PENDAHULUAN
Pemecah gelombang atau breakwater, dalam hal ini pemecah gelombang lepas
pantai adalah bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari
garis pantai. Pemecah gelombang ini dibangun sebagai salah satu bentuk
perlindungan pantai terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang
sebelum sampai ke pantai. Pemecah gelombang lepas pantai dapat dibuat dari suatu
pemecah gelombang atau suatu seri bangunan yang terdiri dari beberapa ruas
pemecah gelombang yang dipisahkan oleh celaha. Pemecah gelombang berfungsi
untuk melindungi pantai yang terletak di belakangnya dari serangan gelombang yang
dapat mengakibatkan erosi pada pantai. Perlindungan oleh pemecah gelombang lepas
pantai terjadi karena berkurangnya energi gelombnag yang sampai pada perairan di
belakang bangunan. Karean pemecah gelombnag ini dibuat terpisah ke arah lepas
pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking zone) maka, bagian
sisa luar pemecah gelombang memberikan perkindungang dengan meredam energi
gelombang sehingga gelombang dan arus dibelakangnya dapat di kurangi
(Triatmodjo, 2011).
A. Berdasarkan Letaknya
B. Berdasarkan Bentuk
1. Inti (core)
Pada umumnya bagian ini terdiri dari agregat galian kasar, tanpa
partikel-partikel halus dari debu dan pasir. (Lihat W/200-W/4000)
Lapisan ini disebut uga lapisan penyaring (filter layer) yang melindungi
bagianini (core) terhadap enghanyutan material, biasanya terdiri dari potongan
–potongan tunggal batu dengan berat bervariasi dari 500 kg sampai 1 ton
(lihat W/10)
1. Bahan lapis lindung harus tahan terhadap lingkungan (tidak mudah lapuk, tidak
rusak karena bahan kimia, tahan terhadap gaya dinamik yang berasal dari gelombang
pecah).
2. Batu alam ataupun batu buatan harus mempunyai berat enis yang cukup besar
makin besar berat jenis bahan yang dipakai, makin kecil ukuran batu yang diperlukan,
sehingga mempermudah pelaksanaan pekerjaan.
3. Bahan lapis lindung yang dipakai haruslah relatif murah, perlu pemilihan jenis
bahan yang ada di lokasi pekerjaan sehingga didapatkan jenis konstruksiyang murah.
4. Bahan lapis lindung haruslah cukup kasar sehingga mampu menahan gaya-gaya
disebabkan oleh gelombang.
Menurut (Yuwono, 1992) pada empat sifat bahan lapis lindung yang
pening dan dua diantaranya adalah sangat penting untuk perhitungan stabilitas
konstruksi ( γ r dan KD), sedangkan kedua sifat lain sangat penting unruk
menentukan ukuran pemecah gelombang.
Koefisien ini menunjukan rasio antara volume rongga dengan total volume.
Koefisien ini terutama untuk menentukan jumlah batu dalam suatu proyek.
Gambar 2.10 Struktur (break water) sisi miring
Sumber:http//operator-it.blogspot.co.id/2014/04/ pemecah gelombang sisi miring
Selain itu pemecah gelombang ini juga dapat di buat dalam beberapa lapus
sepertiterlihat pada gambar 2.11 berikut ini.
Gambar 2.11 Tampang banyak lapis ideal pemecah gelombang sisi miring
Sumber:http//operator-it.blogspot.co.id/2014/04/ pemecah gelombang sisi miring
Gambar 2.12 Pondasi (a) dan plindung kaki (b) dari tumpukanbatu
(Sumber : Triatmodjo, 1999)
2. Pemecah gelombang sisi tegak
Pemecah gelombang sisi tegak dibuat apabila tanah dasar mempunyai daya
dukung besar dan tahan terhadap erosi. Tanah dasar mempunyai lapis atas berupa
lumpur atau pasir halus, maka lapis tersebut harus dikeruk dahulu. Pada tanah dasr
dengan daya dukung kecil, dibuat dasar dari tumpukan batu untuk menyebarkan
beban pada luasan yang lebih besar. Dasar tumpukan batu ini dibuat agak lebar
sehingga kaki bangunan dapat lebih aman terhadap gerusan . Kegagalan yang sering
terjadi bukan karena kelemahan konstruksinya, tetapi terjadi karena erosi bangunan,
tekanan yang terlalu besar dan tergesernya tanah pondasi. Pada pemecah gelombang
sisi tegak biasa di letakkan di laut dengan kedalaman lebih besar dari tinggi
gelombang, akan memantulkan gelombang tersebut (Triatmodjo, 2003).
