Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERCOBAAN

KELOMPOK 4
1.Elvan Meihard kereh -220711010156
2.Gabriela loway -220711010159
3.Fadiah Tri permana putri -220711010157
4.Flora aurel lombonaung -220711010158
5.Gabriella jeaneffer palapa -220711010160
6.Elshaday injili paat -220711010155

Dosen Pengampu:
MARHCEL RECI MARAMIS SH,MH

Hukum pidana

Fakultas Hukum
Universitas Samratulangi
2023
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................................................... 1
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................... 2
1.1 Latar
Belakang.................................................................................................................. 2
1.2 Rumusan
Masalah.................................................................................................................... 3
1.3
Tujuan...................................................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Percobaan.........................................................................................
2.2 Teori Obyektif dan Subyektif Tentang percobaan.............................................
2.3 Adanya
Niat..........................................................................................................................
2.4 Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat....................................
2.5 Pelaksanaan tidak selesai...................................................................................
2.6 Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri.
2.7 Percobaan yang tidak mampu............................................................................
BAB III
PENUTUP..............................................................................................................10
Kesimpulan.............................................................................................................10
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................................................11
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada
halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu kami dalam mata
kuliah Hukum Pidana. MARCHEL RECI MARAMIS SH,MH
yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Manado, 04 April 2023

Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Adakalanya suatu tindak pidana itu tidak diselesaikan oleh pelakunya, dikarenakan oleh
berbagai faktor. Faktor penyebab tidak selesainya suatu tindak pidana bisasaja berasal dalam diri
si pelaku sendiri, maupun faktor lain dari luar diri sipelaku.
Situasi seperti ini disebut dengan percobaan tindak pidana (poging, attempate). Dalam
percobaan terdapat beberapa pandangan mengenai bagaimana pisisi poging apakah merupakan
suatu delik yang berdiri sendiri atau sebatas delik yang tidak selesai.

Ketika suatu percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund


(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya orang). Seseorang yang melakukan
percobaan untuk melakukan delik, meskipun tidak memenuhi semua unsur delik tetap
dapat dipidana apabila telah memenhi rumusan pasal 53 KUHP tentang percobaan. Singkatnya
sifat percobaan digunakan untuk memperluas dapat dipidananya orang, bukan untuk memperluas
delik. Artinya menurut pandangan ini percobaan hanya dipanang sebagai suatu delik yang tidak
selesai.
Pandangan lain menyebutkan percobaan sebagai dasar atau alasan dapat dipidananya suatu
perbuatan. Percobaan melakukan tindak pidana merupakan serangkaian satu kesatuan yang
lengkap. Akan tetapi hal ini merupakan suatu tindak pidana khusus/istiewa.
Akan tetapi dalam makalah ini akan lebih difokuskan tentang bagaimana suatu percobaan
delik itu dapat dipidanakan.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sajakah unsur-unsur percobaan menurut Pasal 53 ayat (1) KUHPidana?
2. Apakah dasar dapat dipidananya percobaan menurut teori percobaan yang obyektif?
3. Apakah dasar dapat dipidananya percobaan menurut teori percobaan yang subyektif?
4. Kapan ada permulaan pelaksanaan menurut teori percobaan yang obyektif?
5. Kapan ada permulaan pelaksanaan menurut teori percobaan yang subyektif?
6. Buatlah rincian mengenai cakupan percobaan yang tidak mampu.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui :
1. Apa sajakah unsur-unsur percobaan menurut Pasal 53 ayat (1) KUHPidana
2. Apakah dasar dapat dipidananya percobaan menurut teori percobaan yang obyektif
3. Apakah dasar dapat dipidananya percobaan menurut teori percobaan yang subyektif
4. Kapan ada permulaan pelaksanaan menurut teori percobaan yang obyektif
5. Kapan ada permulaan pelaksanaan menurut teori percobaan yang subyektif
6. Buatlah rincian mengenai cakupan percobaan yang tidak mampu.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam bagian ini dipelajari tentang percobaan melakukan tindak pidana yang diatur dalam
Buku I Bab IV tentang Percobaan (Poging), yang mencakup Pasal 53 dan 54 KUHPidana.

A. Pengertian Percobaan

Dalam Pasal 53 KUHPidana ditentukan bahwa (Tim Penerjemah BPHN, 1983: 33-34):

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah temyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata kehendaknya
sendiri. disebabkan karena

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas

tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Kemudian pada Pasal 54 KUHPidana ditentukan secarsa singkat bahwa mencoba melakukan
pelanggaran tidak dipidana. Jadi, hanya percobaan melakukan kejahatan, yaitu jenis delik seperti
yang ditempatkan dalam Buku II KUHPidana saja, yang dapat dipidana. Dalam rumusan Pasal 53
tidak didefinisikan apa yang dimaksudkan dengan percobaan. Pasal ini hanya menentukan apa
yang menjadi unsur- unsur dari percobaan. Walaupun demikian, dari rumusan Pasal 53 ayat (1)
dapat dirumuskan bahwa percobaan adalah perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan
yang menyatakan adanya niat, tetapi pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.

Unsur-unsur percobaan menurut rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHPidana, yaitu:

1. Adanya niat,

2. Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat, 3. Pelaksanaan itu tidak selesai,

4. Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri. 4


Sebenamya unsur "tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya
sendiri bukan merupakan unsur percobaan. Ini lebih merupakan alasan penghapus pidana.
Semata mata karena kehendaknya sendiri, maka yang bersangkutan tidak dapat dipidana. Jika
pelaksanaan tidak selesai

B. Teori Obyektif dan Subyektif tentang Percobaan Dari aspek teoritis, menjadi pertanyaan
apakah yang merupakan dasar pikiran sehingga suatu perbuatan yang berupa mencoba melakukan
tindak pidana, jadi perbuatan itu belum merupakan suatu delik selesai, sudah dipandang sebagai
perlu dipidana.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teori-teori
tentang dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana. Teori-teori tentang dasar dapat
dipidananya percobaan tindak pidana terdiri atas teori percobaan yang obyektif, dengan
pendukungnya yang terkenal antara lain adalah D. Simons, dan teori percobaan yang subyektif,
dengan pendukungnya antara lain adalah G.A. van Hamel.

Menurut teori percobaan yang obyektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana
adalah bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu kepentingan hukum. Sekalipun perbuatan
itu belum melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi kepentingan hukum itu telah dibahayakan.
Jadi, teori ini melihat pada perbuatan. Perbuatan yang bersangkutan, sekalipun belum melanggar
suatu kepentingan hukum, tetapi telah membahayakan kepentingan hukum.

Menurut teori percobaan yang subyektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana
adalah watak yang berbahaya dari si pelaku. Jadi, teori ini melihat pada orangnya, yaitu si pelaku,
di mana yang diperhatikan adakah watak dari si pelaku, yang dengan mencoba melakukan tindak
pidana telah menunjukkan wataknya yang berbahaya.

Masing-masing teori ini membawa konsekuensi yang berbeda mengenai batas permulaan
pelaksanaan dan percobaan yang tidak mampu. Konsekuensi berkenaan dengan batas permulaan
pelaksanaan akan dibahas dalam sub bab berikut, sehingga yang akan dibahas di sini adalah
berkenaan dengan percobaan yang tidak mampu.

Teori manakah yang dianut oleh pembentuk KUHPidana pada waktu menyusun pasal-pasal
percobaan, yaitu Pasal 53 dan 54 KUHPidana? Dari rumusan Pasal 53 dan 54 KUHPidana, tidak
dapat diketahui apakah teori percobaan yang obyektif atau teori percobaan yang subyektif, yang
dianut oleh pembentuk KUHPidana. Juga tidak ada penjelasan pasal yang dapat lebih
memberikan keterangan tentang teori yang menjadi latar belakang penyusunan pasal-pasal itu.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentuk KUHPidana lebih menyerahkan


persoalan tersebut kepada yurisprudensi (putusan pengadilan). Akibatnya, para hakim telah 5
memberikan putusan yang berbeda karena perbedaan teori yang dianut. Hal ini akan dibahas lebih
lanjut dalam sub bab berikut nanti.

