Anda di halaman 1dari 21

RELEVANSI DEFINISI DENGAN PENALARAN HUKUM

Makalah dibuat untuk Memenuhi


Tugas Kegiatan Terstruktur Matakuliah Logika dan Penalaran Hukum

Dosen Pengasuh:
Muhammad Habibi, S.H.I, M.Ag.

Disusun oleh:
1. Bunga Shopania 200102113
2. Dedi Setiawan 200102145
3. Fadhlur Rahmat Muhammad 200102052
4. Yuzar Ardiansyah 200102215

Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH 2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين سيدنا محمد و‬
‫ أشهد أن الاله إالهللا وأشهد أن محمد عبده و رسوله ال نبي‬.‫على اله وصحبه أجمعين‬
.‫بعده‬
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa
Ta‘ala Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis sebagai mahasiswa yang telah diberi tugas dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Relevansi Definisi dengan Penalaran
Hukum” dengan semaksimal mungkin yang bisa penulis rangkum. Selawat dan
salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw., beserta
keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas kegiatan
terstruktur dari matakuliah Kajian Islam, di mana dalam makalah ini akan
membahas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan Relevansi Definisi
dengan Penalaran Hukum dalam matakuliah Logika dan Penalaran Hukum.
Ucapan terimakasih, penulis ucapkan kepada orangtua dan keluarga tercinta
yang telah membesarkan dan selalu mendoakan penulis sehingga dapat belajar
sampai ke tingkat universitas. Dan juga kepada dosen penulis yaitu Bapak
Muhammad Habibi, S.H, M.Ag, selaku pengasuh matakuliah Logika Penalaran
Hukum, karena telah memberikan tugas untuk membuat makalah dengan judul
yang sangat bagus dan begitu menarik yang berjudul Relevansi Definisi dengan
Penalaran Hukum
Terakhir, semoga dengan hasil usaha sederhana ini dapat bermanfaat untuk
kita semua. Ámín Yá Rabbal ‘Alamín.

Banda Aceh, 05 Maret 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB SATU : PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 1
C. Metode Penulisan ..................................................................... 1
D. Sistematika Penulisan .............................................................. 2
BAB DUA : PEMBAHASAN ............................................................................. 3
A. Pengertian Definisi dan Macam-Macam Definisi.................... 3
C. Tujuan Pendefinisian dan Relevensinya dengan Penalarang
Hukum.................................................................................... 11
BAB TIGA : PENUTUP .................................................................................... 15
A. Kesimpulan ............................................................................ 15
B. Saran ...................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 17

iii
BAB SATU

PEMDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita sering mendengar istilah definisi.


Bahkan hampir setiap hari kita sering menemui kata definisi. Sebelum
kita mempelajari sesuatu tentu kita membutuhkan definisi dari sesuatu tersebut
agar kita bisa mengetahui maknanya. Definisi merupakan bagian yang penting
dalam ilmu pengetahuan. Karena tanpa definisi kita tidak bisa mengetahui
pengertian dari suatu kata tertentu. Definisi juga merupakan ungkapan dari
pengetahuan yang direalisasikan dalam bentuk kata-kata agar dapat dipahami
dan dimengerti.
Sekarang ini, dalam wacana public, khazanah intelektual, dan praktik
hukum ditanah air, perak penalaran hukum dalam studi hukum semakin
diperhitungkan. Untuk itu kedudukan definisi sangatlah penting dalam dunia
pengetahuan. Tanpa definisi manusia akan kebingungan untuk
mengungkapkan suatu pengertian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dari definisi dan apa macam-macam definisi?
2. Apa tujuan pendefinisian dan bagaimana relevensinya dengan penalaran
hukum?

C. Metode Penulisan
Dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Jenis penelitian ini hanya berbentuk kata-kata, yang dalam hal ini
penulis tidak menggunakan data berupa angka secara langsung. Kemudian
dilanjutkan dengan metode pengumpulan data yang penulis gunakan metode
penelitian pustaka (Library Research), maksudnya adalah penulis
mengumpulkan data dengan cara membaca buku, jurnal, atau bentuk karya
ilmiah lainnya dan kemudian dituangkan dalam penulisan makalah ini.

