Patologi sosial adalah sebagai ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap sakit
yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial yang dapat membuat kondisi sosial mengalami
instabil (Ridwan & Kader, 2016). Perspektif patologi sosial menunjukkan bahwa masalah
sosial adalah gangguan dalam masyarakat, dan muncul karena individu yang tidak sehat
secara mental atau fisik. Pandangan ini menyatakan bahwa perilaku menyimpang, seperti
kejahatan, penyalahgunaan narkoba, dan tindakan kekerasan, merupakan gejala dari penyakit
mental yang perlu diobati.
Teori partisipasi sosial menyatakan bahwa patologi sosial terjadi ketika individu atau
kelompok merasa terasing atau tidak terlibat dalam masyarakat secara aktif. Ini dapat
terjadi ketika individu atau kelompok merasa tidak diterima oleh masyarakat atau tidak
memenuhi norma sosial yang diakui. Akibatnya, individu atau kelompok dapat merasa
terasing atau terisolasi dari masyarakat dan mencari bentuk partisipasi yang lain seperti
kelompok atau komunitas yang memiliki nilai dan tujuan yang sama. Hal ini dapat
menyebabkan perilaku yang tidak sehat, seperti kecanduan atau radikalisasi.
Teori interaksi sosial menyatakan bahwa patologi sosial terjadi ketika interaksi sosial
yang sehat terganggu atau terputus. Hal ini dapat terjadi ketika individu atau kelompok
mengalami konflik atau gangguan dalam hubungan sosialnya dengan orang lain, seperti
teman, keluarga, atau masyarakat. Ketika interaksi sosial yang sehat terganggu atau
terputus, individu atau kelompok dapat merasa tidak terhubung dengan orang lain, atau
merasa terasing atau terisolasi. Akibatnya, individu atau kelompok dapat
mengembangkan perilaku yang tidak sehat, seperti kekerasan atau penggunaan obat-
obatan terlarang.
c) Teori Tingkah Laku Sociopathic
Teori tingkah laku sociopathic menyatakan bahwa patologi sosial terjadi ketika individu
atau kelompok mengalami gangguan dalam perkembangan kepribadian dan tidak
memiliki kemampuan untuk merasakan empati atau memiliki perasaan yang sesuai
dengan norma sosial. Hal ini dapat terjadi ketika individu atau kelompok mengalami
gangguan mental, seperti psikopat atau sociopath, atau terpengaruh oleh faktor
lingkungan yang merugikan. Akibatnya, individu atau kelompok dapat merasa tidak
terhubung dengan masyarakat atau norma sosial, dan mengembangkan perilaku yang
tidak sehat, seperti kejahatan atau penyalahgunaan narkoba.
Perspektif konflik nilai melihat masalah sosial sebagai akibat dari konflik antara nilai-
nilai yang berbeda di masyarakat. Pandangan ini menganggap bahwa masalah sosial muncul
ketika nilai-nilai dan kepentingan yang berbeda bertentangan satu sama lain. Untuk
memahami masalah sosial, perspektif ini memberikan kritik terhadap perspektif yang sudah
ada khususnya perspektif pathologi sosial dan perspektif perilaku menyimpang. Hal ini
disebabkan karena menurut perspektif konflik nilai, konsep sickenss atau social expectation
merupakan konsep yang subyektif, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami
masalah sosial (Mas’udi, 2015).
Contoh dari perspektif konflik nilai adalah konflik etnis atau rasial. Dalam sudut
pandang ini, konflik tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam nilai dan pandangan antara
kelompok etnis atau rasial yang berbeda. Contohnya, ketidaksetaraan ekonomi dan sosial,
diskriminasi, dan ketidakadilan hukum terhadap kelompok-kelompok tertentu bisa memicu
konflik dan menimbulkan masalah sosial.
Perspektif disorganisasi sosial melihat masalah sosial sebagai akibat dari kerusakan
pada struktur sosial yang mengatur interaksi sosial dan kehidupan masyarakat. Pandangan ini
menganggap bahwa ketidakstabilan sosial dan ketimpangan ekonomi sebagai akibat dari
kerusakan pada struktur sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dasar pemikiran
perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda dengan perspektif pathologi sosial, karena
juga menggunakan analogi masyarakat atau sistem sosial sebagai human organism.
Perbedaannya, perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi sehat atau sakit,
melainkan lebih melihatnya sebagai struktur fungsi dan organized dan disorganized atau
integrated dan disintegrated(Mardhiah, 2015).
Contoh dari perspektif disorganisasi sosial adalah kemiskinan. Dalam sudut pandang
ini, kemiskinan merupakan akibat dari ketidakstabilan dan ketimpangan sosial, dan
merupakan hasil dari kegagalan struktur sosial dalam memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat. Kondisi ini bisa mengakibatkan ketidakadilan, kejahatan, dan kerusakan sosial
lainnya.
Perspektif perilaku menyimpang melihat masalah sosial sebagai akibat dari perilaku
individu yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku. Pandangan ini
menunjukkan bahwa perilaku menyimpang seperti kejahatan, tindakan kriminal, dan
penyalahgunaan narkoba, merupakan penyebab masalah sosial. Perilaku menyimpang
dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem
sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa
ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah
menyimpang. Oleh karena jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial, maka
wajar apabila pranata sosial merupakan tolok ukur yang digunakan untuk melihat suatu
perilaku menyimpang atau tidak. Dalam studi tentang perilaku menyimpang ini dapat pula
diidentifikasikan adanya dua tipe penyimpangan yaitu penyimpangan murni dan
penyimpangan tersembunyi atau penyimpangan terselubung (Suyanto, 2005).
Contoh dari perspektif perilaku menyimpang adalah kejahatan. Dalam sudut pandang
ini, kejahatan adalah perilaku menyimpang yang mengancam keamanan dan ketertiban
masyarakat dan menimbulkan dampak negatif pada individu maupun masyarakat. Perspektif
ini memfokuskan pada perilaku individu yang dianggap bertanggung jawab atas tindakan
mereka dan menuntut mereka untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
5. Perspektif Labelling
Contoh dari perspektif labelling adalah stigmatisasi pada orang yang hidup dengan
HIV atau AIDS. Dalam sudut pandang ini, stigmatisasi terjadi karena masyarakat
memberikan label sosial pada individu yang hidup dengan HIV atau AIDS, dan menganggap
mereka sebagai kelompok yang menyimpang dan berbahaya. Hal ini dapat menyebabkan
diskriminasi, isolasi, dan ketidakadilan terhadap kelompok tersebut.
6. Perspektif Institusional
Referensi:
Darono, A. (2012). Penggunaan Teori Institusional Dalam Penelitian Teknologi Informasi dan
Komunikasi di Indonesia. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2012 (SNATI
2012), 2012(SNATI), 15–120.
Jamilah, A., & Putra, A. W. (2020). Pengaruh Labelling Negatif Terhadap Kenakalan Remaja.
ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan, 14(1), 65–80.
https://doi.org/10.15575/adliya.v14i1.8496
Mardhiah, N. (2015). Analisis Patologi Sosial Generasi Muda Dalam Pelaksanaan Syariat Islam
Di Kabupaten Aceh Barat. Jurnal Public Policy, 1–12.
https://doi.org/10.35308/jpp.v0i0.697
Mas’udi. (2015). AKAR-AKAR TEORI KONFLIK : Dialektika Konflik ; Core Perubahan Sosial
dalam. Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, 3(1), 177–200.
Suyanto. (2005). Perilaku menyimpang dalam perspektif sosiologis. Jurnal Civics, 2(2), 1–7.