Anda di halaman 1dari 3

Dari Sengketa Menuju Sejahtera

Berada di sekitar kawasan hutan lindung gunung tertinggi di Kabupaten Sikka, Egon Ilimedo.
Mayoritas masyarakat Desa Tua Bao, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka menggantungkan
hidupnya dari komoditas hasil hutan.

Tahun 1984, terdapat kebijakan penambahan luas kawasan hutan lindung sebesar 30 persen.
Akibatnya, sebagian rumah dan kebun warisan nenek moyang seketika berada di kawasan
hutan lindung, sementara orang-orangnya dianggap sebagai perambah. Sejak saat itu,
pemerintah melarang warga menebang pohon di kawasan hutan baru, sementara warga
merasa merekalah yang menanam kayu dan pemilik yang sah.

Tidak terhitung berapa kali gesekan terjadi antara warga dan aparat pemerintah. Setelah
melalui komunikasi yang intens antara berbagai pihak, tahun 2012 pemerintah daerah
mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM) seluas 435 Ha kepada
Gabungan Kelompok Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKm) Wair Kung. Di tahun 2017, posisi
kelompok diperkuat dengan SK Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK).

Jumlah anggota kelompok Gapoktan terus bertambah, saat ini tercatat sekitar 365 KK dan
diketuai oleh Pak Bartolimius Tona atau kerap disapa Pak Bartol. Pekerjaan beliau sebagai
tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kementerian Pertanian, membuatnya dipercaya
warga untuk memimpin kelompok, termasuk merumuskan rencana pemanfaatan lahan untuk
komoditas yang sesuai.

Sebelum menjadi tenaga PPL, masa muda Pak Bartol dihabiskan sebagai guru honorer SMA,
dari tahun 1983 hingga 1992. Selanjutnya Pak Bartol menjadi kepala desa di kampungya,
sebelum kemudian tahun 1995 menjadi tenaga PPL dan ditempatkan di Kecamatan Talibura.
Sejak saat itu, Pak Bartol dan keluarga menjadi warga Desa Tua Bao dan terlibat proses
permohonan sedari awal.

Paca izin, warga tidak lagi was-was untuk mengelola lahan dan rasa kepemilikan terhadap lahan
kembali besar. Keinginan warga menjaga dan merawat pepohonan di sekitar kawasan hutan
lindung sebagai sumber mata air desa semakin kuat, serta mulai berfikir untuk
mengembangkan tanaman komoditas di luar kawasan.

Selain tanaman komoditas, warga memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman musiman,
seperti padi gunung, ubi, jagung, pisang dan lain-lain.

“Kami membagi hamparan HKm ke dalam tiga blok besar; kemiri, mete dan campuran.
Kemudian bersama-sama melakukan teknis pemanaman, jarak tanam dan pemeliharaan.” Kata
Pak Bartol menjelaskan langkah pertama setelah mendapatkan izin kawasan.

Untuk blok mete, Pak Bartol dan kelompoknya menyediakan hamparan seluas 135 ha. Tujuh
tahun kemudian, Desa Tua Bao mampu menghasilkan kurang lebih 100 ton mete gelondongan
dalam sekali panen.
Namun demikian, besarnya produksi mete tidak berarti pendapatan dan kesejahteraan warga
meningkat. Faktornya menurut Pak Bartol, harga komoditas mete saat panen raya di pedagang
kaki tiga (tengkulak) jatuh hingga Rp. 15 ribu. Padahal di musim biasa, harga mete
gelondongan bisa sampai Rp. 25 ribu perkilo. Kondisi ini diperparah dengan adanya praktik ijon,
dimana warga pemilik lahan mete mendapatkan uang dari para tengkulak untuk mete yang
masih ada di pohon, dengan harga di bawah harga standar.

Sementara untuk dijual langsung ke pasar atau ke kota, mereka terkendala angkutan. Terlebih,
dalam tiga tahun terakhir jalanan desa rusak parah dan penuh sesak oleh truck roda sepuluh
pengangkut material pembangunan bendungan Napun Gete.

Pak Bartol dan pengurus HKm Wair Kung tidak kehilangan akal. Berkali-kali melakukan
pertemuan, berdiskusi untuk menemukan cara agar petani mete anggotanya tidak terus
menerus rugi. Dia teringat dengan lembaga Kemitraan, yang pernah memfasilitasi kelompoknya
belajar pengelolaan perhutanan sosial di Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok
Tengah tahun 2017 lalu.

Di awal tahun 2019, Kemitraan dan lembaga Sandi Florata melalui program forest for welfare
yang didukung oleh Ford Foundation sepakat mendukung rencana pemberdayaan Gapoktan
Wair Kung. Rencana pertama adalah melaksanakan survey, untuk melihat potensi desa serta
menggali masukan dengan melibatkan sebanyak 70 anggota, yang terdiri dari 62 laki-laki dan
delapan perempuan.

