Anda di halaman 1dari 24

STKUKTUR SOSIAL

Batasan Struktur Sosial dan Unsur-unsur Pokoknya

Struktur sosial ialah jalinan unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial
yang pokok menurut Soerjono Soekanto (1988: 8-9) meliputi antara lain:

1. Kelompok sosial.
2. Kebudayaan
3. Lembaga sosial atau institusi sosial.
4. Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial.
5. Kekuasaan dan wewenang.

Unsur-unsur sosial itu dapat berubah bentuknya. Proses perubahan unsur sosial tersebut biasanya
berjalan lambat, dapat mendadak berubah dengan cepat jika terjadi peristiwa-peristiwa seperti
perang atau revolusi.

PERAN STRUKTUR SOSIAL DALAM DISIPLIN ILMU MEGISTER ARSITEKTUR USU

A. KELOMPOK SOSIAL

Kelompok sosial memiliki peran dalam disiplin ilmu megister arsitektur dimana yang di
maksud dalam kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan yang terdiri dari beberapa
individu yg hidup dalam jalur yang sama, dalam hal ini adalah teknik arsitektur,dengan
adanya kelompok sosial yang terbangun sehingga kemudian akan menjadi sumber informasi
dan saling bertukar informasi seputar ilmu pengetahuan yang di miliki bahkan sampai pada
titik tertentu sampai kepada pemberian pekerjaan yang banyak di dapatkan dari himpunan
teknik arsitektur hal ini dikarenakan setiap anggota merasa terkait atau memuliki hubungan
antar satu dengan yang lainnya sehingga saling membantu dalam capaian kehidupan.

B. KEBUDAYAAN
Kebudayaan Menurut Robert L. Sutherland (1961: 30-31) menyebutkan bahwa kebudayaan
terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan yang normatif
mencakup semua cara atau pola-pola berpikir,merasakan, dan bertindak. Hal ini yang
kemudian kebudayaan menjadi memiliki peran dalam disiplin ilmu Megister arsitektur
dimana dalam kehidupan sekitar, kebudayaan cenderung melekat bagi setiap mahasiswa
yang bedasal dari suku yang sama atau daerah yang sama sehingga akan menjalin
komunikasi yang sangat baik sehingga terhubung satu dengan yang lain karena memiliki latar
belakang yang sama, baik dari perilaku , pola pikir, hingga norma norma yang ada.
C. INSTITUSI SOSIAL

1. KELOMPOK SOSIAL
1.1.Batasan Kelompok Sosial
Kelompok sosial atau social group ada I ah himpunan atau kesatuan manusia yang
terdiri dari dua atau lebih individu yang hidup bersama saling berhubungan, saling
mempengaruhi dengan suatu kesadaran untuk saling tolong menolong.

1.2. Persyaratan Kelompok Sosial


Setiap himpunan manusia belum tentu dapat disebut sebagai kelompok sosial, baru
dapat disebut kelompok sosial apabila telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu,
yaitu:
1. Setiap anggota kelompok tersebut hams sadar bahwa dia merupakan sebagian
dari kelompok yang bersangkutan.
2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang
lainnya, dalam kelompok itu.
3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu,
sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan
nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang
sama, dan lain sebagainya. Mempunyai musuh yang sama dapat pula menjadi
faktor pengingat/pemersatu.
4. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. (Soerjono Soekanto, 1982:
111)
1.3.Terbentuknya Kelompok Sosial dan Masyarakat Luas

Terbentuk atau terjadinya perpecahan kelompok sosial sebagai akibat dari interaksi
sosial melalui komunikasi. Terjadinya interaksi yang demikian disebabkan
karenasejakdilahirkan, manusiatelah memiliki keinginan untuk menjadi satu dengan
manusia yang lain di sekelilingnya, yaitu masyarakat dan keinginan untuk menjadi satu
dengan suasana alam sekelilingnya.

Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, manusia
mempergunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Di dalam menghadapi alam
sekelilingnya seperti udara yang dingin, alam yang kejam dan lain sebagainya, manusia
menciptakan rumah, pakaian, dan lain sebagainya. Agar fisiknya tetap sehat manusia
hams makan, untuk dapat mengambil makanan sebagai hasil dari alam di sekitarnya ia
mempergunakan akalnya, di laut manusia menjadi nelayan penangkap ikan, di hutan ia
berburu, dan sebagainya. Semua itu menimbulkan kelompok-kelompok sosial karena
pada hakikatnya manusia tidaklah mungkin hidup sendiri terisolir, karena itu ia
memerlukan kelompoknya. Dengan jalan komunikasi terjadilah stimulasi dan respons
yang mendekati tujuan, dengan menggunakan ikatan-ikatan yang dibentuknya,
kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Hal demikian disebutkan bahwa kelompok sosial
terbentuk karena adanya kebutuhan sosial manusia karena ia mempunyai kebutuhan
pribadi. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan
keadaan, sehingga perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial
hampir bahkan kadang, sama sekali- tidak tampak. Karena manusia yang bekerja adalah
manusia yang sekurang-kurangnya berusaha untuk mempertahankan hidupnya,
sedangkan jumlah terbesar kebutuhannya terletak di luar dirinya, maka manusia
menjadi makluk sosial dan karenanya berkomunikasi. Sebagai konsentrasinya, maka
terjadilalah integrasi atau pembentukan kelompok sosial dengan kehidupan yang lebih
langgeng.

Emile Durkehim melihat pengelompokan manusia dari segi organisatorik fungsional.


Bentuk mekanik merupakan bentuk yang naluriah ditentukan oleh pengaruh-pengaruh
pertama terhadap manusia, yaitu ditentukan oleh ikatan geografik, biogenetik, dan
keturunan lebih lanjut. Ikatan pengelompokan dalam bentuk ini hanya mencapai taraf
solidaritas mekanik.

Berbeda halnya dengan ikatan pengelompokan bentuk kedua, yaitu bentuk


organisatorik fungsional yang merupakan hasil dari kesadaran manusia, hasil dari
keinginan yang rasional. Dalam bentuk pertama ditemukan integrasi normatif
(berdasarkan ikatan norma); dalam bentuk kedua terbentuk integrasi yang merupakan
hasil dari disiplin, peraturan-peraturan resmi bahkan undang-undang. Ferdinand
Toennies menyebutkan bentuk pertama Geminschaft dan bentuk yang kedua
Gesellscaft (Doyle Paul Johnson, 1988:181).

Selain daripada bentuk kelompok sesuai dengan ikatan naluriah otomatik dan
organisatorik fungsional, masih dikenal bentuk-bentuk kelompok yang etnosenthk dan
xenosentrik. Kelompok etnosentrik dimaksudkan adalah kelompok yang memegang
teguh norma-normanya, mengusahakan penjauhan dari kelompok-kelompok lain agar
interpenetrasi dari kebudayaan dapat dihindari sebanyak mungkin. Biasanya kelompok
yang etnosentrik, merupakan kelompok yang statis dan hidup dalam isolasi. sebaliknya
kelompok xenosentrik ialah kelompok lawan ekstrim dari kelompok etnosentrik,
sehingga lebih menyukai kebudayaan dari luar kelompok daripada dari kelompoknya
sendiri. Keadaan hidup pada umumnya menunjukkan keadaan kelompok di antara
kedua kutub ekstrim ini.