D. Sistematika Penulisan
Makalah ini akan diuraikan dalam tiga bab sebagai berikut:
Bab satu pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab dua pembahasan, yaitu subab pertama tentang pengertian definisi dan
macam-macam definisi. Subab kedua tentang tujuan definisi dan relevansi
definisi dengan penalaran hukum.
Bab tiga penutup, yaitu kesimpulan dan saran makalah.
BAB DUA : PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

A. Pengertian Definisi dan Macam-Macam Definisi


1. Pengertian Definisi
Definisi atau takrif merupakan suatu batasan atau arti, bisa juga
dimaknai kata, frasa, atau kalimat yang mengungkapkan makna,
keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses, atau aktivitas. 1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ialah rumusan tentang
ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok
pembicaraan atau studi. 2 Kata definisi berasal dari bahasa Latin definitio,
artinya penentuan arti atau pembatasan. Ia juga berarti uraian atau
penjelasan arti kata atau ungkapan yang membatasi makna suatu kata
atau ungkapan.3
Meski makna bahasa dapat memberi pemahaman, tapi definisi
dalam ilmu bahasa dan ilmu logika berbeda tujuannya, karena masing-
masing ilmu ini berbeda objek formalnya. Objek formal ilmu logika
adalah cara kerja akal yang mengantar pada pengetahuan konseptual (al-
taṣawwur) dan pengetahuan sintesis (al-taṣdīq) dengan benar. Meski
tidak lepas dari bahasa, namun fokus ilmu logika tertuju pada cara kerja
akal dalam mengeksplisitkan konsep atau ide. Adapun ilmu bahasa,
khususnya semantik, melihat definisi sebagai usaha sengaja untuk
mengungkapkan dengan kata-kata akan suatu benda, konsep, proses,
aktivitas dan sebagainya. Tampak pada definisi ini, ilmu semantik lebih
fokus pada cara bahasa dalam hal mengeksplisitkan objek. Jadi jelaslah
fokus ilmu bahasa dalam upaya pendefinisian berbeda dengan ilmu

1 Widjono (2007); Bahasa Indonesia, Jakarta:PT Grasindo Cet. 2. hlm. 117-121.


2
Departemen Pendidikan Nasional(2008);Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. hlm 303.
3
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis, cet. XVII
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 23, dst.
2
logika. Sebab mengeksplisitkan objek cukup dengan deskripsi secara
bahasa, tapi mengeksplisitkan konsep atau ide menuntut pengungkapan
esensinya. Saking fokusnya sebagian ahli logika berlebihan menjadikan
unsur definisi sebagai sebab dalam mengenali yang didefinisikan, seperti
pada definisi ini:4

Definisi (al-mu‘arrif) adalah sesuatu yang mengetahuinya menjadi


sebab dalam mengetahui apa yang didefinisikan (al-mu‘arraf). Tampak
di sini definisi terdiri dari dua unsur, yaitu sesuatu yang didefinisikan
(al-mu‘arraf) atau disebut definien-dum dan definisi itu sendiri (al-
mu‘arrif) yang disebut juga defi-niens.5 Dalam ilmu logika definiens atau
al-mu‘arrif merupakan uraian atas konsep atau ide yang ada dalam
pikiran (mawjūd fī al-ażhān). Tapi bagi ilmu bahasa, definisi merupakan
uraian terhadap makna dari sebuah kata yang mengada karena konvensi
linguistik (waḍ‘ lughawī). Jika dua perspektif ini dimoderasi, maka
definisi menjelaskan komprehensi, yaitu keseluruhan arti yang tercakup
dalam suatu konsep atau sebuah term. Jika sebuah konsep hendak dibuat
eksplisit, maka diuraikan komprehensinya, ini biasanya harus
menggunakan banyak kata. Untuk memudahkan dalam pendefinisian,
maka komprehensi atau isi yang termuat dalam suatu konsep dinyatakan
menurut taraf-taraf (komprehensi dasar dan komplementer). 6 Contoh:

4
Aḥmad al-Damanhuri, Īḍāḥ al-Mubham min Ma‘ānī al-Sulam (Singapura: al-Ḥaramayn,
t.th.), hlm. 9.
5
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis, cet. XVII
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 23, dst.
6
Poespoprodjo, Logika Scientifika..., hlm. 90.
3
o Manusia adalah hewan berakal, kata hewan dan kata berakal
adalah komprehensi dasar berupa hakikat terdalam (esensi/
māhiyyah) yang berdiri sendiri, bukan bersandar pada materi lain.
o Manusia adalah hewan yang tertawa, ini contoh komprehensi
komplementer, sebab tertawa adalah sifat yang bersandar pada
materi lain, bukan esensi (māhiyyah) yang berdiri sendiri.
Contoh ini menunjukkan bahwa materi (al-māddah) pada satu
definisi tersusun dari genus (al-jins) dan diferensia (al-faṣl). Genus
merupakan kategorisasi esensial yang luas terhadap sesuatu (al-żāt) yang
berdiri sendiri. Sementara kategorisasi yang lebih sempit dari genus
disebut spesies (al-naw‘). Adapun diferensia sebagai unsur definisi, yang
dimaksud adalah diferensia substantif (al-faṣl al-żātiyyah), ia memiliki
esensi (māhiyyah) sendiri sehingga terbedakan dari yang lain.

2. Macam-Macam Definisi
Macam-macam definisi timbul dari variasi unsur-unsur yang
membentuk (forma/al-ṣūrah) sebuah definisi. Tetapi di sisi lain,
pembagian macam-macam definisi juga dipengaruhi oleh sudut pandang,
sebab ia bisa dilihat dari perspektif ontologi, epistimologi dan
aksiologinya. Perspektif ini terlihat jelas dalam definisi yang disusun
oleh para ahli logika. Seperti definisi yang dikutip pada subbab
sebelumnya, tampak lebih cenderung pada pendefinisian dari perspektif
aksiologi (tujuan).
Definisi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
o Definisi Esensial (al-ḥudūd)
o Definisi Deskriptif (al-rasm).
Perbedaannya, definisi esensial (al-ḥudūd) menjelaskan definiendum
secara analitis dan sintetis, sedang definisi deskriptif (al-rasm)

4
menjelaskan definiendum dengan cara melaporkan susunan objek yang
di-definisikannya dengan bergantung pada bahasa.
Definisi esensial dibagi menjadi:
o Definisi Esensial sempurna (al-ḥadd al-tāmm)
o Definisi Esensial tidak sempurna (al-ḥadd al-nāqiṣ).

Lalu definisi deskriptif dibagi lima:


o Definisi deskriptif sempurna (al-rasm al-tāmm)
o Definisi deskriptif tak sempurna (al-rasm al-nāqiṣ)
o Definisi nominal atau verbal (al-ta‘rīf al-lafẓ)
o Definisi melalui contoh (al-ta‘rīf bi al-miṡāl)
o Definisi melalui kategorisasi (al-ta‘rīf bi al-taqsīm). Jadi ada
tujuh macam definisi.

a. Definisi esensial sempurna (al-ḥadd al-tāmm)


Definisi esensial sempurna menjelaskan definiendum dengan cara
menguraikan bagian-bagian esensialnya. Berikut definisinya:7

Definisi esensial sempurna (al-ḥadd al-tāmm) adalah definisi


yang menjelaskan sesuatu dengan menyebutkan esensinya secara
lengkap. Artinya dengan menyebutkan genus dan pembeda yang
keduanya dari jenis yang dekat, atau yang serupa dengan keduanya.
Prinsip penyusunan definisi esensial sempurna ialah terdiri dari
unsur genus terdekat (al-jins al-qarīb) dan ditambah diferensia

7
Al-Madani, Dawabit, ‘abd al-Rahman Hasan al-Habkanah, Dawabit al-Ma’rifah wa Ushul
al-Istidlal wa al-Munazarah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hlm. 63
5
substantif (al-faṣl al-żātiyyah). Dengan kata lain, ia tersusun dari genus
et differentium, dengan syarat genus didahulukan dari spesies.

b. Definisi esensial tidak sempurna (al-ḥadd al-nāqiṣ)


Definisi esensial tidak sempurna (al-ḥadd al-nāqiṣ), oleh ahli
logika didefinisikan sebagai berikut:8

Definisi esensial tidak sempurna (al-ḥadd al-nāqiṣ) adalah


definisi yang menjelaskan sesuatu dengan cara menyebutkan sebagian
esensinya yang membedakannya dari yang lain. Kalimat:
“menyebutkan sebagian esensinya” merupakan kata kunci pada definisi
ini. Sebab definisi esensial disebut sempurna jika lengkap unsur-
unsurnya, yaitu terbentuk dari genus terdekat (al-jins al-qarīb) dan
diferensia substantif (al-faṣl al-żātiyyah). Sementara definisi esensial
tidak sempurna hanya berisi diferensia terdekat, atau bersama genus
yang jauh. Perhatikan contoh berikut ini:

Contoh ini hanya menyebutkan diferensia substantif, tidak


didahului oleh genus. Jadi hanya berisi sebagian esensi (al-māhiyyah)
sehingga disebut tidak sempurna. Bandingkan dengan contoh berikut:

8 Al-Madani, Dawabit, al-Ma’rifah,…, hlm. 64

6
c. Definisi deskriptif sempurna (al-rasm al-tāmm)
Ahli logika mendefinisikan definisi deskriptif sempurna (al-rasm
al-tāmm) sebagai berikut:9

Definisi deskriptif sempurna (al-rasm al-tāmm) adalah definisi


yang menjelaskan sesuatu dengan cara menyebutkan jenisnya yang
dekat beserta sifat khususnya yang mencakup satuannya. Artinya,
bersamaan dengan sifatnya yang inheren dan khusus baginya, atau
sesuatu yang semisal dan berkekuatan sama dengannya.
Tampak pada definisi ini, bahwa forma (al-ṣūrah) dari definisi
deskriptif sempurna terbentuk dari unsur genus terdekat dan sifat
khusus yang dimiliki definiendum. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa
Sebaik-baik definisi deskriptif adalah yang memuat genus terdekat, lalu
disempurnakan dengan sifat khusus yang dikenal luas.
Tampak di sini bahwa pembeda antara definisi deskriptif dan
definisi esensial adalah unsur sifat khusus, yaitu ciri definiendum yang
dikenal luas. Perhatikan contoh berikut ini:

9 Al-Madani, Dawabit, al-Ma’rifah,…, hlm. 65

7
Term yang tidur (nāmin) pada contoh ini merupakan genus yang
dekat dengan manusia, sedangkan term yang makan (ākilin) merupakan
sifat khusus yang mencakup seluruh satuan manusia.

d. Definisi deskriptif tidak sempurna (al-rasm al-nāqiṣ)


Ahli logika mendefinisikan definisi deskriptif tidak sempurna (al-
rasm al-nāqiṣ) oleh ahli logika didefinisikan sebagai berikut : 10

Definisi deskriptif tidak sempurna (al-rasm al-nāqiṣ) bahwa


definisi yang menjelaskan sesuatu hanya dengan menyebutkan sifat
khususnya yang inheren dan mencakup satuannya, atau disertai dengan
genusnya yang jauh, atau bersama sifatnya yang umum, atau dengan
menyebutkan sifat-sifatnya yang secara garis besar terkhususkan pada
hakikatnya.
Tampak pada definisi ini, bahwa definisi deskriptif disebut tidak
sempurna jika hanya berisi unsur sifat khusus tanpa didahului oleh
genus yang dekat. Adapun genus yang jauh tidak memenuhi syarat, ia
dianggap tidak ada sehingga yang tersisa hanyalah sifat khusus. Berikut
ini contoh yang memuat sifat khusus saja:

10 Al-Madani, Dawabit, al-Ma’rifah,…, hlm. 66

8
Definisi yang dicontohkan di sini, tersusun dari sifat khu-sus (al-
‘araḍ al-khāṣṣ) yang mencakup seluruh satuan definiendum tanpa
didahului oleh genus. Bandingkan dengan contoh berikut ini:

Contoh ini terbentuk dari genus yang jauh dan sifat khusus.
Meski ada unsur genus di dalamnya, tapi tidak memenuhi kriteria
esensi, maka disebut definisi deskriptif tidak sempurna.

e. Definisi nominal atau verbal (al-ta‘rīf al-lafẓ)


Sebagian ahli logika mendefinsikan definisi nominal/verbal
sebagai berikut :

Definisi nominal/verbal adalah pendefinisian kata dengan kata


lain yang bersinonim dengannya dan dipahami oleh pendengar.
Sinonimi sesuatu pada hakikatnya merupakan bagian dari
kekhususannya.
Definisi nominal tidak memberikan pengertian secara esensial,
tapi cukup dengan menggunakan kata yang bersino-nimi, 11 misalnya:

11
Abdul Chaer, Pengantar Semantik..., hlm. 82. Secara harfiah sinomini berarti nama lain
untuk benda atau hal yang sama. Misalnya kata buruk dan jelek, kata bunga, kembang dan puspa
adalah sinonimi.
9
hamba adalah budak, arca adalah patung. Perlu digarisbawahi, bahwa
semua jenis kamus pada umumnya adalah definisi nominal. Definisi
nomimal adalah sekadar menjelaskan kata, bukan menjelaskan hal yang
ditandai dengan kata. Oleh karena itu, menurut sebagian ahli logika,
definisi nominal hanyalah bersifat sementara.

f. Definisi melalui contoh (al-ta‘rīf bi al-miṡāl)


Definisi melalui contoh oleh ahli logika didefinisikan sebagai
berikut :

Definisi melalui contoh adalah mendefinisikan sesuatu dengan


cara menyebut salah satu dari permisalannya. Misal sesuatu pada
hakikatnya adalah salah satu kekhususannya.
Sebagian ahli memasukkan definisi melalui contoh ini dalam
kategori definisi nominal. Misalnya, jika hendak mendefinisikan batu
kerikil, maka diambil salah satu darinya lalu dikatakan: “Inilah batu
kerikil.” Ini cukup merepotkan, karena untuk mendefinisikan harus
dihadirkan benda konkret sebagai contohnya.

g. Definisi melalui kategorisasi (al-ta‘rīf bi al-taqsīm)


Definisi melalui kategorisasi, oleh ahli logika didefinisikan
sebagai berikut :

10
Definisi melalui kategorisasi adalah mendefinisikan sesuatu
dengan cara menyebutkan pembagian-pembagiannya. Diketahui bahwa
pembagian tersebut merupakan kekhususan baginya.
Definisi melalui kategorisasi disebut juga definisi aksi dental.
Contoh: gajah adalah hewan berkaki empat yang memiliki belalai
berambut halus, berkuping dua memiliki ukuran tubuh yang sangat
besar dan seterusnya.35 Contoh lain, mendefinisikan kalimat dengan
menyebut bagiannya, yaitu huruf dan suku kata, atau mendefinisikan
angka dengan menyebutnya terdiri dari genap dan ganjil.

B. Tujuan Pendefinisian dan Relevansinya dengan Penalaran Hukum


1. Tujuan Pendefinisian
Soal pendefinisian masih menimbulkan diskusi perbedaan
menurut pandangan para ahli. Secara umum pandangan ini timbul
karena perbedaan dalam melihat tujuan pendefinisian.
Sebagian ahli logika secara ekstrem melihat definisi sebagai
sarana untuk mengetahui hakikat sesuatu. Dari itu Ibn Taymiyyah
dalam kitabnya al-Radd ‘alā al-Manṭīqiyīn, mengkritik ahli logika yang
menyatakan; bahwa konsep sesuatu tidak bisa diketahui kecuali melalui
definisi esensial. Berikut salah satu poin kritiknya:

Sesungguhnya, jika definisi adalah perkataan yang membatasi, maka


(iniirasional, sebab) diketahui konseptualisasi makna tidak memerlukan
kata. Jika pembicara bisa mengkonsep makna apa saja yang ia katakan