C. Adanya Niat

Percobaan tindak pidana yang diancam pidana hanyalah percobaan melakukan kejahatan saja.
Dalam Pasal 53 ayat (1) KUHPidana dikatakan bahwa "mencoba melakukan kejahatan (misdrijn)
dipidana,...". Dalam Pasal 54 KUHPidana juga ditegaskan bahwa mencoba melakukan
pelanggaran (Bld.: overtreding) tidak dipidana.
Mengenai cakupan dari niat (Bld.: voornemen), pada umumnya para ahli hukum pidana
sependapat bahwa hal ini mencakup semua bentuk kesengajaan, yaitu meliputi:

1) sengaja sebagai maksud (Bld.: opzet als oogmerk);

2) sengaja dengan kesadaran tentang kepastian/keharusan; dan, 3) sengaja dengan kesadaran


tentang kemungkinan atau dolus eventualis.

D. Adanya Permulaan Pelaksanaan yang Menyatakan Niat

Tidak seorangpun dapat dipidana hanya semata-mata karena adanya niat saja. Dalam hukum
pidana dikenal adanya adagium cogitationis poenam nemo patitur, yaitu: tidak seorangpun dapat
dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada dalam pikirannya.

Jadi, niat itu harus diwujudkan keluar dalam wujud suatu sikap fisik tertentu. Karenanya, salah
satu syarat dari percobaan tindak pidana adalah bahwa telah adanya permulaan pelaksanaan.

Penganut teori percobaan obyektif dan teori percobaan subyektif berbeda pendapat tentang
apakah pelaksanaan itu merupakan pelaksanaan niat atau pelaksanaan kejahatan. Menurut
penganut teori percobaan obyektif, pelaksanaan yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHPidana adalah pelaksanaan kejahatan, sedangkan menurut penganut teori percobaan
subyektif, pelaksanaan yang dimaksudkan di situ adalah pelaksanaan niat

Tetapi, apakah pelaksanaan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHPidana itu merupakan pelaksanaan
niat atau pelaksaan kejahatan, tidak membawa konsekuensi perbedaan praktis yang penting.

Perbedaan pendapat yang penting antara penganut teori percobaan obyektif dan teori percobaan
subyektif, adalah berkenaan dengan masalah apakah yang dimaksudkan dengan permulaan
pelaksanaan (Bld.: begin van uitvoering). Kapan suatu perbuatan masih merupakan perbuatan
persiapan (Bld.: voorbereidingshandeling), kapan merupakan permulaan pelaksanaan (Bld.: begin
van uitvoering) dan kapan sudah merupakan pelaksanaan sepenuhnya. Dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat antara penganut teori percobaan obyektif dan penganut teori percobaan
subyektif yang mendapatkan banyak pembahasan. 6
D. Simons, penganut teori percobaan obyektif, dalam menentukan kapan telah ada permulaan
pelaksanaan, mengadakan pembedaan antara delik formal dengan delik material.

Sebagaimana diketahui, delik formal adalah perbuatan yang telah menjadi delik selesai dengan
dilakukannya perbuatan tertentu. Contohnya Pasal 362 KUHPidana tentang pencurian. perbuatan
"mengambil barang sesuatu sebagaimana yang dirumuskan Jika seseorang melakukan dalam pasal
pencurian itu, maka berarti telah ada delik pencurian sebagai delik selesai. Sekalipun pada delik
berikutnya perbuatan itu ketahuan banyak orang sehingga barang yang diambil itu tidak jadi
hilang, tetapi tetap telah ada suatu delik pencurian sebagai delik selesai. Delik material adalah
perbuatan yang nanti menjadi delik selesai dengan terjadinya akibat tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang Contohnya adalah pasal 338 KUHPidana tentang pembunuhan. Nanti ada
delik pembunuhan sebagai delik selesai jika ada orang yang terampas nyawanya (mati) Sekalipun
pelaku telah melakukan penembakan atau penikaman yang mengenai korban tetapi korban tidak
sampai mati, maka dalam hal ini belum ada delik pembunuhan sebagai delik selesai. Menurut
pendapat D. Simons:

1) Dalam delik formal, ada permulaan pelaksanaan jika perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang mulai dilakukan.

Schaffmeiter, et al (1995: 216) mengemukakan bahwa menurut teori percobaan obyektif dari
D. Simons, "pada kejahatan dengan rumusan formal ada percobaan yang dapat dipidana kalau
perbuatan yang dilarang dalam undang-undang mulai dilakukan." 2) Dalam delik material, ada
permulaan pelaksanaan jika perbuatan itu tidak memerlukan perbuatan yang lain lagi untuk dapat
terjadinya akibat Schaffmeiter, et al, (1995: 216) mengemukakan bahwa menurut teori percobaan
obyektif dari D. Simons, "pada kejahatan dengan rumusan materiil, kalau perbuatan mulai
dilakukan yang menurut sifatnya segera dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang, yang tanpa dilakukannya perbuatan lebih lanjut, dapat menimbulkan akibat itu."
Di pihak lain, menurut pendapat dari G.A. van Hamel, penganut teori percobaan subyektif, telah
ada permulaan pelaksanaan jika dalam keadaan konkrit sudah ternyata kepastiannya niat itu.

Hoge Raad (Mahkamah Agung negeri Belanda), 19-3-1934, pernah mengikuti teori percobaan
obyektif ini. Kasusnya adalah seorang yang berniat melakukan pembakaran rumah, di mana ia
telah melakukan persiapan dengan menumpuk kain di lantai dan menyiramnya dengan bensin,
kemudian ia menempatkan pistol di jendela yang pelatuk pistol itu diikat dengan seutas tali dan
ujung tali dijulurkan ke luar jendela. la bermaksud untuk kembali malam hari guna menarik tali
dari luar jendela agar kebakaran terjadi di malam hari. Tetapi, karena bau bensin, masih di siang
hari para tetangga rumah itu mengetahui apa yang terjadi dalam rumah tersebut. Hoge Raad, 19-
3-1934, memberikan pertimbangan bahwa (Lamintang & Samosir, 1983: 36)

7
Pada suatu kejahatan untuk dengan sengaja melakukan pembakaran rumah, perbuatan itu harus
ditujukan kepada maksud untuk melakukan pembakaran dan tidak ditujukan kepada hal-hal yang
lain, dan dalam hubungan yang langsung dengan kejahatan yang dimaksudkan. Dalam pada itu
perbuatan tersebut menurut kebiasaan di dalam pengalaman haruslah tanpa sesuatu tindakan yang
lain dari si pelaku dapat menyebabkan timbulnya kebakaran itu.

Jadi, menurut Hoge Raad, apa yang dilakukan orang itu baru merupakan perbuatan persiapan
saja. Perbuatan itu belum merupakan permulaan pelaksanaan, sebab ia masih perlu melakukan
perbuatan yang lain lain, yaitu ia masih perlu kembali pada malam hari dan menarik tali dari luar
jendela rumah.

Jika kasus di atas dikaji dari sudut teori percobaan subyektif,sebagaimana yang dikemukakan
oleh G.A. van Hamel, apa yang dilakukan oleh orang itu sudah merupakan permulaan
pelaksanaan. Hal ini karena orang itu telah melakukan serangkaian perbuatan yang cukup rumit,
yaitu menumpuk kain di lantai, menyiram kain-kain itu dengan bensin, memancang pistol dekat
jendela, mengikat pelatuk pistol dengan tali, dan menjulurkan ujung tali yang lain ke luar jendela
rumah. Dalam keadaan konkrit, rangkain peristiwa ini sudah menunjukkan kepastian niat orang
itu untuk melakukan pembakaran rumah. Perbuatannya untuk kembali di malam hari tidak dapat
dilaksanakan karena sudah keburu ketahuan oleh para tetangga rumah yang melakukan
penjagaan.

E. Pelaksanaan Tidak Selesai

Tidak selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan merupakan suatu percobaan. Justru


karena tidak selesainya pelaksanaan sehingga plerbuatan itu diklasifikasi sebagai percobaan.

Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab baik oleh sebab yang di
luar kehendak si pelaku maupun oleh kehendak dari si pelaku sendiri.

Perlu pula dikemukakan bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang percobaannya sudah
ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang, malahan ada perbuatan yang
persiapannya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang.

F. Tidak Selesainya Pelaksanaan Bukan Semata-Mata Karena Kehendaknya Sendiri

Hal yang disebutkan pada angka 4 ini, sebenarnya bukan syarat untuk dipidananya percobaan
melakukan kejahatan melainkan merupakan alasan pengecualian pidana.

8
Dengan demikian, yang menjadi syarat-syarat untuk dapat dipidananya percobaan tindak
pidana (kejahatan) adalah:

1) Adanya niat untuk melakukan kejahatan;

2) Niat itu telah ternyata dari adanya

3) Pelaksanaan itu tidak selesai.

permulaan pelaksanaan;

G. Percobaan Yang Tidak Mampu Dalam KUHPidana tidak diatur mengenai percobaan yang
tidak mampu ini. Tetapi dalam doktrin telah diadakan rincian antara:

1. Percobaan yang alatnya tidak mampu, yang terdiri atas: 1) Alat yang absolut tidak mampu,

2) Alat yang relatif tidak mampu. 2. Percobaan yang obyeknya tidak mampu, yang terdiri atas:

1) Obyek yang absolut tidak mampu; 2) Obyek yang relatif tidak mampu.

Dari sudut pandang teori percobaan obyektif, dalam hal alat absolut tidak mampu dan obyek
absolut tidak mampu, pelakunya tidak dapat dipidana karena tidak ada suatu kepentingan hukum
yang telah dibahayakan.

Dari sudut pandang teori percobaan subyektif, baik alat tidak mampu secara absolut dan relatif
maupun obyek tidak mampu secara absolut dan relatif, pelakunya tetap dapat dipidana karena
percobaan tindak pidana. Hal ini disebabkan dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana
adalah watak yang berbahaya dari si pelaku, sedangkan dalam hal ini pelaku telah melakukan
perbuatan yang menunjukkan wataknya yang berbahaya. Tidak terjadinya suatu akibat yang
dikehendaki oleh si pelaku, hanyalah soal kebetulan saja yang tidak mempengaruhi hal perlu
dipidananya si pelaku.

9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
kesimpulan dari percobaan melakukan tindak pidana, hal tersebut secara tegas
dilarang oleh hukum pidana. Melakukan tindak pidana adalah suatu tindakan melawan
hukum yang dapat berakibat pada pengenaan sanksi pidana yang berat, mulai dari denda,
hukuman penjara, bahkan hukuman mati dalam beberapa kasus tertentu.

Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik, kita harus mematuhi hukum dan
tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum, termasuk melakukan tindak pidana
dalam bentuk apa pun. Kepatuhan terhadap hukum pidana adalah penting untuk menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat serta memberikan keadilan bagi korban tindak
pidana

10
DAFTAR PUSTAKA
 Adiwinata, S. 1977. Istilah Hukum Latin-Indonesia Intermasa, Jakarta.

 Adji, Oemar Seno, 1976. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Erlangga Jakarta.

 Ali, Chidir. 1986. Yurisprudensi Hukum Pidana Indonesia. Jilid 1. Armico Bandung

 Anonim. Tanpa tahun Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara, SH,
dan Pendapat-pendapat Para ahli Hukum Terkemuka Bagian Pertama Balai Lektur
Mahasiswa.

 Apeldoom, LJ van. 2001 Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita Cetakan ke-29.
Jakarta.

 Bemmelen, J.M. van. 1984 Hukum Pidana 1. Hukum Pidana Material Bagian Umum,
Terjemahan Hasnan. Binacipta. Jakarta.

 Clark & Marshall 1958. A Treatise on the Law of Crimes Callaghan & Company.
Chicago

 Haar, B. Ter 1983. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K.Ng. Soebakti
Poesponoto. Pradnya Paramita. Cetakan ke-7 Jakarta.

 Hamzah, Andi (ed). 1987 KUHP Perancis sebagai Perbandingan. Ghalia Indonesia
Jakarta.

 Hazewinkel-Suringa, D. 1984. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht.


Negende druk. Samson H/D Tjeenk Willink. Alphen a/d Rijn.

 Jones, PA. dan R. Card. 1976. Cross and Jones' Introduction to Criminal Law
Butterworths. London.

 Jonkers, J.E. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Bina Aksara. Jakarta.

 Kanter, E.Y. dan S.R. Siantur. 1982. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Alumni AHM-PTHM. Jakarta.

 Kartanegara, Satochid. Tanpa tahun. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Jilid 1 Balai
Lektur Mahasiswa.

 Kartono, Kartini 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual Mandar Maju,
Bandung.

 Lamintang. PAF 1983. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Sinar Baru Bandung.
11
 Sutherland, E.H. dan D.R. Cressey. 1960. Principles of Criminology. sixth edition J.B.
Lippincot Company. Chicago.

 Tim Penerjemah BPHN. 1983. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sinar Harapan.
Jakarta.

 Tresna, R. 1959. Azas-azas Hukum Pidana,. Tiara Ltd. Jakarta.

 1976. Komentar H.I.R. Pradnya Paramita. Cetakan ke-6. Jakarta.

 Utrecht, E. 1967. Hukum Pidana I. Penerbitan Universitas. Bandung.

 Wallace, Rebecca M. 1993. Hukum Internasional. Terjemahan dari International Law


oleh Bambang Arumanadi. IKIP Semarang Press. Semarang..

 C.D. Samosir. 1983. Hukum Pidana Indonesia Sinar Baru Bandung

 Moeljatno. 1983. Perbuatan Piclana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara Jakarta.

 1984. Azas-azas Hukum Pidana Bina Aksara. Cetakan ke-2. Jakarta

 Pariaman, H. Hasan Basri Saanin Dt. Tan. 1976. Psikiater dan Pengadilan Binacipta.
Jakarta

 Poemomo, Bambang. 1978. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

 Pompe, W.P.J. 1959. Handboek van het Nederlandse Straffecht. Tjeenk Willink. Vijfde
herziene druk. Zwolle.

 Prodjodikoro, W. 1974. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia Eresco. Cetakan ke-


2. Jakarta-Bandung.

- 1981. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco. Cetakan ke-3. Jakarta-


Bandung.

 Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

 Schaffmeister, D., H. Keijzer, dan EP. Sutorius. 1995. Hukum Pidana. Liberty.
Yogyakarta.

 Scholten, P. 1934. Algemeen Deel. W.E.J. Tjeenk Willink. Tweede druk Zwolle.

 Sianturi. 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Alumni AHM- PTHM.
Jakarta
12
 Simons, D. 1921. Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht. Eerste Deel. Vierde druk.
P. Noordhoff. Groningen.

 Soesilo, R. 1979. Pokok-pokok Hukum Pidana. Peraturan Umum dan Delik- delik
Khusus. Politeia, Bogor.

 1983. KUHP Serta Komentamya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia Bogor.

 Supomo, R. 1982. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Pradnya
Paramita. Cetakan ke-11. Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai