Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

THALASEMIA

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners

Di Ruang Poli Onkologi RSSA MALANG

OLEH :

Andika Zenif Fajar Fauji

1520007

KELOMPOK 12

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROFESI NERS

STIKKES KEPANJEN

MALANG

2019
1. DEFINISI
Menurut The Center for Disease Control and Prevention (CDC),
thalasemia adalah penyakit gangguan genetik dimana satu dari dua
protein membuat kadar hemoglobin dalam sel darah merah berkurang
(CDC, 2009). Thalasemia merupakan anemia hemolitik herediter yang
diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif
(Yunanda, 2008). Thalasemia juga merupakan penyakit kelainan darah
yang ditandai dengan kondisi sel darah merah rusak atau umurnya lebih
pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penederita thalasemia
akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan
sering lemas, sulit tidur, nafsu makan hilang dan infeksi berulang
(Nucleus Precise, 2010).

2. ETIOLOGI
Terjadi ketidakseimbangan antara rantai protein globin alfa dan beta,
sehingga sumsum tulang tidak mampu membentuk protein (hemoglobin)
yang dibutuhkan oleh tubuh.

3. KLASIFIKASI
Secara molekuler, thalasemia dibedakan menjadi:
a. Thalasemia alfa (gangguan pembentukan rantai alfa)
Sindrom thalassemia alfa disebabkan oleh delesi pada gen
alfa globin pada kromosom 16 (terdapat 2 gen alfa globin pada tiap
kromosom 16) dan nondelesi seperti gangguan mRNA pada
penyambungan gen yang menyebabkan rantai menjadi lebih panjang
dari kondisi normal. Faktor delesi terhadap empat gen alfa globin
terdiri dari:
1. Delesi pada satu rantai alfa (Silent Carrier/alfa Thalassemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin alfa sedangkan tiga
lokus globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal
sehingga tidak terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalassemia.
2. Delesi pada dua rantai alfa (alfa Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan
peningkatan dari HbH dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti
anemia kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik mikrositer.
3. Delesi pada tiga rantai alfa (HbH disease)
Delesi ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang
disertai anemia hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz
bodies, dan retikulositosis. HbH terbentuk dalam jumlah banyak
karena tidak terbentuknya rantai alfa sehingga rantai beta tidak
memiliki pasangan dan kemudian membentuk tetramer dari rantai
beta sendiri. Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat
mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah
eritrosit dapat dihancurkan. Penderita dapat tumbuh sampai dewasa
dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl).
4. Delesi pada empat rantai alfa (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya
terdapat banyak Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak
terbentuknya rantai alfa sehingga rantai gamma membentuk
tetramer sendiri menjadi γ4. Manifestasi klinis dapat berupa ikterus,
hepatosplenomegali, dan janin yang sangat anemis. Kadar Hb
hanya 6 g/dl dan pada elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb
Barts, sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF. Biasanya bayi
yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah
kelahirannya.
b. Thalasemia beta (gangguan pembentukan rantai beta)
Thalasemia beta disebabkan oleh mutasi pada gen beta globin
pada sisi pendek kromosom 11. Thalasemia beta terdiri dari:
1. Thalasemia βo
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai
β sehingga tidak dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam pembentukan
HbA
2. Thalasemia β+
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan
fungsional namun hanya sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan
HbA dapat dibentuk walaupun hanya sedikit.

Secara klinis, thalasemia diklasifikasikan menjadi:


a. Thalasemia mayor
Terjadi bila kedua orang tua membawa gen pembawa sifat
thalasemia. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal
saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya
gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti:
 Jantung berdetak lebih kencang
 Facies cooley  batang hidung masuk ke dalam tulang pipi
menonjol akibat tulang sumsum yang bekerja terlalu keras untuk
mengatasi kekurangan hemoglobin
 Lemah
 Pucat
 Perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur
 Berat badan kurang
Pada umumnya penderita thalasemia mayor harus menjalani
transfuse darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang
baik, hidup penderita thalasemia hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan.
b. Thalasemia minor
Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap
ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan
transfusi darah di sepanjang hidupnya. Individu hanya membawa
gen penyakit thalasemia namun indivisu hidup normal, tanda-tanda
penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor tak
bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor
juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka
menerita thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini
akan muncul penyakit thalasemia mayor. Gejala pada
thalasmia minor antara lain:
 Gizi buruk
 Perut buncit karena hepatosplenomegali
 Aktivitas tidak aktif karena hepatosplenomegali, limpa yang
besar ini mudah rupture karena trauma ringan saja.
 Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering transfuse kulit
menjadi kelabu karena penimbunan besi
4. PATOFISIOLOGI

