Disusun Oleh :
Kelompok 4
b. Obat Eklamsi
Obat eklamsi adalah jenis obat yang digunakan untuk
menghentikan kejang pada ibu hamil yang mengalami
eklamsi. Obat ini biasanya diberikan dalam bentuk intravena
atau suntikan. Tujuannya adalah untuk mengendalikan
tekanan darah dan meminimalkan risiko komplikasi pada ibu
dan janin. Obat eklamsi yang umum digunakan adalah
magnesium sulfat, yang biasanya diberikan melalui infus
intravena. Magnesium sulfat telah terbukti efektif dalam
menghentikan kejang pada ibu hamil yang mengalami
eklamsi.
2. Farmakokinetik
a. Obat Preeklamsi
Obat preeklamsi biasanya berupa obat antihipertensi seperti
nifedipine, labetalol, dan metildopa. Farmakokinetik dari
masing-masing obat ini dapat bervariasi, namun secara
umum, obat antihipertensi tersebut akan diabsorbsi melalui
saluran pencernaan, kemudian dicerna di hati, dan
dikeluarkan melalui ginjal. Pada ibu hamil, farmakokinetik
obat preeklamsi dapat berubah karena adanya perubahan
fisiologis yang terjadi selama kehamilan.
b. Obat Eklamsi
Obat eklamsi yang umum digunakan adalah magnesium
sulfat. Magnesium sulfat biasanya diberikan dalam bentuk
infus intravena, yang memungkinkan obat langsung masuk
ke dalam sistem sirkulasi. Magnesium sulfat kemudian akan
didistribusikan ke seluruh tubuh, termasuk ke otak, dan akan
diekskresikan melalui ginjal. Pada ibu hamil, farmakokinetik
magnesium sulfat dapat berbeda-beda karena adanya
perubahan fisiologis selama kehamilan.
3. Farmakodinamik
a. Obat Preeklamsi
Obat preeklamsi biasanya berupa obat antihipertensi seperti
nifedipine, labetalol, dan metildopa. Masing-masing obat
antihipertensi tersebut memiliki mekanisme kerja yang
berbeda-beda, namun secara umum, obat antihipertensi akan
bekerja dengan menurunkan tekanan darah pada ibu hamil
yang mengalami preeklamsi.
Nifedipine adalah antagonis kalsium yang bekerja dengan
menghambat aliran ion kalsium ke dalam sel otot polos
pembuluh darah, sehingga menyebabkan relaksasi pembuluh
darah dan menurunkan tekanan darah. Labetalol adalah beta
blocker dan alfa blocker yang bekerja dengan menghambat
reseptor beta-adrenergik dan alfa-adrenergik pada pembuluh
darah, sehingga menurunkan tekanan darah. Metildopa
adalah agen sentral-alfa adrenergik yang bekerja dengan
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis, sehingga
menurunkan tekanan darah.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai
efektivitas dan keamanan dari obat antihipertensi yang
digunakan pada ibu hamil dengan preeklamsi. Sebuah studi
meta-analisis yang dipublikasikan menunjukkan bahwa
nifedipine, labetalol, dan metildopa efektif dalam
menurunkan tekanan darah pada ibu hamil dengan
preeklamsi, namun nifedipine menunjukkan keunggulan
dalam menurunkan tekanan darah dengan cepat. Selain itu,
obat antihipertensi juga dapat membantu mengurangi risiko
komplikasi pada ibu dan janin.
b. Obat Eklamsi
Farmakodinamik obat eklamsi berkaitan dengan mekanisme
kerja obat dan efeknya pada tubuh untuk mencegah
terjadinya kejang pada ibu hamil dengan kondisi medis yang
serius. Obat yang biasanya digunakan untuk mencegah
kejang pada eklamsi adalah magnesium sulfat dan
benzodiazepin.
Magnesium sulfat adalah obat yang bekerja dengan cara
menghambat pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti
glutamat dan aspartat, sehingga menurunkan risiko kejang.
Magnesium sulfat juga memiliki efek neuroprotektif dan
anti-inflamasi, sehingga dapat membantu mengurangi
kerusakan otak dan meningkatkan hasil kelahiran.
