Anda di halaman 1dari 4

Iman dan Pola Asuh Yang Benar (Ibrani 11:23)

Mimbar REC, 12 Februari 2023


Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.

Dalam hal mengasuh anak, tidak sedikit orang Kristen yang terjebak pada sikap
pragmatis. Yang mereka pentingkan adalah tips praktis dan manfaatnya. Mereka tidak terlalu
memusingkan pola pikir (mindset) di balik tips tersebut. Bagi mereka, “bermanfaat” lebih
penting daripada “tepat.” Mereka bahkan beranggapan bahwa apa yang bermanfaat adalah
apa yang tepat. Kegunaan telah dijadikan patokan kebenaran.
Ada banyak contoh yang dapat diberikan. Salah satunya adalah parenting melalui
metode intimidatif. Sejak kecil perilaku anak yang buruk dikikis dengan cara menakut-nakuti
mereka dengan konsekuensi yang buruk dari perilaku yang buruk tadi. “Kalau kamu tidak mau
belajar, kamu akan menjadi tukang becak dan hidupmu sengsara.” “Kalau kamu tidak mau
tidur, kamu nanti dipenjara oleh polisi.”
Tidak sukar untuk menemukan kesalahan pikir dalam pola asuh di atas. Belum tentu
orang menjadi tukang becak gara-gara kurang mau belajar. Sebagian orang mungkin memang
miskin sehingga tidak memiliki kesempatan untuk sekolah. Yang lain mungkin terpaksa
berhenti sekolah demi menolong keluarganya. Dalam kaitan dengan tugas polisi, orang tua
justru telah menanamkan pemikiran yang salah. Tugas polisi adalah untuk mengayomi, bukan
menakuti.
Lalu bagaimana kita seharusnya mengasuh anak-anak kita? Bagaimana pengaruh iman
dalam parenting? Mari kita belajar bersama-sama melalui teks hari ini.

Pola asuh bersumber dari iman

Ibrani 11:23 menceritakan tentang tindakan orang tua Musa dalam melindungi anaknya.
Mereka menyembunyikan Musa selama tiga bulan. Tindakan ini terpaksa dilakukan karena raja
Mesir sudah memberikan perintah supaya setiap bayi laki-laki di antara orang Israel harus
dibunuh (baca Kel. 2:22). Tersirat dalam perintah ini adalah sebuah ancaman bagi siapa saja
yang melanggarnya. Orang tua Musa berusaha untuk menyembunyikan bayi itu seaman
mungkin dan selama mungkin.
Alkitab menyatakan bahwa tindakan ini bersumber dari iman orang tua Musa (ayat 23
“karena iman”). Keterangan singkat ini cukup menarik. Kata “karena iman” (pistei) muncul di
bagian paling awal. Penulis kitab Ibrani seolah-olah ingin menempatkan “iman” sebagai alasan
utama. Alasan ini sengaja dipisahkan dari dua alasan lainnya (ayat 23b “karena mereka melihat,
bahwa anak itu elok rupanya dan mereka tidak takut akan perintah raja”). Tindakan seseorang
didorong oleh iman.
Kebenaran ini mengajarkan kepada kita bahwa pola asuh anak tidak netral dan tidak
objektif. Iman seseorang turut berpengaruh di dalamnya. Sebagai contoh, mereka yang
meyakini bahwa bayi seperti kertas putih (teori tabularasa dan ajaran dari agama lain)
cenderung menganggap bahwa aturan yang jelas dan kebiasaan yang baik sudah memadai
untuk mencetak seorang manusia yang baik. Seorang anak hanya perlu diletakkan pada situasi
yang kondusif supaya memiliki perilaku yang positif.
Pandangan di atas bukan ajaran Kristiani. Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa
kondisi manusia jauh lebih buruk daripada yang diduga oleh banyak orang. Setiap bayi sudah
berdosa sejak di dalam kandungan (Mzm. 51:7). Orang fasik sudah menyimpang sejak lahir
(Mzm. 58:4). Terlepas dari bagaimana ayat ini ditafsirkan (secara hurufiah atau figuratif),
kondisi semua anak tidak sebagus yang dipikirkan dalam teori tabularasa. Alkitab menyatakan
bahwa kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5). Jika
ini yang terjadi, setiap orang perlu mengalami transformasi hati.
Jadi, setiap orang tua Kristen seharusnya mulai lebih waspada dengan beragam pilihan
parenting yang ada. Yang diperhatikan seharusnya bukan hanya “apa” (what) dan “bagaimana”
(how to), melainkan juga “mengapa” (why). Iman mempengaruhi tindakan.

