Terencana
Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah yang susah payah Anda bangun dari jerih payah
Anda, kemudian ditenggelamkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah tempat Anda
membina hubungan dengan keluarga, membesarkan dan mendidik anak, ternyata dalam
waktu tertentu harus dihancurkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika Anda harus
meninggalkan kampung halaman Anda karena kesalahan yang tidak pernah Anda buat
sebelumnya?
Dari pertanyaan semacam itulah sebenarnya, saya ingin menggambarkan bahwa masalah
rumah bukanlah melulu berhubungan dengan uang. Rumah adalah kebudayaan. Di dalam
rumah terjadi interaksi di antara anggota keluarga. Di rumah berlangsung upaya
membesarkan dan mendidik anak. Tetapi celakanya, dalam kasus Lapindo, yang tampil di
hadapan kita seolah-olah hanyalah masalah jual beli rumah dan tanah saja. Tidak ada
perhitungan bagaimana menyelesaikan masalah hancurnya kebudayaan ini. Di lain pihak,
pemberitaan media seolah menggiring masyarakat kepada pemahaman, bahwa kasus
Lapindo melulu masalah jual beli rumah dan tanah. Padahal di luar itu semua, ada hal yang
lebih penting untuk dibahas, yaitu penghancuran lingkungan sekaligus tatanan sosial-
budaya masyarakat secara terencana, yang bahkan berlangsung hingga 9 tahun bencana
lumpur Lapindo.
Penghancuran Ekologi
Temuan Walhi (2008) menunjukkan bahwa lingkungan yang berada dekat dengan
semburan lumpur telah tercemar dan dan mengandung senyawa logam berat polycyclic
aromatic hydrocarbon (PAH) yang melebihi ambang batas normal. Senyawa inilah yang
dapat memicu sel kangker dalam tubuh. Di samping pula, kandungan unsur lainnya, seperti
timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr) yang dapat memicu berbagai
penyakit. Hasil ini diperkuat oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat
kandungan besi (Fe) pada air tanah di desa sekitar semburan lumpur.
1
Peneliti dan dosen di Program Studi S1 Sosiologi Universitas Brawijaya.
Pembuangan lumpur ke Kanal Porong ternyata tidak menyelesaikan masalah dan justru
menimbulkan masalah baru. Pada warga Desa Kalisogo yang dekat dengan aliran Kanal
Porong ditemukan kecenderungan mengalami penyakit tertentu. Warga yang
menggunakan air tanah untuk dikonsumsi sehari-hari memiliki kecenderungan beberapa
penyakit, seperti diare, mual, muntah, hingga nyeri perut (Putri dan Yudhastuti, 2013).
Pembuangan lumpur ke Kanal Porong juga meningkatkan kandungan kadmium (Cd) dan
timbal (Pb) pada ekosistem. Hal ini berpengaruh pula pada kondisi ikan yang hidup pada
ekosistem tersebut, yang tentu saja tidak aman bila dikonsumsi (Purnomo, 2014).
Informasi lain menunjukkan bahwa akibat pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan
Sungai Ketapang membuat ikan tercemar. Ikan di wilayah tambak Desa Penatarsewu
misalnya, memiliki kondisi yang berlendir dan bau. Ini membuat warga tidak mau
mengkonsumsinya (Dewi Rachmawati, 2013: 86). Penelitian di atas semakin membuktikan
bahwa lumpur Lapindo ini memicu resiko ekologis yang semakin mengkhawatirkan.
Menjadi semakin jelas, bahwa bencana lumpur Lapindo bukan hanya masalah ganti rugi
semata. Kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius di wilayah ini. Maka, pemulihan
kondisi ekologis menjadi sangat relevan untuk diwacanakan.
Penghancuran Sosial-Budaya
Dalam kasus Lapindo, kebudayaan masyarakat dari desa-desa yang ditenggelamkan benar-
benar dihilangkan dari akarnya. Ada banyak keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah
mereka untuk melakukan relokasi. Sebab, tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber
semburan lumpur bukanlah masalah yang gampang. Anda harus berurusan dengan kondisi
lingkungan yang rusak: air yang keruh, udara yang busuk, dan tanah yang beracun.
Sementara itu, melakukan relokasi juga bukanlah perkara mudah. Masalah pindah rumah
bukan hanya perihal berpindah secara fisik-geografis semata. Relokasi adalah proses
sosial-budaya. Hal inilah yang tak pernah ada dalam logika para pemangku kepentingan
yang menangani kasus Lapindo. Anggapan umum yang beredar hanyalah: “Kalau korban
lumpur sudah mendapatkan cicilan uang jual beli aset lalu pindah ke relokasi, masalahnya
beres”. Sekali lagi, yang terjadi tidaklah sesederhana itu.
Bagi mereka yang mengalami sendiri proses pemindahan paksa ini, pindah rumah benar-
benar hal yang tidak sederhana. Selain harus mempertimbangkan masalah harga tanah di
lokasi yang baru, seseorang harus mempertimbangkan kondisi di lokasi tujuannya: Dengan
siapa dia tinggal? Dengan sanak keluarga, tetangga lama, atau dengan tetangga baru?
Apakah di rumah barunya dia masih bisa bekerja atau justru jadi pengangguran?
Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Siapa teman-teman mereka? Tak jarang kondisi
lokasi desa/kota juga menjadi pertimbangan tersendiri yang memusingkan.
Dampak dari kasus Lapindo ini bukan semata masalah uang ganti rugi saja, melainkan
lebih dari itu, masalah sosial budaya. Kondisi sosial budaya yang telah ada dan melekat
pada masyarakat, hancur akibat bencana ini.
Dengan masuk dalam PAT, sebenarnya seseorang telah merelakan diri sebagian dari
hidupnya dihancurkan. Rumah, pekarangan, dan sawah, harus direlakan untuk dijadikan
tanggul penahan ataupun kolam lumpur. Dan tentu saja, kehidupan yang ada di dalamnya
juga ikut hilang.
Saya katakan kehidupan sosial dihancurkan karena memang, bagi masyarakat, rumah,
pekarangan, dan sawah bukan saja aset yang bernilai ekonomis, melainkan bagian dari
kehidupan sosial budaya itu sendiri. Penghancuran ini juga bukan hanya pada produk
budaya yang sifatnya artefak saja. Dampak dari kasus Lapindo juga dapat melahirkan
rusaknya ikatan sosial.
Laporan Utomo dan Batubara (2009), misalnya, menunjukkan bahwa warga justru terlibat
dalam berbagai macam konflik di antara tetangga sebagai dampak dari bencana ini.
Laporan Amiruddin (2012) menemukan bahwa konflik horizontal juga setelah pindah di
lokasi resettlement. Sebagai contohnya adalah warga yang tinggal KNV, sebuah
pemukiman yang dibangun oleh pihak Lapindo dan dijual kepada warga korban. Ternyata,
kasus Lapindo tak hanya menenggelamkan aset saja, melainkan juga memporak-
porandakan hubungan sosial di antara warga.
“Terencana”
Dari gambaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa dari kasus Lapindo ternyata
melahirkan penghancuran; dari satu penghancuran melahirkan penghancuran yang lain.
Dari penghancuran ekologis, menciptakan penghancuran sosial budaya. Dari
penghancuran dan penenggelaman desa, melahirkan penghancuran hubungan sosial antar
tetangga. Dari penghancuran tempat tinggal, melahirkan penghancuran pranata sosial di
tempat tinggal yang baru. Bermula dari penghancuran di satu tempat dan waktu tertentu,
melahirkan penghancuran pada dimensi tempat dan waktu yang lain, dan seterusnya.
Menurut saya, bentuk-bentuk penghancuran sebagai dampak dari krisis ekologis ini
ternyata tidak hadir begitu saja. Dia muncul di tengah relasi manusia dengan lingkungan
ekologisnya dan berjalan dalam skema tertentu. Penghancuran ini berjalan secara
terencana. Saya katakan terencana karena memang penanganan bencana ini telah
mengalami perencanaan yang matang dengan melibatkan banyak jejaring ilmuwan.
Ada tiga prinsip pengelolaan lumpur yang berhubungan dengan Kali Porong, yakni
pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai melalui beberapa
lokasi di hilir spillway, semakin ke hilir semakin baik; memanfaatkan potensi daya air Kali
Porong pada saat musim hujan, yang melimpah dan murah, untuk menghanyutkan lumpur
ke laut; dan pengamanan fungsi Kali Porong untuk menjaga kinerja Kali Porong sebagai
kanal banjir (floodway) Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. (Harnanto, 2011: 1).
Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk BPLS, tentunya pertimbangan-pertimbangan
Hartanto di atas didasarkan pada metode ilmiah, sehingga dari hasil penelitiannya itu lahir
pula alasan pembenar atas kebijakan pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan bukan usaha
untuk menyumbat sumber semburan. Padahal, pembuangan lumpur ke Sungai Porong
jelas-jelas berdampak pada kehidupan warga. Karena dampak tersebut, pada akhirnya
warga harus bersusah payah untuk bertahan hidup (Dewi Rachmawati, 2013), serta
kemunculan penyakit baru (Putri dan Yudhastuti, 2013).
Pun demikian dengan penanganan bencana lumpur dinaungi oleh peraturan presiden.
Hingga saati ini saja, telah dikeluarkan enam peraturan; Perpres No. 14/2007, Pepres No.
48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 48/2011, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No.
33/2013. Namun yang patut dipertanyakan adalah, peran macam apa yang disandang oleh
penyelenggara negara melalui aturan itu? Novenanto berargumen justru melalui peraturan
presiden itulah “negara hadir untuk melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak
sesukanya—sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan”
(2015: 46). Dengan kata lain, justru melalui peraturan presiden itu, korporasi dapat meraih
kekuasaan atas penanganan lumpur Lapindo dengan skema-skemanya, yang pada akhirnya
akan melahirkan penghancuran tatanan sosial-budaya dan penghancuran ekologis.
James C. Scott (1998) pernah mendedahkan dalam bukunya, bahwa melalui proyek-proyek
pembangunan yang diusung negara, justru gagal dalam mengayomi masyarakat. Bagi Scott
ini disebabkan karena pandangan dan kondisi masyarakat lokal tak pernah diperhatikan.
Atas nama efisiensi, maka negara lebih menafikkan kompleksitas masalah kehidupan
lainnya. Demikian halnya yang terjadi pada penanganan bencana lumpur Lapindo. Skema-
skema yang diciptakan, justru menciptakan malapetaka baru bagi warga, dan melapangkan
jalan korporasi. Peraturan presiden adalah mekanisme legal bagi korporasi untuk
memisahkan warga dari tanahnya (land exclusion) (Karib, 2012), lalu melakukan
pengusiran paksa, dengan memperluas perusakan lingkungan.
Oleh karena itu, kasus Lapindo adalah bentuk yang sekaligus mampu melahirkan
penghancuran yang terencana; melibatkan perencanaan dengan pertimbangan-
pertimbangan teknis-akademis dan dinaungi kebijakan negara, demi melapangkan kuasa
korporasi.
Akhir 2007, ketika perjalanan antara Surabaya-Malang, saya pernah menyempatkan diri
singgah di sebuah warung makan. Lokasinya tidak jauh dari tanggul penahan lumpur.
Waktu itu luas dan tinggi tanggul belum setinggi tahun 2015 sekarang ini.
Saat itu saya mengobrol dengan seorang warga Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong.
Saya mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan sehari-harinya setelah
munculnya lumpur Lapindo. Saya bukan wartawan, tetapi entah mengapa dia sangat serius
menjawabnya. Hal yang paling saya ingat dari obrolan itu adalah dia (masih) merasa aman
dengan kondisi lingkungannya. Perasaan aman disebabkan antara tanggul lumpur dan
rumahnya dipisahkan oleh jalan raya Porong. Dia merasa aman meskipun setiap hari
mencium bau menyengat, terutama ketika angin bertiup ke arah rumahnya, dan air di
rumahnya mulai mengeruh. Dia merasa aman dan masih merasa tenang tinggal di
rumahnya tanpa harus bingung mencari lokasi pindah sambil menuntut ganti rugi.
Namun apa yang terjadi tahun 2013 lalu semuanya bertolak belakang. Kelurahan Gedang
masuk dalam Perpres No. 33/2013. Dapat dipastikan seluruh warga yang tempat tinggalnya
masuk dalam Peta Area Terdampak harus pindah. Setelah terancam dengan pencemaran
air, tanah, dan udara, maka relasi sosial warga ini dimungkinkan akan terancam. Sebab
dalam proses ini, mereka harus segera meninggalkan kampung halaman untuk mencari
pemukiman baru. Konflik horizontal dan kemungkinan untuk tinggal tercerai-berai antara
tetangga terbuka lebar. Seseorang yang semula merasa aman ternyata harus rela terusir dari
kampung halamannya.
Dari ilustrasi di atas patutlah kita bertanya, apakah kita akan selalu merasa aman dengan
kondisi lingkungan kita? Jangan-jangan halaman belakang rumah kita juga akan terancam
dengan kasus serupa? Apakah kita bersedia kalau tempat tinggal kita diambil alih dan
dirusak oleh korporasi? Apakah kita hanya pasrah dan menunggu waktu saja? Dari tulisan
ini, saya ingin mengajak anda untuk mengingat, bahwa yang terjadi pada kasus Lapindo
bukan hanya masalah pelunasan jual beli aset saja. Saya ingin mengajak anda mengingat
bahwa yang terjadi di Sidoarjo ini adalah sebuah tragedi, sebuah pengahancuran entitas
sosial, budaya, dan lingkungan yang terencana.
Dalam editorial Majalah Solusi edisi perdana (19-25 November 2008) tertulis:
Cerita masa lalu itu sebaiknya kita simpan saja di memori kita sebagai catatan sejarah. Kini
yang penting bagaimana membenahi persoalan di seputar semburan lumpur Sidoarjo secara
tepat.
Dari ajakan tersebut kita patut mempertanyakan; untuk membenahi persoalan, kenapa
memori masa lalu ini cukup disimpan saja? Mengapa tidak kita buka saja memori-memori
ini sebagai pelajaran? Bukankah kita memiliki reputasi buruk mengenai ingatan, mudah
lupa dengan peristiwa-peristiwa penting di tanah air? Dengan menyimpan memori,
bukankah kita pada akhirnya tidak pernah menuntaskan berbagai macam tragedi masa lalu
di negeri ini?
Maka, kesadaran yang harus kita miliki bersama adalah kita harus mengingat bahwa kasus
Lapindo adalah sebuah penghancuran bentuk kehidupan yang terencana. Sebuah proyek
penghancuran tata kehidupan manusia dengan lingkungan fisiknya. Logika ini jelas
bertentangan dengan logika yang dibangun oleh pihak Lapindo melalui Majalah Solusi
tersebut. Logika yang diusung oleh Majalah Solusi hanya akan menguburkan dan akhirnya
membusukkan ingatan sosial. Pada akhirnya, masalah sosial dan lingkungan takkan pernah
terselesaikan secara tuntas. Dengan menyimpan memori, kita hanya akan menumpuk-
numpuk kebohongan; kebohongan satu ditumpuk dengan kebohongan yang lain, dan
seterusnya. Bukankah berdirinya perusahaan pengeboran di tengah-tengah pemukiman
warga Porong ini didasarkan atas kebohongan? Dari sinilah kita menemukan bahwa
“Mengingat Lapindo” menjadi semakin relevan.