Alvin Boskoff (1962: 3) melihat kelompok terutama dalam ikatan kehidupan kota,
berpendapat bahwa setiap bentuk ikatan ditentukan oleh keadaan lingkungan serta
penyesuaian diri manusia dengan lingkungan hidup ini. Dengan demikian, setiap
pembentukan kelompok merupakan hasil eksperimen masyarakat/kelompok yang
bersangkutan, yaitu hasil dari pengalaman yang dapat digolongkan kedalam bidang-
bidang praktikal, intelektual, dan emosi. Terbentuknya masyarakat luas atau komunitas
dapat terjadi karena adanya interaksi sosial antara anggota atau kelompok sosial
melalui beberapa hal, antara lain:

Melalui pertukaran pengalaman tentang pengetahuan, keterampilan teknikal,


organisasi sosial dan mengenai wilayah mereka masing-masing.

Melalui adanya kebutuhan yang sama dalam bentuk biologi, nilai-nilai, dan tujuan yang
diajarkan oleh kebudayaan.

Sehubungan dengan faktor pertukaran pengalaman yang dapat membentuk masyarakat


luas atau komunitas. Alvin Boskoff (1962: 4) menyebutkan bahwa setiap interaksi akan
berjalan sesuai dengan sifat karakter dari kelompok asalnya. Di lihat dari proses
pembentuka masyarakat luas ini, dari kelopok aslinya terjadilah bentuk-bentuk dan fase
perluasan kelompok, yaitu:

A. Tingkat kelompok kecil {=group level).


B. Tingkat community level (=regional level).
C. Tingkat regional {=regional level).
D. Tingkat nasional (=societal level).
E. Intra-planetery society (=masyarakat dunia).

Klasifikasi tentang tahap-tahap terbentuknya masyarakat luas atau komunitas melalui


proses pembentukan kelompok-kelompok dan sub kelompok, Mc Iver dalam bukunya
The elements of Social Sciences (1956) menyebutkan bahwa perkembangan yang dilalui
oleh setiap masyarakat (luas) adalah melalui tahap pembentukan kebudayaan. Sebagai
tahap terendah adalah masyarakat desa (village community) yang telah melalui suatu
tahap proses pematangan dan mencapai tingkat kebudayaan yang cukup tinggi. Pada
fase berikutnya, ialah fase pembentukan ikatan kota (city community) dan fase
pembentukan masyarakat bangsa (nation community) yang memudahkan pengertian
dalam ikatan-ikatan internasional (Astrid Susanto, 1985:46). Menurut Mc Iver (Astrid
Susanto, 1985: 47) ciri-ciri khas dari ikatan hidup pedesaan sebagai tahap terendah dari
perkembangan yang dilalui suatu masyarakat luas atau koinunitas adalah:

Bentuk kesatuan lebih jelas apabila diadakan perbedaan antara hak milik (apa yang ada
dalam rumah seseorang) pribadi dan milik penggunaan (biasanya tanah). Walaupun
tanah sering merupakan milik desa, akan tetapi kepada penduduknya diberikan hak
pakai, selama dipergunakan. Selanjutnya dalam ikatan desa anggota masyarakat sudah
dapat mengharapkan adanya perlindungan dari sesama anggota masyarakatnya, dan
inilah permulaan dari awal prinsip kegotong-royongan sebagaimana dikenal di
Indonesia yang terjadi dari adanya hak pakai atas tanah/milik desa.

Mulai adanya ikatan politik (dalam arti luas) dimana dalam ikatan desa biasanya kepala
keluarga menjadi anggota dari rapat desa. Dalam masyarakat desa pemerintahannya
memiliki batas-batas tertentu yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan anggotanya
secara mandiri. Kemudian adat ditentukan oleh sesepuh setempat, demikian pula
tentang hal-hal yang diperlukan para anggota masyarakat sehari-harinya.

Struktur ekonomi desa biasanya terisolasi dari lingkungan ekonomisekitarnya walaupun


gejala ini semakin hari semakin berkurang. Desa yang satu secara ekonomik biasanya
terpisahkan dari desa yang lain tetapi tetap merupakan satu kesatuan. Mengenai
pembagian pekerjaan sedikit sekali, kecuali pekerjaan bertani, sehingga terbanyak
pekerjaan yang dilakukan adalah di rumah sendiri. Kesadaran akan nilai uang masih
minim, biasanya yang terjadi adalah sifat barter, sistem perkreditan kurang dipahami
oleh penduduk desa; peningkatan taraf hidup desa biasanya terjadi apabila suatu desa
dengan mendadak dihubungkan dan menikmati kemajuan teknologi melalui hubungan
transportasi dan kemunikasi dengan kota-kota terdekat.

Berdasarkan penilaian historik, sosiologik, ekonomik, dan politik diketahui bahwa


pembentukan masyarakat dengan kelompoknya terjadi secara bertahap, yaitu:

1. Ikatan darah
2. Ikatan desa
3. Ikatan feodal
4. Ikatan kota
5. Ikatan bangsa/Negara

Pembagian (perkembangan) ikatan ini tidak begitu berbeda dengan Plato yang melihat
masyarakat serta perkembangannya melalui tahap-tahap:
1. Masyarakat pengembara
2. Masyarakat ikatan desa
3. Masyarakat ikatan negara-kota

Menurut Plato ikatan masyarakat negara-kota (dahulu negara hanya terbatas pada satu
kota perdagangan saja), mencerminkan tingkat kebudayaan manusia yang tinggi,
tersempurna dan yang paling mungkin dicapai di dunia ini. Berbeda dengan Mac Iver
yang hidup dalam abad ke-20, Plato berpendapat bahwa tujuan negara ialah
mendekatkan manusia dengan Eidos, sedangkan Mac Iver melihatnya dari segi ekonomi
dan politik.

Sehubungan dengan pembentukan masyarakat di atas, berikutnya Mac Iver dalam


tulisannya The Elements of Social Sciences (1956) menjelaskan bahwa pada masyarakat
modern, ikatan masyarakatnya terbagi pada:

1. Ikatan komunitas (kelompok kecil).


2. Ikatan asosiasi.
3. katan institusi (lembaga). (Astrid Susanto, 1985: 50)

Ikatan komunitas ialah ikatan berdasarkan hal-hal yang mencakup dan memenuhi
sebuah kehidupan dan kebutuhan sosial manusia; ikatan asosiasi merupakan suatu
ikatan yangdifokuskan pada beberapa/satu tujuan tertentu.

Ikatan institusi merupakan ikatan yang terjadi karena peraturan-peraturan yang telah
dilembagakan, hal mana berarti bahwa mungkin saja perangkat peraturan dibuat oleh
suatu lembaga ataupun karena suatu kebiasaan menjadi suatu lembaga/kebiasaan.

Dengan demikian, ikatan komunitas merupakan ikatan utama manusia dan unsur
kehidupan manusia. Dalam masyarakat/komunitas manusia merasa diri sebagai integral
daripadanya. Berbeda dengan ikatan komunitas, katan asosiasi merupakan suatu ikatan
dengan usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu (dan terbatas) dalam
masyarakat. Tanpa asosiasi kebutuhan-kebutuhan ini serta tujuan biasanya kurang jelas
dan disadari manusia atau sukar direalisasikan oleh komunitas, justru karena sifatnya
yang terlalu umum dan mencakupi segala-galanya. Sehubungan dengan ini, ikatan
institusi merupakan ikatan-ikatan berdasarkan peraturan-peraturan tertentu, peraturan
mana biasanya sudah melembaga (kebiasaan) karena telah lama berlaku dan ditaati
suatu masyarakat. Lembaga biasanya merupakan alat untuk memberi wewenang
kepada seseorang atau suatu badan untuk menjalankan atau mengawai suatu kegiatan,
khususnya untuk menjamin agar tujuan dari asosiasi atau komunitas terjamin.

