Anda di halaman 1dari 3

BULAN MUHARRAM BULAN YANG

MULIA
Bulan Muharram-atau yang lebih dikenal masyarakan Jawa dengan nama bulan suro-bukanlah
bulan sial. Bukan pula waktu dimana kita harus menghindari aktivitas atau hajatan besar di
bulan ini. Akan tetapi bulan ini adalah bulan yang Allah muliakan. Sepantasnya juga kita
memuliakan bulan ini dengan ibadah dan amalan sholeh…

Bulan Muharram Bulan Suci

Kaum muslimin yang berbahagia, di dalam syariat islam telah dijelaskan kemuliaan bulan
Muharram. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya 4 bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah : 36).

Empat bulan suci tersebut adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu ’alaihi wasallam (yang artinya), “Satu tahun itu ada
12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3 bulan berturut-turut, Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.”
(HR. Bukhari no. 2958).

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan,”Dinamakan bulan haram karena ada dua alasan.
Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaimana hal ini juga diyakini
orang jahiliyyah. Kedua, karena pelarangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada
bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy).

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tentang firman Allah surat at-Taubah ayat 36 
diatas, “Allah mengkhususkan 4 bulan yang haram dan menegaskan keharamannya. Allah juga
menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar. Demikian pula pahala amal saleh pada bulan
tersebut juga menjadi lebih besar.”

Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin masih percaya dengan berbagai mitos tentang
bulan Suro. Misalnya, masih banyak yang takut mengadakan acara pernikahan di bulan Suro
dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti perceraian, dililit utang, atau yang lain. Ada yang
takut bepergian jauh  di bulan Suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti kecelakaan,
kematian, atau yang lain. Mereka menunda aktivitasnya ke bulan yang lainnya.

Janganlah mencela waktu

Kaum muslimin -yang dirahmati Allah-, sesungguhnya Allah melarang kita untuk mencela dan
menganggap sial suatu waktu tertentu, termasuk bulan Muharram ini. Dari shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah sholallahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya), ”
Allah ta’ala berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela dahr (waktu),
padahal Aku yang menciptakan waktu. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan
siang”. (HR. Bukhari no. 5827 dan Muslim no. 5824)

Demikian pula hadist nabi yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang
artinya),” Thiyarah(menganggap sial sesuatu) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah
adalah syirik.” (HR. Abu Daud no. 3910 dan Tirmidzi no. 1614, Tirmidzi mengatakan hadist ini
hadist hasan shahih).

Dan termasuk thiyarah adalah keyakinan sebagian masyarakat kita yang menganggap bulan suro
(muharram) adalah bulan sial. Thiyarah dapat mengurangi tauhid seseorang, karena dalam
thiyaroh terdapat dua hal yaitu memutus tawakkal kepada Allah dan bertawakkal kepada selain
Allah serta bergantung pada sesuatu yang tidak jelas. (Lihat AlQoulul Mufiid ‘ala Kitabit
Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, terbitan Daar Ibnil Jauzi halaman 358)

Jika seorang melakukan tathoyyur disertai keyakinan sesuatu tersebut yang mendatangkan
manfaat dan madhorot, maka dia terjatuh kedalam syirik akbar. Jika dia melakukan tathoyyur
disertai keyakinan bahwa Allah yang mendatangkan manfaat dan madhorot, sesuatu tersebut
hanya sebagai sebab saja, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar.

Perjalanan waktu telah diatur oleh Allah ta’ala. Barangsiapa yang mencacinya, berarti dia
mencaci pengaturnya, yaitu Allah. Dan barangsiapa yang mencaci Allah, berarti telah
merendahkan Allah. Sesungguhnya kesialan atau musibah merupakan bagian dari taqdir Allah
yang ditimpakan kepada hambaNya yang dikehendaki.

Jika memang kebetulan kita terkena musibah di bulan ini, tentu bukan karena kesialan bulan
muharram ini. Tetapi semua musibah itu disebabkan karena dosa dan kemaksiatan yang kita
lakukan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah tampak musibah di daratan dan di lautan,
disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah ingin merasakan kepada mereka sebagian
akibat perbuatan dosa mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS.Ar-Rum: 41)

.Puasa yang sangat utama

Pada bulan Muharram, kita dinjurkan untuk memperbanyak puasa sunah. Rasulullah sholallahu
‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), ”Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan
adalah puasa pada bulan Allah yaitu bulan Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah
shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812).

Jangan lewatkan pula puasa Assyura’ yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram. Dari Abu Qotadah
radhiyallahu ’anhu berkata,”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan
puasa Arofah? Beliau menjawab,”Puasa Arofah(puasa pada tanggal 9 dzulhijjah) akan
menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya
mengenai keistimewaan puasa ’Asyuraa’? Beliau menjawab,”Puasa ’Asyura’ akan menghapus
dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 2804).

Dan kita juga dianjurkan untuk berpuasa di tanggal 9 Muharram untuk menyelisihi kaum yahudi
dan nashrani. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, Ketika  Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa.
Kemudian ada shahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari
yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun
depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan”. (HR. Bukhari).

Renungan pergantian tahun

Tidak terasa kita telah berada di awal tahun baru hijriyyah. Begitu cepatnya perjalanan waktu ini.
Usia kita di dunia semakin berkurang, itu artinya kita semakin dekat dengan kehidupan akhirat.
Benarlah apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,“Hari-hari dunia ini
semakin lama semakin meninggalkan kita. Hari-hari akhirat semakin lama semakin menanti di
hadapan kita, setiap darinya memiliki anak, maka jadilah engkau anak-anak akhirat dan jangan
menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari untuk beramal dan tidak
ada penghisaban, dan besok (hari akhirat) adalah hari penghisaban amal dan tidak ada lagi
hari untuk beramal” (HR. Bukhari).

Maka saudaraku -di jalan Allah- marilah kita senantiasa menginstropeksi diri kita. Selama ini,
apa sajakah yang kita kerjakan?. Sudah cukupkah bekal kita untuk menghadap Allah dan
mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita?. Marilah kita merenungkan firman Allah
ta’ala,“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kalian
kerjakan” (QS. Al-Hasyr : 18).

Akhirnya, marilah kita memperbanyak amal sholeh dan meninggalkan keyakinan-keyakinan


yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Islam bukan berarti melarang semua adat istiadat dalam
masyarakat. Hanya saja, adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran islam, terlebih lagi yang
mengandung kesyirikan dilarang keras dalam islam. Karena kesyirikan adalah kelancangan dan
kejahatan yang sangat besar terhadap hak Allah ta’ala. Nasihat ini adalah untuk diri kami sendiri
dan untuk kaum muslimin. Kami hanya menginginkan sebagaimana yang diucapkan oleh nabi
Syu’aib kepada kaumnya“Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku
masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah.
Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud : 88)

Wallahu ’alam bis showab

Ferdiansyah Aryanto*

* Penulis adalah alumni Ma’had al-’IlmiYogyakarta

Anda mungkin juga menyukai