Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334283331

ANCAMAN PASCA BENCANA LUMPUR LAPINDO

Conference Paper · October 2014

CITATION READS

1 857

2 authors:

Lutfi Amiruddin Titi Fitrianita


Brawijaya University Brawijaya University
25 PUBLICATIONS   12 CITATIONS    9 PUBLICATIONS   11 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Urban Poor Community View project

Impact of Trans Java toll road development View project

All content following this page was uploaded by Lutfi Amiruddin on 07 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Ist National Research Symposium -UM
8-9 Oktober 2014
ANCAMAN PASCA BENCANA LUMPUR LAPINDO

Lutfi Amiruddin1*
Titi Fitrianita2
1
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
2
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
*
amiruddin_lutfi@yahoo.com

Pasca bencana berpotensi membawa kondisi kerentanan bagi para


penyintasnya. Demikian pula yang terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Meski telah
lebih dari sewindu, penanganan bencana lumpur Lapindo jauh dari tuntas. Penanganan
bagi penyintas lumpur, yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) selama ini
hanya difokuskan pada penyelesaian pembayaran jual beli rumah dan tanah yang
tenggelam saja. Kondisi ini justru menimbulkan kondisi kerentanan. Dengan
menggunakan analisis pasca bencana, tulisan ini menganalisis kondisi penyintas lumpur
Lapindo dalam proses pemukiman kembali (resettlement). Dengan penelitian kualitatif
yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa para penyintas seringkali terjebak dalam
mekanisme jual beli tanah dan rumah baru yang diprakarsai oleh para makelar. Tiadanya
aturan dalam Perpres yang mengatur tentang pemukiman kembali, justru membuat
penyintas kesulitan memulihkan kondisi sosial budayanya. Alih-alih mencita-citakan
untuk kembali berkumpul dengan tetangga lama, mereka justru tercerai-berai. Rencana
untuk membentuk kembali pemukiman yang dihuni oleh orang-orang dari kampung
halaman menjadi sulit untuk diwujudkan. Inilah sebenarnya yang membuat penanangan
bagi para penyintas lumpur Lapindo masih menemui jalan yang panjang, dan kondisi
pasca bencana membawa potensi ancaman kerentanan.

Kata kunci: pemukiman kembali (resettlement), pasca bencana, penyintas lumpur Lapindo

PENDAHULUAN
Pada 29 Mei 2014 telah genap sewindu lahirnya lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Peringatan delapan tahun diadakan dengan gelaran berbagai macam acara, mulai prosesi
pemasangan patung di atas tanggul, dan pementasan kesenian tradisional dari beberapa
kelompok penyintas 1. Bagi para penyintas, peringatan ini merupakan upaya merawat memori
kolektif tentang daya rusak industri pertambangan yang telah menggelamkan desa mereka. Di
saat yang sama tergambarkan pula bahwa, penanganan korban lumpur masih jauh dari tuntas.
Masalah lumpur Lapindo pun bukanlah semata pelunasan ganti rugi bagi korban.
Sejak pertama kali menyembur pada Mei 2006, lumpur yang keluar dari perut bumi
tidak hanya mengenggelamkan sawah dan rumah di desa-desa seperti Renokenongo, Siring,
Jatirejo, Kedungbendo, Mindi, Besuki, Ketapang, Gempolsari, Pejarakan, Kedungcangkring,
dan masih banyak lagi desa yang terancam tenggelam seperti. Lumpur Lapindo juga telah

1
Dalam karya ini, warga terdampak dituliskan dalam dua istilah; korban (victim) dan penyintas (survivor).
Perbedaan penggunaan istilah hanya berasal dari fase yang mereka hadapi. Istilah “korban” lebih merujuk pada
warga terdampak. Dalam kasus Lapindo, mereka yang secara resmi ditetapkan sebagai korban adalah warga
yang pemukimannya masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres).
Sedangkan “penyintas” lebih merujuk pada korban yang bertahan yang dalam tulisan ini dilekatkan bagi korban
yang berada dalam dengan proses pemukiman kembali.
1114
Lutfi Amiruddin dan Titi Fitrianita
membentuk perubahan kondisi sosial masyarakat. Sebab, tiap bencana yang terjadi, dapat
mengubah struktur sosial masyarakat (Kreps, 1984; Miller dan Rivera, 2011). Perubahan
struktur sosial terjadi pula ketika para warga telah masuk pada fase pasca bencana, berupa
proses pemukiman kembali (resettlement).
Dalam studi bencana, fokus kajian tidak hanya pada masalah mitigasi bencana saja.
Kajian mengenai pasca bencanapun merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena
dapat menggambarkan dampak-dampak yang pada masyarakat secara gambalang. Dalam
kasus lumpur Lapindo, setelah proses pembayaran jual beli yang didasarkan pada Peraturan
Presiden (Perpres), korban dihadapkan pada proses pemukiman kembali. Pada proses ini,
warga yang telah masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT), harus bersiap untuk mencari
lahan dan rumah baru. Mereka harus rela meninggalkan kampung halamannya.
Dalam proses resettlement ini, bukan berarti pula masalah yang dihadapi para
penyintas telah tuntas. Inilah sebenarnya kajian pasca bencana menjadi penting, karena
merujuk pendapat Oliver-Smith (1991: 13), bahwa kondisi pasca bencana juga
memungkinkan para korbannya masuk pada kondisi bencana yang baru. Demikian pula
pendapat Miller dan Rivera (2011: xxxvii), bahwa bencana yang sesungguhnya justru berawal
dari proses pemulihan pasca bencana. Maka, dengan menggunakan analisis pasca bencana,
tulisan ini mencoba menganalisis kondisi penyintas lumpur Lapindo dalam proses pemukiman
kembali. Asumsi dasarnya adalah ada kondisi kerentanan dapat dialami, bahkan ketika
penyintas telah menjauh dari sumber bencana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
analisis respon dan perubahan sosial masyarakat yang tertimpa bencana (Oliver-Smith, 1996).
Karya ini merupakan hasil dari studi lapangan pada salah satu penyintas yang berasal
dari salah satu desa terdampak yakni Besuki Wetan (Timur), Kecamatan Jabon, Kabupaten
Sidoarjo. Desa ini baru ditetapkan sebagai area terdampak pada April 2012 berdasarkan pada
Perpres 37/2012. Ini berarti pula warga Besuki Wetan baru ditetapkan menjadi area terdampak
setelah enam tahun akrab dengan semburan lumpur. Proses sosial setelah ditetapkan wilayah
tersebut ditetapkan menjadi area terdampak, yang menyebabkan pula masyarakatnya harus
berpindah, menjadi objek kajian yang menarik yang menggambarkan sudut pandang pasca
bencana.

METODE PENELITIAN
Metode kualitatif digunakan dalam studi lapangan ini. Sebab, situasi alamiah dalam
penilitian ini dibutuhkan, agar pendalaman fenomena dapat digali (Chadwick, 1991: 239-
240). Di sisi lain, dalam studi bencana kehadiran peneliti dapat dianggap memberikan
kontribusi bantuan bagi para korban. Menurut Drabek, sebuah penelitian dalam studi bencana,
1115
Ist National Research Symposium -UM
8-9 Oktober 2014
membutuhkan kerjasama antara peneliti dengan para narasumber (1970). Maka, untuk
menjawab pernyataan Drabek tersebut digunakanlah metode kualitiatif. Metode ini dianggap
lebih dialogis, yang membawa hubungan antara peneliti dan narasumber manjadi lebih akrab,
dengan situasi yang alamiah. Peneliti mulai masuk ke lapangan sejak pertengahan 2011, dan
hingga saat tulisan ini dibuat masih rutin berkunjung ke lokasi pemukiman baru.
Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus, sudut pandang
warga Besuki Wetan dapat terpotret. Asumsi dasar yang dibangun dalam studi kasus ini
adalah terdapat sebuah kondisi ruang dan waktu tertentu yang membatasi fenomena
kerentanan dalam proses resettlement warga Besuki Wetan. Desa ini dipilih karena kondisi
kebencanaan yang terjadi. Warga Desa Besuki Wetan baru dimasukkan dalam Peta Area
Terdampak (PAT) berdasarkan Perpres 37/2012. Selama enam tahun itu pula warga Besuki
Wetan harus bertahan hidup dekat dengan sumber bencana lumpur Lapindo. Di lain pihak,
sejak 2011, warga telah pula merencanakan untuk melakukan resettlement secara kolektif,
meskipun kemudian terdapat banyak pula perencanaan yang tidak tercapai. Sebab, dalam
prosesnya justru warga terjebak dalam mekanisme yang sifatnya ekonomistis, yang membuat
mereka terpisah sebagai sebuah entitas desa.
Dalam menggali data digunakanlah teknik wawancara terbuka dengan para informan
yang telah dipilih. Wawancara terbuka dilakukan agar, lagi-lagi, suasana akrab dapat
dibangun dengan para narasumber. Teknik kedua, dilakukan dengan pengamatan semi
terlibat. Dalam melakukan studi lapangan, peneliti melibatkan diri dalam aktivitas keseharian
para narasumber, seperti dalam diskusi di antara warga dalam proses awal perencanaan
pencarian pemukiman baru. Teknik ketiga adalah studi data sekunder melalui penelitian
terdahulu. Ketiga rangkaian aktivitas ini dilakukan dalam rangka penyusunan tulisan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Besuki, Sebuah Desa yang Terpisah
Karena letaknya yang berdekatan dengan Surabaya, Sidoarjo telah menjadi wilayah
penyangga yang strategis. Buktinya dapat ditelusuri berupa dibangunnya wilayah industri di
daerah ini. Catatan Toer (2010:118) misalnya, mengungkapkan bahwa pada dekade 80-an
telah lebih dari 500 pabrik berdiri di wilayah selatan kabupaten ini. Namun di saat yang sama,
di desa-desa yang wilayahnya berdiri pabrik juga masih terdapat petani-petani yang bercocok
tanam dan menggarap tambak.
Sebagai bagian dari Kabupaten Sidoarjo, Desa Besuki, Kecamatan Jabon juga
terjamah oleh proses industrialisasi itu. Pada awal 80-an, dibangunlah jalan tol Porong-
Gempol yang membelah desa Besuki menjadi dua bagian, bagian barat dan timur. Sebenarnya

1116
Lutfi Amiruddin dan Titi Fitrianita
nama “Besuki Wetan” hanyalah sebutan kultural, sebutan yang dipakai dalam percakapan
sehari-hari warga. Nama desa yang sebenarnya hanyalah Besuki. Ini merupakan dampak dari
pembelahan desa akibat pembangunan jalan tol. Tak hanya itu, adanya jalan tol juga membuat
warga menjadi kesulitan untuk saling berkunjung ke tetangga dan saudara. Untuk
menyiasatinya, warga pernah nekat menjebol jalan tol agar bisa menyeberang, walaupun cara
ini terbilang berbahaya karena resiko tersambar kendaraan. Jika tidak menyeberang tol, maka
warga harus mengambil jalan memutar, dan itu artinya jaraknya lebih jauh.
Dari uraian di atas dapat tergambarkan bahwa, industrialisasi justru menjauhkan
interaksi di antara warga Besuki. Industrialisasi telah menyebabkan interaksi di antara warga
terhambat, akibat dari ruang sosial yang saling terpisah. Jauh sebelum lahirnya lumpur
Lapindo, Besuki telah berada dalam sejarah desa yang terbelah menjadi dua. Kondisi yang
terpisah ini pada akhirnya berdampak pada penanganan bencana luapan lumpur di Desa
Besuki.

Perihal Bencana Lumpur Lapindo dan Perdebatan yang Melingkupinya


Setidaknya terdapat dua pendapat yang dikemukakan para geolog dalam menganalisis
penyebab semburan lumpur ini. Pendapat pertama menyebutkan kalau lumpur yang
menyembur disebabkan oleh aktivitas pemboran yang dilakukan (Adams, 2006; Akbar, 2007;
Davies et.al. 2008). Pendapat kedua, yang merupakan sanggahan dari pendapat pertama yang
menyebutkan jika semburan lumpur disebabkan karena gempa bumi yang melanda
Yogyakarta pada dua hari sebelumnya, 27 Mei 2006 (Mazzini et. al., 2007).
Munculnya perdebatan di antara para geolog ini juga memunculkan dampak yang
panjang. Pertama, munculnya politik penamaan bencana (Novenanto, 2009). Pilihan
penyebutan nama “lumpur Lapindo” atau “lumpur Sidoarjo” menyiratkan, tidak hanya lokasi
bencana, melainkan juga siapa yang harus bertanggung jawab dan berada di pihak mana si
penyebut nama itu (Gustomy, 2012: 62).
Kedua, dampak dalam aras kebijakan penanganan semburan dan korban. Jika
pendapat pertama yang digunakan, maka semburan lumpur tergolong dalam “man made
disaster”. Itu artinya pula pihak perusahaan pemboran, dalam hal ini Lapindo Brantas Inc.
harus bertanggung jawab. Sebaliknya, kalau pendapat kedua yang dianggap benar, maka
bencana ini tergolong bencana alam, dan tentu saja negaralah yang menanggung biaya
pemulihannya (Amiruddin, 2012: 48).
Akan tetapi tidak ada kebijakan, dalam hal ini Perpres, yang menyatakan secara tegas
tentang penyebab bencana ini. Jika Perpres 14/2007 mengamanatkan pihak Lapindo Brantas
Inc. membeli tanah dan rumah yang tenggelam, maka peraturan setelahnya seperti Perpres 48/
1117
Ist National Research Symposium -UM
8-9 Oktober 2014
2008, Perpres 40/ 2009, Perpres 68/ 2011, Perpres 37/2012 dan Perpres 33/2013, justru
menyiratkan kalau jual beli tanah dan rumah yang tenggelam dibebankan kepada APBN
(Amiruddin, 2012: 50). Perpres 14/ 2007 menyatakan seolah lumpur merupakan bencana
teknologi, maka perspres setelahnya ada pergeseran, menjadi bencana alam.
Semua peraturan presiden yang ada selain mengatur kerja Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS), di dalamnya hanya mengatur proses jual beli tanah dan rumah yang
tenggelam. Hal ini membuat seakan-akan bencana lumpur Lapindo semata-mata hanyalah
masalah jual beli tanah dan rumah yang tenggelam saja. Padahal, di luar itu, proses pemulihan
sosial ekologis juga harus diselesaikan, termasuk urusan pemindahan paksa ke pemukiman
baru. Dalam peraturan yang telah ditetapkan, tidak ada satupun yang mengatur bagaimana
proses pemukiman kembali. Perbedaan penanganan ini pun nantinya berimbas pada proses
penanganan dan pemulihan korban.
Karena hanya mengatur urusan jual beli rumah dan tanah yang tenggelam, maka
proses penyelesaian bagi korban menjadi sangat ekonomistis. Yang ada hanyalah masalah
transaksional antara pihak perusahaan, dalam hal ini Minarak Lapindo Jaya (MLJ, perusahaan
yang bertugas membayar jual beli aset warga) dengan korban yang masuk PAT. Atau setelah
perpres 14/2007, melibatkan antara pemerintah dengan warga yang masuk dalam PAT. Jadi
yang terjadi bukanlah pemberian kompensasi seperti halnya yang disarankan oleh Sugarman
(2006), melainkan murni jual beli aset saja. Gustomy melihat relasi antara perusahaan, negara,
dan masyarakat semacam ini seperti “relasi ekonomi atau pertukaran”(2012: 77).
Dalam proses selanjutnya, tidak ada satupun peraturan presiden yang mengatur
bagaimana warga melakukan pemukiman kembali. Sama halnya dengan proses jual beli yang
sangat ekonomistis, maka proses pemukiman kembali juga hanyalah proses transaksional.
Dalam kasus penyintas Besuki Wetan, melalui pengamatan yang dilakukan, warga seringkali
terjebak dalam mekanisme jual beli yang diprakarsai oleh para makelar yang mengiming-
imingi lokasi pemukiman baru. Dampaknya, adalah lagi-lagi konflik di antara para penyintas,
seperti halnya pada warga Besuki Wetan, yang melakukan proses resettlement.

Berebut Menjadi Korban


Dalam kasus lumpur Lapidno, urusan menjadi “korban” atau tidak, sebenarnya adalah
urusan politis. Biasanya warga membentuk kelompok korban yang aktif menyuarakan dan
menuntut untuk dimasukkan dalam PAT. Sebagaimana jamak diketahui, bencana ini telah
memunculkan banyak sekali kepentingan di antara warga, perusahaan, negara.
Karena urusan politis, maka potensi konflik horizontal menjadi sangat terbuka.
Laporan Utomo dan Batubara menyebutkan bahwa setelah munculnya lumpur Lapindo, warga
1118
Lutfi Amiruddin dan Titi Fitrianita
Desa Besuki sering kali terlibat dalam konflik horizontal di antara sesama warga desa. Ini
terjadi terutama setelah warga Besuki Barat masuk dalam PAT berdasar Perpres 48/ 2008.
“Konflik semakin melebar karena begitu masuk ke dalam peta area terdampak, warga Besuki
Barat menerima banyak fasilitas yang tidak didapatkan oleh warga Besuki Timur” (2009: 95-
96). Padahal kerusakan lingkungan yang mereka alami sama saja, perbedaannya hanyalah
karena dipisahkan oleh bekas jalan tol Porong-Gempol (Utomo, 2009: 41).
Setelah masuk dalam PAT yang ditetapkan perpres maka korban akan diberikan
kompensasi berupa uang pindah rumah dan uang kontrak oleh pemerintah. Setelah itu mereka
akan menerima cicilan jual beli rumah dan tanah, dengan skema 20% dan sisanya dibayarkan
kemudian 80%. Rumah dan tanah di wilayah Besuki Barat dibeli oleh pihak PT. MLJ dengan
cara dicicil karena masuk dalam PAT Perpres 48/2008. Karena wilayah Besuki Timur baru
masuk dalam Perpres 37/2012, maka uang APBN digunakan untuk membeli aset warga
tersebut. Karena baru ditetapkan pada 2012, warga terdampak dari wilayah ini harus
menunggu selama enam tahun untuk menjadi “korban”. Itu artinya pula, selama enam tahun
warga Besuki Wetan tinggal dengan lingkungan yang tercemar, sebuah kerentanan di tengah
bencana.
Maka, setelah mendapatkan cicilan aset ini, warga kemudian berbondong-bondong
untuk berpindah pemukiman. Dengan sangat terpaksa, korban lumpur harus meninggalkan
kampung halamannya untuk mencari pemukiman baru (resettlement). Keputusan untuk
pindah, terpaksa dilakukan, karena tinggal berdekatan dengan sumber semburan juga bukan
perkara mudah. Air sumur tercemar, bau busuk udara pun selalu menyengat. Inilah awal
proses pemindahan paksa, meninggalkan desa asal.

Penyintas yang Tercerai Berai


Pembelahan Desa Besuki menjadi dua bagian akibat pembangunan jalan tol ini juga
berdampak pada penanganan korban lumpur Lapindo. Sebagai desa yang terbelah,
penanganan korban dari desa ini justru menciptakan perbedaan perlakuan. Karena lokasinya
yang lebih dekat dengan pusat semburan, maka wilayah Besuki Barat lebih dahulu
dimasukkan dalam PAT berdasarkan Perpres 48/ 2008. Maka warga Besuki Timur, tertinggal
dan harus bertahan di tengah-tengah resiko kerusakan lingkungan, hingga akhirnya baru
ditetapkan melalui Perpres 37/ 2012. Tidak hanya itu, perbedaan perlakuan warga Desa
Besuki juga telah menciptakan konflik horizontal di antara warga. Mereka berusaha untuk
masuk dalam PAT (Utomo dan Batubara, 2009: 96).
Ternyata bagi penyintas lumpur Lapindo, proses pemukiman kembali bukanlah
perkara mudah. Selain masalah teknis berupa pencarian lokasi baru, proses ini ternyata juga

1119
Ist National Research Symposium -UM
8-9 Oktober 2014
menyangkut masalah ekonomi, dan terutama masalah perubahan sosial dan budaya. Hingga
kini, belum semua cicilan pembayaran jual beli rumah dan tanah telah dilunasi oleh Minarak
Lapindo Jaya, bagi korban yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT) Perpres 14/ 2007.
Sementara itu, bagi mereka yang pembayaran cicilannya telah lunas, yang dibayar dengan
dana APBN, bukan berarti pula masalah tuntas. Sebab, memilih lokasi pemukiman kembali
ternyata bukan hanya masalah teknis saja. Ada variabel lain yang harus dipertimbangkan
seperti kebersamaan dengan tetangga satu desa, saudara, maupun kondisi wilayah yang serupa
dengan desa asal. Dalam rangkaian proses inilah yang justru berpotensi menciptakan ancaman
baru pasca bencana.
Implementasi dari tidak adanya peraturan yang membahas mengenai proses
pemukiman kembali, membuat korban lumpur menjadi sangat rentan. Dalam kasus penyintas
Besuki Wetan, mereka kemudian disibukkan dengan urusan jual beli lahan dan rumah yang
baru, sejak setahun terakhir. Pada awalnya, mereka telah merencanakan untuk pindah di
wilayah yang sama. Ini bertujuan agar mereka dapat merawat hubungan di antara tetangga
mereka. Para penyintas tidak ingin pengalaman pemisahan desa karena jalan tol terulang lagi.
Namun, banyaknya makelar yang menawarkan tanah dan rumah baru, membuat banyak orang
tergiur untuk membelinya, yang kemudian makelar justru mampu mengendalikan proses
resettlement dan mengubah perencanaan awal. Dalam satu peristiwa, seorang makelar tanah
pernah menawarkan untuk menempati sebuah lokasi bekas sawah, yang masih dalam
Kecamatan Jabon. Namun ternyata, tanah tersebut masih bersengketa. Proses pemukiman
kembali harus bercampur dengan konflik horizontal. Ini sebenarnya membenarkan tesis dari
Oliver-Smith (1991), yang menyatakan bahwa kondisi pasca bencana berpotensi membawa
para penyintasnya untuk masuk dalam bencana baru. Dalam kasus Besuki Wetan, konflik
horizontal terjadi ketika mereka melakukan proses pemukiman kembali.
Sebenarnya, pelajaran paling berharga dari proses pemukiman kembali dapat dilihat
dari kasus penyintas yang menghuni perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV).
Perumahan ini dibangun oleh pihak Lapindo, yang dijual untuk penyintas lumpur Lapindo.
Namun, dari proses resettlement ini justru ditemukan munculnya konflik horizontal di antara
penghuninya. Keberadaan makelar, lagi-lagi menjadi awal munculnya konflik. Di lain pihak,
banyak di antara penghuni juga sangat sulit untuk beradaptasi di lingkungan perumahan.
Berlokasi di tengah kota, juga membawa masalah tersendiri bagi korban. Maklum,
sebelumnya mereka adalah orang desa yang dekat dengan kehidupan agraris (Amiruddin,
2012).
Kini, wilayah desa Besuki tampil bagaikan desa mati. Yang tersisa hanyalah puing-
puing rumah saja. Penyintas Besuki Wetan terlacak oleh penulis telah pindah ke beberapa
1120
Lutfi Amiruddin dan Titi Fitrianita
desa tetangga seperti Pangreh dan Podokaton, sebelah selatan Besuki dan masih dalam
wilayah Kecamatan Jabon. Sedangkan mereka yang berasal dari Besuki Kulon tersebar di
lebih banyak tempat, baik di dalam wilayah Sidoarjo, maupun di luarnya. Sejarah Desa
Besuki bukan hanya semata desa yang terbelah akibat modernisasi dan industrialisasi. Adanya
lumpur Lapindo telah mengubah wajah Desa Besuki menjadi desa yang tercerai berai, desa
yang warganya terlibat dalam konflik horizontal lalu tinggal tersebar di berbagai wilayah.

KESIMPULAN
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa penanganan korban lumpur Lapindo masih
jauh dari tuntas. Dari banyak perpres yang dibuat oleh pemerintah justru tidak implementatif
ketika dihadapkan pada masalah proses pemukiman kembali. Dari kasus di atas
menggambarkan pula kepada kita bahwa setelah mendapat cicilan jual beli tanah dan rumah
yang tenggelam -baik oleh pihak Lapindo, maupun dari dana APBN- seakan-akan masalah
telah diselesaikan. Kasus Besuki Wetan menujukkan bahwa penanganan pasca bencana
diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Dan pemukiman kembali seakan-akan
hanya urusan ketersediaan dana, lahan, dan masalah teknis lainnya. Penanganan penyintas
lumpur Lapindo yang hanya mengedepankan masalah transaksional dan tiadanya campur
tangan negara, membuatnya dihadapkan pada tantangan yang multikompleks. Dan proses
pemukiman kembali membawa potensi ancaman kerentanan berupa konflik horizontal.

Daftar Pustaka
Adams, Neal. 2006. Causation Factors for The Banjar Panji No.1 Blowout. Report as Per
Consulting Services Agreement Causation Factors for the Banjar Panji No. 1 Blowout
to PT Medco E&P Indonesia. Unpublished.
Akbar, A. Azhar. 2007. Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, Dari Aktor Hingga Strategi
Kotor. Yogyakarta: Galangpress.
Amiruddin, Lutfi. 2012. Solidarity of Lapindo Mudflow Victims in Resettlements.Tesis pada
Management of Infrastructure and Community Development Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada.
Chadwick, Bruce A. dkk. 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial.Semarang: IKIP
Semarang.
Davies, Richard J. et. al. 2008. The East Java Mud Volcano (2006 to Present): An Earthquake
or Drilling Trigger? Published on ScienceDirect, Journal Earth and Planetary Letters.
Accessed from www.elsevier.com/locate/epsl in January, 24th 2012.
Drabek, Thomas E. 1970. “Methodology of Studying Disaster: Past Patterns and Future
Possibilities”. Dalam American Behavioral Scientist, 13:3 (1970:Jan./Feb.) hlm. 331.
Gustomy, Rachmad. 2012. “Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri
Jejak Strategi Kuasa Lapindo Brantas Inc. dalam Kasus Lumpur Panas di Sidoarjo”.
Dalam Bencana Industri, Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan
Lumpur Lapindo. Heru Prasetya (ed.). Depok: Desantara.
1121
Ist National Research Symposium -UM
8-9 Oktober 2014
Kreps, Gary A., 1984. “Sociological Inquiry and Disaster Research.” Dalam Annual Review
Sociology, Vol. 10, hlm. 309-330.
Mazzini, Adriano, et. al. 2007. Triggering and Dynamic Evolution of The Lusi Mud Volcano,
Indonesia. Published on Journal ScienceDirect, Earth and Planetary Letter 261 (2007)
375 -388. Accessed from www.elsevier.com/locate/epsl in anuary, 24th 2012.
Miller, Demond S. dan Jason D. Rivera. 2011. “Introduction: The Unique Opportunities and
Challenges from a Social Scientific Perspective”. dalam Community Disaster
Recovery and Resiliency, Exploring Global Opportunities and Challenges. Boca
Raton, London, New York: CRC Press.
Novenanto, Anton. 2009. Mediated Disaster The Role of Alternative and Mainstream Media
in The East Java Mud Volcano Disaster. Tesis pada Department of Cultural
Anthropology and Development Sociology, University of Leiden.
Oliver-Smith, Anthony. 1991. “Successes and Failures in Post-Disaster Resettlement”. Dalam
The Journal of Disaster and Studies and Management Volume 15 no. 1 March 1991.
London: Basil Blakwell.
-----., 1996. “Anthropological Research on Hazards and Disasters.” Dalam Annual Review
Anthropology, Vol. 25, hlm. 303-28.
Sugarman, Stephen D. 2006. Roles of Government in Compensating Disaster Victims. An
Article Submitted to Issues in Legal Scholarship Manuscript 1093.
Toer, Pramoedya A., 2010. Jalan Raya Pos, Jalan Deandels, Jakarta: Lentera Dipantara.
Utomo, Paring W. 2009. Menggapai Mimpi yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses “Ganti
Rugi” Terhadap Korban Lumpur Lapindo. Jurnal DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH.
2009, PP. 27-45.
Utomo, Paring W. dan Bosman Batubara. 2009. Skema Ganti Rugi Terhadap Korban Lumpur
Panas Di Sidoarjo (Kajian di Desa Ketapang dan Besuki Timur), Laporan Penelitian.
Surabaya.

1122
Lutfi Amiruddin dan Titi Fitrianita
Saran penulisan daftar pustaka:
Amiruddin, Lutfi dan Titi Fitrianita. 2014. “Ancaman Pasca Bencana Lumpur Lapindo”.
Prosiding 1st National Research Symposium Universitas Negeri Malang 8-9 Oktober 2014.
Malang.

1123

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai