalah “dengan
sengaja” melakukan malpraktek sehingga IBI dalam hal ini tidak mmiliki kewajiban untuk
memberikan bantuan hukum terdahap terdakwa. Hal ini dikarenkan dalam memberikan
bantuan hukum IBI berkewajiban jika terdakwa terbukti terjadi bukan karena kesalahan atau
kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar
profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut
dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.
G. Daftar Pustaka
Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika.
Chazawi, Adami,2001, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa,Jakarta:Raja Grafindo
Persada.
Isfandyarie,Anny,2005, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang- Undang No.23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai