Anda di halaman 1dari 4

NASKAH TUGAS MATA KULIAH

UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2022/23.2 (2023.1)

Nama : Rustam Kapaur


Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Kode/Nama MK : ADPU4334/Kepemimpinan
Tugas :2

1. Jika dalam suatu organisasi timbul suatu konflik, maka manajemenlah yang dapat memadamkan
konflik, seorang leader/manager/pemimpin/dituntut bertindak baik secara administrasi maupun
manajemen. Bagaimana seorang leader/manajer bertindak secara administrasi bisa dilihat dari
caranya mengatur dan menjalankan penyelenggaraan apa yang dikehendaki suatu organisasi,
sedangkan tindakan manajemen dapat dilihat dari bagaimana cara seorang pemimpin dalam
mengendalikan, mengarahkan dan memanfaatkan segala faktor dan sumber daya, baik itu manusia,
bahan, peralatan dan lain-lain, yang berdasarkan perencanaan yang diperlukan untuk menyelesaikan
atau mencapai suatu tujuan. Hal ini memang bukan tugas yang mudah, dari sini orang akan melihat
bahkan dapat menilai peranan seorang pemimpin khususnya pemimpin hirarki yang berperan sebagai
wasit atas pemutus pertentangan dalam organisasi secara efektif.
Didalam melaksanakan tugasnya pemimpin yang satu dengan yang lainnya selalu ada
perbedaan-perbedaan tertentu. Sikap dan tindak tanduk seorang pemimpin akan terlihat justru dalam
caranya melakukan pekerjaan kepemimpinannya (leadership) seperti misalnya sewaktu dia memberi
perintah kepada bawahannya, caranya menegur kesalahan-kesalahan bawahan, caranya memimpin
rapat, cara berkomunikasinya, caranya menegakkan disiplin pada para bawahannya, cara
merekomendasikan kegiatan yang sifatnya training kepada bawahan, dan sebagainya.
Terkadang dalam merekomendasikan tugas kepada bawahan tidak sesuai dengan apa
sebenarnya tugas pokok dan fungsi bawahan tersebut, sering kita lihat cara seorang pemimpin
merekomendasikan suatu tugas pekerjaan, sesuaikah tugas yang diberikan kepada bawahan tersebut,
karena jika rekomendasi tugas tersebut terjadi ketidaksesuaian tugas pokok dan fungsi si penerima
tugas, hal inilah yang nantinya akan membuat suatu pekerjaan didalam suatu organisasi menjadi
kebingungan akan wewenang kelompoknya. Hal seperti ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan
seorang pemimpin (Leader) dalam merubah perilaku pengikut atau bawahannya. Belum lagi pendapat
atasan yang terkadang beranggapan bahwa staf/pegawai/bawahan itu adalah orang yang pasif, malas,
tidak berambisi untuk maju, takut memikul tanggung jawab, baru bekerja setelah ada peringatan dari
atasan, pendapat seperti ini sebaiknya ditinjau kembali oleh semua atasan atau pemimpin, karena ada
satu pendapat para ahli managemen terutama managemen Sumber Daya Manusia”Tidak ada satu
orang staf pun yang bodoh, tetapi yang bodoh itu adalah manager pengelola SDM nya itu sendiri”,
karena jika sumber daya manusia tersebut ditempatkan sesuai dengan kompetensinya atau
keahliannya, maka akan terlihatlah kemampuan yang sebenarnya dari orang tersebut. Memang staf
atau bawahan memiliki bermacam-macam karakteristik dan kompetensi.
2. Para ahli manajemen melabeli leadership yang buruk dengan sejumlah nama atau istilah yang
berbeda-beda. Antara lain negative or dark leadership, abusive leaders, bad leadership, narcissistic
leaders, toxic leadership, destructive leadership. Bahkan terbaru oleh Boddy dkk (2017) dalam
makalahnya memakai istilah yang agak ekstrim yaitu corporate psychopaths. Namun dari sekian
banyak istilah tersebut, yang cukup populer adalah toxic leadership. Ini didasari bahwa leadership
yang buruk dapat menyebar secara diam-diam dan tidak terdeteksi seperti racun dan tidak hanya
mencemari individu; melainkan juga mempengaruhi tim dan pada akhirnya seluruh organisasi
(Bhandarker dan Rai, 2020).Leaders, bagaimanapun, tidak berdiri sendiri. Leaders ada dalam
kerangka organisasi. Para ahli manajemen sepakat bahwa toxic leadership itu penyebab dan wujudnya
kompleks. Bisa berupa tindakan ketidaksopanan, gangguan kepribadian dan perilaku, gejolak emosi
dan narsisme hingga kebijakan perusahaan yang bermasalah, ketidakstabilan perusahaan dan pasar,
dan pergolakan sistemik akibat dari restrukturisasi, merger, akuisisi, pengurangan jabatan dan
karyawan. Secara umum, karyawan sebagai bawahan bereaksi terhadap toxic leadership dengan cara
apa yang dikenal sebagai coping response yaitu mengacu pada upaya perilaku spesifik yang
digunakan individu untuk menguasai, mentolerir, mengurangi atau meminimalkan peristiwa stres
(Folkman dan Lazarus, 1980).
Coping response dilakukan dengan 3 cara yitu :
1. Assertive coping
Ditandai dengan mengambil tindakan cepat untuk menghadapi pemimpin yang toksik melalui
keluhan langsung ke otoritas internal yang lebih tinggi atau pejabat terkait di atasnya. Baik secara
terbuka maupun tanpa nama.
Contohnya melaporkan tanda-tanda toksik, perilaku, dan kesalahan yang dilakukan oleh toxic
leaders. Terkadang dalam bentuk protes terbuka dan mencoba memobilisasi pendapat orang lain
terhadap toxic leaders.
2. Adaptive coping
Ditandai dengan penggunaan mekanisme adaptif oleh bawahan seperti menjaga hubungan
positif dengan pemimpin. Bahkan jika mereka marah dengan perilaku toxic leaders tersebut, mereka
berusaha mengendalikan amarah mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk berdiskusi. Dalam
hal ini, memilih untuk tetap diam dan menutup mata terhadap perilaku dan tindakan toxic leaders.
3. Avoidance coping
Di mana karyawan cenderung untuk menyeimbangkan perilaku yang dirasakan tidak adil dari
toxic leaders baik dengan menghindari mereka atau memiliki interaksi minimal dengan toxic leaders
tersebut baik secara aktif maupun pasif.
Misalnya dengan menahan informasi, tidak berbagi masalah atau peluang bisnis dengan pemimpin
serta tidak membantu rekan kerja lain. Ini tentu merupakan hal yang merugikan bagi karyawan dan
organisasi.
Dari ketiga respons di atas, yang paling sering dilakukan oleh karyawan dalam menghadapi
toxic leaders adalah dengan Adaptive coping. Karyawan menganggap bekerja dengan toxic leaders
sebagai "fase buruk" yang pada akhirnya akan berlalu. Alasannya lainnya karena tidak mau
mempertaruhkan karier masa depannya. Selain itu, Duffy dkk. (2002) juga menemukan bahwa
bawahan sering menggunakan cara-cara yang tidak jelas seperti menyebarkan desas-desus, diam-
diam tidak mematuhi dan menyensor informasi dari atasan yang berdampak negatif pada toxic leaders
dari waktu ke waktu. Hal ini juga dapat merusak suasana dan meracuni budaya kerja dan iklim
organisasi. Pada kasus yang lebih ekstrem, karyawan pada akhirnya memilih keluar dari organisasi
meninggalkan pekerjaan. Ini merupakan langkah terakhir untuk mengurangi tingkat stres serta emosi
negatif yang disebabkan oleh perlakuan buruk yang dirasakan akibat toxic leaders.
3. Maju mundurnya suatu organisasi tergantung dari kinerja para pimpinan disetiap level, mengingat
kepemimpinan meliputi beragam kualitas dan keterampilan diri maka seorang pemimpin yang baik
adalah orang yang mampu mengatur berbagai tugas, berkomunikasi secara efektif, dan menciptakan
lingkungan kerja tim yang positif. Kekuatan skill leadership dapat memperlancar seorang pemimpin
berhubungan dengan orang lain dalam membuat keputusan yang produktif, dan memberikan
bimbingan yang efektif terhadap bawahan. Kekuatan profesional dapat mencakup keterampilan atau
kualitas yang telah ditunjukkan, karakteristik atau kemampuan sosial serta seorang pemimpin dapat
mengelola tim secara efektif, memotivasi bawahan, mendelegasikan tugas dan menggunakan umpan
balik untuk meningkatkan level kepemimpinan dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu pemimpin harus memiliki keterampilan interpersonal yang kuat dan soft skill
lainnya seperti mendengarkan secara aktif, memetakan strategi bisnis dan kemampuan untuk
menengahi konflik. Kepemimpinan merupakan hal penting dalam suatu organisasi sebab
kepemimpinan adalah salah satu kunci vital keberhasilan organisasi dapat tercapai. Semua keputusan,
pergerakan dan laju pembangunan membutuhkan leadership. Alasan penting mengapa leadership
penting adalah sebagai dasar untuk membangun tim yang kuat. Visi dan misi sebuah tim harus dicapai
melalui kerja keras dan membutuhkan bimbingan dari orang yang memiliki kemampuan dalam
mempimpin yang sangat kuat. Dengan kekuatan leadership yang baik dan kerja sama tim merupakan
bentuk yang baik, untuk menyelesaikan setiap hambatan dan rintangan dapat dihadapi dengan mudah
oleh tim. Mungkin kebanyakan orang mengetahui bahwa leadership adalah sebuah teknik untuk
memimpin. Memang tidak salah, namun demikian harus kita pahami juga skala prioritas dari
kepemimpinan itu sendiri.
Kepemimpinan tidak hanya sekadar teknik, melainkan sesuatu yang ditumbuhkan dan
dimiliki melalui pribadi dari masing-masing individu. Jika seorang pemimpin dalam memimpin
dirinya sendiri untuk menyelesaikan kewajibannya saja sulit maka jangan berharap terlalu tinggi.
Karena untuk bisa memimpin orang lain maka kepemimpinan ini harus dimulai dari pribadi sendiri.
Juga perlu diperhatikan faktor-faktor yang menjadikan leadership menjadi lebih baik. Faktor-faktor
yang mempengaruhi leadership Kepemimpinan tidak bisa lepas juga dengan berbagai faktor yang
harus diperhatikan, seperti pengaruh (influence), gaya (style), kekuatan/kekuasaan (power), integritas
(integrity), perubahan (change), pemecahan masalah (problem solving), hubungan antarmanusia
(human relationship), dan sebagainya. Dalam Transformational Leadership, disebutkan ada beberapa
jenis leader berkaitan dengan transformasi pemimpin atau transformational leadership, yaitu:
1. Inspirative / Inspirational Leader artinya sosok pemimpin yang memiliki kemampuan
menginspirasi, yang dapat menyalurkan energi, dan menggerakkan aksi atau perilaku.
2. Visionary Leader artinya menjadi inspirasi hanyalah satu langkah, ada langkah berikutnya
yang harus dimiliki seorang leader yaitu memiliki dan membangun visi atau dikenal dengan visionary
leader. Sebagai visionary leader seorang pemimpin perlu mengembangkan tiga karakter yaitu risk
taking, listening, dan tanggung jawab untuk mewujudkan.
3. Strategic Leader artinya apa yang perlu dikuasai oleh seorang strategic leader? Strategic
leader atau pemimpin strategis harus paham bahwa pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
membutuhkan pengamatan terhadap situasi dan kondisi yang ada secara seksama dan mendalam,
serta mengadaptasi pendekatan penyelesaian masalah.
4. Charismatic Leader artinya berbicara karisma seorang pemimpin harus senantiasa
membangun koneksi dan keterlekatan / hubungan erat dengan orang lain terutama tim.
4. Menurut pendapat seorang ahli Louis R.Pondy “sumber yang dapat memicu konflik dalam
organisasi adalah sebagai berikut :
Pertama “konlik terjadi karena saling ketergantungan”, dalam menjalankan tugasnya antara
unit yang satu dengan yang lainnya saling ketergantungan, sehingga terjadi kompetisi dalam
memperebutkan otonomi dan koordinasi. Masing-masing unit akan memperjuangkan otonomi yang
lebih besar untuk kepentingan unitnya. Langkah ini akan berbenturan dengan langkah dan keinginan
organisasi dalam melakukan koordinasi. Semakin tinggi tingkat koordinasi dalam memperjuangkan
otonomi, maka semakin tinggi pula potensi konflik apakah itu antar individu, kelompok maupun antar
unit-unit dalam organisasi.
Kedua “sumber empuk pemicu konflik dalam organisasi lainnya adalah adanya perbedaan
dalam menetapkan prioritas dan tujuan”, dimana masing-masing unit pada umumnya hanya
memperjuangkan kepentingan dan tujuan dari unitnya masing-masing tanpa memperhatikan tujuan
dari unit lain hal seperti ini hanya akan memicu konflik antar unit dalam organisasi menjadi subur.
Ketiga Faktor-faktor birokrasi, terkadang ada kesalahan dalam mendesain birokrasi,
kesalahan dalam desain birokrasi dan prosedur ini adalah sumber empuk konflik yang sangat
potensial dalam organisasi.
Keempat Ukuran kinerja yang tidak sesuai, hal ini masih berkaitan dengan faktor-faktor
birokrasi, hanya saja ini menyangkut tatacara melakukan monitoring, evaluasi dan penghargaan yang
berbeda antar unit satu dengan yang lainnya, yang pada akhirnya bisa menimbulkan kecemburuan
social antar unit, dan pemicu konflik ideal.
Kelima Memperebutkan sumber daya yang langka, hal ini sangat erat hubungannya dengan
ketersediaan sarana-sarana pendukung yang langka sehingga setiap unit saling berebut pendukung
yang langka sehingga setiap unit saling berebut untuk mendukung operasi unitnya masing-masing.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ada beberapa strategi dalam pengendalian
konflik organisasi diantaranya dengan menerapkan strategi sebagai berikut:
-Starategi pertama dengan cara Penghindaran (advidance) atau penarikan diri, strategi ini meliputi
ketidak acuhan umum terhadap sebab-sebab dari konflik dengan membiarkan konflik berlangsung
terus menerus pada tingkat bawah, kondisi-kondisi yang terkendali hanya pada bagian tertentu saja,
bahkan bisa berupa sebaliknya konflik akan semakin memburuk. Metode yang digunakan diantaranya
seolah-olah tidak memperhatikan adanya konflik, dengan cara pemisahan secara fisik dan
mengadakan interaksi terbatas.
-Starategi kedua dengan cara Memecah dan menyebar (diffusion), cara ini pemimpin dalam
mengambil keputusan harus sedikit bersabar menunggu sampai konflik diantara dua kelompok
menjadi berkurang emosionalnya.
-Strategi ketiga dengan cara Penyesuaian diri (accommodation), dalam strategi ini paling tidak salah
satu pihak yang terlibat konflik usahakan untuk menempatkan kepentingan pihak lain diatas
kepentingan diri atau kelompoknya.
-Strategi keempat dengan cara mendesain kembali Birokrasi dan reorganisasi, strategi ini
mengandalkan otoritas formal dan kepatuhan pada peraturan-peraturan organisasi yang berlaku,
personal control (pengendalian diri) akan diganti dengan hukum birokratik, ada restruktur atau
struktur organisasi harus dirancang kembali untuk mengurangi konflik.
-Strategi kelima dengan cara Perundingan, strategi ini biasanya erat dengan hubungannya dengan
sumber-sumber yang ada, sehingga akan menimbulkan persaingan antar kelompok yang
berkepentingan dengan hal tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka sumber harus ditingkatkan,
atau tuntutan dari pihak-pihak yang bersaing harus diturunkan, dengan mengadakan perundingan-
perundingan.

Anda mungkin juga menyukai