11
tanpa menggunakan kata, dan pendengar bisa mengkonsepsikan makna
tersebut tanpa melalui kata-kata pembicara tentang universalia, lalu
bagaimana mungkin dikatakan: “Sesuatu tidak bisa dikonsepsikan
kecuali melalui definisi”, sementara definisi yang dimaksud adalah
kata-kata yang membatasi? Ibn Taymiyyah menganggap pernyataan
ahli logika ini irasional, sebab membuat konsep itu aktivitas mental
yang abstrak, sementara membuat definisi adalah aktivitas verbal yang
konkret. Oleh karena memikirkan konsep adalah aktivitas mental, maka
tidak perlu kata-kata. Sementara ahli logika mengatakan konsep hanya
bisa dibuat melalui definisi yang berupa kata-kata, inilah yang tidak
rasional. Menurut ahli ilmu semantik, bahasa adalah fenomena yang
menghubung-kan dunia makna dengan dunia bunyi. Hal ini benar,
sehingga melalui bahasa bisa diketahui konsep yang ada di dalam
12
pikiran. Tetapi dengan kesadaran bahwa manusia berpikir melalui
bahasa, maka yang diketahui bukan hanya konsep, bahkan tingkat
kedalaman kegiatan berpikir itu sendiri. Dengan demikian, definisi
dapat memberi gambaran kedalaman pikiran dan ilmu seseorang.
Tujuan dari definisi sekiranya adalah untuk menghapus kata yang
memiliki arti yang sama, khususnya kata-kata, agar tidak terjadi
kesalahan dalam berpikir atau memahami atau sehingga tidak
menimbulkan salah paham. Selain itudefinisi dibentuk untuk memberi
batasan-batasan makna tertentu dari kata atau term. Dalam dunia ilmiah,
definisi ditujukan untuk menjelaskan suatu hal agar tidak terjadi makna
yang bercampur aduk.

12
Poespoprodjo, W., Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, cet. II (Bandung:
Pustaka Setia, 2007) hlm 136
12
2. Relevansinya dengan Penalaran Hukum
Orang yang hendak mengemukakan pikirannya memerlukan dua
hal, pertama definisi agar bisa membuat orang lain juga memiliki
pengetahuan serupa, kedua argumen untuk meyakinkan orang lain. 13
Dua hal ini juga berlaku dalam penalaran hukum, sebab definisi yang
baik menjadi syarat dalam penyusunan naskah perundang-undangan
atau putusan, maupun penalaran atas kedua teks tersebut.
Bahasa hukum memiliki istilah sendiri yang menjadi
karakteristiknya. Dari itu pendefinisian mengacu terminologi yang
berlaku dalam keilmuan hukum. Selanjutnya dalam proses penalaran
hukum, baik terhadap undang-undang maupun putusan hakim,
diperlukan pemahaman yang baik terhadap definisi yang berlaku dalam
bidang hukum.
Definisi dalam undang-undang menjadi sarana menentukan
batasan subjek, objek dan prediket yang diatur.14 Jadi dalam undang-
undang, definisi adalah upaya untuk membatasi hal-hal tertentu yang
dituangkan ke dalam norma hukum, sehingga definisinya bersifat
konkret dan tidak terlalu abstrak.
Misalnya dalam ketentuan Pasal 340 KUHP: “barang siapa
dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu merampas jiwa
orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya
dua puluh tahun”. Tampak pembunuhan didefinisikan secara deskriptif
pada uraian “...dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
merampas jiwa orang lain...”.
Definisi yang valid juga diperlukan dalam hal penyimpulan
terhadap kasus. Misalnya pada Pasal 362 KUHP: “Barang siapa

13 Al-Madani, Dawabit, al-Ma’rifah,…, hlm. 24


14
Fajlurrahman Jurdi, Logika Hukum, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 129.
13
mengambil suatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan orang lain, dengan melawan hukum, dihukum karena
pencurian dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun atau
denda sebanyak-banyaknya RP.60,-“. Hakim harus mendefinisikan kata
pencurian dalam dua tahap, pertama memahami maksud pasal tersebut,
kedua memahami cakupannya terhadap perbuatan hukum yang sedang
ia hadapi. Jadi jelas pendefinisian sangat urgen dalam penalaran hukum.