Pengaruh iman dalam pola asuh anak

Bagian sebelumnya menerangkan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh orang tua
Musa terutama didorong oleh iman mereka. Dari iman inilah muncul berbagai hal positif dalam
parenting mereka. Berikut ini adalah beberapa poin penting tentang keterkaitan iman dengan
pola asuh anak.
Pertama, iman yang benar memampukan orang tua untuk memiliki perspektif ilahi.
Ibrani 11:23b menerangkan alasan lain di balik tindakan orang tua Musa, yaitu “karena mereka
melihat, bahwa anak itu elok rupanya (asteios).” Keterangan ini sesuai dengan kisah asli
sebagaimana diceritakan di Keluaran 2:2b (“Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik [asteios],
disembunyikannya tiga bulan lamanya”).
Sekilas alasan di atas terlihat sangat duniawi. Yang dijadikan alasan adalah hal yang
jasmaniah (penampilan). Setelah diteliti lebih jauh, maksud Alkitab ternyata bukan itu. Pada
waktu Stefanus berkhotbah dan menerangkan sejarah Israel, dia menjelaskan kisah masa kecil
Musa sebagai berikut: “Pada waktu itulah Musa lahir dan ia elok di mata Allah. Tiga bulan
lamanya ia diasuh di rumah ayahnya” (Kis. 7:20). Di ayat ini kata sifat asteios juga muncul, tetapi
diterangkan dengan “di mata Allah” (tō theō, lit. “bagi Allah”).
Kita tidak bisa memastikan bagaimana orang tua Musa dapat mengenali perspektif ilahi
ini. Dalam beberapa tradisi Yahudi diceritakan kisah kelahiran Musa yang terkesan sangat
spektakuler, misalnya cahaya terang di seluruh ruangan, dan sebagainya. Kita tidak harus
menerima tradisi ini mentah-mentah. Kita tidak memiliki data yang memadai untuk mengamini
maupun menyangkali tradisi itu. Yang jelas, kemampuan mereka untuk menangkap perspektif
ilahi tidak terpisahkan dari iman mereka kepada TUHAN.
Poin ini sangat relevan dalam konteks parenting. Sebagai orang tua, kita perlu mengkaji
ulang cara pandang kita. Jangan sampai kita mengadopsi metode parenting yang keliru, baik
bentuknya maupun kerangka pikirnya.
Kedua, iman yang benar mengalahkan ketakutan terhadap ancaman. Alasan lain di balik
tindakan orang tua Musa adalah keberanian mereka untuk menentang perintah raja (ayat 23c
“karena…mereka tidak takut akan perintah raja”). Keberanian ini jelas harus dilihat sebagai
hasil dari iman mereka. Iman yang benar mengalahkan ketakutan.
Apakah hal ini berarti bahwa ancaman ditiadakan? Sama sekali tidak! Ancaman
kematian tetap ada, baik yang menghadang Musa maupun orang tuanya. Di tengah upaya untuk
menyembunyikan Musa apa saja dapat terjadi. Firaun bisa saja mengerahkan para tentaranya
untuk menggeledah setiap rumah orang Israel. Orang Mesir bisa saja melihat Musa dan
melaporkannya kepada penguasa. Tetangga sesama orang Israel bisa saja iri hati karena mereka
telah kehilangan anak laki-laki mereka sehingga mereka melaporkan keberadaan bayi Musa.
Justru di tengah semua kemungkinan buruk inilah orang tua Musa mempraktekkan iman
mereka.
Apa yang dilakukan oleh orang tua Musa sama dengan yang dikatakan oleh pemazmur:
“Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu” (Mzm. 56:3). Ketakutan bisa ada berdampingan
dengan iman, tetapi iman yang benar tidak dikalahkan oleh ketakutan. Sebaliknya, iman yang
