Anda di halaman 1dari 61

MODUL 1 NGUMTAS

PRINSIP DASAR DRAMATURGI

1. Deskripsi Materi Pembelajaran

Sebagai sebuah ilmu, dramaturgi mesti memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai landasannya, seperti ilmu-
ilmu lain. Namun yang perlu diingat, bahwa dramaturgi memiliki kekhasan untuk disebut sebagai ilmu. Ia
cenderung dianggap masih dalam tataran sebagai pengetahuan, belum menjadi sebuah ilmu.
Dramaturgi masih dianggap sebagai pengetahuan tentang drama dan teater. Bahkan sulit untuk
menemukan referensi yang membahas khusus tentang dramaturgi sebagai ilmu dalam khazanah
pengetahuan kesenian di Indonesia.

Dramaturgi sebagai disiplin keilmuan memiliki seperangkat prinsip dasar yang melandasi.
Pertanyaan-pertanyaan landasan dramaturgi tersebut merupakan pertanyaan fundamental. Pada
akhirnya pertanyaan fundamental yang dihasilkan akan mengarah ke pertanyaan filosofis keilmuan
sehingga dramaturgi tidak hanya sebatas pengetahuan saja, melainkan menjadi sebuah bidang ilmu

2. Tujuan Intruksional Umum

Dengan memahami materi kuliah prinsip dasar dan ruang lingkup dramaturgi mahasiswa memiliki
kemampuan untuk memahami dramaturgi sebagai salah satu disiplin keilmuan.

3. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:

1) Menjelaskan definisi dramaturgi.

2) Menguraikan landasan ontologi, epistemologi dan ontologi dramaturgi sebagai disiplin


keilmuwan.

3) Membuktikan dramaturgi sebagai sebagai bidang ilmu.

4. Uraian Materi Pembelajaran

Petunjuk Mempelajari Materi

1) Jika Anda membaca materi ini dengan cermat, maka Anda akan dapat menyimpulkan isi materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang ditetapkan.

2) Perhatikan setiap contoh dan ilustrasi yang diberikan dalam materi ini, agar Anda lebih
memahami mencermati kesimpulannya.

4.1 Apa itu Dramaturgi?

Jika bahasa memiliki Linguistik, film memiliki Sinematografi, sosial memiliki Sosiologi, budaya memiliki
Antropologi, maka drama dan teater memiliki dramaturgi sebagai ilmunya. Dramaturgi merupakan ilmu
yang me-ngaji dan mempelajari tentang segala aspek drama dan teater. Menurut Santoso dkk. (2008: 2-
3), dramaturgi ber-asal dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau teknik penulisan drama
dan penyajiannya dalam bentuk teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi mem-bahas proses
penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga pementasannya.

Dalam pengertian yang lain, Tambayong dalam bukunya berjudul 123 Ayat Tentang Seni menjelaskan
dramaturgi itu kurang lebih adalah pola atau materi dasar seni pertunjukan dalam seni tradisi
kebudayaan Yunani sejak 500 tahun SM, diterangkan bentuknya dalam dua ciri yang masing-masing kita
kenal saat ini melalui gambaran topeng, yaitu “topeng menangis” untuk drama yang disebut tragedi, dan
”topeng tertawa” untuk drama yang disebiut komedi (2012:190). Meski Tambayong dalam bukunya
tersebut menolak dramaturgi sebagai ilmu, sebagaimana yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, namun demikian pengertian ilmu dalam konteks ini disebut sebagai ‘ilmu’ (dalam tanda
petik). Artinya, dramaturgi merupakan pengetahuan tentang penciptaan drama, baik dalam dimensinya
sebagai genre sastra maupun dalam dimensi seni pertunjukan. Apalagi jika memperhatikan
perkembangan wacana pengetahuan tentang drama/teater digali dari negara-negara Barat, bukan
semata-mata diserap langsung dari Yunani, meski secara etimologis kata ‘dramaturgi’ berasal dari
bahasa Yunani dramatourgi.

Dramaturgi adalah ilmu yang mempelajari bangun-an sandiwara (Rendra, 1993:95). Sebagai sebuah
ilmu, tentu dramaturgi mesti memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai landasannya, seperti ilmu-ilmu lain.
Namun yang perlu diingat, bahwa dramaturgi memiliki kekhasan untuk disebut sebagai ilmu. Ia
cenderung dianggap masih dalam tataran sebagai pengetahuan, belum menjadi sebuah ilmu.
Dramaturgi masih dianggap sebagai pengetahuan tentang drama dan teater. Bahkan sulit untuk
menemukan referensi yang membahas khusus tentang dramaturgi sebagai ilmu dalam khazanah
pengetahuan kesenian di Indonesia.

Seperangkat prinsip dasar yang melandasi drama-turgi sebagai suatu disiplin keilmuan, dapat dijelaskan
melalui definisi, obyek kajian, cabang-cabang keilmuan-nya, ruang lingkup, sejarah, dan pendekatan
yang diguna-kan. Pertanyaan-pertanyaan landasan dramaturgi tersebut merupakan pertanyaan
fundamental. Pertanyaan funda-mental tersebut merupakan pertanyaan filosofis keilmuan, yang
meliputi: 1) landasan ontologi, 2) landasan episte-mologi; dan 3) landasan aksiologi.

Pertama, landasan ontologi mempertanyakan obyek kajian dramaturgi, apa hakikat dari obyek tersebut,
dan bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan subyek yang mengajinya. Kedua, landasan
epistemologi berusaha menjawab bagaimana memperoleh pengetahuan yang berupa dramaturgi,
bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pe-ngetahuan yang
benar tentang drama atau teater, apakah kebenaran drama itu, dan sarana apa yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan yang disebut dramaturgi. Ketiga, landasan aksiologis mempertanyakan
tentang ke-gunaan atau nilai moral. Untuk apa pengetahuan yang disebut dramaturgi tersebut
digunakan? Bagaimana kaitan penggunaan tersebut dengan kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek
yang ditelaah dramaturgi berdasarkan pilihan-pilihan moral? (Endraswara, 2012: 1-2).

Setiap ilmu pasti berbeda-beda karakteristiknya, begitu juga dengan dramaturgi. Pada dasarnya, drama-
turgi merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana proses penciptaan teater itu, dari teknik
penulisan naskah lakon, hingga mempertontonkannya di atas panggung, di depan khalayak. Pengertian
dasar yang lebih bersifat teknis dan instruksional itulah yang mempengaruhi anggapan bahwa
dramaturgi baru dalam tataran sebagai pengetahuan, belum menjadi sebuah ilmu yang mapan.

4.2 Landasan Ontologi Dramaturgi


Landasan ontologi mempertanyakan obyek kajian dramaturgi, apa hakikat dari obyek tersebut, dan
bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan subyek yang mengajinya. Landasan ini menjelaskan
hakikat obyek yang dipelajari oleh dramaturgi, meliputi obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah benda, hal atau bahan yang menjadi obyek, bidang atau sasaran penelitian/kajian.
Sedangkan obyek formal berkaitan dengan aspek atau sudut pandang tertentu terhadap obyek
materialnya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa drama merupakan obyek dari studi Dramaturgi. Drama itu sendiri
memiliki pengertian dalam dua dimensi, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yaitu: 1) drama
sebagai karya sastra; dan 2) drama sebagai seni pertunjukan. Berdasarkan substansinya, baik sebagai
genre sastra maupun sebagai seni pertunjukan, drama merupakan interpretasi kehidupan secara kreatif,
fiktif, imajinatif, dan estetik.

Drama pada dasarnya memahami problematika atau konflik kehidupan yang dialami manusia dari sudut
pandang seni, yaitu seni sastra dan seni teater. Dapat dikatakan, pada hakikatnya drama adalah konflik
dalam kehidupan manusia. Hal itulah yang menjadi obyek material Dramaturgi sebagai ilmu atau
pengetahuan. Apakah obyek formal dramaturgi? Dimensi drama sebagai karya sastra dan seni
pertunjukan (teater) merupakan titik pijak atau sudut pandang mengaji tentang drama. Itulah obyek
formal dramaturgi.

Berdasarkan uraian tentang obyek material dan formal dramaturgi di atas, maka landasan ontologi
dramaturgi hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pengertian drama dan teater, yang
meliputi hal-hal berikut.

1. Apakah drama itu?

2. Apakah teater itu?

3. Apakah perbedaan drama dan teater itu?

Ketiga pertanyaan di atas bermuara pada permasalahan tentang definisi drama dan/atau teater sebagai
obyek kajian dramaturgi. Jawaban terhadap permasalahan tersebut akan dapat menjelaskan landasan
ontologi dramaturgi sebagai ilmu dan pengetahuan.

Samakah drama dan teater itu? Pertanyaan itu segera melintas dalam benak seseorang yang hendak
mempelajari seni drama/teater? Pertanyaan itu pula yang mesti menjadi pembahasan awal dalam
memahami dramaturgi.

Seorang tokoh teater Indonesia yang sangat produk-tif dan konsisten bergulat dengan teater, Nano
Riantiarno, menjelaskan, teater berasal dari kata teatron (bahasa Yunani), artinya tempat melihat atau
area yang tinggi untuk meletakkan sesajian untuk para dewa (2011: 1). Dalam pengertian yang kurang
lebih sama, Santoso dkk (2008: 1) mengemukakan, teater berasal dari kata Yunani, “theatron” yang
artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas, kata
‘teater’ diartikan sebagai segala hal yang dipertunjuk-kan di depan orang banyak. Dalam rumusan
sederhana, teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren,
janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikata-kan sebagai
manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, ber-main
perang-perangan, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut dikemukakan Santoso dkk, bahwa Teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial
kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara
kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis. Berdasarkan paparan di
atas, mengutip pendapat Harymawan (1988), Santoso dkk. mengemukakan ke-mungkinan perluasan
definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai
berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar
maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”

Sedangkan kata ‘drama’ berasal dari bahasa Yunani draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak,
atau bereaksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau reaksi. Pengertian tentang drama, menurut
Harymawan (1988:1), adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentas-kan. Munculnya
pengertian tersebut jika ditinjau dari makna kata drama sudah tepat, sebagaimana dikemuka-kan di
atas. Jadi kata drama berarti perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini, drama sebagai suatu
pengertian lebih difokuskan kepada dimensi genre sastranya.

Dalam dimensi sastra, drama adalah salah satu genre sastra, selain puisi dan prosa. Namun drama mem-
punyai kekhususan dibanding dengan genre sastra yang lain. Kekhususan drama disebabkan tujuan
drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk
dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk dapat
dipertontonkan dalam suatu penapilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan
drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sasta lebih terfokus
sebagai suatu karya yang lebih beroreintasi kepada seni per-tunjukan. Drama dapat dipandang dalam
dua dimensi, yaitu dimensi sastra dan pertunjukan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drama adalah lakon yang hendak dipentaskan, sedang teater
adalah panggung atau tempat lakon itu dipentaskan. Jika mengikuti pengertian tersebut, antara drama
dan teater dapat dibedakan sebagaimana dalam tabel berikut.

Tabel 1

Perbedaan Drama dan Teater

No Drama Teater

1 Naskah; skrip; atau repertoire Tempat pertunjukan, atau bahkan dapat disebut pertunjukan
itu sendiri

2 Penulis – pembaca Sutradara dan timnya - penonton

3 Kreasi; produksiRe-kreasi; re-produksi

4 Dimensi sastra Dimensi seni pertunjukan

5 Dibaca Ditonton

6 Tokoh Aktor

Perkembangan kemudian terjadi, drama seringkali disamakan dengan teater. Dua istilah ini memang
tumpang tindih. Sebagaimana dikemukakan di atas, kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai
yang artinya berbuat, bertindak; sementara teater berasal dari kata Yunani theatron artinya tempat
pertunjukan. Kata teater sendiri mengacu kepada sejumlah hal, yaitu: drama, gedung pertunjukan,
panggung pertunjukan, kelompok pemain drama, dan segala pertunjukan yang dipertontonkan. Meski
demikian secara sederhana, drama dibedakan menjadi dua, yang pertama drama naskah dan yang
kedua drama pentas. Atau yang telah dikemukakan di atas, drama dapat dipahami dalam dimensi sastra
dan seni pertunjukan. Istilah yang kedua inilah, yakni drama pentas atau dalam dimensi seni
pertunjukan, disamakan dengan teater.

Seseorang dapat secara bergantian menggunakan kata drama dan teater, seperti drama modern atau
teater modern; drama tradisional atau teater tradisional; bermain drama atau bermain teater;
pertunjukan drama atau pertunjukan teater; dan sebagainya. Hal itu lumrah dan dibenarkan, sejauh
pengertian drama sebagai seni pertunjukan. Namun jika mengatakan dalam dimensi genre sastra, istilah
drama tidak bisa diganti dengan teater. Sebagai genre sastra, drama adalah karya sastra tulis.

Bagaimanakah seseorang mengambil posisi dalam memahami dan mengaji drama dan teater itu?
Pertanyaan itu menyarankan pada posisi subyek terhadap obyek dramaturgi. Berbeda dengan genre
sastra lainnya, upaya seseorang dalam memahami drama berkisar pada dua proses berdasarkan dimensi
drama itu sendiri. Pertama, dalam dimensi drama sebagai karya sastra, upaya seseorang memahami
drama adalah dalam rangka menemukan makna yang terkandung dalam drama. Kedua, dalam dimensi
drama sebagai seni pertunjukan, seseorang memahami drama untuk mewujudkannya ke dalam
permainan di atas panggung.

Kedua upaya memahami drama dalam dua dimensi tersebut, menempatkan hubungan seseorang
(subyek yang memahami) dengan drama (obyek yang dipahami) bersifat fleksibel. Dalam dimensi yang
pertama, hubungan subyek dan obyek terdapat jarak, meskipun tidak sejauh sebagaimana dalam kajian
ilmu-ilmu eksakta. Dalam memahami drama, dimungkinkan jarak subyek terhadap obyeknya begitu
dekat untuk mencapai tingkat penghayatan dan refleksi terhadap apa yang diungkapkan dalam drama.

Dalam dimensi kedua, hubungan subyek dan obyeknya cenderung melebur, di mana subyek benar-
benar masuk ke dalam tokoh dan peristiwa yang diceritakan untuk mencapai taraf ‘menjadi’ tokoh yang
hendak dimainkan atau diperankan dalam pertunjukan teater. Semakin dekat seseorang terhadap obyek
yang dipahami, semakin konkrit dan baik seseorang tersebut mewujudkannya di atas panggung.

Berdasarkan fleksibilitas hubungan di atas, maka posisi yang bisa diambil oleh seseorang di dalam
memahami drama akan menentukan jarak kedekatan antara orang itu (subyek) terhadap drama
(obyeknya). Posisi atau kedudukan seseorang di dalam memahami drama akan berkisar pada hal-hal
berikut.

1. Seseorang dapat berposisi sebagai seorang pengaji atau peneliti untuk mengungkapkan makna
drama.

2. Seseorang dapat berposisi sebagai penghayat atau pemaham tentang makna drama.

3. Seseorang sebagai kreator yang menggali drama sebagai sumber kreatifnya dalam rangka proses
penggarapan drama ke dalam pertunjukan teater.

4. Seseorang dapat berposisi sebagai penghayat dan pemaham terhadap tokoh dan peristiwa yang
diceritakan untuk ditransfer ke dalam peran yang dimainkan.
Keempat posisi atau kedudukan itulah yang akan menentukan sejauh mana jarak atau kedekatan yang
bisa diambil terhadap drama sebagai obyek yang hendak dipahami. Pada kedudukan keempat,
hubungan antara seseorang terhadap drama seolah melebur dan tanpa batas. Dengan cara seperti
itulah, seseorang akan mampu mewujudkan dirinya ke dalam permainan peran di atas pentas.
Sebaliknya, pada kedudukan pertama, hubungan seseorang terhadap drama terdapat jarak untuk
memungkinkan seseorang itu dapat menggali dan mengaji apa yang hendak digali dan dikaji.

4.3 Landasan Epistemologi Dramaturgi

Landasan epistemologi berusaha menjawab bagaimana memperoleh pengetahuan yang berupa


dramaturgi, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar tentang drama atau teater, apakah kebenaran drama itu, dan sarana apa yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang disebut dramaturgi.

Dramaturgi sebagai ilmu jelas diperoleh dan dikembangkan melalui kegiatan pengajian, penganalisisan,
dan penelitian mendalam tentang obyeknya. Selanjutnya, hasil-hasilnya akan menjadi konsep-konsep
dan proposisi-proposi sebagai isi dari dramaturgi. Namun demikian, karena spesifikasi dan krakteristik
drama sebagai karya seni, tentu pengajian, penganalisisan, dan penelitiannya berbeda dengan disiplin
ilmu lainnya.

Landasan epistemologinya tergantung pada orang yang mengaji, menganalisis, dan meneliti drama,
dalam membangun paradigmanya. Jika berangkat dari dua dimensi drama sebagai karya sastra dan
sebagai seni pertunjukan, maka landasan epistemologi dramaturgi dapat menggunakan paradigma
dalam ilmu sastra dan dapat pula menggunakan paradigma seni pertunjukan. Kedua paradigma tersebut
memungkinkan munculnya berbagai ragama kajian, analisis, dan penelitian drama.

Pengajian drama tentu bersifat interpretatif dan kreatif, sebagaimana terhadap genre sastra lainnya,
puisi dan prosa. Istilah kreatif mempertimbangkan bahwa drama merupakan karya yang bersifat kreatif,
oleh karena itu, kajian, analisis, dan penelitiannya pun mesti bersifat kreatif. Sedangkan istilah
interpretatif merujuk pada sifat dan karateristik khas drama sebagai karya sastra. Istilah yang relevan
untuk menyebut sifat interpretatif tersebut adalah hermenutik dan fenomenologik.

Pada dasarnya kajian dan analisis tehadap drama bersifat hermenutis dan fenomenologis. Sifat
hermenutis menyarankan bahwa kajian dan analisis terhadap drama merupakan suatu proses
pemahaman secara dialogis antara subyek yang memahami dan obyek yang dipahami. Dengan kata lain,
proses kajian dan analisis terhadap drama berada dalam wilayah pemahaman simbolik. Sedangkan sifat
fenomenologis menyarankan bahwa proses kajian dan analisis drama menunjuk pada proses kesadaran.
Artinya, proses kajian dan analisis drama akan memasuki wilayah imajinasi pengarang melalui proses
pengonkritan makna-makna simbolik. Makna-makna simbolik merupakan dunia kehidupan yang dihayati
oleh pengarangnya. Pengalaman individual itulah yang hendak dikaji dan dianalisis sebagai sebuah
fenomena kehadiran suatu drama.