Contoh pemecah gelombang sisi tegak terlihat pada gambar 2.13 berikut :
2.8.2 Angin
Menurut (Triatmodjo, 1999), angin yang berhembus di atas permukaan air akan
memindahkan energi ke air. Kecepatan angin akan menimbulkan tenaga pada
permukaan laut, sehingga permukaan air yang semula tenang akan tergangu dan
timbul riak gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin
bertambah, riak tersebut semakin besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya
akan terbentuk geombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus,
semakin besar gelombang yang terbentuk.
Tinggi (H) dan periode (T) gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh
angin yang meliputi kecepatan angin U, lama hembus angin D, arah angin, dan fetch
F. Fetch adalah daerah dimana kecepatan dan arah angin konstan. Arah angin masih
bisa dianggap konstan apabila perubahnnya tidak lebih dari 150, sedangkan kecepatan
angin masih dianggap konstan jika perubahannya tidak lebih dari 5 knot (2,5 m/dt)
terhadap kecepatan rerata. Panjang fetch membatasi waktu yang diperlukan
gelombang untuk terbentuk karena pengaruh angin. Fetch ini berpengaruh pada
periode dan tinggi gelombang yang dibangkitkan. Gelombang dengan periode
panjang akan terbentuk jika fetch besar.
Pada daerah geostropik yang berada di atas 1000 m kecepatan angin
adalah konstan. Di bawah elevasi tersebut terdapat dua daerah yaitu daerah
Ekman yang berada pada elevasi 100 m sampai 1000 m dan daerah dimana
tegangan konstan yang berada pada elevasi 10 sampai 100 m. Di kedua daerah
tersebut kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan elevasi, karena
gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan temperatur antara air dan
udara dilihat pada gambar 2.12.
Z 1000 m Daerah
Geostropik
Daerah Ekman
(Knot) U TL T Tg S BD B BL
0 – 10 88,3%
Sumber : Triatmodjo,(1999)
Dan gambar 2.14 adalah mawar angin yang dibuat berdasarkan data
tabel 2.1. Dengan pencatatan angin jam-jaman tersebut akan dapat diketahui
angin dengan kecepatan tertentu dan durasinya, kecepatan angin maksimum,
arah angin, dan dapat pula dihitung kecepatan angin rerata harian.
Dimana:
U : kecepatan angin yang diukur oleh kapal (knot)
Us: kecepatan angin terkoreksi (knot)
Biasanya pengukuran angin dilakukan di daratan, padahal di dalam
rumus-rumus pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah
data angin yang didapat di permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan
transformasi data angin di atas daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke
data angin di atas permukaan laut. Hubungan antara angin di atas laut dan
angin di atas daratan terdekat diberikan oleh persamaan berikut:
RL = Uw/UL .................................................................................(2.2)
Dimana:
UL = Kecepatan angin yang diukur di darat (m/dt)
Uw = Kecepatan angin di laut (m/dt)
Hubungan antara kecepatan angin di laut dan di darat dilihat pada
gambar 2.14 berikut:
Gambar 2.16 Grafik hubungan antara kecepatan angin di laut dan darat
(Sumber : Triatmodjo, 1999)
Rumus-rumus dan grafik-grafik pembangkitan gelombang
menggunakan variabel UA, yaitu faktor tegangan angin (win-stress factor)
yang dapat dihitung dari kecepatan angin. Setelah dilakukan beberapa
konversi kecepatan angin, kecepatan angin dikonversikan pada faktor
tegangan angin dengan menggunakan rumus berikut:
UA = 0,71 U1,23 .............................................................................. (2.3)
Dimana:
U : adalah kecepatan angin dalam m/dt
Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh
bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan gelombang,
gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah
angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Gambar 2.16
menunjukkan cara untuk mendapatkan fetch efektif. Fetch rerata efektif
diberikan oleh persamaan berikut:
Feff = ............................................................................
(2.4)
Dimana:
Feff : fetch rerata efektif
Xi : panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung
akhir fetch (m) dilihat pada gambar 2.15
2.8.3 Gelombang
Adapun beberapa pembahasan tentang gelombang yang perlu
diketahui terkait perencanaan bangunan pantai adalah sebagai berikut :
1. Deformasi gelombang
2. Kondisi gelombang
3. Gelombang representatif
4. Gelombang dengan periode ulang tertentu (analisis frekuensi)
1. Deformasi gelombang
Menurut (Triatmodjo, 1999), apabila suatu deret gelombang bergerak
menuju pantai, gelombag tersebut akan mengalami perubahan bentuk yang
disebabkan oleh proses refraksi dan pendangkalan gelombag, difraksi, refleksi dan
gelombang pecah. Refraksi terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman
laut. Difraksi terjadi apabila tinggi gelombang disuatu titik pada garis puncak
gelombang lebih besar dari pada titik di dekatnya, yang menyebabkan perpindahan
energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang lebih kecil.
Difraksi terjadi apabila suatu deretan gelombang terhalang oleh rintangan seperti
pemecah gelombang atau suatu pulau. Gelombang yang menjalar dari laut dalam
menuju pantai akan mengalami perubahan benuk. Di laut dalam bentuk gelombang
adalah sinusoidal. Di laut transisi dan dangkal puncak gelombang semakin tajam,
sementara lebar gelombang semakin landai. Pada suatu kedalaman tertentu puncak
gelombang sedemikian tajam sehingga tidak stabil dan pecah. Setelah pecah
gelombang tersebut terus menjalar ke pantai, dan semakin dekat dengan pantai
tinggi gelombang semakin berkurang.
Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep gelombang
laut dalam ekivalen, yaitu tinggi gelombang di laut dalam apabila gelombang tidak
mengalami refraksi. Pemakaian gelombang ini bertujuan untuk menetapkan tinggi
gelombang yang mengalami refraksi, difraksi dan transformasi lainnya, sehingga
perkiraan transformasi dan deformasi gelombang dapat dilakukan dengan lebih
mudah. Tinggi gelombang laut dalam diberikan oleh bentuk berikut:
H’o = K’ Kr Ho ...........................................................................(2.5)
Dimana:
H’o : tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m)
Ho : tinggi gelombang laut dalam (m)
K’ : koefisien difraksi
Kr : koefisien refraksi
Konsep ini digunakan pada analisis gelombang pecah, limpasan gelombang dan
proses lain.
Refraksi dikarenakan adanya pengaruh kedalaman laut. Refraksi dan
pendangkalan gelombang (wave shoaling) dapat menentukan tinggi gelombang
disuatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap arah dan tinggi gelombang serta distribusi
energi gelombang di sepanjang pantai.
a) Tinggi gelombang
Tinggi gelombang akibat pengaruh refraksi gelombang dan pendangkalan
(wave shoaling) diberikan oleh rumus :
H = K s × K r × H 0....................................................................................(2.6)
Dimana :
H = Tinggi gelombang akibat pengaruh refraksi (m)
H 0 = tinggi gelombang laut dalam (m)
K s = koefisien pendangkalan (shoaling) berdasarkan tabel L-1 Bambang
Triatmodjo, 1999:377
K r = koefisien refraksi
b) Koefisien refraksi
cos α 1
Kr = ..................................................................................(2.7)
cos α
X= .....................................................................................( 2.9)
Koefisien refleksi bangunan diperkirakan berdasarkan tes model. Koefisien
refleksi berbagai tipe diberikan dalam tabel 2.2.