Benzodiazepin, seperti diazepam, bekerja dengan
meningkatkan aktivitas GABA di otak, sehingga
menurunkan aktivitas neuron dan mencegah terjadinya
kejang. Benzodiazepin biasanya digunakan sebagai alternatif
jika magnesium sulfat tidak tersedia atau jika terjadi kejang
yang tidak terkontrol pada pasien yang telah diberikan
magnesium sulfat.
4. Mekanisme Kerja
a. Obat Preeklamsi
7. Contoh Obat
a. Obat Generik
1. Metildopa
2. Nifedipine
3. Labetalol
b. Obat Merk Dagang
1. Aldomet
2. Wellnif-AT
3. Dopamet
2. Farmakokinetik
Farmakokinetik obat anti konvulsi sangat bervariasi dan tergantung
pada jenis obatnya. Beberapa obat anti konvulsi memiliki
farmakokinetik yang kompleks, terutama untuk pasien dengan
epilepsi yang juga menderita penyakit lain dan menggunakan obat-
obatan lain secara bersamaan. Namun, secara umum, obat anti
konvulsi diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dan
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk otak.
Proses metabolisme dan eliminasi obat anti konvulsi juga berbeda-
beda tergantung pada jenis obatnya. Beberapa obat dipecahkan
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh hati dan kemudian
dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal, sedangkan beberapa obat
lainnya dikeluarkan tanpa mengalami proses metabolisme.
3. Farmakodinamik
Obat anti konvulsi bekerja dengan mengubah aktivitas
neurotransmitter dalam sistem saraf pusat untuk menghambat atau
mengurangi aktivitas listrik yang tidak normal yang terjadi selama
serangan kejang. Beberapa obat anti konvulsi bekerja dengan
meningkatkan kadar neurotransmitter penghambat seperti GABA
(asam gamma-aminobutirat) yang mengurangi aktivitas listrik
dalam otak.
Obat anti konvulsi juga dapat mempengaruhi saluran ion, reseptor
neurotransmitter, dan protein membran pada sel-sel otak, sehingga
menekan atau menekan aktivitas listrik yang tidak normal.
Farmakodinamik obat anti konvulsi berbeda-beda tergantung pada
jenis obatnya. Misalnya, benzodiazepin bekerja dengan
meningkatkan aksi GABA di reseptor GABA_A, sementara fenitoin
bekerja dengan mempengaruhi kanal ion natrium dan kalsium.
Salah satu mekanisme farmakodinamik yang paling umum
digunakan oleh obat anti konvulsi adalah dengan meningkatkan
aktivitas neurotransmitter penghambat GABA (asam gamma-
aminobutirat) dalam otak. GABA adalah neurotransmitter
penghambat utama dalam sistem saraf pusat, yang berfungsi untuk
menenangkan aktivitas listrik neuron dan mengurangi kecemasan.
Beberapa obat anti konvulsi seperti benzodiazepin dan barbiturat
bekerja dengan meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor
GABA_A, sehingga menekan aktivitas listrik neuron di otak dan
mengurangi serangan kejang.
Selain itu, obat anti konvulsi juga dapat mempengaruhi saluran ion
di membran sel neuron. Beberapa obat anti konvulsi seperti fenitoin
dan karbamazepin bekerja dengan mempengaruhi kanal ion natrium
dan kalsium pada membran sel neuron, sehingga menekan aktivitas
listrik yang tidak normal pada otak.
Obat anti konvulsi juga dapat mempengaruhi reseptor
neurotransmitter lain di otak seperti reseptor glutamat dan
asetatilkolin. Beberapa obat anti konvulsi seperti topiramat dan
levetiracetam bekerja dengan menghambat reseptor glutamat di
otak, sehingga menekan aktivitas listrik yang tidak normal.
Sementara itu, obat anti konvulsi seperti piracetam dan galantamine
bekerja dengan meningkatkan kadar neurotransmitter asetilkolin di
otak, sehingga meningkatkan aktivitas listrik neuron dan
mengurangi serangan kejang.
4. Mekanisme Kerja
Obat anti konvulsi (OAK) adalah obat yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati kejang. Mekanisme kerja obat ini
beragam, tergantung pada jenis dan kelas obatnya. Beberapa
mekanisme kerja OAK antara lain:
a. Potensiasi GABA: Beberapa OAK seperti benzodiazepin
dan barbiturat bekerja dengan meningkatkan aktivitas
neurotransmitter GABA (gamma-aminobutyric acid) di otak.
GABA adalah zat kimia alami yang menghambat aktivitas
neuron di otak, sehingga meningkatkan aktivitas GABA
dapat membantu mencegah terjadinya kejang.
b. Penghambatan saluran ion: OAK seperti karbamazepin,
fenitoin, dan valproat bekerja dengan menghambat aliran ion
ke dalam neuron, terutama ion natrium. Ini dapat membantu
mencegah terjadinya kejang dengan mengurangi
hiperaktivitas neuron.
c. Antagonis reseptor glutamat: Beberapa OAK seperti
topiramat dan felbamat bekerja dengan menghambat
aktivitas neurotransmitter glutamat. Glutamat adalah zat
kimia yang merangsang neuron untuk memicu kejang.
Dengan menghambat aktivitas glutamat, OAK dapat
membantu mencegah terjadinya kejang.
d. Modulasi reseptor kalsium: Beberapa OAK seperti
gabapentin dan pregabalin bekerja dengan memodulasi
reseptor kalsium pada neuron. Modulasi reseptor kalsium
dapat membantu mengurangi pelepasan neurotransmitter
eksitatorik, seperti glutamat dan asetilkolin, sehingga
membantu mencegah terjadinya kejang.
5. Interaksi Obat
Interaksi obat anti konvulsi adalah suatu kondisi di mana obat anti
konvulsi yang dikonsumsi bersamaan dengan obat lain dapat
mempengaruhi efektivitas dan keamanan pengobatan. Beberapa
interaksi obat yang perlu diperhatikan saat menggunakan obat anti
konvulsi adalah:
a. Interaksi obat antikonvulsi dengan obat antibiotik makrolida,
seperti eritromisin dan klaritromisin, dapat menyebabkan
peningkatan kadar obat antikonvulsi dalam darah, sehingga
meningkatkan risiko efek samping.
b. Interaksi obat antikonvulsi dengan obat antidepresan dapat
menyebabkan peningkatan risiko kejang dan interaksi
lainnya, seperti peningkatan risiko depresi pernapasan.
c. Interaksi obat antikonvulsi dengan obat antikoagulan, seperti
warfarin, dapat menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan.
d. Interaksi obat antikonvulsi dengan obat antipsikotik dapat
mempengaruhi efektivitas pengobatan, dan juga
meningkatkan risiko efek samping, seperti kantuk, pusing,
dan tremor.
7. Contoh Obat
a. Obat Generik
1. Sodium Valproate
2. Pregabalin
3. Gabapentin
2. Depakote
3. Topamax
2. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah cabang ilmu dari farmakologi yang
mempelajari tentang perjalanan obat mulai sejak diminum hingga
keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia. Fase-fase
farmakokinetik secara umum terbagi menjadi Adsoprsi, Distribusi,
Metabolisme, dan Ekstensi. Fase deliberasi, terkadang dimasukkan
pula ke dalam kajian farmakokinetika. Namun, fase deliberasi
tampaknya lebih tepat jika dimasukkan ke dalam fase Farmasetik.
Proses farmakokinetika dimulai dari penyerapan (absorpsi), lalu
tersebar melalui ke seluruh jaringan tubuh melalui darah (distribusi),
selanjutnya dimetabolisi dalam organ-organ tertentu terutama hati
(biotransformasi), lalu sisa atau hasil metabolisme ini dikeluarkan
dari tubuh dengan ekskresi (eliminiasi) dan selanjutnya disingkat
menjadi ADME. Selain itu, farmakokinetika juga mempelajari
berbagai fakor yang mempengaruhi efektivitas obat.
Sebenarnya terdapat fase liberasi yaitu peleburan zat aktif obat
ketika memasuki tubuh, tetapi beberapa sumber menyebutkan
proses liberasi tergabung dalam absorpsi. Lain lagi menyebutkan
bahwa fase distribusi, metabolisasi, dan ekskresi digabung menjadi
satu nama fase: disposisi. Selain itu, terdapat pendapat bahwa ada
fase lainnya yang memasukan aspek toksikologis yang dikenal
dengan ADME-Tox atau ADMET. Fase penyaluran zat aktif obat-
obatan ini merupakan subjek dari interaksi psiko-kimia antara obat
dan organ tubuh, yang dapat diekspresikan secara matematis.
Dengan demikian, studi farmakokinetika menggunakan perhitungan
matematika untuk memprediksi kelakuan obat dalam proses
penyerapan dalam tubuh.
3. Farmakodinamik
Farmakodinamik (PD) adalah studi tentang efel biokimia dan
fisiologis obat (terutama obat-obatan farmasi). Efeknya dapat
termasuk yang dimanifestasikan dalam hewan (termasuk manusia),
mikroorganisme, atau kombinasi organisme (misalnya, infeksi).
Farmakodinamik dan farmakokinetik adalah cabang utama
farmakologi, dengan sendirinya menjadi topik biologi yang tertarik
dalam studi interaksi antara zat kimia endogen dan eksogen dengan
organisme hidup.
Secara khusus, farmakodinamik adalah studi tentang bagaimana
suatu obat mempengaruhi suatu organisme, sedangkan
farmakokinetik adalah studi tentang bagaimana organisme
mempengaruhi obat tersebut. Keduanya secara bersama-sama
memengaruhi dosis, manfaat, dan efek samping. Farmakodinamik
kadang disingkat sebagai PD dan farmakokinetik sebagai PK,
terutama dalam referensi gabungan (misalnya, ketika berbicara
tentang model PK/PD).
4. Mekanisme Kerja
Farmakodinamik memberi penekanan khusus pada hubungan dosis-
respons, yaitu hubungan antara konsentrasi dan efek obat. Salah satu
contoh yang dominan adalah interaksi reseptor obat sebagaimana
dimodelkan oleh di mana L, R, dan LR masing-masing mewakili
konsentrasi kompleks ligan (obat), reseptor, dan reseptor ligan.
Persamaan ini merupakan model dinamika reaksi yang
disederhanakan yang dapat dipelajari secara matematis melalui alat-
alat seperti peta energi bebas.
Farmakodinamik: Studi tindakan farmakologis pada sistem
kehidupan, termasuk reaksi dengan dan mengikat konstituen sel, dan
konsekuensi biokimia dan fisiologis dari tindakan ini.
Mayoritas obat juga meniru atau menghambat proses
fisiologis/biokimia normal atau menghambat proses patologis pada
hewan atau menghambat proses vital endo- atau ektoparasit dan
organisme mikrob.
5. Interaksi Obat
Interaksi Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi,
distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian
interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang
tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek
farmakologinya. Tidak mudah untuk memperkirakan interaksi jenis
ini dan banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian
kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi
farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi
pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-sifat
farmakokinetik yang sama.
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang
mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau
yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi
pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja
pada sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi obat-obat yang
berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu
obat akan terjadi juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi
dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan pasien yang
mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.
6. Keamanan Ibu Hamil dan Menyusui
Wanita hamil rata-rata mengonsumsi satu hingga tiga obat selain
suplemen zat besi dan vitamin rutin yang direkomendasikan selama
kehamilan. Wanita hamil minum obat untuk penyakit akut seperti
mual dan muntah, infeksi saluran pernapasan atas dan saluran kemih
atau untuk kondisi kronis seperti gangguan kejiwaan, infeksi HIV,
epilepsi, transplantasi organ, kondisi reumatologis, atau gangguan
penyalahgunaan zat. Farmakoterapi juga diperlukan untuk kondisi
yang diinduksi kehamilan seperti gangguan hipertensi, persalinan
prematur dan diabetes gestasional. Ibu hamil dan janinnya
merupakan populasi yatim piatu sehubungan dengan informasi
keamanan dan khasiat obat. Sembilan puluh delapan persen obat
yang disetujui di Amerika Serikat antara tahun 2000 dan 2010
memiliki data yang tidak memadai tentang dosis obat selama
kehamilan, sementara tujuh puluh persen dari mereka tidak memiliki
data tentang penggunaan obat dalam kehamilan. Wanita hamil
dikecualikan dari studi klinis karena masalah etika, keamanan janin
dan medis-hukum. Oleh karena itu, data yang tersedia tentang PK
dan PD obat yang digunakan dalam kehamilan masih terbatas.
Daftar masalah dan faktor pembaur potensial yang berkontribusi
terhadap kurangnya data PK dan PD pada kehamilan. Rekomendasi
dosis saat ini pada kehamilan didasarkan pada data yang diperoleh
dari populasi yang tidak hamil. Dalam konteks ini, teknik pemodelan
dan simulasi seperti PopPK atau PBPK dapat memberikan informasi
tambahan mengenai dosis obat yang tepat pada populasi khusus ini.
7. Contoh Obat
a. Obat Generik
1. Contoh obat 1 dan gambar
2. Farmakokinetik
Farmakokinetika adalah cabang ilmu dari farmakologi yang
mempelajari tentang perjalanan obat mulai sejak diminum hingga
keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia.[1] Fase-fase
farmakokinetik secara umum terbagi menjadi Adsoprsi, Distribusi,
Metabolisme, dan Ekstensi. Fase deliberasi, terkadang dimasukkan
pula ke dalam kajian farmakokinetika. Namun, fase deliberasi
tampaknya lebih tepat jika dimasukkan ke dalam fase Farmasetik.
farmakokinetika dimulai dari penyerapan (absorpsi), lalu tersebar
melalui ke seluruh jaringan tubuh melalui darah (distribusi),
selanjutnya dimetabolisi dalam organ-organ tertentu terutama hati
(biotransformasi), lalu sisa atau hasil metabolisme ini dikeluarkan
dari tubuh dengan ekskresi (eliminiasi) dan selanjutnya disingkat
menjadi ADME.[2] Selain itu, farmakokinetika juga mempelajari
berbagai fakor yang mempengaruhi efektivitas obat.
3. Farmakodinamik
Farmakodinamik dan adalah cabang utama farmakologi, dengan
sendirinya menjadi topik biologi yang tertarik dalam studi interaksi
antara zat kimia endogen dan eksogen dengan organisme hidup.
Secara khusus, farmakodinamik adalah studi tentang bagaimana
suatu obat mempengaruhi suatu organisme, sedangkan
farmakokinetik adalah studi tentang bagaimana organisme
mempengaruhi obat tersebut. Keduanya secara bersama-sama
memengaruhi dosis, manfaat, dan efek samping. Farmakodinamik
kadang disingkat sebagai PD dan farmakokinetik sebagai PK,
terutama dalam referensi gabungan (misalnya, ketika berbicara
tentang model PK/PD).
Fase Farmakodinamik merupakan fase interaksi obat dengan
reseptor di jaringan target. Interaksi antara obat dengan reseptor
menghasilkan perubahan transduksi sinyal pada tingkat molekuler,
seluler, organ dan jaringan. Fase Farmakoterapi merupakan fase
transformasi dari efek farmakologi menjadi efek klinik
4. Mekanisme Kerja
Obat Imunosupresan atau imunosupresif adalah kelompok obat yang
digunakan untuk menekan kerja sistem kekebalan tubuh. Obat ini
biasanya digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun atau
pencegahan reaksi penolakan pascatranplantasi organ. Pada
beberapa kondisi, obat golongan imunosupresan juga bisa
digunakan dalam terapi kanker jenis tertentu atau sebagai bagian
dalam terapi transplantasi sumsum tulang. Kortikosteroid
merupakan salah satu obat imunosupresif yang sudah sejak lama
dikenal dan digunakan.