Berdasarkan uraian singkat tentang kekhasan kajian dan analisis drama di atas, diperoleh jawaban
terhadap sumber dan bagaimana memperoleh kebenaran dalam karya drama. Dramaturgi tentu
dikembangkan melalui kegiatan pengajian dan penganalisisan semcam itu. Sifat interpretaif, dialogis,
simbolik, hermenutik, dan fenomenologik, merupakan cara bagaimana memperoleh pengetahuan yang
disebut dramaturgi.
4.4 Landasan Aksiologi Dramaturgi

Landasan aksiologis mempertanyakan tentang ke-gunaan atau nilai moral. Untuk apa pengetahuan yang
disebut dramaturgi tersebut digunakan? Bagaimana kaitan penggunaan tersebut dengan kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah dramaturgi berdasarkan pilihan-pilihan moral?

Pertanyaan pertama yang acapkali muncul ketika seseorang belajar tentang sesuatu adalah, “apakah
manfaat sesuatu yang dipelajari itu?” Dalam kaitannya dengan dramaturgi, pertanyaan tersebut dapat
dirumuskan menjadi: “Apakah kegunaan dramaturgi bagi kehidupan manusia?” Jawabannya tidak
sesederhana pertanyaan itu. Namun dapat dipersingkat dalam satu kalimat, drama dan dramaturgi
menawarkan tentang bagaimana menjalani hidup yang penuh dengan intrik dan konflik manusia.
Dengan kata lain, belajar drama dan dramaturgi merupakan belajar tentang hidup. Jawaban tersebut
tentu membutuhkan penjelasan yang agak memadai lagi.

Dalam kaitannya dengan hubungan sastra dan pendidikan, Moody (Endraswara, 2011: 290-291)
mengemukakan, sumbangan kajian sastra (termasuk drama) adalah sebagai berikut.

1. Menunjang keterampilan berbahasa

2. Meningkatkan pengetahuan

3. Mengembangkan cipta, rasa, dan karsa

4. Mengembangkan pembentukan watak

Sedangkan Supriyanto (1986: 19) mengatakan bahwa drama atau teater memiliki tiga fungsi, yaitu: 1)
untuk kepentingan pendidikan; 2) sebagai media komunikasi; dan 3) sebagai hiburan.

Pendapat lain tentang kegunaan drama/ teater bagi kehidupan (Suhariyadi, 2014: 31-32), sebagaimana
berikut ini.

1. Drama sebagai karya sastra merupakan wacana naratif yang berisi tentang potret kehidupan
masyarakat yang dipandang dari sisi imajinasi dan fiksi. Berdasarkan asumsi ini dapat dijadikan landasan
bahwa drama diciptakan untuk memperkaya wawasan tentang persoalan hidup.

2. Pengetahuan drama (dramaturgi) dan drama itu sendiri, merupakan media komunikasi sosial,
yang menanamkan nilai-nilai yang baik bagi pembacanya. Berdasarkan asumsi ini dapat dijadikan
landasan bahwa dramaturgi dan drama memiliki fungsi sebagai sosialisasi nilai-nilai kehidupan bagi
masyarakat.

3. Drama dapat menjadi kontrol bagi masyarakat pemiliknya. Kontrol dalam konteks ini adalah
menawarkan alternatif yang lain bagi pembangun kepribadian manusia. Berdasarkan asumsi ini dapat
dijadikan landasan bahwa drama memiliki fungsi pencerahan bagi manusia dari sifat-sifat dan nafsu-
nafsu yang negatif.

4. Sebagai karya seni yang memiliki nilai estetis, drama menjadi media hiburan yang mendidik bagi
masyarakat. Berdasarkan asumsi ini dapat dijadikan landasan bahwa drama berfungsi untuk
menawarkan dirinya dalam menghibur dan mendidik akan pentingnya keindahan bagi umat manusia.

Keempat fungsi itu secara langsung menunjukkan betapa kegunaan drama sangat penting bagi
pembentukan moral dan kepribadian manusia. Betapapun imajinatifnya sebuah karya sastra, sastra
drama tak akan bebas nilai dari kepentingan moral masyarakat di mana drama tersebut diciptakan.
Rumusan ini sekaligus sebagai landasan aksiologis bagi drama dan dramaturgi bagi kehidupan manusia.

5. Tugas dan Latihan

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah diuraikan, maka kerjakan tugas dan
latihan berikut.

5.1 Tugas

Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah diagram alir (flowchart) tentang
prinsip dasar dramaturgi. Diagram alir hendaknya berisi rincian materi secara lengkap dan
mencerminkan pemahaman Anda terhadap materi tersebut. Diagram alir hendaknya dibuat dengan
power point sehingga dapat dijadikan materi presentasi Anda di depan kelas.

5.2 Latihan

1. Pertanyaan yang diajukan dalam latihan ini bersifat mengembangkan kognitif dan psikomotorik,
karena itu jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban analisis, dan argumentatif, serta menunjukan
kreativitas.

2. Jawaban ditulis pada kertas folio, dan dikumpulkan pada akhir perkuliahan ini.

Pahami dengan baik situasi yang digambarkan berikut ini, kemudian jawablah pertanyaan.

1. Sebuah seminar tentang kesenian, anda didapuk sebagai pemateri tentang seni teater. Anda
membawa materi tentang teater bukan hanya sebatas sebagai pengetahuan bahkan dikatakan bahwa
teater sebagai sebuah ilmu.

Pertanyaan:

Coba rumuskanlah karakteristik teater dikatakan sebagai salah satu bidang ilmu, kemudian ambillah
sebuah pertunjukan teater yang anda sudah tonton untuk kemudian dibuatkan contoh konkrit dari
penjelasan yang anda buat agar peserta seminar paham akan teater sebagai bidang ilmu.

2. Ketika seminar sementara berlangsung salah satu peserta menceritakan pengalamannya ketika
menyaksikan pertunjukan teater dimana dia tidak menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
Dia kemudian bertanya apa yang salah pada peristiwa tersebut jika dramaturgi dikaji dari segi
aksiologinya.

Pertanyaan:

Buatlah rumusan jawaban dari pertanyaan tersebut sekaligus memberikan solusi terhadap keilmuan
teater

6. Referensi
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama. Yogyakarta: CAPS.

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Rendra. 1993. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Pustaka Jaya.

Riantiarno, Nano. 2011. Kitab Teater; Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan. Jakarta: Grasindo.Santoso.

Eko. dkk. 2008. Seni Teater Jilid 1 untuk SMK. Jakarta Direktorat Pembinaan Sekolah.

Tambayong, Yapi. 1981. Dasar Dramatisasi. Bandung: Pustaka Prima.

MODUL 2

RUANG LINGKUP DRAMATURGI

1. Deskripsi Materi Pembelajaran

R
uang lingkup merupakan batasan banyaknya subjek yang tercakup dari masalah. Dramaturgi sebagai
disiplin keilmuan dapat dijelaskan melalui definisi, obyek kajian, cabang-cabang keilmua-nya, ruang
lingkup, sejarah, dan pendekatan yang digunakan.

Melalui materi ini mahasiswa dikenalkan ruang lingkup dari dramaturgi sesuai dengan kaidah ilmunya.
Dengan menguasai materi ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui batas dari wilayah kajian
dramaturgi sehingga dapat mengaplikasikan keilmuan dari dramaturgi itu sendiri.

2. Tujuan Intruksional Umum

Dengan memahami materi kuliah ruang lingkup dramaturgi mahasiswa memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi batasan dari keilmuan dramaturgi.

3. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:

1) Mengemukakan formula dramaturgi.

2) Menguraikan wilayah kajian dramaturgi.

3) Mengimplemetasikan hasil kajian dari dramaturgi.

4. Uraian Materi Pembelajaran

Petunjuk Mempelajari Materi

1) Jika Anda membaca materi ini dengan cermat, maka Anda akan dapat menyimpulkan isi materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang ditetapkan.

2) Perhatikan setiap contoh dan ilustrasi yang diberikan dalam materi ini, agar Anda lebih
memahami mencermati kesimpulannya.

4.1 Formula Dramaturgi

Harymawan (1988) menyebutkan tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan
formula dramaturgi. Formula ini disebut fromula 4 M yang terdiri dari: menghayalkan, menuliskan,
memainkan, dan menyaksikan.

M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena menemukan
sesuatu gagasan yang merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada suatu
persitiwa baik yang disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur tertentu. Bisa juga gagasan itu
timbul karena perhatian ditujukan pada kehidupan seseorang. Gagasan atau daya cipta tersebut
kemudian diwujudkan ke dalam besaran cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah lakon
untuk dipentaskan.

M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau pemilih-an situasi yang harus dihidupkan begi keseluruhan
lakon oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi
ini, pengarang mulai mengatur dan menyusun kembali situasi dan peristiwa menjadi pola lakon tertentu.
Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati para
tokoh untuk diciptakan, dan semua unsur pembentuk lakon dikomunikasikan.

M3 atau memainkan, merupakan proses para aktor memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor
dalam hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton.
Proses ini melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide dan gagasan
pengarang, aktor sebagai komunikator, penata artsitik sebagai orang yang me-wujudkan ide dan
gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan.

M4 atau menyaksikan atau menonton, merupakan proses penerimaan dan penyerapan informasi atau
pesan yang disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para penonton. Pementasan teater dapat
dikatakan berhasil jika pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton.
Penonton pergi menyaksikan pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan atas
kebutuhan dan keinginannya terhadap tontonan tersebut.

Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas merupakan tahap mendasar yang harus dipahami dan
dilakukan oleh para pelaku teater. Jika salah satu tahap dan unsur yang ada dalam setiap tahapan
diabaikan, maka pertunjukan yang digelar bisa dipastikan kurang sempurna. Oleh karena itu,
pemahaman dasar formula dramaturgi dapat dijadikan acuan proses penciptaan karya seni teater.

Formula dramaturgi tersebut pada dasarnya memberikan pengetahuan dasar bagaimana sebuah proses
berteater itu mesti dilakukan. Pada tahap awal, proses teater selalu diawali dengan ide atau gagasan.
Ide atau gagasan itulah yang mendorong seseorang untuk mengadakan pembayangan (pengkhayalan)
secara imajinatif dan kreatif. Dalam tahap itulah terjadi proses perenungan, penghayatan, pemikiran,
pengimajinasian, dan perasaan tentang ide atau gagasan tertentu. Dalam proses penciptaan drama, baik
sebagai karya sastra maupun sebagai seni pertunjukan, ide atau gagasan tersebut diungkapkan ke dalam
premis.

Ide atau gagasan, yang kemudian dimatangkan melalui proses pengimajinasian (tahap M1), mesti
diungkapkan dalam tulisan (tahap M2). Tahap kedua ini terdapat serangkain proses, seperti: membuat
rencana cerita (treatment) dan pengembangan treatment menjadi naskah lakon atau drama. Di dalam
teater modern naskah lakon atau drama memiliki peranan yang penting, salah satunya adalah sumber
kreasi para pekerja teater.

Pada tahap M3, apa yang ditulis tersebut perlu dimainkan. Naskah lakon atau drama diciptakan untuk
dimainkan di atas panggung. Melalui beberapa latihan dengan manajemen proses yang tertata,
menjamin sebuah pertunjukan teater dapat mencapai harapan dan tujuan. Dari tahap M3 itulah terjadi
proses penerimaan, apresiasi, evaluasi, dan kajian tentang kualitas dan kegunaan seni drama (tahap
M4).

Jika formula dramaturgi tersebut diungkapkan melalui bagan akan tampak sebagaimana berikut ini.

Bagan 1: Formula Dramaturgi


4.2 Wilayah Kajian Dramaturgi

Ada dua persoalan pokok jika hendak mempelajari dramaturgi. Pertama, sebagai ilmu bagaimana
dramaturgi tersebut menjelaskan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Kedua, sebagai
pengetahuan tentang pertunjukan, bagaimana dramaturgi menjelaskan teknik-teknik mempertunjukan
teater atau drama. Persoalan pertama tentu perlu dikemukakan dalam sebuah tulisan (buku) yang
khusus membahas tentang hal itu. Sedangkan persoalan kedualah yang hendak dijelaskan

Hal-hal yang dapat dijelaskan untuk menjawab persoalan kedua di atas mencakup aspek-aspek berikut.

1. Pengertian dramaturgi dan cakupan kajiannya

2. Pengertian drama dan teater

3. Sejarah teater atau drama

4. Penciptaan naskah lakon

5. Analisis naskah lakon

6. Teknik Pemeranan (Akting)

7. Teknik Penyutradaraan

8. Manajemen Pertunjukan Teater atau Drama

Sebagai ilmu, sekaligus pengetahuan tentang drama atau teater, dramaturgi memiliki cakupan atau
wilayah kajian. Bisa disebut, wilayah kajian tersebut adalah cabang-cabang dramaturgi. Ada empat
wilayah kajian yang dapat dipelajari sekaligus menjadi pedoman untuk mewujudkan sebuah pertunjukan
teater/drama.

1. Dramaturgi; membicarakan tentang prinsip-prinsip dasar yang meliputi: pengertian, sejarah,


penulisan, unsur-unsur, dan aliran drama dan teater.

2. Seni Peran atau Akting; praktik-praktik dasar bermain peran, teknik-teknik bermain peran,
kaedah-kaedah pemeranan, dan bentuk-bentuk latihan bermain peran.

3. Penyutradaraan; praktik tentang tugas, tanggung jawab, dan prosedur kerja seorang sutradara
dalam berproses teater atau drama, dari pemilihan naskah, analisis naskah, proses latihan, hingga
pementasan.

4. Manajemen Pementasan Drama/Teater; membicarakan tentang bagaimana manajemen sebuah


pertunjukan drama atau teater itu dibuat dan dilaksanakan. Bidang ini meliputi: manajemen artistik,
manajemen produksi pertunjukan drama atau teater, dan manajemen panggung.

Meskipun keempat cabang dramaturgi tersebut masing-masing dapat berdiri sendiri, namun dalam
pembahasannya saling bersentuhan. Pembahasan dalam wilayah seni peran misalnya, sama sekali tak
bisa melepaskan dari wilayah penyutradaraan, begitu sebalik-nya. Apalagi dramaturgi dapat
memberikan dasar dan prinsip-prinsip terhadap seni peran, penyutradaraan, dan manajemen panggung
yang baik. Sebaliknya, dramaturgi dapat berkembang berdasarkan masukan dari ketiganya.
Jika melihat keempat cabang dramaturgi di atas, tampak bahwa dramaturgi merupakan pengetahuan
yang membahas tentang drama atau teater (teoritis), sedang ketiga cabang yang lain bersifat praktis.
Oleh karena itu, seorang aktor, sutradara, dan crew yang lain, mesti memahami apa yang dikemukakan
dalam keempat wilayah kajian dramaturgi itu. Mereka tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman,
tetapi juga membutuhkan ilmunya. Perpaduan antara keduanya dapat menjamin apa yang mereka geluti
dapat berkembang dan mencapai kualitas.

5. Tugas dan Latihan

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah diuraikan, maka kerjakan tugas dan
latihan berikut.

5.1 Tugas

Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah resume tentang materi yang telah
Anda pelajari. Resume hendaknya berisi rincian secara lengkap dan mencerminkan pemahaman Anda
terhadap materi tersebut. Resume ditulis tangan pada kertas folio paling banyak 1 lembar.

5.2 Latihan

1. Pertanyaan yang diajukan dalam latihan ini bersifat mengembangkan kognitif dan psikomotorik,
karena itu jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban analisis, dan argumentatif, serta menunjukan
kreativitas.

2. Jawaban ditulis pada kertas folio, dan dikumpulkan pada akhir perkuliahan ini.

Pahami dengan baik situasi yang digambarkan berikut ini, kemudian jawablah pertanyaan.

1. Sebuah proses teater dimana anda kemudian diberi kesempatan untuk mengomentari
bagaimana menghasilkan pertunjukan yang berkualitas.

Pertanyaan:

Coba rumuskanlah rincian kerja dari 4 wilayah kajian dramaturgi agar dapat menghasilkan pertunjukan
yang berkualitas menurut anda.

2. Wilayah tata artistik adalah wilayah yang termasuk dalam salah satu unsur penunjang.

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat anda tentang aritistik jika dihubungkan dengan keempat wilayah kajian dramaturgi

6. Referensi

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.


MODUL 3

UNSUR TEATER

1. Deskripsi Materi Pembelajaran

nsur teater menjadi sangat penting, karena belum dikatakan teater jika belum memenuhi kriteria atau
belum memenuhi unsur-unsur teater. Dalam Unsur-Unsur teater ini tentunya akan saling mendukung
atau saling melengkapi antara unsur satu dengan unsur yang lainnya. Bagaikan sebuah tubuh, unsur-
unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Semuanya saling terkait dan memberikan
kontribusi yang sama dalam setiap pementasan. Unsur teater terdiri atas unsur utama dan unsur
pendukung. Unsur utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa keempat
unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan. Untuk mendukung unsur pokok tersebut
diperlukan unsur tata artistik yang memberikan keindahan dan mempertegas makna lakon yang
dipentaskan.

Melalui materi ini mahasiswa dikenalkan dengan unsur-unsur yang membentuk sebuah pertunjukan
teater. Dengan memahami hal tersebut mahasiswa dapat mengerti dan memahami sebuah pertunjukan
teater.

2. Tujuan Intruksional Umum

Dengan memahami materi kuliah unsur teater mahasiswa memiliki kemampuan untuk memahami
unsur-unsur pembentuk dari teater.

3. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:


1. Mengidentifikasi unsur-unsur teater.

2. Menguraikan fungsi dari unsur-unsur teater.

4. Uraian Materi Pembelajaran

Petunjuk Mempelajari Materi

1) Jika Anda membaca materi ini dengan cermat, maka Anda akan dapat menyimpulkan isi materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang ditetapkan.

2) Perhatikan setiap contoh dan ilustrasi yang diberikan dalam materi ini, agar Anda lebih
memahami mencermati kesimpulannya.

4.1 Cerita

Pertunjukan teater pada dasarnya merupakan pengembangan atau peragaan manusia dalam
keterlibatannya dengan peristiwa. Yang dimaksud dengan manusia di sini ialah pribadi, atau pribadi-
pribadi dengan hasrat, harapan, kecemasan, kempuan, kelemahan masing-masing; sedang peristiwa
adalah kejadian atau rangkaian kejadian di dalam ruang dan waktu. Di dalam pertunjukan teater
keterlibatan timbal balik antara manusia dan kejadian inilah yang digambarkan atau diragakan.

Dengan menonton keterlibatan atau pergulatan manusia sebagai tokoh-tokoh dalam cerita, penonton
diharapkan mendapatkan pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman ialah gerak gerik kesadaran
manusia ketika bersinggungan dengan realitas, baik di luar maupun di dalam diri manusia. Gerak gerik
ini tampil dalam bentuk kegiatan pikiran, perasaan dan khayal manusia yang terarah kepada realitas itu.
Oleh karena itu, pengalaman menduduki arti penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian seseorang.

Peristiwa-peristiwa yang dipertunjukan dalam teater disusun pengarang secara sadar. Artinya,
pengarang menyusun begitu rupa hingga penonton akan mendapat peluang untuk mengalami
pertumbuhan dan perkembangan jiwa itu. Itulah sebabnya peristiwa-peristiwa itu biasanya tersusun
dalam bentuk sastra lakon atau sedikitnya sebuah naskah.

Salah satu perbedaan antara teater tradisional dengan modern adalah ada tidaknya naskah. Teater
tradisional cenderung tidak menggunakan naskah. Pemain dan crewnya cukup menghafal jalan cerita
yang akan dipentaskan. Tidak adanya naskah dalam teater tradisional bersumber pada ciri budaya
tradisional yang bersifat oral (lisan) dan diturunkan dari mulut ke mulut. Sedangkan dalam teater
modern, naskah memegang peranan penting dalam mempersiapkan pertunjukan. Oleh karena itu,
dalam pertunjukan teater modern diperlukan latihan yang relatif lama.

Pentingnya naskah drama/lakon dalam teater modern menyebabkan seseorang yang ingin belajar teater
harus memiliki pengetahuan tentang naskah. Meskipun penentuan naskah yang akan digarap
merupakan tugas dan tanggung jawab sutradara, tetapi semua pemain dan crew harus juga
memahaminya. Naskah dalam hal ini menjadi pedoman dan sumber penggarapan sebuah pertunjukan
teater modern. Berikut ini dikemukakan tentang hal-hal yang harus dipahami di dalam sebuah naskah
drama.

Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah lakon yang merupakan bentuk tertulis dari
cerita drama yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan kedalam pementasan.
Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa kata. Mementaskan drama
berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa
pentas. Dalam visualisasi tersebut karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater.
Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu
sutradara, pemain, dan tata artistik.

Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema,
plot, setting, dan tokoh. Akan tetapi, naskah lakon yang khusus dipersiapkan untuk dipentaskan
mempunyai struktur lain yang spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang
membagi menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau
resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak
diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik.

4.2 Sutradara

Penanggung jawab proses transformasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan adalah sutradara yang
merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater. Baik buruknya pementasan teater sangat
ditentukan oleh kerja sutradara, meskipun unsur-uns Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung
jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung jawab terhadap
masyarakat atau penonton. Meskipun dalam tugasnya seorang sutradara dibantu oleh stafnya dalam
menyelesaikan tugas– tugasnya tetapi sutradara tetap merupakan penanggung jawab utama. Untuk itu
sutradara dituntut mempunyai pengetahuan yang luas agar mampu mengarahkan pemain untuk
mencapai kreativitas maksimal dan dapat mengatasi kendala teknis yang timbul dalam proses
penciptaan.

Unsur selanjutnya adalah sutradara. Ia bertanggung jawab terhadap segala yang terjadi di pentas di
dalam suatu pertunjukan. Walaupun ia dibantu oleh yang lain, seperti pemain, penata pentas, peñata
kostum, peñata rias dan sebagainya, karena ia pemilik gagasan dan tafsiran terhadap cerita yang
dipertunjukan, maka ialah yang jadi pemimpin. Oleh karena itu, kadang-kadang ia harus mengawasi dan
mengerahkan awak-awak pentas yang lain sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya.

Sebagai pemimpin pertunjukan seorang sutradara harus memiliki beberapa kemampuan sekaligus. Dia
adalah seorang dramaturg, yaitu orang yang dapat membedakan sastra lakon yang baik daripada yang
buruk, tidak hanya melalui perasaan akan tetapi juga melalui analisa yang dapat dipahami dan dapat
dipertanggung jawabkan kepada orang lain, khususnya para awak pentas yang berada di bawah
kepemimpinannya. Dia adalah seorang organisator, yang terampil di dalam membuat perencanaan yang
meliputi pengarahan manusia, dana dan perlengkapan serta membuat jadwal latihan yang berdaya guna
dan berhasil guna. Di samping itu iapun seorang diplomat, karena di dalam kegiatan perencanaan dan
persiapan pertunjukan ia harus menjadi penengah antar awak-awak pentas yang memiliki watak dan
pembawaan yang berlain-lainan dan kadang-kadang bertentangan. Akhirnya, sudah barang tentu ia
harus seorang seniman. Ia diharapkan menghasilkan pertunjukan yang disatu pihak memperkaya
pengalaman penonton dan di lain fihak memberikan kepuasan estetik pada mereka.
Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus mempunyai pedoman yang pasti sehingga bisa
mengatasi kesulitan yang timbul. Menurut Harymawan (1993) Ada beberapa tipe sutradara dalam
menjalankan penyutradaraanya, yaitu:

1. Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep


penafsiranya kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga
terikat kepada pokok penafsiran tsb.

2. Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep
penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya, sementara pemain dibentuk menjadi robot –
robot yang tetap buta tuli.

3. Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai pengarah atau polisi lalulintas yang
mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.

4. Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan
dengan mengasuh batin para anggotanya.

4.3 Pemain

Untuk mentransformasikan naskah di atas panggung dibutuhkan pemain yang mampu menghidupkan
tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok yang nyata. Pemain adalah alat untuk memeragakan tokoh.
Tetapi bukan sekedar alat yang harus tunduk kepada naskah. Pemain mempunyai wewenang membuat
refleksi dari naskah melalui dirinya. Agar bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yang hidup, pemain
dituntut menguasai aspek-aspek pemeranan yang dilatihkan secara khusus, yaitu jasmani (tubuh/fisik),
rohani (jiwa/emosi), dan intelektual. Memindahkan naskah lakon ke dalam panggung melalui media
pemain tidak sesederhana mengucapkan kata - kata yang ada dalam naskah lakon atau sekedar
memperagakan keinginan penulis melainkan proses pemindahan mempunyai karekterisasi tersendiri,
yaitu harus menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan).

Akting adalah aksi dan reaksi. Para pemain sering mendekati naskah dengan anggapan seolah-olah
hanya mereka sendiri yang akan memainkannya di atas panggung. Hasil dari pekerjaan itu tentu saja
berdimensi tunggal. Dimensi diri pribadi pemain yang bersangkutan. Kualitas kerja seperti itu dapat
dikatakan dengan “melakukan separoh (kewajiban) akting”. Kerja lain yang tidak kalah penting setelah
pemain melakukan aksi (akting) adalah melakukan reaksi terhadap apa yang dikatakan oleh lawan main.
Mendengarkan dengan sungguh, melakukan reaksi secara wajar adalah “separoh kerja” yang lain dari
akting.

Penghapalan naskah secara cepat dan tepat akan sangat membantu dalam langkah ini. Hapalan akan
membuat pemain semakin yakin dimana letak baris dialog yang harus diucapkan. Keyakinan pemain
dalam mengucapkan dialog akan memberikan ruang kebebasan berekpsresi. Pemain yang tidak hapal
teks dengan baik akan menemukan hambatan dan ekspresi yang dihasilkannya tidak optimal. Dengan
hapal teks maka pemain akan lebih rileks dan menikmati setiap kalimat yang diucapkan oleh lawan main
dan melakukan reaksi yang wajar tanpa harus merasa takut dan berpikir, “Setelah ini saya harus berkata
apa?” Hapal teks bukan berarti hanya menghapal baris-baris dialog yang menjadi bagiannya saja tetapi
juga dianjurkan memahami keseluruhan teks dalam lakon termasuk keterangan, narasi atau petunjuk
laku lain yang termuat dalam naskah. Selain sangat membantu untuk mendapat gambaran ekspresi,
dengan memahami keseluruhan naskah maka pemain akan merasa tenang dan yakin melakukan aksi-
reaksi.

4.4 Penonton

Tujuan terakhir suatu pementasan lakon adalah penonton. Respon penonton atas lakon akan menjadi
suatu respons melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yang kurang
memperhatikan penonton dan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yang bisa menerima begitu
saja apa yang disuguhkan sehingga jika terjadi suatu kegagalan dalam pementasan penonton dianggap
sebagai penyebabnya karena mereka tidak mengerti atau kurang terdidik untuk memahami sebuah
pementasan.

Kelompok penonton pada sebuah pementasan adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yang
peka. Mereka pergi menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan cita-cita. Alasan
lainnya untuk tertawa, untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat
ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dan membayar biaya masuk dan lainlain
karena teater adalah dunia ilusi dan imajinasi. Membebaskan pola rutin kehidupan selama waktu dibuka
hingga ditutupnya tirai untuk memuaskan hasrat jiwa khayalannya.

Eksistensi teater tidak mengenal batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan
menguasai sikap dan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dan
kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai berikut :

1. Bertemu dengan orang lain yang menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.

2. Memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas
pentas secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial

Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas
artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya
seni yang dihayatinya. Pemisahan yang dimaksud, antara penonton dan yang ditonton, pada seni teater
diusahakan dengan jalan:

1. Menciptakan penataan yang tepat atas auditorium dan pentas.

2. Adanya batas artistik proscenium sebagai bingkai gambar.

3. Pentas yang terang dan auditorium yang gelap.

Semua itu akan membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk melakukan
perenungan

4.5 Tata Artistik

Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi tidak
utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata
busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi
sempurna sebagai pertunjukan.

Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna
kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang
menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah
pementasan.

Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung.


Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan pemeranan
dan suasana panggung.

Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya
untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan
suasana istimewa.

Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi
penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan.

Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi
seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.

Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan busana yang dikenakan pemain. Gunanya untuk
menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain bisa terlihat jelas penonton.

5. Tugas dan Latihan

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah diuraikan, maka kerjakan tugas dan
latihan berikut.

5.1 Tugas

Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah uraian tentang fungsi dari tiap unsur-
unsur teater. Resume ditulis tangan pada kertas folio paling banyak 1 lembar.

5.2 Latihan

1. Pertanyaan yang diajukan dalam latihan ini bersifat mengembangkan kognitif dan psikomotorik,
karena itu jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban analisis, dan argumentatif, serta menunjukan
kreativitas.

2. Jawaban ditulis pada kertas folio, dan dikumpulkan pada akhir perkuliahan ini.

Pahami dengan baik situasi yang digambarkan berikut ini, kemudian jawablah pertanyaan.

1. Unsur-unsur dalam pertunjukan teater saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya
dan sama pentingnya. Akan tetapi, banyak yang terjadi dalam proses penggarapan teater tata artistik
justru hal yang dianggap sepeleh. Buktinya, mendekat hari pertunjukan barulah kemudian tata artistik
dikerjakan beda dengan unsur pemain yang dari awal terus saja berproses.

Pertanyaan:

Bagaimana tanggapan anda dengan kasus di atas? Apakah sesuai dengan kondisi yang anda inginkan?
Berikan alasan yang jelas dari kondisi yang anda buat!
2. Pada proses teater, sering didapatkan kendala-kendala dalam perjalanannya. Hal yang paling
buruk misalnya ketika mendekat di hari pertunjukan tiba-tiba pemain mundur karena beragam alasan.
Hal ini tentunya menjadi musibah yang sangat besar bagi proses teater itu sendiri.

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat anda tentang kejadian tersebut? Uraikan solusi efektif untuk mengatasinya tanpa
mempengaruhi kualitas dari pertunjukan yang akan dipertunjukkan!

6. Referensi

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.


MODUL 4

TEATER BARAT

1. Deskripsi Materi Pembelajaran

eater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau
gedung pertunjukan. Namun, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang juga berasal dari kata
Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis
yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan
kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang
punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada
sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).

Hal tersebut di atas membuktikan bahwa teater sudah sangat mengakar di barat (Eropa). Maka,
mempelajari teater barat seolah-olahnya kita mendapatkan kunci untuk mengerti hakikat dari teater itu
sendiri. Selain itu, teater modern Indonesia yang ditandai dengan penggunaan unsur naskah dan bentuk
penyajian di atas panggung merupakan adaptasi dari teater Barat. Sehingga secara tidak langsung akan
membantu kita nantinya dalam menguraikan teater yang berkembang di Indonesia.

Melalui materi ini mahasiswa dikenalkan dengan teater barat. Dengan menguasai materi ini diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui sejarah, bentuk dan ciri periodesasi teater barat sehingga dapat
memudahkan mahasiswa untuk memahami teater barat itu sendiri.

2. Tujuan Intruksional Umum

Dengan memahami materi kuliah teater barat mahasiswa memiliki kemampuan untuk memahami
perkembangan teater di barat (Eropa).

3. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:

1. Mengetahui sejarah teater Barat.

2. Mengidentifikasi periodesasi perkembangan teater di barat.

4. Uraian Materi Pembelajaran

Petunjuk Mempelajari Materi

1) Jika Anda membaca materi ini dengan cermat, maka Anda akan dapat menyimpulkan isi materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang ditetapkan.

2) Perhatikan setiap contoh dan ilustrasi yang diberikan dalam materi ini, agar Anda lebih
memahami mencermati kesimpulannya.

4.1 Sejarah Teater Barat


Waktu dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat
diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah
sebagai berikut.

1. Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang
akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama
ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.

2. Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini
seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk
teater.

3. Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam
bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya).

Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia
yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno
kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban Mesir Kuno sudah maju. Mereka
sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal
ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.

I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga
terkenal sebagai Naskah Abydos yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik.
Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam relief kuburan yang lebih tua. Para ahli
bisa memperkirakan bahwa jalan cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM.
Meskipun baru muncul sebagai naskah tertulis di tahun 2000 SM. Dari hasil penelitian yang dilakukan
diketahui juga bahwa pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater yang meliputi
pemain, jalan cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu juga properti
pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.

4.2 Periodesasi Teater Barat

4.2.1 Teater Yunani Klasik

Tempat pertunjukan teater Yunani pertama yang permanen dibangun sekitar 2300 tahun yang lalu.
Teater ini dibangun tanpa atap dalam bentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk penonton
melengkung dan berundak-undak yang disebut amphitheater (Jakob Soemardjo, 1992). Ribuan orang
mengunjungi amphitheater untuk menonton teater-teater, dan hadiah diberikan bagi teater terbaik.
Naskah lakon teater Yunani merupakan naskah lakon teater pertama yang menciptakan dialog
diantara para karakternya. Ciri-ciri khusus pertunjukan teater pada masa Yunani Kuno adalah:

1. Pertunjukan dilakukan di amphitheater.

2. Sudah menggunakan naskah lakon.

3. Seluruh pemainnya pria bahkan peran wanitanya dimainkan pria dan memakai topeng karena
setiap pemain memerank lebih dari satu tokoh.

4. Cerita yang dimainkan adalah tragedi yang membuat penonton tegang, takut, dan
kasihan serta cerita komedi yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh terkenal pada waktu itu.
5. Selain pemeran utama juga ada pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi), penari, dan
narator (pemain yang menceritakan jalannya pertunjukan).

Pengarang teater Yunani Klasik, yaitu

1. Aeschylus (525-SM). Dialah yang pertama kali mengenalkan tokoh prontagonis dan antagonis
sehingga mampu menghidupkan peran. Karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari
Agamennon , The Libatian Beavers, dan The Furies.

2. Shopocles (496-406 SM) dengan karya yang terkenal adalah Oedipus The King, Oedipus at
Colonus, Antigone.

3. Euripides (484-406 SM) dengan karya-karyanya antara lain Medea, Hyppolitus, The Troyan
Woman, Cyclops.

4. Aristophanes (448-380 SM) penulis naskah drama komedi. Dengan karyanya yang terkenal
adalah Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The Birds.

5. Manander (349-291 SM.). Manander menghilangkan koor dan menggantinya dengan


berbagai watak. Misalnya watak orang tua yang baik, budak yang licik, anak yang jujur, pelacur yang
kurang ajar, tentara yang sombong dan sebagainya. Karya Manander juga berpengaruh kuat pada
Zaman Romawi Klasik dan drama komedi Zaman Renaissance dan Elisabethan

Kebanyakan drama tragedi Yunani dibuat berdasarkan legenda. Drama-drama ini sering membuat
penonton merasa tegang, takut, dan kasihan. Drama komedi bersifat lucu dan kasar serta sering
mengolok- olok tokoh-tokoh terkenal.

4.2.2 Teater Romawi Klasik

Setelah tahun 200 Sebelum Masehi kegiatan kesenian beralih dari Yunani ke Roma, begitu juga Teater.
Namun mutu teater Romawi tak lebih baik daripada teater Yunani. Teater Romawi menjadi penting
karena pengaruhnya kelak pada Zaman Renaissance. Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma
pada tahun 240 SM (Brockett, 1964). Pertunjukan ini dikenalkan oleh Livius Andronicus, seniman
Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk teater Yunani. Hampir di setiap unsur
panggungnya terdapat unsur pemanggungan teater Yunani. Namun demikian teater Romawi pun
memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli dimiliki oleh masyarakat
Romawi dengan ciri-ciri sebagi berikut.

1. Koor tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan.

2. Musik menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi juga
menjadi ilustrasi cerita.

3. Tema berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.

4. Karakteristik tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya
atau kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain sebagainya.

5. Seluruh adegan terjadi di rumah, di jalan, dan di halaman.

Bentuk-bentuk pertunjukan yang terkenal di Zaman Romawi klasik adalah:


Tragedi. Satu-satunya bentuk tragedi yang terkenal dan berhasil diselamatkan adalah karya Lucius
Anneus Seneca (4 SM - 65 M) dengan ciri-ciri sebagai berikut.

1. Plot cerita terdiri dari 5 babak dengan struktur cerita yang terperinci jelas.

2. Adegan berlangsung dalam ketegangan tinggi.

3. Dialog ditulis dalam bentuk sajak.

4. Tema cerita seputar hubungan antara alam kemanusiaan dan alam gaib.

5. Menggunakan teknik monolog, bisikan-bisikan pada beberapa tokoh penting yang


mengungkapkan isi hati.

Farce Pendek. Farce (pertunjukan jenaka) sejak abad 1 SM menjadi bagian sastra dan menjadi bentuk
drama yang terkenal. Bentuk pertunjukan teater tertua pada Zaman Romawi Klasik ini ciri-cirinya
adalah sebagai berikut.

1. Selalu menggunakan tokoh yang sama dan sangat tipikal, misalnya tokoh badut tolol yang
bernama Maccus. Tokoh yang serakah dan rakus bernama Bucco. Sedangkan Pappus adalah tokoh
yang tua dan mudah ditipu.

2. Plot cerita berupa tipuan-tipuan dan hasutan-hasutan yang dilakukan para badut di mana
musik dan tari menjadi unsur penting dalam menjaga jalannya cerita.

3. Menggunakan latar suasana alam pedesaan.

Mime. Mime muncul di Zaman Yunani sekitar abad 5 SM dan kemudian masuk Romawi sekitar tahun
212 SM dengan ciri-cirinya adalah:

1. Banyak terdapat adegan-adegan lucu, singkat, dan improvisasi.

2. Tokoh wanita dimainkan oleh pemain wanita.

3. Para pemainnya tidak mengenakan topeng.

4. Cerita yang dibawakan bertema perzinahan, menentang sakramen, dan upacara gereja.

Teater Romawi merosot setelah bentuk Republik diganti dengan kekaisaran tahun 27 Sebelum Masehi
dan lenyap setelah terjadi penyerangan bangsa-bangsa Barbar serta munculnya kekuasaan gereja.
Pertunjukan teater terakhir di Roma terjadi tahun 533.

4.2.3 Teater Abad Pertengahan

Dalam tahun 1400-an dan 1500-an, banyak kota di Eropa mementaskan drama untuk merayakan hari-
hari besar umat Kristen. Drama-drama dibuat berdasarkan cerita-cerita Alkitab dan dipertunjukkan di
atas kereta, yang disebut pageant, dan ditarik keliling kota. Bahkan kini pertunjukan jalan dan prosesi
penuh warna diselenggarakan di seluruh dunia untuk merayakan berbagai hari besar keagamaan. Para
pemain drama pageant menggunakan tempat di bawah kereta untuk menyembunyikan peralatan.
Peralatan ini digunakan untuk efek tipuan, seperti menurunkan seorang aktor dari atas ke panggung.
Para pemain pegeant memainkan satu adegan dari kisah dalam Alkitab, lalu berjalan lagi. Pageant lain
dari aktor-aktor lain untuk adegan berikutnya, menggantikannya. Aktor-aktor pageant seringkali
adalah para perajin setempat yang memainkan adegan yag menunjukan keahlian mereka. Orang
berkerumun untuk menyaksikan drama pageant religius di Eropa. drama ini populer karena pemainnya
berbicara dalam bahasa sehari-hari, bukan bahasa Latin yang merupakan bahasa resmi gereja-gereja
Kristen.

Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:

1. Drama dimainkan oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan
masalah filsafat dan agama.

2. Aktor bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri jalanan.

3. Drama banyak disisipi cerita kepahlawanan yang dibumbui cerita percintaan.

4. Drama dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.

5. Drama tidak memiliki nama pengarang.

4.2.4 Rennaisance

Abad 17 memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kebudayaan Barat. Sejarah abad 15 dan 16
ditentukan oleh penemuan- penemuan penting yaitu mesin, kompas, dan mesin cetak. Semangat baru
muncul untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Semangat ini disebut semangat
Renaissance yang berasal dari kata “renaitre” yang berarti kelahiran kembali manusia untuk
mendapatkan semangat hidup baru. Gerakan yang menyelidiki semangat ini disebut gerakan
humanisme.

Pusat-pusat aktivitas teater di Italia adalah istana-istana dan akademi. Di gedung-gedung teater milik
para bangsawan inilah dipentaskan naskah-naskah yang meniru drama-drama klasik. Para aktor
kebanyakan pegawai-pegawai istana dan pertunjukan diselenggarakan dalam pesta-pesta istana.

Ada tiga jenis drama yang dikembangkan, yaitu tragedi, komedi, dan pastoral atau drama yang
membawakan kisah-kisah percintaan antara dewa-dewa dengan para gembala di daerah pedesaan.
Namun nilai seni ketiganya masih rendah. Drama dilangsungkan dengan mengikuti struktur yang ada.
Meskipun demikian gerakan mereka memiliki arti penting karena Eropa menjadi mengenal drama yang
jelas struktur dan bentuknya.

Ciri-ciri teater Zaman Renaissance yakni sebagai berikut.

1. Naskah lakon yang dipertunjukkan meniru teater Zaman Yunani klasik.

2. Cerita bertema mitologi atau kehidupan sehari-hari.

3. Tata busana dan seting yang dipergunakan sangat inovatif.

4. Pelaksanaan bentuk teater diatur oleh kerajaan maupun universitas.

5. Menggunakan panggung proscenium yaitu bentuk panggung yang memisahkan area panggung
dengan penonton.
Pada zaman ini juga melahirkan satu bentuk teater yang disebut commedia dell’arte. Merupakan bentuk
teater rakyat Italia yang berkembang di luar lingkungan istana dan akademisi. Pada tahun 1575 bentuk
ini sudah populer di Italia. Kemudian menyebar luas di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk komedi
yang diciptakan pada tahun 1600. Ciri khas commedia dell'arte adalah:

1. Para pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut memiliki
pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.

2. Menggunakan naskah lakon yang berisi garis besar cerita.

3. Cerita yang dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.

4. Cerita terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang. Plot cerita berlangsung dalam suasana
adegan lucu.

5. Peristiwa cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .

6. Terdapat tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda,
dan tokoh pembantu.

7. Tempat pertunjukannya di lapangan kota dan panggung- panggung sederhana.

8. Setting panggung sederhana, yaitu rumah, jalan, dan lapangan.

4.2.5 Teater Zaman Elizabeth

Pada tahun 1576, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I, gedung teater besar dari kayu dibangun di
London Inggris. Gedung ini dibangun seperti lingkaran sehingga penonton bisa duduk dihampir seluruh
sisi panggung. Gedung teater ini sangat sukses sehingga banyak gedung sejenis dibangun di sekitarnya.
Salah satunya yang disebut Globe, gedung teater ini bisa menampung 3.000 penonton. Penonton yang
mampu membeli tiket duduk di sisi-sisi panggung. Mereka yang tidak mampu membeli tiket berdiri di
sekitar panggung Globe mementaskan drama-drama karya William Shakespeare, penulis drama terkenal
dari Inggris yang hidup dari tahun 1564 sampai tahun 1616. Ia adalah seorang aktor dan penyair, selain
penulis drama. Ia biasanya menulis dalam bentuk puisi atau sajak. Beberapa ceritanya berisi monolog
panjang, yang disebut solilokui, dan menceritakan gagasan-gagasan mereka kepada penonton. Ia
menulis 37 (tiga puluh tujuh) drama dengan berbagai tema, mulai dari pembunuhan dan perang sampai
cinta dan kecemburuan. Ciri-ciri teater Zaman Elizabeth adalah:

1. Pertunjukan dilaksanakan siang hari dan tidak mengenal waktu istirahat.

2. Tempat adegan ditandai dengan ucapan dengan disampaikan dalam dialog para tokoh.

3. Tokoh wanita dimainkan oleh pemain anak-anak laki-laki. Tidak pemain wanita.

4. Penontonnya berbagai lapisan masyarakat dan diramaikan oleh penjual makanan dan minuman.

5. Menggunakan naskah lakon.

6. Corak pertunjukannya merupakan perpaduan antara teater keliling dengan teater sekolah dan
akademi yang keklasik-klasikan.

4.2.6 Teater abad 17 di Spanyol dan Perancis


Drama-drama agama hanya berkembang di Spanyol Utara dan Barat karena sebagian besar Spanyol
dikuasai Islam. Ketika kekuasaan Arab dapat diusir dari Spanyol kira-kira tahun 1400, maka drama
dijadikan salah satu media untuk “menghistorikan” kembali bekas jajahan Arab. Teater berkembang
sebagai media dakwah agama. Inilah sebabnya drama agama berkembang di Spanyol. Gereja
sangat berperan dalam pengembangan drama. Pertunjukan yang berkembang adalah Autos
Sacramentales dengan ciri-ciri antara lain:

1. Tokoh-tokoh dalam cerita adalah tokoh simbolik, misalnya si Dosa, Si Bijaksana dipertemukan
dengan tokoh supranatural dan manusia biasa dengan cerita berdasarkan kehidupan sekuler maupun
ajaran-ajaran gereja.

2. Dipertunjukkan di atas kereta kuda (dua tingkat) yang dinamai carros. Kereta-kereta kuda tadi
juga membawa setting.

3. Pertunjukan dilakukan oleh rombongan profesional yang selalu berhubungan dengan gereja.

4. Pertunjukannya selalu diselingi tarian dan pada saat istirahat diisi dengan Farce pendek.

Unsur Farce berdampak masuknya sekularisme dalam drama Autos dan berakibat gereja melarang
Autos pada tahun 1765 karena merajalelanya semangat Farce dan menyimpang dari ajaran-ajaran
agama.

Drama di luar gereja yaitu drama sekuler juga berkembang pesat. Pada tahun 1579 telah berdiri gedung
permanen di Madrid. Bentuk gedung teater ini mirip dengan Elizabethan di Inggris. Pelopor drama
sekuler di Spanyol ialah Lope de Rueda (1510-1565). Ia dramawan, aktor dan produsen yang mendirikan
gedung teater permanen di Spanyol. Tetapi profesionalisme dalam teater baru berkembang setelah
kematiannya tahun 1580-an.

Pada abad 17, teater di Perancis menjadi penerus teater abad pertengahan, yaitu teater yang
mementingkan pertunjukan dramatik, bersifat seremonial dan ritual kemasyarakatan. Terdapat
kecenderungan menulis naskah yang menggabungkan drama-drama klasik dengan tema- tema sosial
yang dikaitkan dengan budaya pikir kaum terpelajar. Dramawan Perancis bergerak lebih ekstrim dalam
mengembangkan bentuk baru tragedi klasik yang melampaui tragedi Yunani yang padat, cermat, dan
santun. Lahirlah Klasisme baru atau neo klasik yang memiliki konvensi sebagai berikut.

1. Mengikuti dan memahami konsep pembuatan naskah klasik.

2. Menjaga kemurnian tipe drama.

3. Setia kepada kaidah klasik.

4. Berorientasi pada fungsi drama.

5. Menitikberatkan pada konsep tentang kebenaran dan moral kebaikan.

6. Setia kepada keutuhan waktu, tempat, dan peristiwa.

7. Hanya mengakui dua bentuk drama yaitu tragedi dan komedi.


8. Konsep Neoklasik mengajarkan tentang kebenaran.

4.2.7 Teater Restorasi di Inggris

Zaman Restorasi adalah zaman kebangkitan kembali kegiatan teater di Inggris setelah kaum Puritan yang
berkuasa menutup kegiatan teater. Segala bentuk teater dilarang. Namun setelah Charles II berkuasa
kembali, ia menghidupkan kembali teater. Adapun ciri-ciri teater pada Zaman Restorasi adalah sebagai
berikut.

1. Tema cerita bersifat umum dan penonton sudah mengenalnya.

2. Tokoh wanita diperankan oleh pemain wanita.

3. Penonton tidak lagi semua lapisan masyarakat, tetapi hanya kaum menengah dan kaum atasan.

4. Gedung teater mencontoh gaya Italia.

5. Pertunjukan diselenggarakan di gedung proscenium yang diperluas dengan menambah area


yang disebut apron, sehingga terjadi komunikasi yang intim antara pemain dan penonton.

6. Setting panggung bergambar perspektif dan lebih bercorak umum, misalnya taman atau istana.

4.2.8 Teater Abad 18

Pada abad ke 17, teater Italia memiliki struktur-struktur bangunan dan panggung-panggung arsitektural.
Panggung-panggung itu dihiasi setting-setting perspektif yang dilukis. Letak panggung dipisahkan
dengan auditorium oleh lengkung prosenium. Di Inggris dan Spanyol, tidak terdapat pemain wanita
dalam pementasan teater mereka. Tradisi tersebut berlangsung sampai kira-kira 1587. Di abad ke 17,
perusahaan- perusahaan seni peran Perancis dan Inggris mulai menambahkan wanita ke dalam
rombongan-rombongan pertunjukan mereka. Di Amerika, teater kolonial baru mulai muncul. Mereka
menggunakan sandiwara-sandiwara dan aktor-aktor Inggris. Abad ke 18 adalah masa agung pertama
teater untuk kaum bangsawan.

Pada abad 18, teater di Perancis dimonopoli oleh pemerintah dengan comedie francaise-nya. Secara
tetap mereka mementaskan komedi dan tragedi, sedangkan bentuk opera, drama pendek dan burlesque
dipentaskan oleh rombongan teater Italia Comedie Italienne yang biasanya pentas di pasar-pasar
malam. Sampai akhir abad 17.

Perancis menjadi pusat kebudayaan Eropa. Drama Perancis yang neoklasik menjadi model di seluruh
Eropa. Kecenderungan neoklasik menjalar ke seluruh Eropa.

Selama abad 18 Italia berusaha mempertahankan bentuk commedia dell’arte. Penulis besarnya ialah
Carlo Goldoni. Karya- karyanya berupa komedi yang kebanyakan agak sentimental tetapi tergolong
bermutu. Penulis naskah yang lain adalah Carlo Gozzi. Ia tidak meneruskan tradisi commedia dell’arte
tetapi menciptakan sendiri komedi-komedi fantasi dengan adegan-adegan penuh improvisasi.
Commedia dell’arte sendiri mulai merosot dan tidak populer di Italia pada akhir abad 18. Sedang
dalam tragedi, penulis Italia abad itu yang menonjol hanya Vittorio Alfieri.

Teater di Jerman sudah berkembang pada Zaman Renaissance (1500-1600) meskipun dalam bentuk
yang belum sempurna. Inilah sebabnya teater Jerman tak berbicara banyak di Eropa sampai tahun 1725.
Teater Jerman dengan model comedie francaise, menciptakan suatu organisasi teater paling baik di
Eropa pada akhir abad 18. Sejak itu gerakan teater Jerman berpaling dari ide neoklasik kepada aliran
romantik.

4.2.9 Teater Awal Abad ke 19

Drama Romantik berkembang antara tahun 1800-1850 karena memudarnya gagasan neoklasik dan
terjadinya peristiwa revolusi Perancis. Revolusi Perancis - yang berhasil mengubah struktur dan pola
kehidupan rakyat Perancis - menghadirkan gerakan baru di dunia teater yang mendorong terciptanya
formula penulisan tema dan penokohan dalam naskah lakon.

Ciri-ciri pertunjukan teater Romantik adalah:

1. Menggunakan naskah dengan struktur yang bersifat longgar dengan karakter tokoh yang
berubah-ubah di setiap episode.

2. Setiap bagian plot cerita memiliki episodenya sendiri (plot episodik).

3. Inti cerita adalah masalah kebebasan memberontak pada fakta dan aturan yang bersifat
klasik.

4. Membawakan cerita kesejarahan yang memuat adegan perang, pemberontakan,


pembakaran istana, perang tanding dan sebagainya.

5. Panggung dihiasi dengan gambar-gambar yang sangat indah.

6. Setting perspektif diganti dengan lukisan untuk layar sayap panggung dan sayap belakang dan
bentuk skeneri ditampilkan bergantian.

Pada awal abad ke 19, sebuah pergerakan teater besar yang dikenal dengan Romantik mulai
berlangsung di Jerman. August Wilhelm Schlegel adalah seorang penulis Roman Jerman yang
menganggap Shakespeare adalah salah satu dari pengarang naskah lakon terbesar dan menerjemahkan
17 dari naskah lakonnya. Penggemar besar Shakespeare lain adalah Ludwig Tiecky yang sangat berperan
dalam memperkenalkan karya-karya Shakespeare kepada orang-orang Jerman. Salah satu lakon
tragedinya adalah Kaiser Octaveous. Pengarang Jerman lainnya di awal abad ke 19 antara lain, Henrich
von Kleist yang dikenal sebagai penulis lakon terbaik zaman itu, Christian Grabbe yang menulis Don Juan
dan Faust, Franz Grillparzer yang dipandang sebagai penulis lakon serius pertama Austria, dan George
Buchner yang menulis Danton’s Death dan Leoce & Lena.

Di Inggris, pergerakan Romantik dipicu oleh naskah lakon karya Samuel Taylor Coleridge, Henry James
Byron, Percy Bysshe Shelley, dan John Keats. Dengan naskah lakon seperti, Remorse karya Coleridge,
Marino Fanceiro karya Byron, dan The Cinci karya Shelley. Inggris menjadi berpengaruh kuat dalam
mempopulerkan aliran Romantik. Di Perancis, Victor Hugo menulis Hernani (tahun 1830). The Moor of
Venice adalah naskah lakon yang ditulis oleh Alfred de Vigny yang merupakan adaptasi Othello.
Alexandre Dumas menulis lakon Henri III and His Court dan Christine . Alfred de Musset menulis lakon A
Venician Night dan No Trifling With Love.

4.2.10 Teater Abad 19 dan Realisme

Banyak perubahan terjadi di Eropa pada abad ke 19 karena Revolusi Industri. Orang-orang berkelas
pindah ke kota dan teater pun mulai berubah. Bentuk-bentuk baru teater diciptakan untuk pekerja
industri seperti Vaudeville (aksi-aksi seperti rutinitas lagu dan tari), Berlesque (karya-karya drama yang
membuat subyek nampak menggelikan), dan melodrama (melebih-lebihkan karakter dalam konflik-
pahlawan versus penjahat). Sandiwara-sandiwara romantis dan kebangkitan klasik dimainkan di
gedung teater yang megah pada masa itu. Amerika Serikat masih mengandalkan gaya teater dan lakon
Eropa. Pada tahun 1820, lilin-lilin dan lampu-lampu minyak digantikan oleh lampu-lampu gas di gedung-
gedung teater abad 19. Gedung Teater Savoy di London (1881) yang mementaskan drama- drama
Shakespeare adalah gedung teater pertama yang panggungnya diterangi lampu listrik.

Pada abad 19 di Inggris sebuah drama kloset atau naskah lakon yang sepenuhnya tidak dapat
dipentaskan bermunculan. Tercatat nama- nama penulis drama kloset seperti Wordswoth, Coleridge,
Byron, Shelley, Swinburne, Browning, dan Tennyson. Baru pada akhir abad 19 teater di Inggris juga
menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan munculnya Henry Arthur Jones, Sir Arthur Wing Pinero,
dan Oscar Wilde. Juga terlihat kebangkitan pergerakan teater independen yang menjadi perintis
pergerakan Teater Kecil yang nanti di abad ke 20 tersebar luas. Misalnya Theatre Libre Paris, Die
Freie Buhne Berlin, independent Theater London dan Miss Horniman’s Theater Manchester di mana
Ibsen, Strindberg, Bjornson, Yeats, Shaw, Hauptmann dan Synge mulai dikenal masyarakat.

Selama akhir abad 19 di Jerman muncul dua penulis lakon kaliber internasional yaitu Hauptmann
dan Sudermann. Seorang doktor Viennese, Arthur Schnitzler, menjadi dikenal luas di luar tempat asalnya
Austria dengan naskah lakon yang ringan dan menyenangkan berjudul Anatol. Di Perancis, Brieux
menjadi perintis teater realistis dan klinis. Belgia menghasilkan Maeterlinck. Di Paris, muncul lakon
Cyrano de Bergerac, karya Edmond Rostand. Sementara itu di Italia Giacosa menulis lakon
terbaiknya yang banyak dikenal, As the Leaves, dan mengarang syair-syair untuk opera, La Boheme,
Tosca, dan Madame Butterfly. Verga menulis In the Porter’s Lodge, The Fox Hunt, dan Cavalleria
Rusticana, yang juga lebih dikenal melalui opera Muscagni. Penulis lakon Italia abad 19 yang paling
terkenal adalah Gabriel d’Annunzio, Luigi Pirandello, dan Sem Benelli dengan lakon berjudul Supper of
Jokes yang dikenal di Inggris dan Amerika sebagai The Jest. Bennelli dengan lakon Love of the Three
Kings-nya dikenal di luar Italia dalam bentuk opera. Di Spanyol Jose Echegaray menulis The World and
His Wife, Jose Benavente dengan karyanya Passion Flower dan Bonds of Interest dipentaskan di
Amerika, dan Sierra bersaudara dengan naskah lakon Cradle Song menjadi penghubung abad ke 19
dan 20, seperti halnya Shaw, Glasworthy, dan Barrie di Inggris, serta Lady Augusta Gregory dan W.B.
Yeats di Irlandia.

Sampai abad 19 teater di Amerika dikuasai oleh Stock Company dengan sistem bintang. Sebuah
rombongan drama lengkap dengan peralatannya serta bintang-bintangnya mengadakan perjalanan
keliling. Dengan dibangunnya jaringan kereta api, Stock Company makin berkembang (1870). Akibatnya
seni teater tersebar luas di seluruh Amerika. Maka muncullah teater-teater lokal. Stock company
lenyap sekitar tahun 1900. Sindikat teater berkuasa di Amerika dari tahun 1896-1915. Realisme
menguasai panggung-panggung teater Amerika pada Abad 19. Usaha melukiskan kehidupan nyata
secara teliti dan detail ini dimulai dengan pementasan-pementasan naskah-naskah sejarah. Setting dan
kostum diusahakan sepersis mungkin dengan zaman cerita. Charles Kenble dalam memproduksi King
John tahun 1823 (naskah Shakespeare) mengusahakan ketepatan sampai hal-hal yang detail.

Zaman Realisme yang lahir pada penghujung abad 19 dapat dijadikan landas pacu lahirnya seni teater
modern di Barat. Penanda yang kuat adalah timbulnya gagasan untuk mementaskan lakon
kehidupan di atas pentas dan menyajikannya seolah peristiwa itu terjadi secara nyata. Gagasan ini
melahirkan konvensi baru dan mengubah konvensi lama yang lebih menampilkan seni teater sebagai
sebuah pertunjukan yang memang dikhususkan untuk penonton. Tidak ada lagi pamer keindahan
bentuk akting dan puitika kata-kata dalam Realisme. Semua ditampilkan apa adanya seperti sebuah
kenyataan kehidupan.

Diiringi dengan perkembangan teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung artistik pentas,
Realisme menjadi primadona di dunia barat. Seni teater yang menghadirkan penggal kenyataan hidup di
atas pentas ini begitu membius penggemarnya. Para penonton dibuat terhanyut dan larut dalam
cerita-cerita yang dimainkan. Pesona semacam ini membuat Realisme begitu berpengaruh dalam
waktu yang cukup lama.

4.2.11 Teater Abad 20

Teater telah berubah selama berabad-abad. Gedung-gedung pertunjukan modern memiliki efek-efek
khusus dan teknologi baru. Orang datang ke gedung pertunjukan tidak hanya untuk menyaksikan
teater melainkan juga untuk menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan mempelajari hal-hal baru.
Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan panggung arena, atau yang disebut saat ini,
Teater di Tengah-Tengah Gedung. Dewasa ini, beberapa cara untuk mengekspresikan karakter-karakter
berbeda dalam pertunjukan- pertunjukan (di samping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi, tata
cahaya, dan efek elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan eksperimental ditemukan dalam teater
Amerika saat ini.

Seiring dengan perkembangan waktu, kualitas pertunjukan realis oleh beberapa seniman dianggap
semakin menurun dan membosankan. Hal ini mendorong para pemikir teater untuk menemukan satu
bentuk ekspresi baru yang lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artistik dibuka selebar-
lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat
melawan pesona realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20
inilah istilah teater eksperimental berkembang. Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang
pengarang, sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu
memberikan pengaruh seperti gaya simbolisme, surealisme, epik, dan absurd. Tetapi tidak jarang pula
usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik
yang dilakukan oleh seniman teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut
mengantarkan pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.

5. Tugas dan Latihan

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah diuraikan, maka kerjakan tugas dan
latihan berikut.

5.1 Tugas

Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah klipping dengan tema periodesasi
teater barat.

5.2 Latihan

1. Pertanyaan yang diajukan dalam latihan ini bersifat mengembangkan kognitif dan psikomotorik,
karena itu jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban analisis, dan argumentatif, serta menunjukan
kreativitas.
2. Jawaban ditulis pada kertas folio, dan dikumpulkan pada akhir perkuliahan ini.

Buatlah peta materi dalam bentuk media pembelajaran yang nantinya di presentasikan di depan kelas
sesuai dengan materi yang telah diterima sebelumnya!

6. Referensi

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Rendra. 1993. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

MODUL 5
TEATER INDONESIA

1. Deskripsi Materi Pembelajaran

eater Indonesia adalah teater yang merupakan identitas bangsa Indonesia. Memiliki karakter sendiri
yang tentunya menjadi ciri khas Indonesia. Salh satunya adalah teater tradisional yaitu suatu bentuk
teater yang lahir, tumbuh dan berkembang di daerah dan merupakan hasil kreativitas kebersamaan suku
bangsa Indonesia. Teater tradisional berakar dari budaya setempat dan dikenal oleh masyarakat
lingkungannya. Pertunjukan dilakukan atas dasar tata cara dan pola yang diikuti secara tradisional (turun
temurun) dari pengalaman pentas generasi tua (pendahulu) dialihkan atau dilanjutkan ke generasi muda
(generasi penerus) dan mengikuti serta setia kepada pakem yang sudah ada. Pementasan teater
tradisional dilakukan di alam terbuka atau di pendopo yang penontonnya dari berbagai sisi yang
terbuka.

Mempelajari teater Indonesia akan menjadikan mahasiswa lebih menyadari akan kekayaan, keunikan
serta kehebatan budaya bangsa sendiri terutama dalam seni teater. Diharapkan juga ketika mahasiswa
telah mempelajarinya, maka mahasiswa dapat mengatahui cara melestarikan, bahkan menjadi inspirasi
dalam membuat karya baru.

2. Tujuan Intruksional Umum

Dengan memahami materi kuliah teater Indonesia mahasiswa memiliki kemampuan untuk memahami
perkembangan teater di Indonesia.

3. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:

1. Mengetahui tentang teater tradisional Indonesia.

2. Mengidentifikasi ragam bentuk tradisional Indonesia.

3. Mengetahui tentang teater modern Indonesia.

4. Mengetahui priodesasi teater modern Indonesia.

5. Mengetahui teater kontemporer Indonesia.

4. Uraian Materi Pembelajaran

Petunjuk Mempelajari Materi

1) Jika Anda membaca materi ini dengan cermat, maka Anda akan dapat menyimpulkan isi materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang ditetapkan.
2) Perhatikan setiap contoh dan ilustrasi yang diberikan dalam materi ini, agar Anda lebih
memahami mencermati kesimpulannya.

4.1 Teater Tradisional Indonesia

Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah
teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda
bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual.
Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru
merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah
melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan
yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.

Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah
dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-
beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater
tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di
Indonesia.

4.1.1 Wayang

Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana
asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan
berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan
Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti
Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal
adanya pertunjukan wayang.

Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada
Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi
yang sangat tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model
pementasannya.

Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang
Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan
Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada
mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar.
Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.

4.1.2 Wayang Wong (Wayang Orang)

Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi
dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang
Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan
menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan
wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan
wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga
dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat
dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -
hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri.
Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.

Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam
cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak
muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena
masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih
terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar
penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang
masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para
pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak- gerakan badan atau tangan untuk
mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan
ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para
pemain tidak mengucapkan dialog.

4.1.3 Makyong

Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua
terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa
tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita
rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan
dan sultan- sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.

Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan
menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat
yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu.
Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar
Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.

Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda
bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian
seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan
persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara
membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar

4.1.4 Randai

Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah
Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih
digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater
tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang
disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita. Ada dua unsur pokok yang
menjadi dasar Randai, yaitu.
1. Unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam,
dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana
atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.

2. Unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang
digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam
kaitannya dengan gaya silat di masing- masing daerah.

4.1.5 Mamanda

Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer
adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang orang sering
menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel
Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan
ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda
lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel
Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.

4.1.6 Lenong

Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini,
sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
lingkungannya, dibandingkan dengan lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta,
menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih
bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada kenyataannya keempat
teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang
dihidangkan dan musik pengiringnya.

4.1.7 Longser

Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat,
termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan
longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya
barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama
dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat
kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan
Longser, yaitu lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.

4.1.8 Ubrug

Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug
menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang
terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater rakyat
lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau
meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang
tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah Beberapa
cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang (pahlawan
rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater
rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian
para penonton.

4.1.9 Ketoprak

Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa
Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak
merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat
lainnya seperti srandul dan emprak.

Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan
menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya
menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater
rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian,
meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggah- ungguh bahasa.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:

1. Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)

2. Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)

3. Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)

Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat
bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa
dengan bahasa yang halus dan spesifik.

4.1.10 Ludruk

Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari
daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam
perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun,
Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun
semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan,
ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup
yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan,
Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.

Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini
merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat,
pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak
diperkenankan muncul di depan umum.

4.1.11 Gambuh

Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16.
Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali
sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada.
Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali
pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.

Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam
budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri.
Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali.
Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.

Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang
sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering
disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater
Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus
dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan
berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi
pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan
adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari
dan penabuh.

4.1.12 Arja

Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk
teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan
nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak
diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang
disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang
digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang
macapat.

4.1.13 Kondo Buleng

Kondo Buleng merupakan teater tradisonal yang berasal dari Makassar, ini salah satu bentuk improvisasi
cerita mengenai keadaan sosial-budaya masyarakat Makassar, khususnya daerah Paropo dan sekitarnya
pada zaman kekuasaan Belanda. Berasal dari kata Kondo (Bangau) dan Buleng (Putih). Teater Kondo
Buleng menceritakan tentang manusia dan burung Bangau yang dimainkan dengan gaya lelucon. Yang
unik dari tontonan ini adalah tidak adanya batas antara karakter pemain dengan properti yang
berlangsung pada adegan tertentu. Mereka pelaku, tapi pada adegan yang sama mereka juga adalah
perahu yang sedang mengarungi samudera. Tapi pada saat yang sama, mereka juga penumpangnya.
Tokoh utamanya adalah seekor burung Bangau Putih (Kondo Buleng) dan seorang pemburu
berkebangsaan Belanda (Tuang). Teater ini sering dipentaskan pada malam hari setelah waktu shalat
Isya. Selain memberikan hiburan kepada para penonton, setiap adegan dalam teater tradisional tersebut
sarat akan makna-makna simbolik. Sesuai dengan usia yang lahir dan berkembang pada masa kekuasaan
Belanda, teater ini konon merupakan salah satu bentuk ekspresi masyarakat saat itu kepada orang-
orang Belanda di Makassar melalui tokoh tuang yang bersenjatakan bedil tersebut. Kegiatan ini
diharapkan dapat merefleksikan memori kita mengenai kehidupan masa lalu masyarakat Makassar
melalui pertunjukan teater tradisional. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan kembali salah satu
budaya lokal Makassar.

4.2 Teater Modern Indonesia

Sejarah dan perkembangan teater modern di Eropa dipelopori oleh Hendrik Ibsen, yang lahir pada Maret
1828, di Norwegia. Dramawan terbesar dan paling berpengaruh pada zamannya ini dikenal sebagai
bapak "teater realisme". Melalui karya-karyanya, Ibsen tidak lagi bercerita tentang Dewa-dewa, Raja-
raja atau kehidupan para bangsawan di masa lalu, tetapi tentang manusia-manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Ini terlukis dalam naskah-naskah dramanya yang berjudul Rumah Boneka pada tahun 1879,
Bebek Liar (1884), Musuh Masyarakat (1882),

Munculnya teater realisme bersamaan dengan revolusi industri-teknologi, revolusi demokratik dan
revolusi intelektual. Yang mengubah konsepsi waktu, ruang, Ilahi, psikologi manusia, dan tatanan sosial.
Awal dari gagasan realisme adalah keinginan untuk menciptakan illusion of reality di atas pentas.
Sehingga untuk membuat kamar atau ruang tamu tidak cukup hanya dengan gambar di layar, akan
tetapi perlu diciptakan kamar dengan empat dinding seperti ruang tamu atau kamar yang sebenarnya.
Inilah yang mengawali timbulnya realisme. Kesadaran akan dinding keempatnya adalah tempat duduk
penonton yang digelapkan, agar seolah-olah penonton mengintip peristiwa dari hidup dan kehidupan.

Sedangkan di Indonesia, sejarah perkembangan teater modern bermula dari sastra atau naskah tertulis.
Naskah Indonesia pertama adalah Bebasari karya Rustam Effendi pada tahun 1926. Bahkan Bung Karno
juga menulis drama Reinbow, Krukut Bikutbi, Dr. Setan, dan lain-lain. Tampak di sini, bahwa naskah
drama awal ini tidak hanya di tulis oleh sastrawan, tapi juga oleh tokoh-tokoh pergerakan.

4.2.1 Teater Transisi

Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai
mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok
teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan
teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih
dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita
dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung
pertunjukan.

Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari
teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-
orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia)
dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).

Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan
Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak
mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah
drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon
yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno,
pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia
Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The
Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926.
Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra
Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya.
Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya
rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara
masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman
Kemerdekaan.

4.2.2 Teater Indonesia tahun 1920-an

Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks
sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah
drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan
sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum
intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum
pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa
Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya
kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari
merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan
perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis
lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933)
Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta
Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar
menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris
Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis
drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan
serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan
Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan
menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain,
Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.

4.2.3 Teater Indonesia tahun 1940-an

Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk
mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk
menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat
serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu
didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras
dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud
kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah
Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang
(Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya.
Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya
dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita
kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda
Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang
dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat
langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama
Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.

Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang
adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang
berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan
sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih,
Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan
mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang
Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali
Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama
samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon
antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah
Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya
dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu
dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian
ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik.

Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero,
yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan
sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi
Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara
lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.

Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena
bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai
pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan
sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang
keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang
berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil
meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. cerita- cerita yang dipentaskan antara
lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.

Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu
rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini
terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan
sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita- cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan
sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari
yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan
lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton
umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga
akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-
guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang
Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu
Malam dan Nusa Penida.

Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr.
Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD
(Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional.
Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara
karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai
Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik
Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu
Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap
berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah
ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap
pementasan sandiwara.

4.2.4 Teater Indonesia Tahun 1950-an

Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam
perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan,
kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan,
kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa
perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh
Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956)
Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang
kekecewaan paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan
Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-
lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan
lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey
Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy
Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di
Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan
moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke
Malaysia.

Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan
teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat
dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan
memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya- karya
Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh
ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama
di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain,
Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim
Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan
Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

4.2.5 Teater Indonesia Tahun 1970-an

Jim lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan
menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan
dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para
sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan
Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie
(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim
menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.

Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya
yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah
judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya
absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita
Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun,
salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu
mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.

Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada
tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang
kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi
(wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari
improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang
diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya,
Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).

Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970,
menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di
kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan
lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17
(tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga
lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama
seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.

Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater
rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel
Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater
Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi
dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater
Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.

Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D.
Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja),
Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan
gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme
naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan
vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi
gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N.
Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.

4.2.6 Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an

Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga
tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari
1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok
teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater
Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya
Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia
(1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan
Mukid F.

Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta
muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater
Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan
menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan
antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.

Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru
lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada
juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re- publik, dan Teater Payung Hitam. Di
Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil,
Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang
muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.

Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam
menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui
eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater
Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).

Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang
menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater
dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan
tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater
kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.

4.2.7 Teater Kontemporer Indonesia

Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak


munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya
khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini. Konsep
dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater
eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater
dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan
demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin
banyak.

5. Tugas dan Latihan

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah diuraikan, maka kerjakan tugas dan
latihan berikut.

5.1 Tugas

Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah klipping dengan tema ragam teater
tradisional.

5.2 Latihan

1. Pertanyaan yang diajukan dalam latihan ini bersifat mengembangkan kognitif dan psikomotorik,
karena itu jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban analisis, dan argumentatif, serta menunjukan
kreativitas.

2. Jawaban ditulis pada kertas folio, dan dikumpulkan pada akhir perkuliahan ini.

Buatlah peta materi dalam bentuk media pembelajaran yang nantinya di presentasikan di depan kelas
sesuai dengan materi yang telah diterima sebelumnya!

6. Referensi

Eko. dkk. 2008. Seni Teater Jilid 1 untuk SMK. Jakarta Direktorat Pembinaan Sekolah.

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Rendra. 1993. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
MODUL 6

PEMENTASAN TEATER

1. Deskripsi Materi Pembelajaran

ementasan merupakan tujuan akhir dari proses produksi bagi para punggawa artistik sebuah kelompok
teater. Di dalam pementasan ini lah semua hal yang dilatih dan dicobakan ditampilkan. Berhasil atau
tidaknya sebuah pementasan dibuktikan di sini. Perwujudan konsep secara menyeluruh dapat
diapresiasi oleh segenap penonton yang hadir. Beragam komentar bermunculan terkait dengan konsep
yang ditawarkan dan perwujudan yang ditampilkan. Bagi aktor yang menyajikan pertunjukan dan
berhadapan langsung dengan penonton, peristiwa ini sangat penting untuk menampilkan karya
aktingnya. Bagi sutradara, arahan pengejawantahan lakon terkait interpretasi yang dimiliki
mendapatkan ujian di sini. Bagi seluruh kru tata artistik, hal ini merupakan ajang unjuk kepiawaian
dalam menampikan karya penulis lakon secara nyata. Intinya, panggung teater menemukan hidup yang
sesungguhnya di dalam pementasan ini. Karena itu pulalah ragam cerita, peristiwa, unsur-unsur
pembentuknya ditawarkan dengan beragam sudut pandang dan gaya. Panggung teater adalah dunia
yang meski berakar pada kenyataan, namun memiliki kebebasan tampilan dari irisan kehidupan
manusia. Selalu ada yang diwartakan dan ditawarkan oleh dunia panggung kepada dunia nyata.
Pewartaan dan penawaran dalam wujud pementasan ini dapat ditelisik dari hal-hal berikut.

2. Tujuan Intruksional Umum

Dengan memahami materi kuliah pementasan teater mahasiswa memiliki kemampuan untuk hakikat
dari pementasan teater.

3. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:

1) Menguraikan prinsip kerja teater

2) Mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk sebuah pertunjukan teataer.

4. Uraian Materi Pembelajaran


Petunjuk Mempelajari Materi

1) Jika Anda membaca materi ini dengan cermat, maka Anda akan dapat menyimpulkan isi materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang ditetapkan.

2) Perhatikan setiap contoh dan ilustrasi yang diberikan dalam materi ini, agar Anda lebih
memahami mencermati kesimpulannya.

4.1 Lokasi

Jika Tempat diselenggarakannya pementasan teater membawa pengaruh besar bagi pementasan teater
itu sendiri. Terdapat banyak macam jenis panggung yang bisa digunakan untuk pementasan. Ada yang
bersifat tertutup (di dalam gedung) dan ada yang bersifat terbuka. Bentuk panggung pun beraneka
ragam. Ada yang proscenium, ada yang berbentuk panggung ujung, ada yang arena, dan ada pula
yang berbentuk thrust. Sementara pementasan dengan panggung terbuka dapat diselenggarakan di
lapangan, halaman rumah atau lokasi-lokasi khusus (site specific). Di dalam perkembangannya, bentuk-
bentuk panggung menjadi lebih lumer. Tidak hanya mengacu pada yang konvensional.

Lokasi atau tempat pementasan ini dengan sendirinya akan mempengaruhi penampilan. Tidak hanya
soal elemen pokok garapan namun juga unit penyokong artistiknya. Pemahaman mengeni lokasi dan
lingkungan tempat pementasan digelar memberikan kemungkinan kreasi bagi para konseptor teater.
Menurut sejarahnya, panggung teater hadir sesuai zaman dengan mengadopsi budaya yang
berkembang saat itu. Amphi theater yang begitu terkenal di zaman Yunani mengalami sedikit perubahan
pada zaman Romawi. Panggung ini masih menyiskan kedigdayaannya di masa kini dengan posisi
penonton berundak yang diadopsi dalam banyak panggung proscenium modern. Pada Abad
Pertengahan Eropa, muncul teater keliling dengan menggunakan panggung mobil dan menghampiri
kompleks-kompleks perumahan warga. Zaman Elizabeth mengetengahkan konsep panggung Globe
untuk menampung penonton dari berbagai kalangan. Meski mereka dipisahkan secara kelas namun
semuanya dapat menyaksikan pertunjukan teater secara langsung. Intinya, panggung teater memiliki
banyak bentuk, perwajahan, dan segala keunikan untuk menampung gagasan para kreator.

Bentuk panggung yang menyatukan pemain dan penonton membawa konsekuensi artistik pementasan.
Sutradara atau koseptor pertunjukan harus memahami hal ini dengan baik. Secara sekilas hal ini terlihat
gampang dimengerti. Namun banyak kasus yang justru memperlihatkan sebaliknya. Sebagai misal;
konsepsi teater realis yang mengedepankan kemiripan atas kenyataan hidup sering ditampilkan di atas
panggung yang secara akustik kurang memadai sehingga pemain cenderung berteriak agar suaranya
terdengar dengan jelas di telinga penonton. Keharusan berteriak karena kondisi panggung yang
sedemikian dengan sendirinya telah mengaburkan konsep realisme. Contoh lain, pementasan teater
yang dirancang di studio latihan dengan format proscenium tetapi pementasannya di teater arena, atau
sebaliknya. Arah hadap serta garis gerak pemain dan tata letak set dengan sendirinya menjadi kacau dan
untuk mengubahnya tentu saja dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Paling banyak terjadi adalah
persoalan ukuran antara tempat latihan dan pementasan. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini akan
sangat mempengaruhi irama dan dinamika permainan, terutama pada teater dramatik. Namun dari
semua kasus, ketidakidealan kondisi panggung lah yang lebih sering mencuat ke permukaan.

Kesalahan pemahaman teknis tentang panggung terkait kualitas artistik pementasan yang akan disajikan
sampai hari ini masih sering terjadi. Bukan persoalan lokasi di mana pementasan akan dilangsungkan
melainkan penyikapan sutradara atas lokasi tersebut. Maksudnya, sutradara sudah tahu jika kondisi
panggung tidak atau kurang ideal namun ia tetap memaksakan menggelar karyanya yang membutuhkan
panggung ideal di lokasi yang tidak ideal tersebut. Masih banyak terjadi sampai hari ini para kreator
teater menyesalkan keberadaan panggung pementasan dengan kondisi sedemikian. Namun anehnya,
mereka tetap menggunakan panggung itu dengan karya yang sebenarnya tidak mungkin dipentaskan di
lokasi dengan kondisi sedemikian.

Panggung, bagi sutradara atau konseptor pementasan sesungguhnya adalah kanvas kosong yang siap
untuk digambar. Oleh karena itu ukuran dan sifat dari kanvas ini harus dipahami sehingga pas dengan
objek yang akan digambarkan. Dengan demikian, sebelum menggambar semestinya kualitas kanvas
telah diketahui dengan baik. Banyak seniman teater modern yang merasakan bahwa keberadaan
panggung baginya tidaklah cukup bisa digunakan untuk mementaskan karyanya. Apa yang terjadi
kemudian adalah mereka menciptakan karya disesuaikan dengan kondisi panggung yang ada atau
menciptakan lokasi baru bagi pementasan karyanya. Dengan demikian, mereka menghasilkan karya
dengan tidak terbelenggu oleh kondisi lokasi. Artinya, karya yang mereka hasilkan tidak harus
dipaksakan dipentaskan di lokasi yang kurang sesuai. Kreator semacam ini akan lebih bebas
menggambari kanvas. Sementara kreator yang terbelenggu tuntutan lokasi ideal bagi karyanya harus
mau menerima kondisi yang ada dan tersedia atau mengeluarkan biaya produksi lebih untuk
memperbaiki kondisi yang bagaimanapun hasilnya belum tentu seperti yang diharapkan.

4.2 Realitas

Lakon teater berisi cerita rekaan yang kemudian dinyatakan di atas pentas. Cerita rekaan ini dibuat
berdasarkan realitas. Pada mulanya realitas yang disajikan diukur berdasarkan kebenaran yang mengacu
pada dunia metafisik. Oleh karena itu, karya lakon kurang bisa dianggap sebagai kebenaran karena ia
merupakan cermin dari realitas kehidupan manusia yang juga bercermin pada dunia metafisik sebagai
sumber segala benar. Jika lakon saja kurang bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran apalagi
menyatakan lakon tersebut di atas pentas. Sementara itu kebenaran pada awalnya merupakan kata
kunci dari keindahan sehingga yang tidak benar kemudian dianggap tidak indah. Lepas dari kondisi benar
atau salah ini, realitas panggung tetap saja bisa dihadirkan dan diterima meski dikategorikan sebagai
simulakrum oleh Plato.

Realitas panggung yang merupakan cerminan realitas kehidupan manusia mendapatkan tempat
tersendiri ketika dimaknai sebagai “fiksi” oleh Aristoteles. Ia menekankan satu fakta bahwa karya seni
memiliki struktur dan bentuk tersendiri yang terbebas dari struktur dan bentuk realitas. Untuk
menjelaskan hal ini ia mencontohkan bahwa karya drama akan bergulir berdasar plot (struktur cerita)
yang melibatkan karakter dan aksi di dalamnya sementara karya musik didasarkan pada struktur nada,
ritme, dan melodi. Karena seni memiliki arti/rasa internal atas struktur dan organisasi, Aristoteles
menegaskan bahwa seni dengan demikian memiliki status fiksional daripada status kepalsuan
(simulakrum) seperti yang disandangkan oleh Plato selama ini (lihat Kul-Want & Piero, 2012).

Meskipun memiliki struktur yang independen, namun karya seni dalam hal ini pementasan teater dapat
dipahami, dievaluasi, dan diapresiasi oleh para penikmatnya berdasarkan rentang konsep yang mereka
peroleh dari pengalaman kehidupan. Struktur mimetik seni melekat dalam interaksi antara karya seni
dan penikmatnya. Dalam hal ini, realitas panggung memperoleh pengukuran berdasar realitas
pengalaman hidup para penontonnya. Logika yang dibangun di atas panggung bertemu dengan logika
yang ada dalam pikiran penonton berdasarkan pengalaman hidup yang dialaminya. Keterhubungan
antara karya seni dengan penikmat ini melahirkan pengaruh timbal balik di mana karya seni dapat
mempengaruhi penikmat dan sebaliknya, ekspresi penikmat dapat mempengaruhi karya seni.

Jalinan hubungan antara karya seni (teater) dan penikmatnya ini justru memungkinkan hal-hal yang
dianggap kurang menarik dalam kehidupan nyata justru mendapatkan ketertarikan hebat di atas
panggung. Misalnya saja, setiap orang tidak mau menerima apa yang dinamakan sebagai penderitaan di
dalam kehidupan nyata. Namun ketika penderitaan manusia itu diangkat dalam lakon dan dipentaskan
justru menimbulkan simpati mendalam para penontonnya. Penonton menikmati penderitaan tersebut
secara kontemplatif. Pengalaman karya seni memang berbeda dengan pengalaman kehidupan nyata,
namun efek emosionalnya sangat bergantung pada hubungannya dengan kenyataan. Dalam konteks
penikmatan, kenyataan tidak hanya bergantung pada pengalaman fisik namun juga pengalaman pikiran.
Realitas fisik dan pikiran ini bisa menjadi indah, bermakna, menginspirasi, menggugah, mencerdaskan,
dan menyadarkan ketika disajikan dalam dunia fiksi di atas panggung.

Kehadiran hubungan antara karya seni dan penikmat yang diajukan oleh Aristoteles ini mengukuhkan
kenyataan karya seni yang terus bertahan sampai hari ini. Realitas kehidupan manusia di mana segala
nilai berada tetap menjadi dasar penciptaan karya teater. Hubungan antara dunia nyata dan kenyataan
fiksional ini mengalami evolusi mulai dari keterkaitannya dengan kebenaran hingga ketidakperluannya
untuk diukur secara benar dan salah menurut dunia nyata (fisik). Kebenaran karya seni pada awalnya
dilekatkan pada kebenaran absolut dunia metafisik. Berikutnya ia disebandingkan dengan kenyataan
hidup yang istana sentris. Pada masa berikutnya ia diukur secara religius. Hingga akhirnya ia memliki
otoritas untuk hadir tanpa risau atas pembandingannya dengan kenyataan karena nilai benar dan salah
kemudian telah begitu longgar atau bahkan tak lagi digunakan untuk menilai keindahan karya seni.

Apresiasi penikmat membawa pengaruh luar biasa di dalam realitas panggung. Kebebasan menciptakan
kenyataan fiksional ini melahirkan banyak cobaan yang menarik. Memang ada yang bisa bertahan dan
banyak pula yang langsung tenggelam hanya dalam beberapa kali cobaan. Realitas panggung dihadirkan
tidak saja melalui keunikan cerita namun juga dalam wujud artistik pementasan. Gagasan-gagasan baru
banyak bermunculan sejalan dengan berkembangnya filsafat, ilmu pengetahuan, dan peristiwa dunia.
Setiap pekerja teater diperkenankan menciptakan dunia fiksionalnya sendiri dan penonton pun bebas
dalam mengapresiasi sesuai penerimaan atas logika yang ditawarkan. Bisa jadi penonton senang,
terhibur, dan membenarkan atas sajian pertunjukan tersebut. Namun bisa saja penonton menolak
karena memang tidak masuk ke dalam logikanya. Kondisi inilah yang kemudian dijabarkan oleh tim
produksi sebuah pementasan melalui segmentasi penonton dengan maksud agar pementasan dapat
dinikmati oleh orang yang datang khusus untuk menonton.

Kesebandingan kebenaran (logika) antara isyu yang ditampilkan di atas pentas dengan logika kenyataan
(fisik dan pikiran) yang dialami penonton dalam perjalanan hidup menjadi alat ukur yang paling
sederhana. Semua pekerja teater pasti memahami hal ini. Menampilkan gagasan baru dalam bentuk
pementasan baru yang seolah berada di luar logika pementasan pada umumnya membutuhkan
perjuangan tersendiri. Menampilkan pertunjukan dengan pola dialog rumit dan perlu pemikiran di
tengah masyarakat yang miskin literasi pasti banyak mengalami hambatan. Intinya, logika di atas
panggung mesti bertemu dengan logika para penontonnya. Usaha untuk mempertemukan kedua logika
ini memerlukan seni tersendiri dan usaha yang tidak sekali jadi. Misalnya saja, gaya Surealisme muncul –
salah satunya – karena pengaruh teori Freud. Upaya menyajikan teori Freud dalam sebuah pementasan
memerlukan usaha dan seni tersendiri semisal membangun kesetaran pemahaman awal dengan
penonton melalui narasi yang dituliskan dalam iklan, pamflet atau booklet pementasan atau cara-cara
lainnya. Atau gaya Epik Brecht yang membolehkan pemain untuk berkontak fisik dengan penonton demi
mengingatkan penonton bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah pertunjukan dan tidak sedang
terlena oleh haru-biru cerita yang disajikan. Intinya, semua usaha yang dilakukan oleh seniman teater
pada akhirnya mesti bertemu dengan realistas pengalaman penonton dalam hubungan yang saling
mempengaruhi.

4.3 Gagasan

Gagasan atau konsep pementasan merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Banyak
seniman atau pekerja teater yang melahirkan gagasan pemanggungan sehingga membuat pementasan
teater menjadi rupa warna. Produksi teater berjalan bersamaan dengan perkembangan zaman baik
dalam rangka mengikuti alur atau menentangnya. Perkembangan ilmu pengetahuan membawa
pengaruh sangat signifikan bagi munculnya ide-ide baru lakon teater. Sementara perkembangan
teknologi mendukung perwujudan artistik pementasan sehingga bisa memenuhi harapan para
pekerjanya. Contoh nyata dari kasus ini adalah ditemukannya lampu gas yang memungkinkan panggung
teater menghadirkan peniruan cahaya bulan dan matahari (Santosa, 2008).

Dewasa ini hampir semua efek artistik mungkin dihadirkan di atas panggung teater sehingga gagasan-
gagasan pemanggungan tidak banyak menemukan hambatan. Gagasan seputar pementasan kemudian
memacu kerja kreatif semua unsur artistik yang terlibat di dalamnya. Termasuk di dalamnya penemuan-
penemuan di bidang iptek yang membutuhkan penyikapan. Pentas teater, sebagai sajian seni memiliki
media melimpah dalam menyampaikan gagasan. Penonton tidak lagi hanya disuguhi model dan gaya
pemanggungan yang itu-itu saja (konvensional). Dengan demikian, nalar estetik pun berkembang
dengan sendirinya dan itu semua bisa jadi arbitrer. Artinya, ada orang yang suka hanya dengan konsep
pemanggungan tertentu dan jiwa artistik seniman bisa membidik persoalan dan keindahan serta
menampilkannya dari sudut (pertimbangan) tertentu pula.

Dengan lumernya makna keindahan ini, maka gerbang kreativitas terbuka lebar. Gagasan apa saja bisa
dimunculkan dan diadopsi menjadi sebuah pementasan teater dengan catatan ia diterima oleh
masyarakatnya. Gagasan teater akan tumbuh berkembang sesuai budaya di mana teater itu berada.
Oleh karena itu, pemaknaan terhadap gaya atau gerakan seni teater bisa menjadi berbeda-beda.
Sebagai misal, Realisme yang lahir untuk menyoroti persoalan sosial sehari-hari dengan membawa
syarat pergelaran sebagai kehidupan nyata bisa saja dibawakan dengan cara berbeda di lingkup budaya
berbeda di mana syarat pergelaran tidak seketat atau berlakuseperti asalnya. Di dalam dunia seni hal
semacam ini sah saja adanya, namun membutuhkan ketelitian jika hendak diusung ke ranah akademis.
Pengetahuan dasar tentang asal lahirnya sebuah gagasan yang kemudian menjadi gerakan atau aliran
menjadi penting untuk merunut persoalan awal mengapa gagasan itu muncul. Realisme misalnya, tentu
saja tidak lahir dengan tiba-tiba dan begitu saja, semua pasti bisa terjelaskan sampai dengan
perkembangan dan persebarannya. Pun demikian dengan gagasan- gagasan lain seperti Epik, Surealis,
dan Teatrikalisme.

Seniman dalam berkarya, seperti yang disampaikan oleh Aristoteles, selalu memiliki keterkaitan dengan
realitas. Makna realitas ini bisa menyangkut kehidupan masyarakat manusia, diri pribadi si seniman atau
dunia imajinasi yang muncul karena dorongan untuk keluar dari atau sebagai tanggapan atas realitas.
Secara gagasan, karya seni teater bisa mengambil dari mana saja, namun ketika disajikan pasti saja
realitas pengalaman para penonton yang akhirnya menentukan sajian itu bisa diterima atau tidak.
Kondisi ini seolah menjadi pagar bagi gagasan seniman. Akan tetapi logika yang berlaku adalah bahwa
gagasan itu bisa diterima atau tidak baru setelah pementasan dilakukan. Jadi, pagar yang ada
sebenarnya tembus pandang.

Kekuatan gagasan merupakan roh dari setiap karya seni teater yang diproduksi. Gagasan di dalam teater
ini menyebar ke wilayah artistik yang ada di dalamnya. Sebagai seni kolaboratif, gagasan yang
dimunculkan semestinya mampu menjadi ikatan seluruh pekerja artistik yang terlibat. Atas kondisi ini
setiap wilayah kerja artistik teater dapat menampilkan atau dinilai sendiri atas gagasannya. Elemen
pokok teater modern menyebutkan tiga serangkai penampil di hadapan penonton yang terdiri dari
penulis lakon sutradara, dan pemain (aktor). Gagasan utama mengenai cerita lahir dari tangan penulis.
Sutradara menggagas pemanggungannya dan pemain memerankan karakter sesuai dengan gagasannya
atas karakter yang diperankan. Gagasan penulis bisa berasimilasi dengan sutradara yang kemudian
secara ketat membatasi ruang gerak pemain sehingga karya yang tampil di hadapan penonton adalah
karya penulis dan sutradara. Namun bisa pula penulis menyampaikan gagasannya melalui cerita,
sutradara melalui konsep pengadeganan dan pengarahan, sementara pemain melalui karakter yang
diperankan sehingga yang terlihat langsung di hadapan penonton adalah karya para pemain. Kedua
bentuk penampilan karya teater di hadapan penonton ini oleh Meyerhold disebut sebagai teater segitiga
dan teater garis lurus (periksa, Huxley & Witts, 1996).

Selain elemen pokok, teater juga memiliki elemen pendukung berupa tata artistik yang terdiri dari tata
pentas, suara (musik), rias, busana, dan cahaya (lampu). Masing- masing penata juga bisa
mengedepankan gagasan mereka sebagai respon atas konsep dasar artistik yang telah ditentukan dalam
produksi. Tentu saja dengan satu ketentuan yang disepakati bersama masing-masing gagasan ini hadir
untuk memperkuat pementasan dan bukan untuk pamer karya dari masing-masing bidang.

Penjelasan mengenai persebaran gagasan yang ada di dalam setiap bidang kerja seni teater memberikan
gambaran bahwa konsep pementasan bisa datang dari bidang mana saja. Tidak melulu konsep
pementasan harus lahir setelah penulis cerita menyelesaikan penulian lakonnya. Gagasan yang
mendasari gaya Realisme Selektif dan Realisme Sugestif misalnya, berkutat di seputar tata panggung
yang akan ditampilkan. Demikian pula dengan Konstruktvisme yang mensyaratkan pemeran untuk
menampilkan perannya dalam tata panggung yang membentuk konstruksi- konstruksi tertentu sebagai
simbol konstruksi masyarakat yang ada di kehidupan nyata. Sementara itu kekuatan Teatrikalisme
berada pada gagasan menampilkan keahlian para pemeran selain keahliannya berperan (lihat, Mctigue,
1996). Sebuah pementasan teater bisa lahir dari sebuah gagasan yang berangkat dari bidang kerja
tertentu. Karena itu pula hirarki organisasi atau tata kerja di dalam sebuah produksi teater bisa saja
berlaku ketat (sesuai kerja organisasi artistik) atau malah justru mencair di mana kedudukan setiap
pekerja sama dalam hal melahirkan gagasan. Semua memliki konsekuensi sendiri baik dalam hal
kekaryaan maupun tanggung jawab moral atas karya yang ditampilkan.

4.4 Penyadaran

Konsep persuasi atas fiksi dapat melahirkan kesadaran dalam diri penikmat seni. Dengan menyaksikan
karya seni yang tampil, penonton/penikmat bisa merasakan apa yang tidak dibayangkan sebelumnya
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kejadian biasa yang tersaksi sambil lalu pada kenyataan dapat
menimbulkan sejumput kesadaran ketika disajikan melalui karya seni. Kesadaran ini bisa saja berlaku
kualitatif sehingga benar-benar mengubah pandangan seseorang atas sesuatu, orang lain, diri sendiri
atau kasus-kasus tertentu dalam kehidupan. Haru-biru pengaruh karya seni bagi penikmatnya inilah
yang dalam Realisme begitu melenakan sehingga para penonton tidak lagi bisa membedakan antara
kehidupan dan tontonan. Kesadaran yang timbul karena jarak itu kemudian menjadi lekat. Penonton
seolah menjadi bagian dari lakon panggung yang disaksikannya namun tak punya hak untuk
mengubahnya. Kesadaran yang bermula dari pikiran telah merasuk ke dalam perasaan dalam konteks
penerimaan.

Kondisi kesadaran semacam inilah kemudian yang ditentang oleh Brecht dalam teater Epik-nya. Baginya
teater bukan untuk menghanyutkan rasa penonton ke dalam pertunjukan melainkan untuk
membangkitkan pikiran (kesadaran) atas masalah riil yang sedang dihadapi. Teater Epik hadir untuk
memberi penyadaran pada penonton bahwa mereka sedang duduk di dalam gedung dan menyaksikan
sebuah pertunjukan. Karena persoalan yang sesungguhnya berada di luar gedung, maka pertunjukan
harus menyeret persoalan-persoalan nyata tersebut sehingga pemain dan penonton bisa
membicarakannya. Dalam rangka memberikan penyadaran ini, Brecht memperlawankan estetika Epik
dengan Realis (lihat, Huxley & Witts, 1996). Ia tak hendak menina-bobokkan penonton dengan cerita
drama. Ia hendak menggugah kesadaran penonton untuk bersama mempelajari problem sosial-politik
yang sedang dihadapi. Penonton kemudian bukanlah orang yang hadir sekedar untuk menyaksikan
pertunjukan, namun juga mesti menjadi penyelidik atas kasus-kasus yang disajikan dalam pementasan.
Pemain tidak boleh hanyut ke dalam karakter yang diperankannya karena ia harus tetap menjadi diri
pribadinya demi memberikan kesadaran kepada penonton atas soalan yang mereka sajikan. Untuk
keperluan ini, dalam pertunjukannya, Brecht selalu menyertakan pamflet dan slogan-slogan. Tidak heran
kiranya jika teater Epik Brecht ini di beberapa negara sering disebut sebagai teater agitasi dan
propaganda (lihat, Mctigue, 1996).

Sebagai akibat dari fungsi penyadaran, pementasan teater pun merekayasa bentuknya agar fungsi itu
menjadi nampak. Apa yang telah dilakukan oleh Brecht membawa pengaruh luar biasa. Teater adalah
bagian dari tumbuh-kembang sosial kemasyarakatan dan oleh karenanya ikut membentuk sejarah. Ia
tidak lagi sekedar alat perekam yang menampilkan gambar-gambar indah penuh pesona. Teater adalah
instrumen perubahan masyarakat. Untuk itu, teater dapat berfungsi sebagai gerakan politik. Seperti apa
yang dkerjakan oleh Mnouchkine melalui Theatre du Soleil di Perancis, di mana kelompok teater itu
dibentuk secara non-hirarkis, menolak hal-hal yang bersifat didaktis dan militan, membawa misi
kemanusiaan dan sekaligus sebagai gerakan politik. Teater dalam kacamata Mnouchkine merupakan
proses yang dikerjakan secara kolektif mulai dari penemuan dan penentuan cerita (skrip) yang akan
dimainkan. Dalam prosesnya, improvisasi dan totalitas dalam bekerja sangat diperlukan. Sementara
bentuk panggung tempat pementasan mengikuti kebutuhan (apa yang diperlukan). Kolektivitas kerja
yang dilakukan sejak awal dalam proses pementasan ini membuat Theater du Soleil disebut pula sebagai
Teater Kolaboratif (periksa, Mitter & Shevtsova, 2005).

Jauh sebelum teks ditemukan dan ditentukan, Mnouchkine menekankan pentingnya mempelajari dan
mengetengahkan prinsip-prinsip pemeranan luar Eropa, utamanya Asia, serta tidak mau terpengaruh
dengan model pemanggungan Shakespearean. Visi kolektif lebih diutamakan daripada visi seorang
sutradara. Pementasan lebih dari sekedar representasi kenyataan dan harus mengedepankan pelibatan
politik daripada estetik. Untuk keperluan itu semua, teater harus belajar sejarah dunia secara
menyeluruh karena menjadi bagian integral darinya. Dari beberapak pokok pikiran yang ada, jelas
ternampak bahwa pertunjukan yang disajikan Theatre du Soleil bukanlah sajian seni yang mementingkan
keindahan. Dalam setiap pementasan selalu ada pembelajaran sosial-politik yang lekat dalam kehidupan
masyarakat. Pementasan adalah penyadaran akan perubahan sosial yang dapat dilakukan oleh
masyarakat sehingga mereka tidak hanya hadir sebagai korban atau pelengkap dalam kehidupan politik.

Kesadaran akan perubahan sosial yang dapat dilakukan melalui teater juga mengilhami kerja Julian Beck
dalam The Living Theatre. Baginya, teater bukanlah dunia panggung yang penuh tipu daya. Teater harus
hadir senyatanya dan apa adanya, karena dengan itulah ia bisa mengubah dunia. Panggung bukanlah
satu hal yang penting melainkan dunia. Untuk tujuan itu, Beck menekankan bahwa akting bukanlah
sesuatu yang fiksional (seolah-olah). Akting haruslah nyata. Kenyataan ini harus dibuktikan dengan
pemeran memerankan dirinya sendiri, merasakan penderitaan yang ia alami langsung dan tidak
menghadrikan mitos dalam karyanya. Akting dengan demikian adalah pengalaman hidup yang nyata.
Untuk menyatakan pengalaman hidup ini, panggung tidaklah cukup, maka teater harus digelar di luar
panggung. Jika sudah demikian maka lakon atau cerita tidak lagi penting melainkan aksi. Ya, teater
adalah pergelaran aksi yang dilakukan para aktornya untuk mengungkapkan persoalan yang sebenarnya
terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat sadar dan mengambil peran perubahan (periksa,
Mitter & Shevtsova, 2005).

Apa yang ditawarkan oleh Brecht, Mnouchnkine, dan Beck merupakan beberapa contoh teater yang
bertujuan untuk menyadarkan masyarakat atas soal-soal kekinian yang sedang menimpa. Masyarakat
disadarkan untuk bangkit, melawan, dan melakukan perubahan karena persoalan yang ada
memposisikan mereka sebagai korbannya. Teater tidak boleh hanya diposisikan sebagai medium seni
yang berdiri sendiri terlepas dari masyarakat. Fungsi teater bukan untuk menebar pesona keindahan
sehingga masyarakat mengelu-elukan dan justru lupa pada persoalan riil yang sedang dihadapi. Teater
harus hadir sebagai alat atau mesin politik yang mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada.
Teater dengan demikian menjadi sebuah gerakan.

Mungkin premis yang diusung tersebut terlihat bombastis. Namun semua orang terbelalak ketika
Augusto Boal mampu menghadirkan teater bagaikan mimbar parlemen yang dapat mempengaruhi
kebijakan publik. Suara-suara yang muncul di dalam dan seputaran peristiwa teater itu menjadi sangat
ampuh. Harus didengar. Masyarakat benar-benar telah tersadarkan dan mau serta mampu bangkit
bersama untuk menyuarakan protes atas nasib yang diterimanya sebagai akibat dari kebijakan. Teater
Kaum Tertindas atau Theatre of the Opressed atau TO begitu menggelora. Ia hadir seolah sebagai satu
model yang patut untuk diacu bagi semua teater penyadaran. Boal tidak mau dicukupkan hanya sebagai
agitasi dan propaganda di mana tidak semua orang bisa mengikuti saran diri pribadinya sendiri.
Propaganda kurang bisa memandang persoalan dari sudut-sudut privat. Oleh karena itu, masyarakat
perlu menyadari masing-masing apa yang sedang dialami dan apa yang semestinya mereka dapatkan
serta bagaimana seharusnya mereka diperlakukan. Teater harus benar-benar hadir atau dihadirkan
sebagai media untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut (lihat, Mitter & Shevtsova, 2005 dan Boal,
2008).

Di dalam perkembangannya, teater yang memiliki tujuan penyadaran ini mendapatkan peran nyatanya
sebagai teater terapan. Sebuah gerakan berbasis teater yang menyeret keluar teater dari kemegahan
panggung dan mempertemukan langsung teater dengan masyarakat dalam kehidupan nyata. Berbagai
bidang gerakan muncul baik itu pendidikan, kesehatan, pemasyarakatan, trauma diri dan sosial dan lain
sebagainya. Mereka semua hadir dengan cara merangkul masyarakat secara langsung dan besama-sama
membeberkan persoalan, mencari jawaban dan saling memberikan dukungan. Pertunjukan dalam
makna konvensional telah hapus karena jarak pemeran dan penonton lesap ke dalam peristiwa
bersama, langsung, dan nyata. Sebagai media penyadaran, teater memang harus terjun langsung dan
beraksi secara nyata. Bukan hanya mengambil sampel kasus dan kemudian mengusungnya di atas
pentas sehingga mendapatkan perhatian (tepuk-kagum) penonton dan seolah-olah telah berbuat
sesuatu secara nyata. Teater penyadaran adalah teater yang melakoni sejarah dan bukan sekedar
memotret sejarah untuk kemudian bangga mendapatkan anggapan sebagai pelaku sejarah. Teater mesti
hadir sebagai dirinya sendiri dan bukan hanya sekedar cermin yang memantulkan gambar indah namun
tetap tidak nyata.

4.5 Pemeran

Pementasan teater dalam sejarahnya selalu memunculkan idola yaitu aktor atau pemeran hebat yang
begitu dikagumi oleh penonton karena seni peran yang ditampilkan. Kemampuan mereka untuk
melesapkan diri ke dalam watak yang diperankan patut untuk diacungi jempol. Kuantitas pementasan
serta kualitas yang selalu baik menjadi standar tersendiri bagi seorang aktor. Ada pesona yang kemudian
timbul setelahnya. Dalam hal ini adalah pesona sang aktor dan bukan watak yang diperankan. Meski
pesona ini didapat sebagai hasil dari kepiawaiannya memerankan tokoh, tapi kemudian hal ini
merembet secara personal dan melekat pada diri aktor. Kondisi ini akan melahirkan anggapan bahwa
sebuah pementasan akan berjalan dengan baik jika aktor tersebut ikut berperan di dalamnya. Satu
konsekuensi wajar karena memang aktorlah yang tampil berhadapan langsung dengan penonton.

Dalam sejarahnya, aktor-aktor piawai semacam ini lah yang menghidupkan pertunjukan. Mereka selalu
dicari oleh penulis naskah atau produser untuk tampil karena begitu menarik minat penonton. Bahkan
aktor berkualitas inilah yang seringkali bertindak sebagai pengarah, terutama bagi para pemeran muda
yang terlibat dalam produksi tersebut. Pada masa itu organisasi produksi teater belumlah terbentuk baik
dan sutradara belum pula hadir. Aktor berkualitas ini kemudian dianggap mumpuni dalam seni peran
dan mereka mengajarkan skill yang mereka miliki pada para pemeran muda. Dari sinilah istilah
“didaskalos” (guru) yang mendasari lahirnya sutradara muncul. Karena organisasi produksi yang belum
kuat dan kuantitas produksi belum begitu banyak, para aktor ini sering berkeliling secara berkelompok
untuk mencari peruntungan dengan bergabung dalam sebuah produksi. Tidak jarang pula mereka
membentuk tim produksi sendiri (lihat, Cohen, 1994). Karena hal ini pulalah mereka begitu terkenal dan
kepiawaian mereka hinggap ke telinga orang- orang yang bahkan belum sempat menonton aksi mereka.
Jarak – antara orang yang belum menonton dan ketenaran akan keahlian sang aktor – inilah yang
semakin menegaskan pesona tersebut. Sehingga kabar akan kehadiran mereka di salah satu panggung di
sebuah kota menarik banyak orang untuk datang menyaksikan.

Di dalam produksi teater modern dan tradisional pesona ini melahirkan pemeran bintang yang sering
dimanfaatkan untuk melariskan tiket pertunjukan. Di sinilah letak teater sebagai salah satu cabang seni
pertunjukan beririsan dengan hiburan dan irisan tersebut seringkali bersinggungan. Kadang sebuah
pementasan hadir sebagai seni murni, namun kadang juga hadir sebagai bentuk hiburan baik dalam
rangka peringatan hari, tahun, event tertentu atau dalam produksi khusus. Pemeran bintang menjadi
andalan. Dalam konteks ini, pemeran tersebut bisa saja memainkan peran utama dan bermain sesuai
kapabilitasnya. Akan tetapi bisa juga ia hadir hanya dalam beberapa adegan pendek untuk memberikan
bobot pada adegan tersebut. Selama kepiawaiannya dalam berperan tidak bergeser fungsi, maka ia
tetaplah sebagai aktor. Artinya, dalam hal ini faktor konsep produksilah yang sebenarnya menjadi
taruhan. Apakah produksi tersebut memang layak atau hanya sekedar menampilkan sosok pemeran
bintang di dalamnya.
Daya tarik akan pesona pemeran ini membuka jalan bagi lahirnya jenis produksi pementasan teater
yang beragam. Mungkin saja gaya Teatrikalisme yang menampilkan kepiawaian pemeran di luar
seni peran dalam pementasannya mengadopsi nilai pesona ini. Multi talenta para pemeran ditampilkan
sedemikian rupa secara teatrikal sehingga penonton tidak hanya menilai watak tokoh yang diperankan
namun juga kebisaan lainnya. Kebisaan lain yang membuat penonton terpesona dan tanpa sadar
meminggirkan elemen seni peran dengan sendirinya ketika menyaksikan penampilan sang aktor. Faktor
pesona ini lah yang secara produksi bisa menggiring pementasan teater masuk ke dalam seni hiburan
semata.

Seni hiburan tersebut bisa saja sangat menarik, namun sedikit sulit untuk dikategorikan sebagai seni
murni, dalam hal ini teater sebagai seni murni. Kondisi atau penilaian ini diperlihatkan dengan baik
dalam film “The Greatest Showman” produksi tahun 2017 dibintangi Hugh Jackman dengan sutradara
Michael Gracey. Film ini mengisahkan perjuangan P.T. Barnum dalam membangun bisnis
pertunjukannya. Ia mengubah konsep museum menjadi pertunjukan penuh atraksi yang menarik.
Namun pada saat itu, penilaian seni (teater) masih belum beragam sehingga tontonan P.T Barnum
dianggap sebagai palsu dan bukan sebuah teater sesungguhnya. Memang, Barnum menampilkan sirkus
dengan menghadirkan orang-orang aneh. Setiap berita di koran muncul selalu saja memberi penilaian
jelek pada tontonan Barnum dan menganggap sebagai seni rendahan, bukan teater, dan bahkan
masyarakat terdorong untuk mengutuk serta mengusirnya. Namun atas usaha gigihnya tontonan ini
terus bertahan. Sirkus yang dianggap seni palsu dan sering hanya memamerkan pemain ini kemudian
berkembang menjadi jenis pertunjukan tersendiri. Lepas dari penilaian atas seni teater atau hanya
sekedar pertunjukan hiburan, sirkus menjadi eksis dan dapat diterima masyarakat luas. Bahkan
Meyerhold pun – selain simbolisme – mengakui kekagumannya akan sirkus. Mungkin pula ini yang
menjadikan Meyerhold kaya akan konsep pertunjukan teater modern. Ia menggagas gaya
konstruktivisme dan biomechanic sebagai pendekatan latihan peran.

Sirkus Barnum selain menampilkan beragam atraksi juga menyajikan pameran pemeran sebagai basis
tontonannya. Orang yang memiliki tinggi super, pendek sekali, gemuk sekali, perempuan berjanggut,
dan lain sebagainya pada mulanya merupakan pameran hidup sebelum akhirnya diberi skill lain sebagai
penambah daya pikat. Secara tegas sekarang ini konsep pertunjukan sirkus dan teater sangatlah jauh
berbeda. Namun terdapat irisan yang mana elemen keduanya bisa jadi digabungkan. Konsep pameran
pemeran misalnya, dewasa ini juga sering muncul dalam dunia hiburan berbasis teater. Bukan lagi
kebintangan seseorang karena kepiawaiannya dalam berperan yang diusung namun ketenaran orang
tersebutlah yang ditawarkan. Apakah ia seorang politisi, pelawak, dosen, motivator, pejabat publik,
orang kaya, pokoknya asal public figure bisa dijadikan sebagai pemeran dalam pementasan. Apakah
kemudian mereka benar-benar bisa berperan itu tidak lagi menjadi soal karena kehadiran mereka di atas
panggung itu lah yang penting. Menampilkan public figure dalam balutan busana, make up, watak, dan
cerita di luar kenyataan mereka itulah intinya. Penonton ditempatkan persis seperti orang tua yang
menyaksikan anaknya tampil di atas panggung yang mana semua aksinya pasti akan membuat si orang
tua suka.

Namun demikian, seni hiburan berbasis teater meskipun memamerkan pemeran – yang jelas-jelas
bukan pemeran – juga mesti mempertimbangkan faktor artistik lainnya. Pemeran profesional, penyanyi
profesional, dan semua pendukuang artistik profesional dihadirkan untuk menemani (menjadi teman
dan atau lawan main) sang public figure dalam beraksi sekaligus menjaga kualitas artistik yang ingin
dipertahankan. Jadi, meski merupakan pameran pemeran tatap saja unsur artistik teater tidak bisa
dikesampingkan. Persis seperti apa yang dilakukan oleh Barnum dalam membangun pembukaan, inti,
dan penutup pertunjukannya selalu menyajikan atraksi yang mempesona, bukan hanya sekedar
pameran pemeran. Soal apakah pertunjukan tersebut dapat disebut sebagai seni muni atau bukan, itu
soal lain. Pada intinya semuanya membutuhkan kepiawaian dalam merancang, melatih, mengarahkan,
dan mengolah menjadi sebuah pementasan.

4.6 Elemen Artistik

Pementasan teater berlangsung dengan melibatkan banyak elemen artistik. Tata panggung, tata rias-
busana, tata cahaya, ilustrasi musik, dan mungkin elemen artistik lain sejalan kemajuan ilmu dan
teknologi. Pemanggungan dengan demikian menjadi semacam kanvas bersama yang dilukis secara
kolaboratif. Masing-masing bidang artistik bekerja secara profesional untuk dipersembahkan kepada
penonton yang hadir. Dari kondisi inilah, elemen artistik di dalam pertunjukan teater mengambil peran
yang sangat penting. Seolah tanpanya teater tidak bisa hadir secara utuh.

Meski Meyerhold menyampaikan bahwa elemen pokok teater modern adalah penulis lakon, sutradara,
pemain, dan penonton, namun tanpa elemen pendukung berupa tata artistik, pertunjukan menjadi
kurang hidup. Meski jenius teater semacam Growtosky mencoba menghilangkan elemen ini sehingga
yang hadir hanya aktor di depan penonton, namun awam tetap beranggapan bahwa tanpa tata artistik
panggung menjadi sepi. Tata artistik, sampai hari ini tetaplah menjadi ornamen utama yang membingkai
pandang penonton dan mampu memantik imajinasi atas peristwa yang dihadirkan. Bahkan penonton
bisa saja terpukau dengan tampilan tata panggung plus seni pencahayaan, komposisi bunyi-bunyian, dan
juga tata rias-busana yang menawan. Faktor keindahan visual dan aduio inilah yang membuat tata
artistik pementasan memiliki tempat tersendiri bagi penonton. Konsep pertunjukan yang disusun tidak
bisa melepaskan dirinya dari unsur tata artistik ini, bahkan dalam tingkat yang paling sederhana.

Tata panggung pada mulanya lahir sebagai pemenuhan kebutuhan latar tempat berlangsungnya ceria.
Gambar latar belakang difungsikan untuk menyeret imajinasi penonton menuju ke lokasi
berlangsungnya peristiwa. Penghadiran gambar latar ini memiliki sejarahnya sendiri mulai dari layar
yang benar-benar dilukis secara realis sampai gabungan antara layar dengan objek di depan, atas, dan
sisi lain seputar layar. Teknik dan seni berpadu untuk menghadirkan realitas panggung. Usaha-usaha
banyak dilakukan demi terciptanya dunia yang seolah-olah nyata. Bahkan, untuk tujuan ini sekolah-
sekolah atau pelatihan-pelatihan khusus didirikan. Orang pun tidak ragu lagi berkecimpung di bidang
tata panggung dan mereka bukan lagi orang yang dianggap sebagai pekerja kasar. Penata panggung,
karena ilusi magisnya merupakan jabatan mentereng dalam khasanah teater modern. Secara lebih jauh,
tata panggung berkembang dengan pesat tidak hanya secara teknis, visualisasi ataupun penggunaan
material, namun juga sampai ke filosofi. Dewasa ini, tata panggung dimaknai sebagai skenografi dengan
filosofi ruang yang berbicara. Ia tidak lagi sebagai latar. Tidak lagi sekedar lokasi namun ia memberikan
makna tersendiri terhadap pesan yang hendak disampaikan dalam pertunjukan kepada penonton.

Skenografer dengan keahliannya mampu membuat ruang berbicara secara stand alone. Ia bisa tampil
mandiri dan mengucapkan pesannya. Ditambah dengan aksi para pemain yang memanfaatkan ruang
tersedia, panggung bisa benar-benar nampak hidup. Dunia panggung yang hidup tidak hanya mengacu
pada potret kenyataan, tapi juga dunia imajinasi yang bisa saja segaris dengan kenyataan atau
melompat jauh. Dunia panggung yang diciptakan melalui tata panggung bisa saja membuncahkan
imajinasi liar tentang tatanan bentuk, warna, dan ruang. Ia telah lahir sebagai seni tersendiri. Ia
menghadirkan makna yang dalam pemahamannya bisa saja mana-suka. Makna yang membuat para
pemain terbangkitkan dalam melakonkan aksinya dan menjadikan penonton terkesima. Kehadiran tata
panggung dengan demikian tak lagi bisa ditolak karena meski sebagai elemen pendukung namun ia telah
lekat ke dalam pementasan teater, di manapun itu diselenggarakan.

Hal yang sama juga terjadi pada elemen tata artistik lain seperti tata cahaya, rias- busana, dan tata
musik (suara). Masing-masing elemen mengalami perkembangan dan kebergunaanya selalu saling kait-
mengait. Tata cahaya yang pada mulanya hanyalah penerang pertunjukan telah berubah menjadi seni
pencahayaan yang mampu melahirkan dimensi lain, berbeda, serta memberi daya hidup. Pementasan
teater yang pada awalnya tidak menggunakan lampu hanya mengandalkan cahaya matahari atau bulan.
Lalu kemudian mulai dari nyala api hingga lampu bakar minyak digunakan sebagai penerangan.
Perkembangan artistik secara signifikan lama- kelamaan mengubah peran tata cahaya – seiring dengan
kemajuan teknologi – tidak hanya sebagai penerang namun juga melahirkan fungsi-fungsi artistik lain.
Kemampuanya mengimitasi cahaya matahari dan bulan serta lampu praktikal menjadikan pertunjukan
teater realis benar-benar seperti kenyataan. Dalam simbolisme, peran tata cahaya juga bisa digunakan
sebagai media ungkap untuk menyampaikan sesuatu yang khusus terkait makna pertunjukan. Di dalam
gaya dan konsep pementasan lainnya, tata cahaya selalu dihadirkan di luar kepentingan penerangan.
Untuk keperluan ini teknologi lampu panggung selalu memproduksi jenis-jenis lampu baru yang mampu
menghasilkan karaker cahaya tertentu sehingga bisa memperluas keberfungsiannya dalam pementasan.
Seorang penata cahaya sangat penting kedudukannya karena atas perannyalah penonton bisa
menyaksikan sesuatu di atas panggung. Tanpa cahaya panggung gelap dan penonton tidak bisa
menyaksikan apapun.

Elemen artistik di dalam teater modern hari ini terkesan tidak mau dijadikan hanya sebagai faktor
pendukung sebuah pementasan. Mereka menasbihkan dirinya melalui perancangan karya yang penuh
ketelitian, kecermatan, dan gagasan bernas. Seni busana tidak hanya sekedar memberikan atau
memakaikan sandangan kepada para pemain namun juga memberikan pemaknaan baru sebagai sebuah
karya seni mandiri. Demikian pula halnya tata rias yang mengalami kemajuan sangat pesat sehingga bisa
mengubah wajah seseorang menjadi apapun yang diinginkannya. Tidak lupa ilustrasi bunyi-bunyian yang
hadir, bisa berupa komposisi mandiri untuk mengiringi satu adegan, bisa hadir sebagai pemberi suasana,
dan bisa pula hadir sebagai sound effect. Kemenyatuan elemen artistik dalam sebuah konsep produksi
merupakan keniscayaan. Ia tidak bisa dikesampingkan, harus digarap secara serius. Sebab jika tidak,
maka pertunjukan akan menampakkan bolong-bolongnya dan menjadi tidak sempurna. Keadaan gedung
pertunjukan dalam konteks eksplorasi visual dan audio pun harus mendukung perwujudan konsep
pertunjukan. Mulai dari sinilah setiap segi dieksplorasi dan disintesiskan agar pertunjukan berjalan
seperti apa yang diinginkan. Tidak jarang sebuah pertunjukan kurang berhasil, misalnya hanya karena
jenis lampu yang disewa kurang sesuai dengan tinggi bar lampu tersedia sehingga mengakibatkan
cahaya bocor. Atau bisa saja jarak estetis tidak memungkinkan untuk menciptakan ilusi bagi objek-objek
dengan ukuran besar. Tata rias yang terlalu tebal atau terlalu tipis berkaitan dengan jarak dan kondisi
pencahayaan. Semua harus diperhitungkan dengan baik. Kesalahan artistik dapat merugikan seluruh
tampilan. Konseptor atau sutradara yang bijak pasti akan mempertimbangkan elemen artistik ini dengan
cermat untuk mencapai hasil yang optimal.

4.7 Komunikasi
Pementasan teater pada dasarnya merupakan proses komunikasi. Pemain mengomunikasikan gagasan
penulis lakon dan sutradara kepada penonton. Ketersampaian pesan dalam proses komunikasi tersebut
menjadi tujuan utama. Tidak ada gunanya penonton yang memblubak namun semuanya tidak mampu
menangkap pesan yang disampaikan. Tidak ada gunanya pula pemeran berlatih dalam waktu kurun lama
namun tidak bisa dengan cerdas menyampaikan pesan lakon kepada penonton. Pesan menjadi inti dari
pementasan. Karena pesan inilah cara-cara atau pendekatan digunakan para pelaku teater ke dalam
bentuk dan gaya pementasan. Pesan pun tidak hanya diolah ke dalam dialog-dialog linier dan direksional
karena pementasan berbeda dengan pengumuman. Pengolahan pesan diwujudkan melalui simbol-
simboal artisik yang tersaji di atas panggung. Di sinilah letak seni pementasan tersebut. Bagaimana
sebuah tontonan menjadi media komunikasi dengan menggunakan bahasa artistik.

Cara-cara kreatif selalu muncul dalam proses penciptaan teater dalam rangka menyampaikan pesan
secara artistik kepada penonton. Di masa Yunani adalah merupakan hal yang wajar para penonton
menangis di tengah-tengah pertunjukan tragedi karena begitu tersentuh atas pengorbanan atau
penderitaan yang dialami si tokoh (lihat Kul-Want & Piero, 2012). Dalam hal ini, penonton dapat
menerima pesan dengan baik hingga sampai menyentuh rasanya. Mereka bahkan tidak malu-malu
untuk menangis. Secara mendalam, pertunjukan tragedi yang ditampilkan telah memberikan efek atas
penyampaian pesan hingga menimbulkan kesadaran mengenai nilai-nilai kemanusiaan yang ada di
dalamnya. Pesan, dengan demikian tidak hanya tentang arti atau makna namun juga soal internalisasi
nilai ke dalam diri melalui proses komunikasi yang tak biasa (tidak dilakukan dengan cara dan bahasa
sehari-hari). Tanpa kesungguhan dan kepiawaian tentu saja proses komunikas tak langsung dengan
bahasa artistik ini sulit terbangun. Selain itu, pesan yang hendak disampaikan pasti tidak hanya itu-itu
saja, demikian pula cara penyampaiannya. Karena itu pulalah kreasi pertunjukan selalu lahir demi
menjalin komunikasi dan menyampaikan pesan baru dengan gaya dan cara baru.

Teater konvensional mengedepankan gerak fisik dengan iringan musik ketika berbicara atau
menyampaikan sesuatu untuk mempertegas pesan yang hendak disampaikan. Tapi dalam adegan
tertentu gerak fisik dan iringan musik dibatasi juga demi tersampainya pesan. Menjadi soal pokok dalam
teater konvensional adalah melakukan dialog disertai gestur dengan gaya bahasa yang jauh berbeda
dengan bahasa sehari-hari mengingat bahwa salah satu ciri teater konvensional adalah istana sentris.
Nah, membumikan budaya istana kepada masyarakat biasa inilah yang menjadi tantangan teater
konvensional dalam berkomunikasi. Mungkin karena itu pula teater tradisional memberikan penegasan-
penegasan melalui gerak dan musik pada saat, situasi, emosi dan ekspresi tertentu.

Berbeda dengan teater konvensional, teater realis yang mengangkat kisah kehidupan nyata ke atas
pentas justru memiliki tantangan yang berat dalam menyampaikan pesan untuk tidak terjebak secara
artfisial. Teater adalah seni sehingga sebisa mungkin penyampaian pesan ini juga berdimensi seni. Di
sinilah kerumitan realisme dalam membungkus pesan tersebut. Karena semua elemen yang berada di
atas panggung harus nampak benar-benar sama dengan kenyataan termasuk dialog yang digunakan,
maka seolah tidak perlu dimensi seni untuk menyampaikan pesan (komunikasi) dengan penonton. Justru
di sinilah letak seni dari realisme. Untuk menyampaikan pesan sesuai dengan kenyataan dibutuhkan
keahlian tersendiri. Seni peran mendapatkan porsi tertinggi karena dalam realisme aktor diharuskan
berakting dengan meyakinkan sehingga penonton menganggap mereka tidak sedang berakting. Jika
prinsip ini tidak terpenuhi dan penonton sadar bahwa aktor sedang berakting, maka komunikasi
penyampaian pesan menjadi verbal. Aktor kemudian dianggap sekedar memverbalkan dialog yang ada
dalam lakon. Unik, menarik, dan rumit memang tapi itulah esetetika realis yang berbeda dengan gaya
teater lainnya. Untuk membangun komunikasi menadalam kepada penonton, realisme justru
menciptakan dinding keempat (dinding imajiner) yang memberikan sekat pembatas antara aktor dan
penonton. Karena tidak bisa menyentuh, maka orang-orang akan membangun proses komunikasi
melalui pikiran dan perasaannya atas apa yang disaksikan.

Panggung bagaikan akuarium besar di mana orang-orang bisa menyaksikan keindahan dan pesan
kehidupan ikan-ikan dengan tanpa menyentuhnya. Konsep komunikasi model realisme ini kemudian
banyak mengalami perlawanan. Brecht misalnya, menganggap teater realis terlalu melenakan dan pesan
yang hendak disampaikan tidak menghujam langsung pada persoalan kehidupan aktual yang sedang
dihadapi masyarakat. Pesan teater baginya adalah bentuk kesadaran yang didapatkan melalui proses
pengamatan. Jadi, pertunjukan teater tidak boleh ditonton melainkan diamati. Apa yang dilakukan oleh
Brecth dalam menyanggah konsep komunikasi realisme ini dilakukan oleh banyak seniman teater
modern yang lain. Secara garis besar semuanya memiliki kesamaan di mana pesan yang terkandung
dalam teater tidak melulu harus disampaikan secara dramatis. Seperti diketahui bahwa teater
konvensional dan realis masih mendasarkan ceritanya pada drama sehingga alur atau nalarnya
kronologis. Sementara itu dalam gerakan teater modern selain realis, pesan bisa dikomunikasikan
melalui adegan atau peristiwa yang tidak harus berkaitan dengan adegan atau peristiwa lain dalam satu
lakon. Ketidakharusan untuk terkait dengan konsepsi drama ini melebarkan wilayah ekspresi teater
dalam berkomunikasi dengan penontonnya. Teater bisa ditampilkan melalui potongan- potongan
adegan yang saling tidak terkait – tokoh, peristiwa, latar – selain keterhubungan pesan itu sendiri. Teater
bisa saja tampil dalam cerita yang sepenuhnya tidak utuh selama pesan yang hendak disampaikan dapat
diterima oleh penonton. Teater tidak tidak harus kaku dalam batas-batas tertentu yang terkonvensi
karena pelaku teater dimungkinkan menciptakan batasan tersendiri dalam karyanya demi
tersampaikannya pesan kepada penonton.

5. Tugas dan Latihan

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah diuraikan, maka kerjakan tugas dan
latihan berikut.

5.1 Tugas

Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah diagram alir (flowchart) tentang
prinsip dasar dramaturgi. Diagram alir hendaknya berisi rincian materi secara lengkap dan
mencerminkan pemahaman Anda terhadap materi tersebut. Diagram alir hendaknya dibuat dengan
power point sehingga dapat dijadikan materi presentasi Anda di depan kelas.

5.2 Latihan

3. Pertanyaan yang diajukan dalam latihan ini bersifat mengembangkan kognitif dan psikomotorik,
karena itu jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban analisis, dan argumentatif, serta menunjukan
kreativitas.

4. Jawaban ditulis pada kertas folio, dan dikumpulkan pada akhir perkuliahan ini.

Pahami dengan baik situasi yang digambarkan berikut ini, kemudian jawablah pertanyaan.
3. Sebuah seminar tentang kesenian, anda didapuk sebagai pemateri tentang seni teater. Anda
membawa materi tentang teater bukan hanya sebatas sebagai pengetahuan bahkan dikatakan bahwa
teater sebagai sebuah ilmu.

Pertanyaan:

Coba rumuskanlah karakteristik teater dikatakan sebagai salah satu bidang ilmu, kemudian ambillah
sebuah pertunjukan teater yang anda sudah tonton untuk kemudian dibuatkan contoh konkrit dari
penjelasan yang anda buat agar peserta seminar paham akan teater sebagai bidang ilmu.

4. Ketika seminar sementara berlangsung salah satu peserta menceritakan pengalamannya ketika
menyaksikan pertunjukan teater dimana dia tidak menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
Dia kemudian bertanya apa yang salah pada peristiwa tersebut jika dramaturgi dikaji dari segi
aksiologinya.

Pertanyaan:

Buatlah rumusan jawaban dari pertanyaan tersebut sekaligus memberikan solusi terhadap keilmuan
teatear

6. Referensi

Cassady, Marsh. 1995. Character in Action, Colorado: Meriwether Publishing Ltd.

Egri, Lajos. 1946. The Art of Dramatic Writing, New York: Simon and Schuster.

El Saptaria, Rikrik. 2006. Acting Handbook Panduan Praktis Akting untuk Film dan Teater, Bandung:
Rekayasa Sains.

Froug, William. 1993. Screen Writing Tricks of The Tade, Los Angeles: Silman-James Press.

Groote, David. 1997. Play Directing in the School A Drama Survival Guide, Colorado: Meriwether
Publishing, Ltd.

Kelsall, Malcolm. 1995. Studying Drama an Introduction, London: Edward Arnold a Division of Hodder
Headline PLC.

Lethbridge, Stefanie, Jarmila Mildorf, “Drama”, diktat dalam, Basics of English Studies: An Introductory
Course for Students of Literary Studies in English, Developed at the English Departments of the
Universities of Tübingen, Stuttgart and Freiburg

Mc Tigue, Mary. 1992. Acting Like A Pro Who’s Who and They Way Things Really Work in the Theatre,
Ohio: Betterway Books.

Meyerhold, Vsevolod. 1996, “First Attempts at a Stylized Theatre”, dalam, Michael Huxley, Noel Witts,
Ed., The Twentieth Century Performance Reader, London: Routledge.

Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi, Bandung: Penerbit Pustaka Prima.

Anda mungkin juga menyukai