Dengan demikian, institusi merupakan kumpulan peraturan atau badan yang mengurusi
pelaksanaan dan usaha realisasi tujuan yang telah ditentukan oleh kelompok/komunitas
maupun asosiasi. Inilah pembagian yang dewasa ini biasanya dianut sebagai bentuk
pengelompokan dan ikatan dalam suatu masyarakat luas yang modern.
1.4.Berakhir dan Berlangsungnya Kelompok Sosial

Hal yang dapat menyebabkan berakhirnya kelompok sosial dapat disebutkan apabila telah
berakhirnya interaksi mental di antara anggota-anggota kelompok sosial tersebut. Interaksi
yang demikian dapat terjadi karena semakin besarnya perbedaan daripada persamaan
tujuan dan kepentingan anggota-anggota kelompok sosial. Demikian pula sebaliknya, bahwa
kelompok sosial dapat terns berlangsung apabila terdapat ikatan tujuan dan kepentingan
yang lebih besar daripada perbedaan yang terjadi di antara anggota kelompok sosial.

Interaksi mental bukan berarti masing-masing anggota kelompok harus selalu dalam
keseragaman pendapat atau persesuaian di antara mereka, tetapi yang pokok adalah antara
ketidaksepahaman dengan persamaan pendapat di antara mereka masih terdapat adanya
keseimbangan. Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa dasarnya ialah interaksi sosial.

Harold Lasswell (1969) menyebutkan bahwa unsur-unsur integritas anggota kelompok


terhadap kelompoknya dapat diukur menurut derajat keterlibatannya dalam kelompok
melalui perasaannya terhadap kelompoknya. Dalam suatu organisasi dengan kesadaran
kelompoknya yang tinggi terdapat perasaan kerjasama, berpikir dan rasa kebersamaan di
antara masing-masing anggota kelompoknya. Perasaan akan persatuan di antara masing-
masing anggota kelompok timbul apabila anggota kelompok masing-masing mempunyai
pandangan yang sama tentang masa depan bersama, dengan sadar mengetahui bahwa
dalam mewujudkannya mereka memiliki tugas demi merealisasikan tujuan dan kepentingan
bersama. Oleh karena itu, dasar pembentukan kelompok tersebut didasarkan pada adanya
keyakinan bersama, harapan bersama, tujuan yang sama yang dihayati masing-masing dari
anggota kelompok tersebut serta adanya ideologi bersama yang mengikat semua anggota
kelompok. Karena itu pula, akhirnya, masing-masing akan sadar untuk turut berpartisipasi
dalam mencapai harapan bersama dalam kelompok.

Munculnya partisipasi anggota kelompok dalam aktivitasnya pada kehidupan kelompok


sosial dimulai dari adanya kebiasaan bekerja sama di antara masing-masing anggota
kelompok serta adanya rasa solidaritas. Derajat partisipasi ini merupakan derajat intensitas
kesediaan mereka bekerja sama dalam kelompok sosial ini. Kemudian, moral kerja kelompok
secara keseluruhan merupakan derajat totalitas partisipasi dari masing-masing anggota
kelompoknya. Oleh kerena itu, beberapa para ahli mendefinisikan partisipasi secara aktif
sebagai adanya aktivitas atau kegiatan. Untuk jelasnya dapat terlihat dalam urian berikut:

Gordon W. Allport (R.A. Santoso Sastropoetro, 1988:12) menyebutkan bahwa partisipasi


adalah keterlibatan ego atau diri sendiri/ pribadi/ personalitas kejiwaan lebih daripada
hanya jasmaniah/ fisik saja.

Keith Davis (R.A. Santoso Sastropoetro, 1988:51) menyebutkan bahwa partisipasi adalah
keterlibatan mental dan emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada
tujuan/cita-cita kelompok dan turut bertanggung jawab terhadapnya.
R. A. Santoso Sastropoetro (1988: 52) menyebutkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan
spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk
mencapai tujuan bersama.

Margono Slamet (1980:1) menyebutkan bahwa partisipasi adalah ikut serta mengambil
bagian dalam suatu kegiatan dan ikut memanfaatkan serta menikmati hasil yang dicapai
dengan persyaratan, meskipun seseorang itu memiliki suatu kemampuan dan adanya suatu
kesempatan. Penekanan segi manfaat dan menikmati hasil dimaksudkan adalah
mengerjakan sesuatu ikutterlibat, menikmati hasil sebagai hasil dari satu partisipasi apakah
dalam bentuk fisik ataupun non fisik.

Berdasarkan batasan-batasan di atas, jelaslah bahwa partisipasi itu memiliki empat unsur
pokok, yaitu adanya keterlibatan mental dan perasaan, menikmati hasil partisipasi,
kesediaan memberikan sumbangan dan adanya rasa tanggung jawab.

Jenis partisipasi ini meliputi pikiran, tenaga, keahlian, barang, dan uang. Turut
berpartisipasinya seseorang dalam suatu kegiatan, dapatterjadi karena kegiatan tersebut
mengandung ide-ide baru yang dirasakan berguna bagi dirinya. Ide-ide baru sebagai inovasi
merupakan gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seorang yang dapat
menjadi pangkal terjadinya perubahan sosial yang merupakan inti dalam pembangunan
masyarakat. Ide baru itu menyebar ke dalam masyarakat karena terjadinyaproses
komunkasi, yaitu proses dimana pesan-pesan dioperasikan dari sumber ke penerima. Oleh
karena itu, partisipasi dapat terjadi didahului oleh adanya proses komunikasi melalui
interaksi antara individu dalam masyarakat yang bersangkutan.

Teori dan Gagasan tentang Kelompok Sosial, Sifat, serta Klasifikasi

Tipe kelompok-kelompok sosial dapat diklasifikasikan clari beberapa sudut atau dasar
kriteria ukuran yaitu:

Berdasarkan besar kecilnya jumlah anggota kelompok, bagaimana individu mempengaruhi


kelompoknya serta interaksi sosial dalam kelompok tersebut. Ukuran yang demikian ini
dikemukakan oleh sosiolog Jerman, yaitu Georg Simmel. Dalam analisisnya mengenai
kelompok-kelompok sosial, Simmel mulai dengan bentuk terkecil yang terdiri dari satu orang
sebagai fokus hubungan sosial yang dinamakannya “monand” kemudian dikembangkan
dengan meneliti kelompok-kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang, yaitu “dyad” serta
“triad” dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Di samping itu sebagai perbandingan,
ditelaahnya kelompok-kelompok yang lebih besar.

Berdasarkan derajat interaksi sosial dalam kelompok sosial. Beberapa sosiolog dalam hal ini
memperhatikan pembagian atas dasar kelompok-kelompok yang anggota-anggotanya sal ing
kenal mengenal seperti keluarga, rukun keluarga dan desa. Begitu pula sebaliknya kelompok-
kelompok sosial seperti di kota-kota, korporasi, dan negara, yang anggota-anggotanya tidak
memiliki pertalian hubungan yang erat. Ukuran ini kemudian oleh para sosiolog di antaranya
F. Stuart Chapin dikembangkan dengan memperhatikan tinggi rendahnya derajat keeratan
hubungan antara anggota-anggota kelompok tersebut.