Gangguan sintesis rantai globin α dan β

- Rantai β kurang dibentuk Rantai α kurang terbentuk


dibanding α daripada rantai β
- Rantai β tidak dibentuk
sama sekali

Thalasemia β Thalasemia α

Pembentukan rantai α dan rantai β <<

Eritropoesis darah tidak efektif

Sintesis Hb <<

- Eritrosit hipokrom dan mikrositer


- Hemolisis eritrosit yang immatur

ANEMIA
ANEMIA

Kompensasi Hipoksia
tubuh
membentuk
eritrosit oleh Tubuh Suplai O2 ke
sumsum tulang merespon dg jaringan <<
>> pembentukan
eritropoetin
Gangguan
Hyperplasia metabolisme sel
sumsum tulang Masuk ke
sirkulasi
Perubahan
Ekspansi massif pembentukan ATP
sumsum tulang Merangsang
wajah dan eritropoesis
kranium Energy yg
dihasilkan <<
Pembentukan
Deformitas RBC immature
tulang dan mudah lisis Kelemahan fisik

Intoleransi
Perubahan bentuk Hb <<
aktivitas
wajah, penonjolan
tulang tengkorak,
pertumbuhan tulang
Perlu transfuse
maxilla >>
scr kontinue

Facies cooley Terjadi


penumpukan Fe

Pigmentasi kulit >> Hemokromatesis

Fibrosis
Fibrosis

Liver Limpa Paru

Hepatomegali Splenomegali Frekuensi napas >>

Ketidakefektifan
Perut buncit
pola napas

Menekan organ abdomen (termasuk


lambung dan saluran cerna)

Distensi abdomen/ peregangan


lambung

Merangsang pusat
kenyang di
hipotalamus

Dipersepsikan
kenyang

Anoreksia

Intake nutrisi tdk


adekuat

Ketidakseimbangan
BB <<
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
5. MANIFESTASI KLINIS
a) Gejala awal pucat, mulanya tidak jelas. Biasanya menjadi lebih berat
dalam tahun pertama kehidupan, dan pada kasus yang berat terjadi
dalam beberapa minggu setelah lahir
b) Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang anak
akan terhambat. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan
kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek.
c) Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat
disertai demam berulang kali akibat infeksi
d) Anemia lama dan berat, biasanya menyebabkan pembesaran jantung
e) Terdapat hepatosplenomegali dan Ikterus ringan mungkin ada
f) Terjadi facies cooley akibat sistim eritropoiesis yang hiperaktif
g) Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat
menimbulkan fraktur patologis. .
h) Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada
tungkai dan batu empedu.
i) Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah
diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia
yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia
akibat hipersplenisme.
j) Letargi, pucat, kelemahan, anoreksia, sesak nafas akibat
penumpukan Fe, tebalnya tulang kranial menipisnya tulang kartilago,
kulit bersisik kehitaman akibat penumpukan Fe yang disebabkan oleh
adanya transfuse darah secara kontinu.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan hematologi rutin
- Morfologi eritrosit  eritrosit hipokromik mikrositik, sel target,
normoblas (eritrosit berinti), polikromasia, bashopilic stipling, Heinz
bodies pada β thalassemia
- Kadar Hb pada thalasemia mayor 3-9 g/dl, thalasemia intermedia 7-10
g/dl
b. Elektroforesis Hb
- HbF meningkat : 10-98%
- HbA bisa ada pada β+, bisa tidak ada pada β o
- HbA2 sangat bervariasi, bisa rendah, normal, atau meningkat
c. Pemeriksaan sumsum tulang
Eritropoesis inefektif menyebabkan hiperplasia eritroid yang ditandai
dengan peningkatan cadangan Fe
d. Uji fragilitas osmotic
Pada darah normal 96% eritrosit akan terlisis, sedangkan pada thalasemia
eritrosit tidak terlisis
e. Pengukuran beban besi
Pengukuran feritin serum dan feritin plasma sebelum dilakukan transfuse
f. Pemeriksaan pedigree untuk mengetahui apakah orang tua atau
saudara pasien merupakan trait
g. Pemeriksaan molekuler
- Analisis DNA (Southern blot)
- Deteksi direct gen mutan
- Deteksi mutasi dengan probe oligonukleotida sintetik
- ARMS (mengamplifikasi segmen target mutan)
- Analisis “globin chain synthesis” dalam retikulosit akan dijumpai
sintesis rantai beta menurun dengan rasio α/β meningkat.

7. KOMPLIKASI
- Komplikasi nauromuskular  biasanya pasien terlambat berjalan
- Sindrom neuropathi  kelemahan otot-otot proksimal
- Gangguan pendengaran
- Ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu pigmen
dalam kandung empedu
- Serangan pirai sekunder akibat transfuse yang berulang-ulang
- Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, DM, dan penyakit
jantung
- Gagal jantung  transfuse darah yang berulang-ulang dan proses
hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi,
sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar,
limpa, kulit, jantung

8. PENATALAKSANAAN
- Transfusi : untuk mempertahankan kadar hb di atas 10 g/dl. Sebelum
melakukannya perlu dilakukan pemeriksaan genotif pasien untuk
mencegah terjadi antibody eritrosit. Transfusi PRC (packed red
cell)dengan dosis 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
- Antibiotik : untuk melawan mikroorganisme pada infeksi. Untuk
menentukan jenis antibiotic yang digunakan perlu dilakukan
anamnesis lebih lanjut pada pasien.
- Khelasi Besi: untuk mengurangi penimbunan besi berlebihan akibat
transfusi. Khelasi besi dapat berupa: desferoksamin diberikan injeksi
subcutan, desferipone (oral), desferrithiochin (oral), Pyridoxal
isonicotinoyl hydrazone (PIH), dll.
- Vitamin B12 dan asam folat : untuk meningkatkan efektivitas
fungsional eritropoesis.
- Vitamin C : untuk meningkatkan ekskresi besi. Dosis 100-250 mg/hari
selama pemberian kelasi besi
- Vitamin E : untuk memperpanjang masa hidup eritrosit.Dosis 200-400
IU setiap hari.
- Imunisasi : untuk mencegah infeksi oleh mikroorganisme.
- Splenektomi : limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan
bahaya terjadinya ruptur. Jika disetujui pasien hal ini sebaiknya
dilakukan setelah anak berumur di atas 5 tahun sehingga tidak terjadi
penurunan drastis imunitas tubuh akibat splenektomi.

Pencegahan thalassemia atau kasus pada pasien ini dapat


dilakukan dengan konsultasi pra nikah untuk mengetahui apakah diantara
pasutri ada pembawa gen thalassemia (trait), amniosentris melihat
komposisi kromosom atau analisis DNA untuk melihat abnormalitas pada
rantai globin.

9. PENGKAJIAN
 AKTIVITAS / ISTIRAHAT
Gejala : Lemah, tonus otot menurun

 ELIMINASI
Gejala : Diare.
Tanda : Abdomen keras, adanya hepatosplenomegali
Penurunan mortilitas usus

 MAKANAN / CAIRAN
Gejala : Hilang nafsu makan.
Penurunan berat badan
Tanda : Kulit kering / bersisik, tugor jelek.
Kekakuan / distensi abdomen

 NEUROSENSORI
Gejala : Pusing, kelemhan pada otot
Tanda : letargi,

 NYERI / KENYAMANAN
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang / berat).
Tanda : distensi abdomen

 PERNAPASAN
Gejala : Merasa kekurangan oksigen
Tanda : Frekuensi pernapasan >>

 KEAMANAN
Gejala : Kulit kering
Tanda : pigmentasi meningkat karena penumpukan Fe

10. MASALAH KEPERAWATAN


Etiologi Masalah Keperawatan
Hb << Ketidakefektifan pola napas

Hipoksia

Tubuh merespon dg pembentukan


eritropoetin

Masuk ke sirkulasi

Merangsang eritropoesis

Pembentukan RBC immature dan


mudah lisis

Perlu transfuse scr continue

Terjadi penumpukan Fe

Hemokromatesis

Fibrosis

Paru

Frekuensi napas >>

Ketidakefektifan pola napas


Hb << Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
Hipoksia

Tubuh merespon dg pembentukan


eritropoetin

Masuk ke sirkulasi

Merangsang eritropoesis

Pembentukan RBC immature dan


mudah lisis

Perlu transfuse scr continue

Terjadi penumpukan Fe

Hemokromatesis

Fibrosis

Hepatosplenomegali

Perut buncit

Menekan organ abdomen (termasuk


lambung dan saluran cerna)