benar merupakan pegangan yang bisa diandalkan dalam menghadapi ketakutan. Ketakutan
menyadarkan kita tentang siapa kita (yang terbatas), sedangkan iman mengingatkan kita
tentang siapa Allah (yang tidak terbatas).
Kisah hidup Musa menjadi salah satu contoh bagaimana Allah bekerja melalui iman
seseorang. Sungai Nil yang ditetapkan sebagai tempat pembantaian bagi bayi-bayi laki-laki
orang Israel (Kel. 1:22) justru menjadi jalan keselamatan bagi Musa (Kel. 2:3-6). Tahta Firaun
yang menjadi sumber perintah yang mencelakakan justru menjadi tempat yang paling aman
bagi Musa (Kel. 2:7-10). Ibu Musa bukan hanya tetap bisa menyusui bayinya, tetapi dia malah
mendapatkan upah dari tindakan itu (Kel. 2:9). Allah sungguh-sungguh tidak pernah
kehilangan cara untuk menolong umat-Nya.
Dalam proses parenting, kita seringkali dikuasai oleh ketakutan yang berlebihan.
Banyak faktor bisa menyulut kecemasan. Akibatnya, kita menjadi orang tua yang terlalu
protektif. Kita tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mencoba hal baru atau
mengalami kegagalan. Kita melakukan apa saja untuk memastikan anak-anak kita berada dalam
keadaan baik-baik saja. Tanpa disadari, kita telah menjadi Tuhan atas mereka.
Apa yang dilakukan oleh orang tua Musa seharusnya mengajarkan kita untuk tidak takut
terhadap segala keadaan. Bahkan ketika ancaman kematian menghadang, iman yang benar akan
tetap memandang jauh ke depan, kepada kekekalan bersama dengan Tuhan. Kristus yang
sudah merengkuh dan mengalahkan kematian sangat bisa untuk diandalkan. Tidak ada ruang
untuk ketakutan yang berlebihan.
Ketiga, iman yang benar bekerja sama dengan kebijaksanaan. Ibrani 11:23 sekilas agak
membingungkan. Di satu sisi, orang tua Musa memiliki iman sehingga mereka tidak takut
terhadap perintah raja. Di sisi lain, mereka akhirnya tidak memelihara Musa sampai besar.
Setelah lewat tiga bulan, mereka “melepaskan” Musa. Pertanyaannya, mengapa mereka tidak
berani memamerkan Musa di depan publik? Mengapa mereka tidak mempertahankan Musa di
rumah saja untuk seterusnya? Bukankah Allah sanggup untuk bekerja sesuai iman mereka?
Mengapa mereka “masih takut” ketahuan?
Jika dipahami dengan lebih baik, kisah ini justru mengajarkan sebuah kebenaran yang
sangat penting. Berserah bukan berarti pasrah tanpa arah atau gairah. Iman yang benar tidak
sejalan dengan tindakan yang sembarangan. Allah yang mengerjakan iman dalam diri kita
adalah Allah yang sama yang memperbarui akal budi kita.
Walaupun orang tua Musa meyakini Allah sanggup memelihara hidup Musa, mereka
tetap berusaha menyembunyikan Musa (Kel. 2:2). Ketika mereka terpaksa melepaskan Musa
di Sungai Nil, mereka tetap menaruhnya di sebuah tempat yang aman supaya dia tidak
tenggelam (Kel. 2:3). Mereka tetap berjaga-jaga untuk melihat apa yang akan terjadi dengan
Musa (Kel. 2:4). Kakak perempuan Musa juga segera mengambil insiatif untuk menawarkan
sebuah solusi yang jenius demi mendekatkan Musa pada ibunya (Kel. 2:7-8).
Usaha manusia tidak selalu salah pada dirinya sendiri. Hanya saja, tindakan itu harus
dilakukan atas dasar iman. Bukan untuk membantu Allah. Bukan untuk memastikan hasilnya.
Semua usaha itu hanyalah ekspresi dari persandaran yang penuh: persandaran hati dan akal
budi. Soli Deo Gloria.

Anda mungkin juga menyukai