Setelah survey, lima perwakilan kelompok mengikuti pelatihan untuk mengetahui cara
pembuatan kacang mete aneka rasa di Unit Pengolahan Hasil (UPH) Mete Puna Liput, Desa
Ilepadung, Kecamatan Lewolema, Flores Timur. Selain Pak Bartol, tiga perwakilan Gapoktan
yang mengikuti pelatihan adalah perempuan.

Mereka belajar banyak hal, dari mulai sejarah mete, cara mengolah; dari mulai mengupas
(kacip), mensortir, menggoreng, membuat bumbu untuk pilihan rasa original, bawang, manis,
pedas, cokelat dan madu wijen. Selain itu, mereka juga belajar cara pengemasan,
penyimpanan, pengawasan mutu hingga pemasaran.

Segera setelah kembali, Pak Bartol dan empat anggota kelompok mempersiapkan pelatihan
untuk anggota Gapoktan di desa dengan mengajak perwakilan lembaga Kemitraan, UPT KPH
Kabupaten Sikka, serta yayasan Sandi Florata. Pertemuan juga sekaligus berencana menyusun
rencana kerja tahunan kelompok dalam hal produksi mete.

Momentum pelatihan juga digunakan oleh kelompok untuk mengundan Kepala Desa Tua Bao,
Luka Lado, agar pemerintah desa mengetahui apa yang akan dan sedang diupayakan warganya
dalam hal meningkatkan nilai ekonomi desa, khususnya komoditas mete. Dalam sambutannya,
Pak Luka mengapresiasi dan siap membantu warga desa, asal menurut beliau yang terpenting
semua anggota mau Kerja.

Pada saat pelatihan, peserta juga diminta untuk menghitung selisih harga mete gelondongan
dengan mete yang sudah diolah. Perbandingannya, setelah dikupas dari kulitnya, lima kilogram
mete gelondongan menjadi satu kilo mete. Jika harga lima kilo mete gelondongan sekitar Rp.
75 ribu, maka satu kilo mete kupas harganya meningkat tajam menjadi Rp. 170-200 ribu per kg
mentah, dan Rp. 250 ribu per kg matang.

Pasca pelatihan, tiga kelompok wanita tani (KWT) berinisiatif membuat kacang mete, dan sudah
bisa membuat kacang mete enam rasa. Bahkan mereka merasa tertantang dan
menyanggupinya, saat Pak Bartol memberitahu bahwa hasil mete mereka akan dibawa ke
Jakarta untuk mengikuti Pameran Perhutanan Sosial Nusantara (Pesona) yang diselenggarakan
oleh KLHK dan Panen Raya Nusantara (Parara) yang rencananya akan dilaksanakan akhir
tahun.

Setelah pelatihan, Kemitraan memberikan bantuan alat produksi mete. Bersama KPH Kabupaten
Sikka dan Sandi Florata, Kemitraan juga memfasilitasi Gapoktan dalam pembentukan
Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dan penyusunan rencana kerja usaha. Hal
ini menjadi penting sebagai persyaratan untuk mengakses bantuan dana dari
pemerintah maupun swasta melalui CSR.

Gapoktan memperoleh program Bantuan Pengembangan Perhutanan Sosial (Bang


PeSoNa) ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebesar Rp. 50 juta.
Bantuan sebagian dimanfaatkan oleh Gapoktan untuk meremajakan tanaman, serta membeli
alat-alat pengolahan kacang mete untuk melengkapi apa yang sebelumnya sudah diperoleh dari
Kemitraan.

Dalam waktu dekat, Pak Bartol ingin mengundurkan diri dari ketua, menikmati masa tuanya.
Beliau merasa Gapoktan sudah berjalan baik, memiliki rencana kerja jelas selama setahun
kedepan dan telah menemukan potensi yang dapat diandalkan, mete. Ditambah, sebentar lagi
jalanan desa akan ramai oleh para pelancong dari seluruh Kabupaten Sikka yang ingin
mengunjungi obyek wisata bendungan Napun Gete, ini bisa jadi peluang pasar bagi produk
mete Gapoktan.

Terakhir, Pak Bartol berharap pendampingan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
lembaga seperti Kemitraan dapat terus berlanjut di desa. Sehingga warga yang awalnya pusing
karena dihadapkan pada sengketa lahan, nasibnya berubah menjadi lebih sejahtera.

“Saya sangat berharap kedepannya Desa Tua Bao, khususnya Kelompok HKm Wair Kung tidak
hanya terkenal dengan mete gelondongan, tetapi bisa terkenal dengan kacang mete. Hasil
penjualan kacang mete tersebut dapat menaikan pertumbahan ekonomi masyarakat anggota
kelompok.” Ungkap Pak Bartol penuh harap.

Anda mungkin juga menyukai