Distensi abdomen/ peregangan


lambung

Merangsang pusat kenyang di


hipotalamus

Dipersepsikan kenyang
Hb << Intoleransi aktivitas

Hipoksia

Suplai O2 ke jaringan <<

Gangguan metabolism sel

Perubahan pembentukan ATP

Energy yg dihasilkan <<

Kelemahan fisik

Intoleransi aktivitas

11. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1) Ketidakefektifan pola napas
2) ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3) Intoleransi Aktivitas

12. INTERVENSI
Diagnosa: ketidakfektifan pola nafas
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam pola nafas menjadi efektif
Kriteria hasil:
1. RR= 16-20x/menit
2. Cuping hidung (-)
3. Retraksi dinding dada (-)
4. pH = 7,38 – 7,45
5. TTV normal (TD = 120/80 mmHg, nadi = 60-100x/mnt)
Intervensi Rasional
1. Monitor pola nafas dan pergerakan Perubahan pola nafas dan pergerakan
dinding dada dinding dada mengindikasikan adanya
gangguan pada pernapasan.
2. Monitor tanda-tanda vital Tanda–tanda vital menggambarkan
kondisi tubuh klien.
3. Auskultasi suara nafas Mengetahui perkembangan terapi dan
kondisi pernapasan
4. Posisikan pasien high fowler dan Posisi high fowler memaksimalkan
sokong dengan bantal inspirasi sehingga mempermudah
pernapasan.
5. Kolaborasi: Berikan masker NRBM Menyuplai kebutuhan oksigen dalam
12L/menit tubuh
6. Bantu klien tentang teknik relaksasi Teknik relaksasi dapat membantu pola
nafas

Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh
Tujuan : setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam intake nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
 BB dipertahankan
 Klien terlihat segar, tidak kering
 Albumin serum, hematokrit, hb, limfosit dalam batas normal

Intervensi
No. Intervensi Rasional
1. Kaji adanya alergi makanan Memberikan diit makanan yang aman
2. Rencanakan diit harian bersama Memberikan asupan nutrisi sesuai
klien dan kolaborasi dengan dengan keinginan pasien dan sesuai
Nutritionts dengan diit diabetic
3. Monitor adanya penurunan BB Penurunan BB mengindikasikan intake
dan kadar Glukosa nutrisi yang tidak adekuat
Kadar glukosa pada DM kronis
memerlukan control yang ketat
5. Jadwalkan pengobatan dan Menghindari ketidaknyamanan klien
tindakan tidak selama jam dan gangguan kegiatan lain
makan
6. Monitor turgor kulit Turgor kulit mengindikasikan status
nutrisi
7. Monitor kekeringan, rambut Kekeringan, rambut kusam, kurangnya
kusam, total protein, Hb, dan Ht total protein, Hb, Ht mengindikasikan
status nutrisi yang tidak adekuat
8. Monitor intake nutrisi dan Keseimbangan Intake nutrisi dengan
kegiatan klien BMR
9. Atur posisi semi fowler atau Mencegah aspirasi
fowler tinggi selama makan
10. Pertahankan terapi IV line Intake nutrisi dan fluid secara
konsisten
11. Lakukan oral higine sebelum Meningkatkan nafsu makan klien
makan

Diagnosa: intoleransi aktivitas


Tujuan: setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, masalah
intoleransi aktivitas teratasi
Kriteria hasil:
- Kemampuan aktivitas adekuat
- Mempertahankan nutrisi adekuat
- Keseimbangan antar aktivitas dan istirahat
Intervensi Rasional
Monitor dan catat pola serta jumlah Untuk mengidentifikasi hal-hal yang
tidur klien dapat mengurangi kenyamanan klien
saat beristirahat
Monitor intake nutrisi Untuk menjaga keseimbangan intake
nutrisi klien
Anjurkan klien melakukan kegiatan Untuk meminimalisir terjadinya
yang meningkatkan relaksasi intoleransi aktivitas
Tingkatkan pembatasan bedrest Untuk menjaga keseimbangan antar
dengan aktivitas aktivitas dan istirahat
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilyn E, et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,


Individualizing, and Documenting Client Care 3th Edition . Philadelphia: F. A.
Davis Company.
Nucleus Precise. 2010. Thalasemia.
http://mirbrokers.com/data/NewsletterEdisi64Thalasemia15.10.20101.pdf

The Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2009. Thalassemia.

http://www.cdc.gov/ncbddd/blooddisorders/documents/
BBV_PNV_C0_1159_Thalassemia_R2mtr.pdf

Yunanda, Yuki. 2008. Thalasemia.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2063/1/08E00848.pdf

Anda mungkin juga menyukai