Berdasarkan ukuran kepentingan dan wilayah. Misalnya, suatu community (masyarakat


setempat) yang merupakan kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan sosial atas dasar
wilayah yang anggotanya tidak mempunyai kepentingan-kepentingan yang khusus/ tertentu.
Berlangsungnya suatu kepentingan, merupakan ukuran lain bagi klasifikasi tipe-tipe sosial.
Suatu kerumunan misalnya merupakan kelompok yang hidupnya sebentar, oleh karena
kepentingannya pun tidak berlangsung dengan lama. Lain halnya dengan community yang
kepentingannya secara relatif bersifat permanen.

Berdasarkan ukuran derajat organisasi. Dalam ini ini kelompok sosial terdiri dari kelompok-
kelompok yang terorganisir. Kelompok sosial yang terorganisir dengan baik, adalah negara,
sedangkan kelompok sosial yang tidak terorganisir misalnya adalah suatu kerumunan.

Berikutnya Soerjono Soekanto (1982: 117) menambahkan bahwa tipe-tipe umum dari
kelornpok-kelompok sosial dalam pula disebutkan, yaitu berdasarkan:

Kategori statistik

Kategori statistik adalah pengelompokan oleh ilmuwan atas dasar ciri tertentu yang sama,
seperti misalnya, kelompok umur.

Kategori sosial

Kategori sosial merupakan kelompok individu-individu yang sadar akan ciri-ciri yang dimiliki
bersama, misalnya Ikatan Dokter Indonesia.
Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari orang begitu sering membicarakan tentang kebudayaan dan tak
mungkin orang menghidar dan” kebudayaan, karena tak seorang pun yang tidak berurusan dengan
hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat, mempergunakan atau merusak kebudayaan. Beberapa
definisi tentang kebudayaan dapat dilihat di bawah ini.

Dalam karya berjudul The Reality of Culture, Milville J. Herskovits (1955) menyatakan bahwa ada
lebih dari seratus enam puluh definisi tentang kebudayaan. Pengertian kebudayaan meliputi bidang
yang luasnya seolah-olah tidak berbatas, sehingga sukarsekali mendapatkan suatu definisi yang
tegas dan terperinci mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam pengertian itu.

Dalam pengertian umum, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama
istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu pengetahuan kemasyarakatan maka kesenian
merupakan hanya salah satu bagian dari kebudayaan.

Apabila pengertian kebudayaan hendak dirumuskan dengan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia,
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 113) mengusulkan rumusan definisi kebudayaan
adalah semua hasil dari karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan
terknologi dan kebudayaan kebendaan {material culture) yang diperlukan oleh masyarakat untuk
menguasai alam di sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan bagi keperluan
masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma-norma dan nilai-nilai
kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di
dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang
merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.

Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampun berpikir dari orang-orang yang hidup
bermasyarakat dan antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu pengetahuan, baik yang
berwujud teori murni maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat.
Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang orang yang menentukan kegunaannya
agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.

Kebudayaan yang diberi arti demikian dimiliki oleh setiap masyarakat Tidak ada suatu masyarakat
pun yang masih hidup tidak mempunyai kebudayaan. Perbedaannya bahwa kebudayaan masyarakat
yang satu lebih sempurna dari kebudayaan masyarakat lain dalam perkembangannya untuk
memenuhi segala kepentingan. Dalam hubungan ini, maka biasa diberikan nama “peradaban”
(civilization) kepada kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan yang tinggi.

Tiga definisi tentang kebudayaan akan lebih memperjelas yang dimaksudkan dengan kebudayaan,
yaitu:
Definisi klasik kebudayaan yang disusun oleh Sir Edwar Taylor (1871 menyebutkan bahwa
kebudayaan adalah komplek keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang lain diperoleh seseorang sebagai
anggota masyarakat (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1987:58).

William A. Haviland (1988: 331) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia dan
yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat, apabila
orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam
masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa bukan diwariskan secara biologis dan
unsur-unsur kebudayaan yang berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.

Robert L. Sutherland (1961: 30-31) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perikelakuan yang normatif mencakup semua cara atau pola-pola
berpikir,merasakan, dan bertindak.
Lembaga Sosial atau Institusi Sosial

Dalam Kamus Bahasa Indonesia sampai sekarang belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan
umum dari kalangan para sarjana sosiologi untuk menerjemahkan istilah Inggris, “Social Institution”.
Ada yang mencoba menerjemahkannya dengan istilah “pranata” dengan alasan bahwa “Social
Institution” mengandung unsur-umof yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat.
Adapulayang menggunakan istilah “Bangunan Sosial”, istilah ini diduga merupakan terjemahan dari
istilah “Sociale Gebilde” dalam bahasa Jerman yang lebih jelas menggambarkan bentuk serta
susunan dari “Social Institution”. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 61)
menggunakan istilah “Lembaga Kemasyarakatan” sebagai terjemahan dari “Social Institution”. Bukan
karena terjemahan itu yang dianggap paling tepat, tetapi istilah lembaga selain menunjuk pada
suatu bentuk, juga mengadung pengertian yang abstrak tentang adanya norma-norma dan
peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari suatu lembaga.

Seperti tersebut di atas, Koentjaraningrat (1964: 113) menggunakan istilah “Pranata Sosial” untuk
terjemahan istilah “Social Institution” dengan alasan menunjuk kepada adanya unsur-unsur yang
mengatur perikelakuan para anggota masyarakat. Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan
dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.

Para ahli memberikan beberapa batasan mengenai lembaga sosial dalam uraian berikut:

Alvin L. Bertrand (1980: 120) menyatakan bahwa, institusi-institusi sosial pada hakikatnya adalah
kumpulan-kumpulan dari norma-norma sosial (struktur-struktur sosial) yang telah diciptakan
untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat. Institusi-institusi ini meliputi kumpulan-kumpulan
norma-norma dan bukan norma-norma yang berdiri sendiri-sendiri.

Menurut Joseph S. Roucek dan Roland L. Waren (1984: 93) institusi adalah pola-pola {patterns)
yang telah mempunyai kedudukan tetap atau pasti untuk mempertemukan bermacam-macam
kebutuhan manusia yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan dengan mendapatkan persetujuan dari
cara-cara yang sudah tidak dipungkiri lagi, untuk memenuhi konsep kesejahtaran masyarakat dan
menghasilkan suatu struktur.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1987: 224-245) menyebutkan bahwa lembaga yang digunakan
dalam konsep sosiologi berbeda dengan yang digunakan oleh konsep umum lainnya. Sebuah
lembaga bukanlah sebuah bangunan, bukan sekelompok orang dan juga bukan sebuah organisasi.
Lembaga (institusi) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh
masyarakat dipandang penting, atau secara formal, lembaga adalah sekumpulan kebiasaan dan tata
kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses
terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.

J.B.A.F. Mayor Polak (1966: 253) memberikan batasan tentang lembaga sosial yaitu suatu kompleks
atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting,
sedangkan lembaga mempunyai tujuan untuk mengatur antar-hubungan yang diadakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.
Robert Mac Iver dan Charles H. Page (1965: 19) mengartikan lembaga sosial sebagai tata cara atau
prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar-manusia yang berkelompok dalam
suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakan association.

Leopold von Wiese dan Howard Becker (Soerjono Soekanto, 1982: 193) melihat lembaga sosial dari
sudut fungsinya yang menyebutkan bahwa lembaga sosial adalah suatu jaringan proses-proses
hubungan antar manusia dan antar-kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-
hubungan tersebut serta pola-polanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan
kelompoknya.

Soerjono Soekanto (1982: 192) menyatakan bahwa lembaga sosial adalah merupakan himpunan
daripada norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam
kehidupan masyarakat. wujud yang konkret dari lembaga sosial ini adalah asosiasi. Sebagai contoh,
universitas merupakan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan, sedangkan Universitas
Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan Iain-Iain
adalah contoh-contoh asosiasi.

STRATIFIKASI SOSIAL

Pengertian

Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota
masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota
masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa
suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan
dalam bentuk jamak.

Pitirim A. Sorokin ( Soekanto, 2006; 197) mengatakan bahwa sistem lapisan sosial merupakan ciri
yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki
sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat memiliki kedudukan
dalam lapisan atas. Mereka hanya memiliki sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga
dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Menurut Pitirim A. Sorokin
(Soekanto, 2006:198) stratifikasi berasal dari kata stratum yang berari lapisan. Lebih lanjut Sorokin
menjelaskan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas secara bertingkat/ hierarkis. Dasar dari pembedaan ini adalah tidak adanya keseimbangan
dalam distribusi hak dan kewajiban. Sedangkan menurut Bruce J. Cohen sistem stratifikasi akan
menempatkan setiap individu pada kelas sosial yang sesuai berdasarkan kualitas yang dimiliki.

Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat,
juga dapat dibentuk untuk tercapainya tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial
dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam
batas-batas tertentu.
Mobilitas sosial merupakan perubahan status individu atau kelompok dalam stratifikasi sosial.
Mobilitas dapat terbagi atas mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal juga dapat
terbagi dua, mobilitas vertikal intragenerasi, dan mobilitas antargenerasi.

Berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, yaitu stratifikasi terbuka
dan stratifikasi tertutup. Pada stratifikasi terbuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup
besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.

Dimensi Stratifikasi Sosial

Untuk menjelaskan stratifikasi sosial ada tiga dimensi yang dapat dipergunakan yaitu : privilege,
prestise, dan power. Ketiga dimensi ini dapat dipergunakan sendiri-sendiri, namun juga dapat
didigunakan secara bersama.

Karl Marx menggunakan satu dimensi, yaitu privilege atau ekonomi untuk membagi masyarakat
industri menjadi dua kelas, yaitu kelas Borjuis dan Proletar. Sedangkan Max Weber, Peter Berger,
Jeffries dan Ransford mempergunakan ketiga dimensi tersebut. Dari penggunaan ketiga dimensi
tersebut Max Weber memperkenalkan konsep : kelas, kelompok status, dan partai.

Kelas sosial merupakan suatu pembedaan individu atau kelompok berdasarkan kriteria ekonomi.
Untuk mendalami kelas sosial ini Soerjono Soekanto memberikan 6 kriteria tradisional.

Menurut Horton and Hunt keberadaan kelas sosial dalam masyarakat berpengaruh terhadap
beberapa hal, diantaranya adalah identifikasi diri dan kesadaran kelas sosial, pola-pola keluarga, dan
munculnya simbol status dalam masyarakat.

Bentuk stratifikasi dapat dibedakan menjadi bentuk lapisan bersusun yang diantaranya dapat
berbentuk piramida, piramida terbalik, dan intan. Selain lapisan bersusun bentuk stratifikasi dapat
juga diperlihatkan dalam bentuk melingkar. Bentuk stratifikasi melingkar ini terutama berkaitan
dengan dimensi kekuasaan.

Ada tiga cara yang dapat kita lakukan untuk bisa mengetahui bentuk dari stratifikasi sosial. Ketiga
cara tersebut adalah dengan pendekatan objektif, pendekatan subyektif, dan pendekatan
reputasional.

Stratifikasi merupakan suatu fenomena sosial yang telah menjadi ciri dari setiap masyarakat di
manapun dan dari dulu sampai sekarang. Plato (Russell, 2004:147) seorang filsuf klasik Yunani
misalnya membagi warga negara menjadi tiga kelas yakni rakyat biasa, kaum serdadu dan golongan
para pemimpin. Golongan para pemimpin memiliki kekuasaan politik. Jumlahnya lebih sediri dari dua
golongan di bawahnya. Golongan para pemimpin ini pada mulanya dipilih oleh legislator, tetapi
kemudian diganti berdasarkan keturunan. Seorang filsuf yang lain – masih dari Yunani – Aristoteles
(Russell, 2004; 236) menagatakan bahwa setiap orang harus dicintai sesuai dengan kelebihannya,
yang lebih rendah harus mencintai yang lebih tinggi dari pada yang tinggi mencintai yang lebih
rendah; para isteri, anak-anak, rakyat, harus memberikan cinta kepada suami, orang tua, monarkhi
secara lebih dari pada suami, orang tua, monarkhi berikan kepada mereka.

Sifat Stratifikasi Sosial

Sifat dalam stratifikasi sosial dapat bersifat tertutup dan terbuka (Soekanto, 2006:202). Lapisan
tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain baik
yang perpindahan horisontal maupun vertikal. Sebaliknya dalam lapisan yang terbuka setiap
masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha sesuai dengan kecakapannya sendiri untuk naik
ke lapisan atas.

Lapisan tertutup lebih didasarkan pada faktor-faktor yang bersifat ascribed, suatu lapisan yang
terjadi bukan karena usaha atau kegagalan seseorang melainkan karena berdasarkan kelahiran.
Menjadi putra mahkota di Jepang, pangeran di Inggris atau di kerajaan Yogyakarta bukan karena
pendidikan, melainkan karena kelahiran berdasarkan tradisi masyarakat itu sendiri. Ini berarti bahwa
tidak setiap warga negara Inggris dapat menjadi pangeran Inggris, dan tidak setiap warga Jepang
akan dapat menjadi putra mahkota Jepang. Lapisan sosial yang tertutup ini banyak dijumpai dalam
sistem kasta. Lapisan terbuka lebih didasarkan oleh faktor-faktor prestasi atau usaha seseorang.
Lapisan terbuka dianuti oleh hampir semua masyarakat modern dewasa ini.

Kelas-Kelas Dalam Masyarakat

Kelas sosial (Soekanto, 2006:207) adalah semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya
di dalam suatu lapisan, dan kedudukan mereka itu diketahui serta diakui oleh masyarakat umum.
Kelas sosial ini bisa didasari oleh ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan, kehormatan dan penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan.

Ada pula yang menggunakan istilah kelas hanya untuk lapisan yang berdasarkan atas unsur
ekonomis. Sementara itu, lapisan yang berdasarkan atas kehormatan dinamakan kelompok
kedudukan (status group). Menurut Joseph Schumpeter, kelas-kelas dalam masyarakat terbentuk
karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kelas memberikan fasilitas-fasilitas hidup yang tertentu bagi
anggotanya. Misalnya, keselematan atas hidup dan harta benda, kebebasan, standar hidup yang
tinggi sesuai dengan kedudukan yang dalam arti tertentu tidak dipunyai oleh warga kelas yang
lainnya.
Selain itu, kelas juga memengaruhi gaya dan tingkah laku hidup masing-masing warganya karena
kelas-kelas yang ada dalam masyarakat mempunyai perbedaan dalam kesempatan-kesempatan
menjalani jenis pendidikan atau rekreasi tertentu

Kriteria Menggolongkan Anggota Masyarakat Dalam Suatu Lapisan

Ukuran Kekayaan

Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan atas. Kekayaan tersebut
dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil pribadi, cara menggunakan pakaian dan kebiasaan-
kebiasaan lainnya.

Ukuran Kekuasaan

Barang siapa memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas.

Ukuran Kehormatan

Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang
paling disegani dan dihormati, mendapat tempat teratas. Ukuran ini banyak dijumpai dalam
masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau yang pernah berjasa.

Prinsip-prinsip Umum Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial merupakan karakter dari setiap komunitas masyarakat.

Stratifikasi sosial bersifat universal dan berubah-ubah

Stratifikasi sosial akan selalu ada pada setia generasi

Stratifikasi sosial didukung oleh pola-pola kepercayaan.

Distribusi Kekuasaan

Hak-Hak Istimewa dan Prestise yang Tidak Merata. Kekuasaan didefenisikan sebagai kemungkinan
individu atau kelompok untuk memaksakan keinginan meraka kepada yang lainnya, bahkan bila
mendapat penolakan dan pertentangan dari orang lain. Pada saat anda memaksakan keinginan anda
terhadap orang lain yang tidak ingin dikontrol oleh anda, anda berarti memiliki kekuasaan.
Penggunaan paksaan merupakan manifenstasi yang paling nyata dari kepemilikan kekuasaan
Privilege

Privilege mengacu pada hak, keuntungan dan kekebalan yang diasosiasikan dengan suatu posisi
hirarki. Distribusi privilege membagi masyarakat ke dalam kelompok yang memiliki dan yang tidak
memiliki. Kelompok strata atas memiliki kekebalan, pendapatan, dan hak-hak prerogatif, kebebasan,
dan pilihan-pilihan yang kurang sesuai dengan strata bawah. Privilege memiliki dua aspek utama
yakni ekonomi dan kultural.

Beberapa privilege secara langsung dihubungkan dengan posisi ekonomi individual. Orang-orang
dengan kesejahteraan yang lebih besar dapat memperoleh banyak keuntungan seperti pelayanan
kesehatan yang baik dan dapat menghindari setiap kesulitan hidup.

Norma-norma budaya dapat meberikan keuntungan atau ketidakberuntungan kepada orang-orang


tertentu

Prestige

Prestige mengacu pada distribusi kehormatan dan status sosial. Dalam masyarakat pada umumnya
ada kelompok yang memiliki prestige yang tinggi, namun ada pula kelompok masyarakat dengan
prestige yang rendah.

Macam-macam / Jenis-jenis Status Sosial

Ascribed Status

Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan,
keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.

Achieved Status

Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang
dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan,
dll.

Assigned Status

Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang
bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya
seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.

Sifat Stratifikasi Sosial

Stratifikasi Sosial Tertutup


Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat
pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Contoh stratifikasi sosial tertutup yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta di Jawa ada
golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti
petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat / bangsawan darah biru

Stratifikasi Sosial Terbuka

Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat
berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain.

Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang
tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi
karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah,
kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi
dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.

Stratifikasi Sosial Campuran

Hal ini bisa terjadi bila stratifikasi sosial terbuka bertemu dengan stratifikasi sosial tertutup.
Anggotanya kemudian menjadi anggota dua stratifikasi sekaligus. Ia harus menyesuaikan diri
terhadap dua stratifikasi yang ia anut

Bentuk-bentuk Mobilitas Sosial:

Mobilitas Sosial Horizontal

Di sini, perpindahan yang terjadi tidak mengakibatkan berubahnya status dan kedudukan individu
yang melakukan mobilitas.

Mobilitas Sosial Vertikal

Mobilitas sosial yang terjadi mengakibatkan terjadinya perubahan status dan kedudukan individu.
Mobilitas sosial vertikal terbagi menjadi

Vertikal naik
Status dan kedudukan individu naik setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini.

Vertikal turun

Status dan kedudukan individu turun setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini.

Mobilitas antar generasi

Ini bisa terjadi bila melibatkan dua individu yang berasal dari dua generasi yang berbeda.

PERUBAHAN SOSIAL

Mengenai batasan perubahan sosial dapat dilihat dalam beberapa definisi dari para ahli berikut:

Kingsley Davis, John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, dan Samuel Koenig (Soerjono Soekanto,
1982: 306-307) masing-masing menyebutkan:

Kingsley Davis, memberi arti perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada struktur dan
fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis
menyebabkan timbulnya perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikannya, yang
kemudian menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi politik.

John Lewis Gillin dan John Philip Gillin mengartikan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari
cara-cara hidup yang telah diterima, karena ada perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi atau adanya disfusi serta penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat.

Samuel Koenig mengartikan bahwa perubahan-perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-


modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi tersebut terjadi karena
sebab-sebab yang intern dan ekstern.

Selo Soemardjan (1962: 379) mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi
pada sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Wilbert More (Robert H. Lauer, 1989: 4) menyebutkan bahwa perubahan sosial itu meliputi
perubahan struktur tentang pola-pola perilaku dan interaksi sosial.

Sebab-sebab Terjadinya Perubahan Sosial

Sebab-sebab terjadinya perubahan sosial dapat diterangkan menurut pendapat para ahli
berikut:
Raymond Firth (1960: 241-242) menyebutkan sebab terjadinya perubahan sosial karena penggerak
tertentu dalam masyarakat yang bisa datang dari luar atau dalam masyarakat. Yang datang dari
dalam adalah daya gerak berupa pendapatan baru di lapangan teknik, perjuangan perseorangan
untuk memperoleh tanah dan kekuasaan, perumusan baru dari paham-paham orang kritis yang
dianugerahi bakat-bakat istimewa (para ahli atau filsuf), tekanan jumlah penduduk atas mata
pencarian, dan barangkali perubahan iklim. Sebab yang datang dari luar, untuk sebagian terletak
dalam lingkungan pergaulanitu sendiri dan untuk sebagian lagi terletak dalam kekuatan
berekspansinya peradaban.

Alvin L. Bertrand (1980: 106) berpendapat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor adanya
komunikasi, yaitu proses dengan mana informasi disampaikan dari individu yang satu kepada
individu lain. Sedangkan yang dikomunikasikan adalah suatu gagasan-gagasan/ide- ide atau
keyakinan maupun hasil budaya yang berupa fisik.

Robert Sutherland dkk. (Astrid S. Susanto, 1985: 165) menyebutkan bahwa faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah faktor adanya inovasi (penemuan
baru/pembaharuan), invensi (penemuan baru), adaptasi (penyesuaian secara sosial dan budaya),
adopsi , (penggunaan dari penemuan baru/teknologi).

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 489-490) menyebutkan pada umumnya dapat
dikatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan sosial adalah dikarenakan adanya pengaruh dari
dalam dan luar masyarakat. Sebab-sebab yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri,
misalnya bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru (invention),
pertentangan (conflicts) antar golongan, dan pemberontakan atau revolusi yang terjadi dalam
masyarakat. Apabila sebab-sebab perubahan sosial itu bersumber dari dalam masyarakat, maka
biasanya perubahan itu terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain yang melancarkan
pengaruhnya pada kebudayaan dari masyarakat yang sedang dipelajari. Hubungan yang dilakukan
secara fisik antara kedua masyarakat, memiliki kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal
balik, artinya masing-masing masyarakat memengaruhi masyarakat yang lainnya dan menerima
pengaruh dari masyarakat yang lain. Akan tetapi apabila hubungan itu berjalan melalui media
komunikasi massa seperti radio, televisi, film, majalah, dan surat kabar, maka pengaruh itu
datangnya hanya dari satu pihak saja yaitu dari masyarakat yang secara aktif menggunakan media
massa tersebut, sedangkan pihak lain hanya menerima pengaruh dengan tidak memiliki kesempatan
memberi pengaruh kepada masyarakat yang memengaruhinya. Proses penerimaan pengaruh
kebudayaan dari masyarakat lain yang berbeda kebudayaannya dalam antropologi budaya
dinamakan akulturasi (acculturation). Apabila pengaruh itu diterima tidak karena paksaan dari pihak
yang memengaruhi, maka hasilnya dalam ilmu ekonomi dinamakan demonstration effect. Apabila
diteliti lebih mendalam apa sebabnya dapat terjadi suatu perubahan dalam masyarakat, maka pada
umumnya dapat dikatakan, bahwa faktor yang diubah mungkin dengan sadar, mungkin juga tidak
dengan sadar oleh masyarakat karena dianggap sudah tidak memuaskan lagi adanya. Adapun
sebabnya masyarakat merasa tidak puas lagi pada suatu faktor mungkin karena ada faktor baru
yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti dari faktor lama. Mungkin juga masyarakat
mengadakan perubahan karena terpaksa untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor
lain yang telah mengalami perubahan.

Astrid S. Susanto (1985: 166) menyebutkan bahwa, sebab-sebab timbulnya perubahan sosial karena:

Keadaan geografi tempat pengelompokan sosial.

Keadaan biofisik kelompok.


Kebudayaan

Sifat anomi manusia.

Faktor Pendorong Perubahan Sosiai

Beberapa faktor pendorong terjadinya perubahan sosial dapat disebutkan antara lain:

Adanya kontak dengan kebudayaan lain. Salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah
difusi (diffusion). Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari orang
perorangan kepada orang perorangan yang lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain.
Dengan difusi suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan
disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di dunia dapat menikmati kegunaan
kemajuan peradaban, yaitu antara lain proses tersebut merupakan pendorong bagi pertumbuhan
suatu kebudayaan masyarakat manusia.

Adanya sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan di sekolah mengajarkan kepada setiap
orang (siswa atau mahasiswa) bermacam-macam ilmu pengetahuan untuk diketahui atau dikuasai.
Oleh karena itu pendidikan memberi suatu nilai tertentu bagi manusia dalam membuka pikirannya
secara lebih rasional atau cara berpikir ilmiah. Pendidikan mengajarkan pada setiap orang agar dapat
berpikir lebih objektif terutama terhadap penilaian manfaat kebudayaan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia.

Adanya sikap menghargai hasil karya orang lain serta keinginan untuk maju. Apabila sikap yang
demikian itu dimiliki oleh seseorang dan jadi melembaga, maka masyarakat akan memberikan
dorongan bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuan-penemuan baru, seperti hadiah Nobel
merupakan pendorong untuk menciptakan hasil-hasil karya yang baru.

Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation) yang bukan merupakan


delik. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan sosialnya (open stratification). Pada sistem lapisan yang
terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang luas yang berarti memberi kesempatan
bagi orang perorangan untuk maju atau dasar kemampuan-kemampuan anggota masyarakat.

Adanya penduduk yang heterogen. Masyarakat yang anggotanya terdiri dari kelompok-kelompok
sosial yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda ras, ideologi, dan sebagainya mudah
terjadi pertentangan yang menyebabkan suatu goncangan sosial, yang merupakan suatu pendorong
bagi terjadinya perubahan dalam masyarakat.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Keadaan seperti ini apabila
terjadi dalam waktu yang lama, dimana masyarakat mengalami tekanan-tekanan dan kekecewaan
dalam menyebabkan timbulnya suatu revolusi dalam masyarakat.

Orientasi ke masa depan.

Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Adanya disorganisasi dalam masyarakat, sikap mudah menerima hal-hal yang baru, dan seterusnya.

Faktor Penghambat Terjadinya Perubahan Sosial


Beberapa faktor penghambat terjadinya perubahan sosial antara lain sebagai berikut:

Kurangnya hubungan suatu masyarakat dengan rnasyarakat lain, sehingga keterasingan hidup
anggota masyarakat yang demikian sering kali tidak mengetahui perkembangan apa yang terjadi
dalam masyaakal lain, padahal kebudayaan masyarakat lain dapat memperkaya kebudayaannya. Ini
terlihat juga pada suatu kelompok masyarakat yang sangat terkungkung oleh pemikiran pola tradisi
kebudayaannya.

Terlambatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam satu masyarakat, yang dimungkinkan oleh
adanya keterasingan dan ketertutupan masyarakat tersebut dari pengaruh luar. Kondisi demikian
dapat terjadi karena lamanya suatu masyarakat dijajah oleh masyarakat lain.

Sikap masyarakat sangat tradisional. Apabila suatu masyarakat sangat mengagung-agungkan tradisi
masa lampaunya serta beranggapan bahwa tradisi tersebut secara mutlak tidak dapat dirubah, maka
kenyataan seperti dapat merupakan faktor penghambat terjadinya perubahan sosial dalam
masyarakat ini.

Adanya kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali dalam suatu organisasi sosial, mereka
sangat menikmati kedudukannya karena dimungkinkan oleh sistem lapisan-lapisan kedudukan
enggan melepaskan kedudukan yang sedang dipangkunya. Bahkan tidak jarang mereka
mengidentifikasikan dirinya dengan usaha-usaha dan jasa-jasanya di dalam membentuk organisasi
sosiai tersebut.

Adanya rasa takut atau khawatir terjadinya kegoncangan pada transisi kebudayaan. Hal ini
dimungkinkan kekhawatiran adanya unsur-unsur dari luar yang memiliki derajat integrasi yang tinggi
akan menggoyahkan integrasi yang telah ada dan menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek-
aspek tertentu dalam masyarakat.

Sikap tertutup terhadap hal-hal yang baru. Sikap seperti ini sering dijumpai pada masyarakat yang
pernah dijajah, misalnya mereka yangn pernah dijajah bangsa Barat, tidak jarang mereka mencurigai
segala sesuatu yang berbau Barat, pengaruh pengalaman sejarah pahit dari bangsa penjajah
membentuk sikap anti terhadap hal-hal yang berbau Barat tersebut. Kondisi seperti ini pernah juga
terjadi pada masyarakat Indonesia pada tahun 1950-an.

Asal hambatan yang bersifat ideologis. Hambatan seperti ini dalam perubahan sosial dapat ditemui
pada masyarakat yang memiliki unsur-unsur kebudayaan rohaniah kuat sekali. Apabila ada unsur-
unsur budaya rohaniah tersebut mereka menggap hal ini sangat membahayakan kehidupan mereka,
oleh karena itu mereka menolak hal-hal yang demikian.

Adanya adat atau kebiasaan. Setiap masyarakat memiliki adat atau kebiasaan yang merupakan pola-
pola perikelakuan bagi anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan utamanya, dan keadaan
demikian sangat sulit dirubah. Adat atau kebiasaan tersebut dapat berupa kepercayaan, sistem mata
pencarian hidup, cara-cara berpakaian, pembuatan rumah dll.

Adanya sikap masyarakat yang beranggapan bahwa hidup ini pada hakekatnya buruk dan tidak
mungkin diperbaiki.

Proses Perubahan Sosial

Beberapa bentuk proses perubahan sosial dapat disebutkan sebagai berikut:


Proses perubahan sosial melalui evolusi sosial (social evolution).

Proses perubahan sosial melalui mobilitas sosial {social mobility).

Proses perubahan sosial melalui revolusi sosial (social revolution).

Tentang hal di atas, kita simak pendapat Bogardus (Astrid S. Susanto, 1985: 170-173) berikut ini:

Proses perubahan sosial melalui evolusi sosial (social evolution). Evolusi sosial merupakan
perkembangan gradual yaitu karena adanya kerjasama harmonis antara manusia dengan
lingkungannya, dan dikenal bentuk-bentuk evolusi berikut:

Evolusi kosmis (cosmis evolution).

Evolusi organis (organic evolution).

Evolusi mental (mental evolution).

Evolusi kosmis adalah taraf evolusi dalam bentuk pertumbuhan,’ perkembangan atau kemunduran
hidup manusia.Evolusi organis adalah evolusi yang ditemukan dalam bentuk survival of the fittest,
yaitu perjuangan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Evolusi mental adalah evolusi sebagai
akibat adanya perubahan teknologi dan perubahan kebudayaan. Dalam hal ini dikenal pengaruh
teknologi terhadap kelompok-kelompok sosial sendiri dengan akibat yang semakin kompleks dan
kebudayaan sebagai contoh adanya gedung-gedung bertingkat dengan menggunakan teknologi
arsitektur dan kemajuan teknik lainnya.

Proses perubahan sosial melalui mobilitas sosial (social mobility).Mobilitas sosial (gerakan sosial)
ialah keinginan akan perubahan yang diorganisasi. Sebab dari gerakan sosial ini ialah penyesuaian
diri dengan keadaan (ekologi) karena didorong oleh keinginan manusia akan hidup dalam keadaan
yang lebih baik, serta pemanfaatan dari penemuan-penemuan baru. Pada umumnya gerakan sosial
atau mobilitas sosial ini terbentuk apabila ada konsep yang jelas, terlebihapabila konsep ini
mempunyai strategi yang jelas pula. Suatu gerakan akan berakhir apabila suatu idea oleh para
pengikutnya dirasakan telah terwujudkan atau bila keadaan telah berubah kembali. Akibat dari
mobilitas sosial ini adalah adanya respons dan pandangan baru, akan tetapi apabila mobilitas ini
berlangsung terlalu lama membawa akibat perubahan kepribadian terlalu parah, ketidakstabilan
dalam masyarakat dan individu pun terjadi. Adanya lebih banyak rangsangan daripada perubahan
yang nyata dapat terjadi karena perubahan hanya merupakan slogan atau rangsangan belaka yang
tidak diwujudkan. Mobilitas sosial terbagi dua yaitu mobilitas yang mendatardan vertikal seperti
yang telah diuraikan sebelumnya. Mobilitas sosial banyak terjadi apabila terdapat hambatan-
hambatan dalam perkembangannya atau apabila evolusi mengalami kegagalan yang disebabkan
oleh tindakan dalam bidang otokrasi, terlalu banyaknya kepentingan kelompok/pribadi, adanya
kelompok yang hendak mempertahankan status ekonomi, keuangan atau politiknya. Sebab itulah
terdapat hubungan yang erat antara mobilitas sosial dengan revolusi sosial.

Proses perubahan sosial melalui revolusi sosial (social revolution). Pada umumnya revolusi ditandai
oleh adanya ketidakpuasan dari golongan tertentu, dan biasanya didahului oleh tersebarnya suatu
ideabaru. Saat pecahnya suatu revolusi ditandai oleh adanya teror suatu coup d’etat. Dilihat dari segi
sosialnya suatu revolusi pecah apabila dalam suatu masyarakat faktordisorganisasi lebih besar
daripada faktor reorganisasi atau bila faktor-faktor adaptif lebih kecil daripada faktor non adaptif.
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa suatu revolusi terjadi dengan mendadak, bahkan ada revolusi
yang tidak pernah pecah walaupun telah mencapai puncaknya. Menurut Gottschalk (Astrid S.
Susanto, 1985: 174) revolusi terjadi melalui tahap-tahap inkubasi, tindakan (action), dan adaptasi
(penyesuaian). Biasanya suatu revolusi sosial pecah, apabila terdapat suatu kegagalan dalam evolusi.
Tahap revolusi dicapai karena kebutuhan akan perubahan (dalam bidang salah kelola), harapan-
harapan akan berubah (menuju perbaikan) dirasakan tidak diwujudkan. Saat revolusi akhirnya pecah
disebabkan karena masyarakat menganggap pimpinan mereka memiliki banyak kelemahan.

Bentuk Perubahan Sosial

Bentuk perubahan sosial dapat disebutkan meliputi perubahan bentuk struktur sosial, sistem sosial,
organisasi sosial atau stratifikasi sosial. Pada struktur sosial terlihat bentuk perubahan-
perubahannya pada jaringan hubungan antar-individu dalam masyarakat berupa hubungan jalinan
sistem nilai-nilai, norma-norma, pola-pola perilaku individu kelompok sosial dan kebudayaan serta
kaidah-kaidah masyarakat lainnya. Pada organisasi sosial terlihat bentuk perubahannya pada wadah
pergaulan kelompok yang disusun secara jelas antara para petugas dengan yugas-tugasnya yang
berhubungan dengan usaha mencapai tujuan tertenti yang umumnya berhubungan dengan aspek
kesejahteraan dan keamanan para anggota organisasi sosial tersebut.

Pada stratifikasi sosial terlihat bentuk perubahannya pada kedudukan sosial seseorang karena faktor
tertentu baik secara vertikal maupun secara horizontal. Misalnya buruh karena pendidikan dapat
menjadi seorang ilmuwan, atau menjadi pedagang, komandan pasukan militer, dan lain sebagainya.

Yang berhubungan dengan bentuk perubahan struktur sistem dan organisasi sosial di atas misalnya
suatu gerak masyarakat yang berhubungan dengan ruang geografi atau terjadinya perpindahan
tempat kelompok anggota masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain dalam jumlah yang relatif
besar, bentuknya yang terkenal di antaranya:

Imigrasi, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara masuk ke negara lain.

Emigrasi, perpindahan penduduk dari suatu negara luar atau pergi dan negara asalnya.

Transmigrasi, perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya yang dikirim oleh
pemerintah dalam suatu wilayah negara tertentu.

Urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam satu wilayah negara tertentu.

Hal yang harus mendapat perhatian seorang peneliti yaitu terlebih dahulu memberi batasan dengan
tegas mengenai ruang lingkup perubahan sosial. Hal ini disebabkan karena luasnya bidang dimana
mungkin terjadi perubahan-perubahan sosial. Untuk memberikan batas tersebut, maka seorang
peneliti perlu mengetahui bahwa perubahan sosial dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di daiamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial dapat menyebabkan timbulnya beberapa masalah, antara lain:

Pada taraf pribadi atau individu menimbulkan masalah bagaimana mengamankan identitasnya,
sebagai manusia, sebagai warga masyarakat, dan sebagai penganut tradisi kebudayaan tertentu.

Pada taraf struktural menimbulkan masalah bagaimana mengorganisasi pola peranan dan kelompok-
kelompok yang baru.

Pada taraf kebudayaan menimbulkan masalah bagaimana membentuk tradisi baru yang akan dapat
menjadi pedoman bagi warga masyarakat pada masa transisi.

Anda mungkin juga menyukai