5. Interaksi Obat
Sebelum mulai menggunakan obat ini, pastikan untuk memberi tahu
dokter tentang semua obat yang sedang dikonsumsi seperti obat
resep atau obat bebas dan vitamin atau suplemen.Dokter dapat
memberi tahu tentang kemungkinan interaksi obat yang mungkin
disebabkan oleh imunosupresan yang sedang digunakan. Seperti
Farmakodinamik memberi penekanan khusus pada hubungan dosis-
respons, yaitu hubungan antara konsentrasi dan efek obat. Salah satu
contoh yang dominan adalah interaksi reseptor obat sebagaimana
dimodelkan oleh di mana L, R, dan LR masing-masing mewakili
konsentrasi kompleks ligan (obat), reseptor, dan reseptor ligan.
Persamaan ini merupakan model dinamika reaksi yang
disederhanakan yang dapat dipelajari secara matematis melalui alat-
alat seperti peta energi bebas.
Farmakodinamik: Studi tindakan farmakologis pada sistem
kehidupan, termasuk reaksi dengan dan mengikat konstituen sel, dan
konsekuensi biokimia dan fisiologis dari tindakan ini.
Mayoritas obat juga meniru atau menghambat proses
fisiologis/biokimia normal atau menghambat proses patologis pada
hewan atau menghambat proses vital endo- atau ektoparasit dan
organisme mikrob.
samping yang ditimbulkan, risiko interaksi obat bergantung pada
obat spesifik yang di gunakan.
4. Mekanisme Kerja
Farmakodinamik memberi penekanan khusus pada hubungan dosis-
respons, yaitu hubungan antara konsentrasi dan efek obat. Salah satu
contoh yang dominan adalah interaksi reseptor obat sebagaimana
dimodelkan oleh di mana L, R, dan LR masing-masing mewakili
konsentrasi kompleks ligan (obat), reseptor, dan reseptor ligan.
Persamaan ini merupakan model dinamika reaksi yang
disederhanakan yang dapat dipelajari secara matematis melalui alat-
alat seperti peta energi bebas.Farmakodinamik: Studi tindakan
farmakologis pada sistem kehidupan, termasuk reaksi dengan dan
mengikat konstituen sel, dan konsekuensi biokimia dan fisiologis
dari tindakan ini.Mayoritas obat juga meniru atau menghambat
proses fisiologis/biokimia normal atau menghambat proses
patologis pada hewan atau menghambat proses vital endo- atau
ektoparasit dan organisme mikrob.
5. Interaksi Obat
a. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat
yang mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang
serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan
karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi
antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang
sama
Magee, L. A., Pels, A., Helewa, M., Rey, E., von Dadelszen, P., & Canadian
Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group. (2014). Diagnosis,
evaluation, and management of the hypertensive disorders of pregnancy.
Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada, 36(5), 416-441. doi:
10.1016/S1701-2163(15)30648-1
Liang, L., Li, J., Bai, X., & Li, L. (2020). Efficacy and safety of diazepam for
treating eclampsia: A systematic review and meta-analysis. The Journal of
Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 1-7. doi:
10.1080/14767058.2020.1765218
Aghdam, A. S., Alipour, M. R., Kazemian, A., Abedi, P., & Rezaei, M. (2020). The
effect of heparin therapy on prevention of preeclampsia and fetal outcomes
in pregnant women: A randomized controlled trial. Journal of Research in
Medical Sciences, 25(1), 64. doi: 10.4103/jrms.JRMS_618_19
Cleary, B. J., D'Arcy, E., McElhatton, P. R., & Johnston, A. M. (2021). Study of
Antiepileptic Drugs in Pregnancy (UKOSS): major congenital
malformations associated with the use of carbamazepine, lamotrigine and
valproate in pregnancy. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry.
Perucca, E., Tomson, T., & Cramer, J. A. (2018). The pharmacological treatment
of epilepsy in adults. The Lancet Neurology, 17(10), 893-902.
Stargrove, Mitchell Bebel, dan Stargrove, Lori Beth. 2020. Herb, Nutrient, and
Drug Interaction. Mosby: USA
Sweetman, S.C., 2020. Martindale: The Complete Drug Reference, 36th ed.,
London: The Pharmaceutical Press.
U.S Department of Health and Human Services. 2019. Guidance for Industry,
Bioanalytical Method Validation. U.S Department of Health and Human
Services.