Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENTING MENJAGA PANCASILA SEBAGAI DASAR

NEGARA

OLEH

NAMA : INO SENSIUS KOLO

NIM : 2023735863

SEMSTER : 2

KELAS : B

PROGRAM STUDI : D3 TEKNIK LISTRIK

JURUSAN : TEKNIK ELEKTRO

POLITEKNIK NEGERI KUPANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang.
Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 67 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi
kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai dasar negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan
karunia terbesar dari Tuhan YME dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-
masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu
dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-
hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad
Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat
bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila
itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif
yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup
untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-
norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan,
pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak
oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi
luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat
adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan
tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.
Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus
diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-
apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk
kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
Indonesia.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.  Mengapa piagam jakarta tidak dijadikan sebagai dasar negara
2.  Mengapa paham khilafah bahaya bagi NKRI?
3.  Apa yg harus kita lakukan jika budaya lokal terancam hilang karena budaya asing?
C. TUJUAN PENULISAN
1.  Untuk mengetahui alasan kenapa piagam jakarta tidak dijadikan sebagai dasar negara.
2.  Untuk mengetahui paham khilafah dan bahaya bagi NKRI.
3.  Untuk mengetahui cara cara apa yang harus dilakukan agar budaya lokal tetap ada.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      SEJARAH PIAGAM JAKARTA


Suatu fakta yang tak dapat dibantah oleh siapapun yakni andaikata Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnyadi tahun 1945 mereka tidak menghasilkan konsensus
nasional tentang sebuah Dasar Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam naskah Piagam
Jakarta, maka Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
seperti yang ada saat ini.
Piagam Jakarta yang memuat dan berisi tentang rumusan resmi pertama kali sebuahPancasila bagi Republik ini,
disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut
nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A.
Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid
Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia
Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta
sebagai gentlemen agreement bangsa Indonesia. BPUPKI adalah satu-satunya badan yang paling representatif
untuk mewakili bangsa Indonesia ketika itu, baik dari segi keterwakilan suku, agama maupun aliran politik.
Piagam Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan
bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana
diketahui sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia
mencoret tujuh kata yang tertuang dibelakang kata Ketuhanan, yaitu, dengan kewajiban menjalankan Syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Perubahan yang fundamental tersebut terjadi karena sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta yakni tanggal 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan
Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik
dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka para wakil-wakil katolik dan
protestan mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama
Islam saja. Bung Hatta kemudian menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yakni
Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan.
Mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh diplomasi kemerdekaan RI Mr. Mohamad Roem menulis, “Hilangnya
tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang
yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan
Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar
Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada
Republik Indonesia.”
Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangatsingkat itu, sungguh
mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada
bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia.
Dalam kaitan ini Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyatakan, “Pada waktu itu kami
menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan kalimat yang
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan
kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Dalam perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955
berlarut-larut dalam merumuskan perubahan UUD, Presiden Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat
mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
konsiderans Dekrit 5 Juli tersebut, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar.

B. ISI PIAGAM JAKARTA


Piagam Jakarta adalah hasil musyawarah tentang Dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia
Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia
Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule).
Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah
menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir
pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad
Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad
Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Berikut adalah naskah piagam Jakarta :

C. NASKAH PIAGAM JAKARTA


Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jakarta, 22 Juni 1945

C.PAHAM KHILAFAH

Penyebaran paham radikal terutama Khilafah di lingkungan perguruan tinggi sesungguhnya bukan isu baru di
Indonesia.Meski konsep Khilafah juga diusung oleh sejumlah kelompok lain, namun harus dilihat bahwa HTI-
lah yang sangat masif mempromosikan paham tersebut dan aktif melakukan rekrutmen dan penggalangan di
masyarakat.  Sejak awal 1980-an, masuknya Hitzbut Tahrir ke Indonesia disertai dengan penetrasi ke kalangan
menengah perkotaan dan kelompok terdidik.  Kampus kemudian menjadi target strategis kelompok ini untuk
menyebarluaskan paham politik Khilafah dan memperluas sumber rekrutmen politik untuk mengembangkan
organisasinya.  Kiprah HTI di Indonesia dimotori oleh Abdullah bin Nuh, pemilik Pesantren Al-Ghazali yang
mengajak Abdurahman Al-Bagdadi, seorang aktivis Hitzbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di
Bogor guna mengembangkan pendidikan di pesantren miliknya.Hal ini menjadi peluang bagi Abdurahman Al-
Bagdadi untuk mengembangkan interaksinya dengan berbagai komunitas terutama para aktivis Masjid Al-
Ghifari, Institut Pertanian Bogor.Ide-ide khilafah menjadi sentral dari gerakan “dakwah” yang dilakukan
kelompok-kelompok diskusi dan pengajian halaqahyang telah terpengaruh oleh Abdurahman Al-Bagdadi.

Setelah berhasil menanamkan pengaruh di lingkungan IPB, HTI segera menyebar dengan memanfaatkan
jaringan kegiatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK).  Ide khilafah HTI kemudian berkembang seperti epidemik,
menyusup ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti Universitas Padjajaran, ITB, IKIP Malang, Unhas,
UI, UGM, Unair, ITS dan perguruan tinggi lainnya.  Kini, diperkirakan hampir keseluruhan perguruan tinggi di
Indonesia, terutama perguruan tinggi Islam dan PTN terkemuka telah disusupi oleh para aktivis HTI yang
menyamarkan gerakan politiknya dalam kegiatan dakwah kampus.  Cover dakwah ini membuat HTI leluasa
untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin politik khilafah.  Para kelompok muda terdidik di kampus
yang memang dicirikan dengan kehausannya akan ide-ide baru dan keluar dari mainstream yang telah mapan
kemudian segera masuk dalam perangkap propaganda HTI.

Konsep Khilafah menurut HTI, merupakankepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.Khilafah adalah
institusi politik yang menggantikan negara nasional dan mempersatukan umat Islam tanpa melihat lagi batas-
batas negara-bangsa (nation state).Khilafah juga bertugas untuk menerapkan syariah Islam dalam segala aspek
kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya dalam
lingkup negara Khilafah.  Selain itu, Khilafah juga berfungsi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia
dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain.  Elemen penting yang menjadi fondasi daripada
Khilafah ini terletak pada prinsip kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat; kekuasaan di tangan
umat; mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin; dan hanya khalifah saja yang
berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan Khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap
UU.Ringkasnya, Khilafah adalah otoritas tertinggi dengan kekuasaan yang absolut dalam negara imperium yang
tidak mengenal sekat nation state.

Konsep Khilafah ala HTI jelas berbahaya baik sebagai gagasan maupun praktek politik.Kampus dan mahasiswa
harus dilindungi dari paparan paham politik Khilafah yang dilancarkan oleh HTI.Kontra opini dan kontra
ideologi harus dijalankan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan eksistensi NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Langkah pemerintah melalui para pimpinan perguruan tinggi se-
Indonesia dengan mendeklarasikan gerakan pencegahan radikalisme dan paham Khilafah jelas patut diapresiasi
dan mendapat dukungan.Namun demikian, langkah tersebut tidak boleh hanya sekedar ceremonial semata.Hal-
hal baik yang bersifat kebijakan maupun operasional harus direalisasikan secara efektif.Perlu langkah terpadu
dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengambil peranan dalam mencegah penyebaran paham Khilafah di
perguruan tinggi.

Para pemangku kebijakan di perguruan tinggi harus dapat segera mengidentifikasi lembaga-lembaga, aktor,
serta jaringan dalam kampus yang mempromosikan paham Khilafah yang bertentangan dengan ideologi negara. 
Selama ini, kebebasan akademik telah membuat para pemangku kebijakan di perguruan tinggi akan
tanggungjawabnya untuk melakukan pengawasan dan pembinaan potensi-potensi mahasiswa yang dapat
mengarah pada kegiatan yang mengancam eksistensi dan kepentingan negara.  Kontra opini dan kontra ideologi
juga harus dilakukan dengan membatasi ruang gerak propaganda paham Khilafah dengan berbagai cover
kegiatannya serta mempromosikan nilai-nilai kebangsaan, pemahaman keagamaan yang moderat, serta
mesupport kelompok-kelompok kebangsaan dan keagamaan yang moderat untuk mengambil peranan
dalam public discourse dalam kehidupan kampus.  Pendekatan ini penting mengingat mahasiswa merupakan
kelas intelektual terdidik yang penyadarannya tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan pergumulan intelektual.

D.BUDAYA LOKAL
KEBUDAYAAN memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana yang kita ketahui,
bahwa peradaban manusia di bumi merupakan hasil dari kebudayaan. Tercatat bahwa negara Indonesia adalah
salah satu negara yang memiliki budaya lokal terkaya di dunia. Menurut Badan Pusat statistik (BPS), hasil
sensus penduduk terakhir tahun 2010, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa dengan budaya
yang berbeda-beda.
Menurut Koentjaraningrat (2015: 146) kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia
yang harus dibiasakan dengan belajar. Bila dilihat dari bahasa Inggris kata kebudayaan berasal dari kata
latincolera yang berarti mengolah atau mengerjakan, yang kemudian berkembang menjadi kata culture yang
diartikan sebagai daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Banyak berbagai definisi mengenai
kebudayaan. Namun terlepas dari itu semua, kebudayaan pada hakikatnya mempunyai jiwa yang akan terus
hidup, karena kebudayaan terus mengalir pada diri manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan akan terus
tercipta, dari tempat ke tempat, dari individu ke individu dan dari masa ke masa. Pendapat Koentjaraningrat di
atas menggambarkan, bahwa kebudayaan akan selalu mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu,
sehingga masyarakat yang memiliki kebudayaan itu harus tetap mengenal, memelihara dan melestarikan
kebudayaan yang dimiliki, agar setiap perubahan yang terjadi tidak menghilangkan karakter asli dari
kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan Indonesia merupakan keseluruhan dari kebudayaan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”.
Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan yang semakin dimantapkan, sehingga ketunggal-ikaan
juga semakin lebih dirasakan dari pada kebhinekaan. perwujudannya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional,
hukum nasional, serta bahasa nasional. Kebudayaan Indonesia dari zaman ke zaman selalu mengalami
perubahan. Perubahan ini terjadi karena faktor masyarakat yang memang menginginkan suatu perubahan
kebudayaan, sehingga memicu terjadinya perubahan yang sangat pesat, dikarenakan masuknya unsur-unsur
globalisasi dalam kebudayaan Indonesia. Unsur globalisasi masuk tidak terkendali dan merasuki kebudayaan
nasional yang merupakan jelmaan dari kebudayaan lokal yang ada di setiap daerah dari Sabang sampai
Merauke.
Era globalisasi dapat menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih modern. Akibatnya,
masyarakat cenderung untuk memilih kebudayaan baru yang dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya
lokal. Salah satu faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan pada masa sekarang adalah kurangnya
generasi penerus yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisi kebudayaannya sendiri. Merujuk dari fakta
yang terjadi, masyarakat Indonesia saat ini lebih memilih kebudayaan asing yang mereka anggap lebih menarik
dan praktis. Hal ini menyebabkan lunturnya kebudayaan lokal, akibat dari kurangnya generasi penerus yang
memiliki minat untuk belajar dan melestarikannya. Menurut Malinowski, budaya yang lebih tinggi dan aktif
akan mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya (Malinowski dalam Mulyana,
2005:21). Teori Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang condong ke Barat.
Dalam era globalisasi, informasi menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir
manusia. Budaya barat saat ini diidentikkan dengan modernitas (modernisasi) dan budaya timur diidentikkan
dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak hanya mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat
sebagai bagian dari kebudayaan, tetapi juga meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang di Barat
dianggap sebagai budaya yang tidak baik, tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi buta.
Seorang yang sudah lama menetap di Australia kemudian mudik ke Indonesia, ia tercengang melihat betapa
cepatnya perubahan budaya di Indonesia. Ia saat itu bahkan merasa berada di Amerika. Ada beberapa saluran
TV yang menayangkan banyak film Amerika yang penuh dengan adegan kekerasan dan seks. Selama beberapa
minggu ia berada di tanah air, ia tidak melihat kesenian tradisional yang ditayangkan di TV swasta seperti yang
pernah dilihatnya dahulu di TVRI. Ia kemudian sadar bahwa reog, angklung, calung, wayang golek, gamelan
dan tarian tradisional tidak hanya nyaris tidak ditayangkan di TV, tetapi juga jarang sekali dipertontonkan
langsung di tengah-tengah masyarakatnya
Berbagai cara dapat dilakukan dalam melestarikan budaya, namun yang paling penting yang harus pertama
dimiliki adalah menumbuhkan kesadaran serta rasa memiliki akan budaya tersebut, sehingga dengan rasa
memiliki serta mencintai budaya sendiri, orang akan termotivasi untuk mempelajarinya, sehingga budaya akan
tetap ada karena pewaris kebudayaannya akan tetap terus ada. Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk
melestarikan budaya lokal di antaranya (Yunus: 2014: 123): (1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
dalam memajukan budaya lokal; (2) Mendorong masyarakat untuk memaksimalkan potensi budaya lokal beserta
pemberdayaan dan pelestariannya; (3) Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi, kekeluargaan,
keramahtamahan dan solidaritas yang tinggi; (4) Selalu mempertahankan budaya Indonesia agar tidak punah.
Mengusahakan agar masyarakat mampu mengelola keanekaragaman budaya lokal.

Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Setiap kebudayaan
daerah mempunyai ciri khas masing–masing. Bangsa Indonesia juga mempunyai kebudayaan lokal yang sangat
kaya dan beraneka ragam. Oleh sebab itu, sebagai generasi penerus, kita wajib menjaganya karena eksistensi
dan ketahanan kebudayaan lokal berada pada generasi mudanya, dan jangan sampai kita terbuai apalagi
terjerumus pada budaya asing, karena tidak semua budaya asing sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Bahkan banyak kebudayaan asing membawa dampak negatif
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka kami menyimpulkan beberapa inti dari materi di atas yakni bahwa
Pancasila adalah suatu landasan yang terdiri dari lima sila (pancasila) ,yang mengundung nilai-nilai luhur
kebudayaan yang tertanam dalam darah daging perjuangan kebangsaan dan kenegaraan. Berdasarkan pendapat
Muhammad Yamin dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal,
yaitu : Panca artinya lima Syila artinya batu sendi, dasar, atau  Syiila artinya peraturan tingkah laku yang
baik/senonoh. Pancasila sekaligus di asuh sebagai landasan Negara dengan kandungan nilai-nilai kesutuan dan
keanekaragamanya.
Maka pancasila merupakan suatu gagasan pegangan yang menjadi patokan dalam menjalankan amanah dan
fungsi keNegaraan, keBangsaan, keMasyarakat.

B.     SARAN
Saran kami adalah agar pembaca dapat mengetahui dan memahami arti dari Pancasila dan proses perumusan
Pancasila sebagai landasan atau dasar Negara bagi bangsa Indonesia serta makna yang terkandung dalam
Pancasila sebagai dasar Negara dan kelebihan yang di miliki Pancasila dibandingkan dengan ideology lainnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kami memerlukan saran maupun kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
C.S.T,  Kansil. 1992. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Pramita.
Ciciliana, Dimeitrai Fransiska. 2011. Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: STMIK
AMIKOM.
Hadnomo, Muhammad Noor Dwi. Pancasila Sebagai Dasar Negara. Yogyakarta: STMIK AMIKOM.
Kaelan.1996. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Sosial Agency.
Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR
No. II/MPR/1987.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Salam, Burhanuddin. 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai