PA N D A N G A N H A M K A S E P U TA R
M A S U K N YA I S L A M D I
INDONESIA
HAMKA SANG
B U D AYA W A N
T E N TA N G ‘ K E A S L I A N ’ I S L A M D I
INDONESIA
• Hamka membantah anggapan sebagian orientalis yang menyatakan bahwa Islam masuk ke wilayah
Indonesia dibawa oleh orang-orang dari Malabar/Gujarat, India, sehingga ia ‘tidak asli’ dari sumbernya,
yaitu Arab.
• Berdasarkan bukti-bukti sejarah, orang-orang Arab sudah lama dijumpai di Malabar, sebab daerah itu
adalah tempat perhentian pelayaran dagang dari Arab ke Asia Tenggara. Di Malabar, mereka
membangun komunitas-komunitasnya sendiri dan memelihara adat-istiadat asli Arab. Oleh karena itu,
kedatangan orang-orang yang berdakwah dari Malabar tidak serta-merta dapat dianggap kontradiktif
dengan pandangan bahwa ajaran yang dibawa itu asli dari Arab.
• Dari gelar raja-raja Samudera Pasai seperti Sultan al-Malik ash-Shalih dan Sultan al-Malik azh-Zhahir,
yang sama dengan dengan gelar para sultan dari Syam dan Mesir, dapat diketahui bahwa umat Muslim
Indonesia sudah memiliki hubungan erat dengan kedua wilayah tersebut sejak lama, sedangkan
keduanya terletak lebih jauh lagi dari Arab jika diukur dari Indonesia.
• Ibn Bathuthah mencatat pertemuannya dengan Sultan al-Malik azh-Zhahir dan menggambarkan beliau
salah satunya sebagai pribadi yang fasih berbahasa Arab, bukan Gujarat. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh Arab memang sangat kuat di Indonesia, dan tidak ada alasan untuk memandang bahwa
pengaruh Gujarat lebih dominan, meskipun sebagian ulama di Indonesia (misalnya Nuruddin ar-Raniri)
memang lahir di Gujarat.
T E N TA N G TA H U N M A S U K N YA
ISLAM DI INDONESIA
• Dalam catatan Cina kuno terdapat informasi bahwa pada tahun 674 M
ada utusan dari Raja Arab yang datang ke wilayah Indonesia, yaitu ke
sebuah kerajaan yang bernama Holing. Dilihat dari periodenya, yang
berkuasa di Arab pada masa itu adalah Mu’awwiyah bin Abu Sufyan ra.
Artinya, dapat disimpulkan bahwa perhubungan dengan Arab telah
terjadi sejak abad pertama Hijriah.
T E N TA N G M A D Z H A B YA N G
BERKEMBANG DI INDONESIA
• Madzhab yang berkembang di Indonesia sejak awal adalah Madzhab Syafi’i, dan ini
sesuai dengan perkembangan di Hijaz pada masa itu. Hal ini juga memperkuat
keyakinan bahwa Islam memang datang ke Indonesia ‘langsung dari Arab’
berdasarkan isi ajarannya, bukan sekedar letak geografis kampung halaman dari
orang-orang yang membawa ajaran Islam tersebut.
• Hamka membantah bahwa ajaran Islam yang berkembang pertama kali di Indonesia
bercorak Syi’ah, meskipun ada sejumlah tradisi yang dipengaruhi oleh orang-orang
Syi’ah seperti perayaan Tabut di Pariaman atau Bubur Suro di Jawa. Meski demikian,
adat-istiadat semacam itu sama sekali bukan pokok ajaran Syi’ah, dan ajaran Islam
yang dianut oleh umat Muslim yang melaksanakannya tetaplah Madzhab Syafi’i.
Karena itu, Hamka berkesimpulan bahwa lestarinya tradisi-tradisi semacam itu hanya
bukti bahwa orang Indonesia suka dengan perayaan, apatah lagi yang membawa-
bawa nama cucu Rasulullah saw (Hasan ra dan Husain ra), dan mereka yang
mengikutinya sama sekali tidak merasa sebagai pengikut ajaran Syi’ah.
K E S A L A H A N O R I E N TA L I S D A L A M
MEMAHAMI ISLAM DI INDONESIA
• Orientalis seperti Snouck Hugronje dibimbing oleh misi kolonialisme dalam menyajikan
kesimpulan hasil penelitiannya. Hurgronje pernah tinggal di Arab dalam rangka
penyelidikannya terhadap Aceh, dan kemungkinan di situlah ia menyadari bahwa
perhubungan di antara kedua wilayah tersebut sangat erat dan menjadi sumber kekuatan
perlawanan terhadap Belanda, oleh karena itu keduanya harus diceraikan.
• Orientalis tidak tahu (atau tidak mau mengakui) konsep ummah yang meliputi sanubari
umat Muslim dan hendak menggantikannya dengan paham nasionalisme yang dibatasi
oleh wilayah geografis seperti pemahaman Barat. Oleh karena itu, ajaran Islam yang
dibawa oleh orang Gujarat dianggapnya berbeda dengan ajaran Islam dari Arab. Demikian
juga jika ditemukan ada ulama dari Persia lantas disimpulkan bahwa ia adalah seorang Syi’i,
padahal banyak ulama Sunni yang datang dari wilayah Persia, misalnya Imam al-Ghazali.
• Orientalis tidak membedakan pokok-pokok ajaran agama dan adat-istiadat yang tidak
dilarang oleh agama. Oleh karena itu, adanya perbedaan adat-istiadat tidak berarti bahwa
‘Islamnya beda’. Jika ditilik pokok-pokok agamanya, dapat dipastikan bahwa tidaklah ada
perbedaan antara ‘Islam Arab’ dan ‘Islam Indonesia’.
K O N T R I B U S I I S L A M PA D A
S E M A N G AT P E R J U A N G A N B A N G S A