14
BAB TIGA : PENUTUP
PENUTUP

A. Kesimpulan
Definisi atau takrif merupakan suatu batasan atau arti, bisa juga dimaknai
kata, frasa, atau kalimat yang mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri
utama dari orang, benda, proses, atau aktivitas. Definisi dalam ilmu semantik
lebih fokus pada cara bahasa dalam hal mengeksplisitkan objek.
Jadi jelas sudah fokus ilmu bahasa dalam upaya pendefinisian berbeda
dengan ilmu logika. Sebab mengeksplisitkan objek cukup dengan deskripsi
secara bahasa, tapi mengeksplisitkan konsep atau ide menuntut pengungkapan
esensinya. Saking fokusnya sebagian ahli logika berlebihan menjadikan unsur
definisi sebagai sebab dalam mengenali yang didefinisikan.
Macam-macam definisi timbul dari variasi unsur-unsur yang membentuk
(forma/al-ṣūrah) sebuah definisi. Tetapi di sisi lain, pembagian macam-macam
definisi juga dipengaruhi oleh sudut pandang, sebab ia bisa dilihat dari
perspektif ontologi, epistimologi dan aksiologinya. Definisi dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu definisi esensial (al-ḥudūd) dan definisi
deskriptif (al-rasm).
Sebagian ahli logika secara ekstrem melihat definisi sebagai sarana untuk
mengetahui hakikat sesuatu. Dari itu Ibn Taymiyyah dalam kitabnya al-Radd
‘alā al-Manṭīqiyīn, mengkritik ahli logika yang menyatakan; bahwa konsep
sesuatu tidak bisa diketahui kecuali melalui definisi esensial.
Bahasa hukum memiliki istilah sendiri yang menjadi karakteristiknya.
Dari itu pendefinisian mengacu terminologi yang berlaku dalam keilmuan
hukum. Selanjutnya dalam proses penalaran hukum, baik terhadap undang-
undang maupun putusan hakim, diperlukan pemahaman yang baik terhadap
definisi yang berlaku dalam bidang hukum.

15
B. Saran
Menurut pemakalah pendefinisian itu sangat penting dan sangat
diperlukan dalam suatu kajian penalaran hukum. Dengan mengetahui makna
pendefinisaan yang baik kita dapat mengetahui makna dan maksud,
menghilangkan ambiguitas, memperjelas arti dan dapat memberikan
penjelasan secara teoritis.
Dengan selesainya penulisan makalah ini, penulis berharap dapat
memenuhi tugas logika dan penalaran hukum dengan baik. Penulis berharap
makalah ini dapat menjadi salah satu sumber ilmu tambahan khususnya
dikalangan akademika. Penulis menyadari terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan dalam penyusunan penulisan makalah ini. Untuk itu kami
menerima kritikan dan saran untuk memperbaiki makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

. Fajlurrahman Jurdi, Logika Hukum, cet. I, Jakarta: Kencana, 2017.


Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis, cet.
XVII, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Poespoprodjo, W., Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, cet. II
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Al-Madani, Dawabit, ‘abd al-Rahman Hasan al-Habkanah, Dawabit al-Ma’rifah
wa Ushul al-Istidlal wa al-Munazarah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1993.
Aḥmad al-Damanhuri, Īḍāḥ al-Mubham min Ma‘ānī al-Sulam (Singapura: al-
Ḥaramayn, t.th.), 2008
Departemen Pendidikan Nasional ;Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Widjono, Bahasa Indonesia Cet.2, Jakarta:PT Grasindo. 2007.
Abdul Chaer. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, edisi revisi, cet. III.
Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Al-Ghazali. Mihakk al-Nazar. Beirut: Dar al-Minhaj, 2016.
Al-Ghazali, Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq, tahkik: Sulayman Dunya (Kairo:Dar al-
Ma’arif, 1961.

17

Anda mungkin juga menyukai