2. Kondisi Gelombang
Menurut (Triatmodjo 1999), dalam perencanaan bangunan pantai biasanya
karakteristik di laut dalam ditetapkan berdasarkan pengukuran gelombang di
lapangan atau berdasarkan hasil peramalan gelombang dengan menggunakan data
angin dan fetch. Dengan menggunakan analisis deformasi gelombang (refraksi dan
pendangkalan, difraksi dan gelombang pecah) data gelombang tersebut beserta
data elevasi muka air rencana dan peta bathimetry (kontur kedalaman laut)
digunakan untuk memprediksi karakteristik gelombang di lokasi bangunan.
Kondisi gelombang dilokasi bangunan pada setiap saat tergantung pada muka
air yang selalu berubah karena pasang surut. Bangunan bisa mengalami serangan
gelombang dengan bentuk yang berbeda karena adanya perubahan muka air, yaitu
apakah gelombang tidak pecah, pecah atau telah pecah. Oleh karena itu perlu
ditentukan kondisi gelombang di lokasi bangunan untuk berbagai elevasi muka air.
Hal ini mengingat bahwa gaya gelombang yang ditimbulkan oleh gelombang tidak
pecah, pecah dan telah pecah adalah berbeda.
Apabila bangunan berada pada kedalaman yang cukup besar, yaitu lebih besar
dari 1,5 kali tinggi gelombang maksimum yang terjadi maka gelombang di lokasi
tersebut tidak pecah.
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami
perubahan bentuk dengan puncak gelombang semakin tajam sampai akhirnya
pecah pada suatu kedalaman tertentu. Proses gelombang pecah yaitu sejak
gelombang mulai tidak stabil sampai pecah sepenuhnya terbentang pada suatu
jarak xp. Hubungan antara jarak yang ditempuh selama proses gelombang pecah
(xp) dan tinggi gelombang saat mulai pecah Hb, yang tergantung pada kemiringan
dasar pantai. Proses gelombang pecah dapat dilihat pada gambar 2.17 di bawah ini.
sehingga pada gambar tersebut dibuat 2 set kurva. Kurva adalah batas atas dari
nilai db/Hb ; sehingga = (db/Hb)maks. Sedangkan adalah batas bawah dari nilai
1. Gelombang Representatif
Menurut (Triatmodjo, 1999) untuk keperluan perencanaan bangunan-bangunan
pantai, perlu dipilih tinggi dan periode gelombang individu (individual wave) yang
dapat mewakili suatu spektrum gelombang. Gelombang tersebut dikenal dengan
gelombang representatif. Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan
diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat
ditentukan tinggi Hn yang merupakan rerata dari n persen gelombang tertinggi.
Bentuk yang paling banyak digunakan adalah H33 atau tinggi rerata dari 33 % nilai
tertinggi dari pencatatan gelombang, yang juga disebut dengan tinggi gelombang
signifikan Hs. Misalkan sebuah data gelombang selama 20 tahun dengan Hmax dan
Tmax diketahui maka dapat dihitung H10 dan T10 sebagai berikut: n = 10% x 20 = 2
data, H10 = , T10 = , dengan a dan b adalah dua nilai tertinggi dari
hasil pencatatan tinggi gelombang (H) selama 20 tahun, dan c dan d adalah dua
nilai periode gelombang untuk masing- masing tinggi gelombang H tertinggi.
Dengan cara yang sama kita bisa menentukan tinggi dan periode gelombang untuk
gelombang signifikan Hs (gelombang 33,3%).
2. Gelombang dengan Periode Ulang (Analisis Frekuensi)
Menurut (Triatmodjo, 1999), dari setip tahun pencatatan dapat ditentukan
gelombang representatif, seperti Hs, H10, H1, Hmax dan sebagainya. Berdasarkan
data representatif untuk beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan
gelombang yang diharapkan disamai atau dilampaui satu kali dalam T tahun dan
gelombang tersebut dikenal dengan gelombang periode ulang T tahun. Perkiraan
gelombang dengan perioe ulang (analisis frekuensi) bertujuan untuk menetapkan
gelombang-gelombang besar dengan periode ulang tertentu guna keperluan
perencanaan bangunan pantai. Apabila data yang tersedia adalah data angin maka
analisis frekuensi dilakukan terhadap data angin tersebut yang selanjutnya
dilakukan untuk memprediksi gelombang.
Fungsi distribusi probabilitas memberikan dua metode untuk memprediksi
gelombang dengan periode ulang tertentu yaitu metode distribusi Gumbel (Fisher-
Tippett Type I) dan distribusi Weibull. Dalam metode ini prediksi dilakukan untuk
memperkirakan tinggi gelombang signifikan dengan berbagai periode ulang.
Kedua distribusi tersebut mempunyai bentuk berikut ini.
a. Distribusi Fisher – Tippett Type I
P (Hs )
s =
..........................................(2.10)
b. Distribusi Weibull
P (Hs s) = 1-
........................................(2.11)
Dimana :
2.9.4 Arus
1. Tsunami
2. Kenaikan muka air karena gelombang (wave set up)
3. Kenaikan muka air karena angin (wind set up)
4. Pemanasan global
5. Pasang surut.
Di antara beberapa proses tersebut, fluktuasi muka air karena tsunami
dan badai tidak dapat diprediksi
1. Tsunami
Menurut (Triatmodjo 1999), tsunami adalah gelombang yang terjadi karena
gempa bumi atau letusan gunung api dilaut. Cepat rambat gelombang tsunami
tergantung pada kedalaman laut. Semakin besar kedalaman semakin besar
kecepatan rambatnya. Gelombang tsunami mempunyai hubungan erat dengan
kekuatan gempa dan kedalaman pusat gempa. Besaran tsunami (m) berkaitan erat
dengan kekuatan gempa M. Hubungan antara kekuatan gempa dan besaran
tsunami diberikan oleh persamaan berikut:
m = 2,8 M – 19,4 (untuk Jepang)
m = 2,26 M – 14,18 (untuk indonesia)
Besaran sunami (m) juga tergantung pada kedalaman laut (d) di lokasi
terbentuknya gempa. Terdapat hubungan empiris antara kedua parameter yang
diberikan oleh persamaan berikut:
m = 1,7 log (d) – 1,7
2. Kenaikkan muka air karena gelombang (wave set up)
Menurut (Triatmodjo, 1999), gelombang yang datang dari laut menuju pantai
menyebabkan fluktuasi muka air di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada
waktu gelombang pecah akan terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap
elevasi muka air diam di sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik
gelombang pecah permukaan air rerata miring ke atas ke arah pantai. Turunnya
muka air terssebut dikenal dengan wave set-down sedangkan naiknya muka air
disebut wave set-up.
Kedalaman air minimum di lokasi gelombang pecah pada saat wave set-down
adalah db. Perbedaan elevasi muka air rerata dan muka air diam di titik tersebut
adalah sb. Setelah itu muka air naik dan memotong garis pantai. Perbedaan elevasi
muka air antara kedua titik adalah wave set-up antara daerah gelombang pecah dan
pantai yang diberi notasi s. wave set-up terhadap muka air diam Sw adalah
perbedaan antara s dan Sb. Keadaan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.19.
berikut.
Gambar 2.21 Wave set-up dan wave set-down
(Sumber : Triatmodjo, 1999 )
0.536 H b 2/2
Sb 1/ 2 .....................................................................(2.13)
g T
Dimana :
Sb : set-down di daerah gelombang pecah (m)
T : periode gelombang (m)
H’o : tinggi gelombang laut dalam (m)
db : kedalaman gelombang pecah (m)
g : percepatan grafitasi (m / dt2)
wave set- up di pantai dihitung dengan rumus :
Hb
Sw = 0,19 1-2,82 Hb........................................................(2.14)
gT2
dimana :
Kenaikan elevasi muka air karena badai dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
Fi
∆ h= ............................................................................................ (2.15)
2
2
V
∆ h=Fc ...................................................................................... (2.16)
2 gd
Dimana :
∆h : kenaikan elevasi muka air karena badai (m)
F : panjang fetch (m)
i : kemiringan muka air (%)
c : konstanta = 3,5 x 10-6
V : kecepatan angin (m/d)
d : kedalaman air (m)
g : percepatan gravitasi (m/s²)
Didalam memperhitungkan wind set up di daerah pantai dianggap bahwa laut dibatasi
oleh sisi (pantai) yang impermeabel, dan hitungan dilakukan untuk kondisi dalam
arah tegak lurus pantai. Apabila arah angin dan fetch membentuk sudut terhadap garis
pantai, maka yang diperhitungkan adalah komponen tegak lurus pantai.
4. Pemanasan global
Menurut (Triatmodjo,1999), Efek rumah kaca menyebabkan bumi panas
sehingga dapat dihuni kehidupan. Disebut efek rumah kaca karena kemiripan
dengan apa yang terjadi dalam sebuah rumah kaca ketika matahari bersinar.
Sinar matahari yang masuk melalui atap dan dinding kaca menghangatkan
ruang di dalam sehingga suhu menjadi lebih tinggi dari pada di luar. Hal ini
disebabkan kaca menghambat sehingga sebagian panas untuk keluar. Dengan
kata lain rumah kaca berfungsi sebagai perangkap panas. Pengaruh kenaikan
muka air karena pemanasan global terhadap fluktuasi muka air laut hal ini
karena adanya peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer
menyebabkan kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan kenaikan muka air
laut. Di dalam perencanaan bangunan pantai, kenaikan muka air karena
pemanasan global ini harus diperhitungkan. Perkiraan kenaikan muka air laut
dapat dilihat pada gambar 2.20
5. Pasang surut
Menurut (Triatmodjo 1999), Pasang surut adalah fluktuasi muka air karena
adanya gaya tarik benda-benda di langit terutama matahari dan bulan terhadap
massa air laut di bumi. Pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam
perencanaan bangunan pantai. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah
(surut) sangat penting untuk merencanakan bangunan-bangunan pantai. Ada dua
pasang surut yaitu pasang surut purnama dan perbani. Pada sekitar tanggal 1 dan
15 (bulan muda dan bulan purnama) posisi bumi-bulan-matahari kira-kira berada
pada 1 garis lurus, sehinga gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling
memperkuat. Dalam keadaan ini terjadi pasang surut purnama (pasang besar, /
Springtide), dimana tinggi pasang surut sangat besar dibandingkan pada hari-hari
lain. Sedangkan pada sekitar tanggal 7 dan 21 (seperempat dan tigaperempat
revolusi bulan terhadap bumi) dimana bulan dan matahari membentuk sudut siku-
siku terhadap bumi maka gaya tarik bulan terhadap bumi saling mengurangi.
Dalam keadaan ini terjadi pasang surut perbani (pasang kecil, neap tide) dimana
tinggi pasang surut kecil dibandingkan dengan hari-hari yang lain dapat dilihat
pada gambar 2.21.
Gambar 2.23. Kedudukan bumi-bulan-matahari saat pasang purnama (a) dan pasang
perbani (b)
(Sumber :Triatmodjo, 1999)
Adapun variasi pasang surut selama satu bulan yang menunjukkan terjadinya
pasang surut purnama dan perbani seperti gambar 2.22 berikut ini.
Gambar 2.24 Variasi pasang surut karena perubahan posisi bumi-bulan-matahari
(Sumber : Triatmodjo, 1999)
HHW : Highes HighWater Level (air tertinggi pada pasang surut besar)
MHHWL : Mean Highest High Water Level (Air tertinggi rata-rata)
LLW : Lowes Low Water Level (Air terendah pasang surut besar)
PENUTUP
3.1 Kesimpulan