Anda di halaman 1dari 17

.

Landasan Teori
A. Definisi
Thalasemia merupakan kelainan darah yang diturunan yang disebabkan oleh
kelainan hemoglobin (akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin) yang menyebabkan kerusakan pada sel
darah merah sehingga penderitanya mengalami anemia atau kurang darah (Marnis,
Indriati, & Nauli, 2018).
B. Etiologi
Thalasemia dapat terjadi disebabkan karena ketidakmampuan sumsum tulang
membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin secara sempurna.
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada didalam sel darah merah
(eritrosit) dan berfungsi untuk membawa oksigen dari peru-paru keseluruh tubuh.
Penyakit ini merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif.
Ditandai dengan defisiensi produksi globin pada hemoglobin. Terjadinya kerusakan sel
darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek.
Kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal. (Dara Cynthia Mukti, 2019).
C. Klasifikasi
Klasifikasi dari penyakit thalassemia menurut Hockenberry & Wilson (2009)  yaitu :
1. Thalasemia Minor
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang sehat namun
orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada anak-anaknya.  Penderita
tidak memerlukan transfusi darah dalam hidupnya.
2. Thalasemia Intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara Thalasemia mayor dan minor.
Penderita Thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala, dan
penderita Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup sampai dewasa
3. Thalasemia Mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila kedua
orangtua mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-anak dengan
Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita kekurangan darah
pada usia 3-18 bulan. Penderita Thalasemia mayor akan memerlukan transfusi darah
secara berkala seumur hidupnya dan dapat meningkatkan usia hidup hingga 10-20
tahun. Namun apabila penderita tidak dirawat penderita Thalasemia ini hanya
bertahan hidup sampai 5-6 tahun (Potts & Mandleco, 2007).
D. Tanda dan Gejala
1. Penderita thalassemia akan mengalami gejala anemia seperti : mudah lelah dan
lemas, namun pada penderita thalassemia minor anemia bisa tidak terjadi.
2. Pada thalassemia mayor umumnya menunjukkan gejala seperti : badan lemah, kulit
kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah, denyut jantung meningkat, tulang
wajah abnormal dan pertumbuhan terhambat serta permukaan perut yang membuncit
dengan pembesaran hati dan limpa.
E. Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai
beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini
mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami
presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari
hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan
hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC
yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara
terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,
menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi
RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh
(Nur Rachmi Sausan, 2020).
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer
adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi
asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian
biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa
atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil
kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam usus karena
eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolysis (Nur Rachmi
Sausan, 2020).
F. Pathway

Penyebab primer: Penyebab sekunder:


Sintesis Hb A berkurang Defisiensi asam folat
Eritropoisis tidak efektif Hemodelusi
Destruktif eritrosit intramedular Destruksi eritrosit oleh S. restikuloemdetial

Mutasi DNA

Produksi rantai Alfa dan beta Hb berkurang

Kelainan pada eritrosit

Pengikatan O2 berkurang

Kompensator meningkat pada rantai A

Rantai B produksi terus menerus

Hb detektif

Ketidakseimbangan polipeptida
Risiko infeksi
Eritrosit tidak stabil

Anemia Transfusi
Hemolisis darah
berat
berulang
Suplai O2 berkurang
Hemosiderosis

Ketidakseimbangan suplai Suplai O2 ke jaringan


Hipoksia Penumpukan besi
O2 dan kebutuhan perifer berkurang

Dyspneu
Perfusi jaringan perifer
tidak efektif
Pengunaan otot
bantu nafas

Kelelahan Endokrin Jantung Hepar Limpa Kulit menjadi


pucat
Tumbang Gagal jantung
Intoleransi Hepatomegali Splenomegali
terganggu
aktifitas
Risiko cidera
Nyeri akut
Malas makan Gangguan Gangguan
tumbuh kembang integritas kulit

Intake oral kurang Defisit nutrisi


G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium sangat penting untuk deteksi dini dan menegakkan diagnosa
Thalasemia. Adapun pemeriksaan laboratorium yang menunjang untuk pemeriksaan
Thalasemia yaitu :
1. Hematologi lengkap.
Hematologi lengkap meliputi pemeriksaan: hemoglobin,leukosit,trombosit,
hematokrit,Diffcount,LED, MCV,MCH dan MCHC, dengan pemeriksaanini akan
memberi informasimengenai jumlah sel darah merah yang ada,berapa jumlah
hemoglobin yang ada di sel darah merah dan ukuran serta bentuk sel darah merah.
2. Morfologi Darah Tepi (MDT )
Pada pemeriksaan ini,darah akan diperiksa dengan mikroskop untuk melihat jumlah
dan bentuk dari sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Selain itu, dapat juga
dievaluasi bentuk darah,kepucatan darah dan maturasi darah
3. Profil Iron
Meliputi pemeriksaan Fe,TiBC,Saturasi Fe, Feritin, Transferin. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui segala aspek penggunaan dan penyimpanan zat besi
dalam tubuh. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk membedakan apakah penyakit
disebabkan oleh anemia defisiensi besi biasa atau thalasemia.
4. Haemoglobinopathy evaluation.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui tipe dan jumlah relatif hemoglobin
dalam darah, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pemeriksaan Hb Elektroforesis.
5. Analisis DNA.
Analisis DNA digunakan untuk mengetahui adanya mutasi pada gen yang
memproduksi rantai alpha dan beta. Pemeriksaan ini merupakan tes yang paling
efektif untuk menegakkan diagnosis karier pada thalasemia.

H. Penatalaksanaan
Pengobatan Thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari gangguan.
Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta Thalasemia cenderung ringan
atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit atau tanpa pengobatan. Terdapat tiga
standar perawatan umum untuk Thalasemia tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi
darah, terapi besi dan chelation, serta menggunakan suplemen asam folat. Selain itu,
terdapat perawatan lainnya adalah dengan transplantasi sum-sum tulang belakang,
pendonoran darah tali pusat, dan HLA. (Nur Rachmi Sausan, 2020)
1. Transfusi darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini merupakan
terapi utama bagi orang-orang yang menderita Thalasemia sedang atau berat.
Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah merah
dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah
harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati.
Khusus untuk penderita beta Thalasemia intermedia, transfusi darah hanya dilakukan
sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta Thalasemia mayor (Cooleys
Anemia) harus dilakukan secara teratur Terapi diberikan secara teratur untuk
mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl
2. Terapi Khelasi Besi (Iron Chelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein. Apabila
melakukan transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan penumpukan zat besi
dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung, dan organ-organ lainnya. Untuk
mencegah kerusakan ini, terapi khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan
zat besi dari tubuh. Terdapat dua obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi
besi yaitu:
a. Deferoxamine
Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui bawah kulit secara
perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan pompa kecil yang digunakan dalam
kurun waktu semalam. Terapi ini memakan waktu lama dan sedikit memberikan
rasa sakit. Efek samping dari pengobatan ini dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan dan pendengaran.
b. Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek sampingnya adalah
sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, dan kelelahan.
3. Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel-sel darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di
samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
4. Transplantasi sum-sum tulang belakang Bone Marrow Transplantation (BMT) sejak
tahun 1900 telah dilakukan. Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan
menggantikan sel-sel induk yang rusak. Sel-sel induk adalah sel- sel di dalam sumsum
tulang yang membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah satu-satunya
pengobatan yang dapat menyembuhkan Thalasemia. Namun, memiliki kendala karena
hanya sejumlah kecil orang yang dapat menemukan pasangan yang baik antara donor
dan resipiennya
5. Pendonoran darah tali pusat (Cord Blood) Cord
Cord blood adalah darah yang ada di dalam tali pusat dan plasenta. Seperti tulang
sumsum, itu adalah sumber kaya sel induk, bangunan blok dari sistem kekebalan
tubuh manusia. Dibandingkan dengan pendonoran sumsum tulang, darah tali pusat
non-invasif, tidak nyeri, lebih murah dan relatif sederhana
6. HLA (Human Leukocyte Antigens)
Human Leukocyte Antigens (HLA) adalah protein yang terdapat pada sel
dipermukaan tubuh. Sistem kekebalan tubuh kita mengenali sel kita sendiri sebagai
'diri' dan sel „asing' sebagai lawan didasarkan pada protein HLA ditampilkan pada
permukaan sel kita. Pada transplantasi sumsum tulang, HLA ini dapat mencegah
terjadinya penolakan dari tubuh serta Graft versus Host Disease (GVHD). HLA yang
terbaik untuk mencegah penolakan adalah melakukan donor secara genetik
berhubungan dengan penerima.
I. Komplikasi
Menurut (Sillvy, 2018) Ada 5 Komplikasi Thalasemia :
1. Komplikasi pada Jantung
Kelainan jantung khususnya gagal jantung kiri berkontribusi lebih dari setengah
terhadap kematian pada penderita thalasemia. Penyakit jantung pada penderita
thalasemia mungkin bermanifestasi sebagai kardiomiopati hemosiderrhosis, gagal
jantung, hipertensi pulmonal, arrithmia, disfungsi sistolik/diastolik, effusi pericardial,
miokarditis atau perikarditis. Penumpukan besi merupakan faktor utama yang
berkontribusi terjadinya kelainan pada jantung, adapun faktor-faktor lain yang
berpengaruh antara lain genetik,faktor imunologi, infeksi dan anemia kronik. Pada
pasien yang mendapatkan transfusi darah tetapi tidak mendapatkan terapi kelasi besi
penyakit jantung simtomatik dilaporkan 10 tahun setelah pemberian transfusi pertama
kali
2. Komplikasi endokrin
Insiden yang tinggi pada disfungsi endokrin telah dilaporkan pada anak, remaja,
dan dewasa muda yang menderita thalasemia mayor. Umumnya komplikasi yang
terjadi yaitu hypogonadotropik hipogonadisme dilaporkan di atas 75% pasien. Pituari
anterior adalah bagian yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang akan
menggangu sekresi hormonal antara lain disfungsi gonad. Perkembangan seksual
mengalami keterlambatan dilaporkan 50% anak laki-laki dan perempuan mengalami
hal tersebut, biasanya pada anak perempuan akan mengalami amenorrhea.Selama
masa kanak-kanak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh kondisi anemia dan masalah
endokrin. Masalah tersebut mengurangi pertumbuhan yang harusnya cepat dan
progresif menjadi terhambat dan pada akhirnya biasanya anak dengan thalasemia akan
mengalami postur yang pendek. Faktor-faktor lain yang berkontribusi antara lain yaitu
infeksi, nutrisi kurang, malabsorbsi vitamin D, defisiensi kalsium, defisiensi zinc dan
tembaga, rendahnya level insulin seperti growth faktor-1(IGF-1) dan IGF-binding
protein-3(IGFBP-3).Komplikasi endokrin yang lainnya adalah intoleransi glukosa
yang disebabkan penumpukan besi pada pancreas sehingga mengakibatkan diabetes.
Disfungsi thyroid dilaporkan terjadi pada pasien thalasemia di mana hypothyroid
merupakan kasus yang sering ditemui, biasanya terjadi peningkatan kadar TSH.
Hypothyroid pada tahap awal bisa bersifat reversibel dengankelasi besi secara
intensif. Selain Hypotyroid kasus lainnya dari kelainan endokrin yang ditemukan
yaitu hypoparathyroid. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan
kadar serum kalsium, phosphate dan hormon parathyroid di mana kelainan ini
biasanya ditemukan pada dekade kedua kehidupan.
3. Komplikasi metabolic
Kelainan metabolik yang sering ditemukan pada penderita thalasemiayaitu
rendahnya masa tulang yang disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi,
disfungsi multiendokrin dan defisiensi dari vitamin D, kalsium dan zinc. Masa tulang
bisa diukur dengan melihat Bone Mineral Density (BMD) dengan menggunakan dual
x-ray pada tiga tempat yaitu tulang belakang, femur dan lengan. Rendahnya BMD
sebagai manifestasi osteoporosis apabila T score <-2,5 dan osteopeni apabila T score-
1 sampai-2.
4. Komplikasi hepar
Setelah dua tahun dari pemberian transfusi yang pertama kali pembentukan
kolagen dan fibrosis terjadi sebagai dampak dari adanya penimbunan besi yang
berlebih. Penyakit hati yang lain yang sering muncul yaitu hepatomegali, penurunan
konsentrasi albumin, peningkatan aktivitas aspartat dan alanin transaminase. Adapun
dampaklain yang berkaitan dengan penyakit hati adalah timbulnya Hepatitis B dan
Hepatitis C akibat pemberian transfusi.
5. Komplikasi Neurologi
Komplikasi neurologis pada penderita thalasemia beta mayor dikaitkan dengan
beberapa faktor antara lain adanya hipoksia kronis, ekspansi sumsum tulang,
kelebihan zat besi dan adanya dampak neurotoksik dari pemberian desferrioxamine.
Temuan abnormal dalam fungsi pendengaran, timbulnya potensisomatosensory
terutama disebabkan oleh neurotoksisitas desferioxamin dan adanya kelainan dalam
konduksi saraf.
Teori Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan. Kegiatan yang
dilakukan pada saat pengkajian adalah mengumpulkan data, memvalidasi data,
megorganisasikan data dan mencatat yang diperoleh. Langkah ini merupakan dasar
untuk perumusan diagnose keperawatan dan mengembangkan rencana keperawatan
sesuai kebutuhan pasien serta melakukan implementasi keperawatan.
a. Asal Keturunan/Kewarganegaraan Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa
disekitar laut tengah (mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia
sendiri, thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan
penyakit darah yang paling banyak diderita.
b. Umur Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia
minor yanmbg gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada
umur sekitar 4-6 tahun.
c. Riwayat kesehatan anak Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas
bagian atas infeksi lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang
berfungsi sebagai alat transport
d. Pertumbuhan dan perkembangan Sering didapatkan data mengenai adanya
kecenderungan gangguan terhadap tumbuh kembang sejak anak masih bayi,
karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi
terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk
umurnya dan ada keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada
pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.
e. Pola makan Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan,
sehingga berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
f. Pola aktivitas Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak
tidur / istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa Lelah
g. Riwayat kesehatan keluarga Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu
dikaji apakah orang tua yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua
menderita thalassemia, maka anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh
karena itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk
mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
h. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC) Selama Masa Kehamilan,
hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor risiko thalassemia. Sering
orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila diduga faktor resiko, maka ibu
perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin dialami oleh anaknya nanti
setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
i. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
1) Keadaan umum = Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta
tidak selincah aanak seusianya yang normal.
2) Kepala dan bentuk muka.Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan
mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah
mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar,
dan tulang dahi terlihat lebar.
3) Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
4) Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
5) Dada, Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
6) Perut, Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati
7) ( hepatosplemagali).
8) Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari
normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-
anak lain seusianya.
9) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas Ada
keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan
rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat
mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
10) Kulit Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat
transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya
penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis) (Wiayaningsih,
2013)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi perifer tidak efektif
2. Intoleransi aktivitas
3. Nyeri akut
4. Gangguan tumbuh kembang
5. Gangguan integritas kulit
6. Risiko infeksi
7. Risiko cedera
8. Defisit nutrisi

C. Intervensi
Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI,2018) Tahap perencanaan dapat
disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan sebab perencanaan merupakan
keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan
dilakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan
keperawatan. Dalam penyusunan rencana tindakan keperawatan perlu keterlibatan
keluarga dan orang terdekat klien atau pasien untuk memaksimalkan perencanaan
tindakan keperawatan tersebut (Asmadi, 2008). Intervensi asuhan keperawatan yang
telah dilakukan pada kedua klien belum menggunakan standar intervensi keperawatan
indonesia (SIKI) dan standar luaran keperawatan indonesia (SLKI). Menurut buku SIKI,
terdapat 4 tindakan dalam intervensi keperawatan yang terdiri atas observasi, terapeutik,
edukasi, dan kolaborasi (PPNI,2018). Berdasarkan kasus, tindakan yang akan dilakukan
sesuai dengan intervensi yang telah peneliti susun dengan masalah gangguan perfusi
jaringan dan perfusi jaringan tidak efektif .
D. Implemnetasi

Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan yang


merupakan susunan dalam tahap perencanaan, kemudian mengakhiri tahap
implementasi dengan mencatat tindakan dan respons klien terhadap tindakan
tersebut (Kozier,2010).

E. Evaluasi
Evaluasi dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1) Evaluasi berjalan (sumatif)
Evaluasi jenis ini dikerjakan dalam bentuk pengisian format catatn
perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh
keluarga.
Format yang dipakai adalah format SOAP.

2) Evaluasi akhir (formatif)


Evaluasi jenis ini di kerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang
akan di capai. Bila terdapat kesenjangan di antara keduanya, mungkin semua
tahap dalam proses keperawatan perlu di tinjau kembali, agar di dapat data-
data, masalah atau rencana yang perlu di modifikasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data demografi
Nama pasien :Tn. Faizal Zidane
Tgl MRS : 05/01/23
TTL : 02/01/2001
Alamat : Jl. Rapak Indah 2 RT. 41
Status perkawinan : Belum kawin
Agama : Islam
Pendidikan : SMK
Diagnosa medis saat masuk RS : Thalasemia
Tgl pengkajian : 05/01/23
Diagnosa medis saat pengkajian : Thalasemia
2. Keluhan saat masuk rumah sakit
Pasien mengatakan bahwa setiap bulan rutin transfusi darah untuk meningkatkan
sel darah merahnya
3. Riwayat penyakit
Tidak memiliki riwayat penyakit
4. Riwayat alergi
Tidak memiliki riwayat alergi makanan dan obat
5. Kebiasaan sehari-hari
Tidak memiliki kebiasaan seperti merokok dan tidak konsumsi alkohol
6. Pemeriksaan fisik
- Kulit: berwarna coklat, pucat , CRT<2 detik
- Konjungtiva: anemis
- Ttv: Td 100/70, nadi:81x/i, rr: 20x/i, Suhu: 36,4oC
7. Pola nutrisi
Subyektif: tidak ada penurunan berat badan selama 6 bulan terakhir
Obyektif: turgor kulit baik, bibir lembab
8. Pola eliminasi
Subyektif: bab lancar, konsistensi lunak, warna kuning kecoklatan, bak lancar
Obyektif: peristaltik normal, tidak ada nyeri tekan perut, tidak ada massa dan tidak
ada hemoroid
9. Pola aktifitas
Subyektif: tidak memiliki ketergantungan untuk melakukan aktifitas sehari-hari
Obyektif: tidak memiliki ketergantungan pada aktiftas sehari-hari
10. Pola tidur dan istirahat
Subyektif: memiliki kebiasaan tidur 8jam sehari, tidak ada masalah dalam tidur
Obyektif: tidak ada
11. Pola persepsi diri
Subyektif: memiliki pandangan positif terhadap dirinya sendiri
Obyektif: selama pengkajian pasien dapat dengan tenang
12. Pola peran-hubungan
Subyektif: pasien tidak tinggal bersama keluarga tetapi memiliki hubungan yang
baik antar klg
13. Pola seksualitas
Pasien tidak memiliki riwayat prostat dan tidak memiliki riwayat PMS
14. Pola koping
Pasien tidak memiliki kejadian stress atau traumatik
15. Pola nilai-keyakinan
Pasien beragam islam dan rutin menjalankan ibadah
16. Skala morse
Faktor Resiko Skala Poin Skor
Ya 25
Riwayat Jatuh
Tidak 0 0
Diagnosa sekunder
(> 2 diagnosa
Ya 15
media)
Tidak 0 0
Berpegangan 30
Alat Bantu Tongkat/alat 15
Tidak 0 0
Ya 20 20
Terpasang Infus
Tidak 0
Terganggu 20
Gaya Berjalan Lemah 10
Normal/Tirah 0 0
Mengalami
keterbatasan
Status Mental
daya ingat 15
Menyadari 0 0
Total 20
Kategori Resiko Rendah
17. Pemeriksaan penunjang
Lab: HB: 8,0
Leukosit: 8.600
Hematokrit: 25%
Trombosit: 171.000
Ferritin: 7.800
18. Pengobatan
NaCl 0,9% 20 tpm
Transfusi PRC 2 Kolf

B. Diagnosa keperawatan

No. Analisa data Diagnosa keperawatan Etiologi


1. Ds : Pasien mengatakan Perfusi perifer tidak efektif Penurunan Konsentrasi
bahwa setiap bulan rutin Hemoglobin
transfusi darah untuk
meningkatkan sel darah
merahnya
Do : - HB : 8.0 g/dL -
Konjungtiva anemis
- N : 81x/menit
2. Ds: Resiko gangguan integritas Ketidakmampuan
Do: kulit terlihat kering, kulit merawat kulit
warna kulit kecoklatan
3. Ds:- Resiko infeksi Penurunan hemoglobin
Do: Hb: 8,0 L: 8.600mg/dl
C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1 Perfusi perifer Setelah dilakukan Observasi:
tidak efektif tindakan keperawatan 1.1. Identifikasi rencana transfusi
selama 1x12 jam perfusi 1.2. Monitor ttv sebelum, selama, dan
perifer teratasi, ditandai setelah transfusi (TD, suhu, nadi dan
dengan: frekuensi)
 Kulit pucat menurun 1.3. Monitor reaksi tranfusi
 Konjungtiva Terapeutik:
meningkat 1.4. Lakukan pengecekan ganda pada
label darah
1.5. Periksa kepatenan intavena, flebitis
dan tanda infeksi local
1.6. Berikan nacl 0,9% 50-100ml
sebelum transfuse
1.7. Berikan transgusi dalam waktu
maksimal 4 jam
1.8. Hentikan transfuse jika terdapat
reaksi transfuse
1.9. Dokumentasikan tanggal, waktu,
jumlah darah, durasi dan respon
transfusi
Edukasi:
1.10. Jelaskan tanda dan gejala reaksi
transfuse yang perlu dilaporkan (mis.
Gatal, pusing nafas, dan/ atau nyeri
dada)
2 Resiko Setelah dilakukan Observasi:
gangguan tindakan keperawatan 2.1. Identifikasi penyebab gangguan
integritas kulit selama 1x12 jam resiko integritas kulit (mis: perubahan
gangguan integritas kulit sirkulasi, perubahan status nutrisi,
tidak terjadi, ditandai penurunan kelembaban, suhu
dengan: lingkungan ekstrem, penurunan
mobilitas
Terapeutik:
2.2. Hindari produk berbahan dasar
alcohol pada kulit kering
2.3. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
baring
Edukasi:
2.4. Anjurkan menggunakan pelembab
(mis. Lotion, serum)
2.5. Anjurkan minum air yang cukup
2.6. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
2.7. Anjurkan mandi dan menggunakan
sabun secukupnya
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan Observasi:
tindakan keperawatan 3.1. Monitor tanda dan gejala infeksi
selama 1x12 jam resiko lokal dan sistemik
infeksi tidak terjadi, Terapeutik:
ditandai dengan: 3.2. Batasi jumlah pengunjung
 Kebersihan tangan 3.3. Mencuci tangan sebelum dan
cukup meningkat sesudah kontak dengan pasien dan
 Kebersihan badan lingkungan pasien
cukup meningkat 3.4. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi:
3.5. Menjelaskan tanda dan gejala
infeksi
3.6. Mengajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
3.7. Menganjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi:
3.8. Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu

D. Implementasi
Tgl/Jam Implementasi Evaluasi Proses
05/01/2 1.1. Mengidentifikasi rencana transfusi S:
3 - Pasien mengatakan tidak ada riwayat
3.3 Mencuci tangan sebelum dan sesudah alergi saat atau setelah tranfusi
15:00 kontak dengan pasien dan lingkungan O:
pasien -Infus terpasang NaCl 0,9% dari UGD
dan tidak ada tanda-tanda plebitis
1.2. Memonitor ttv sebelum, selama, -TTV, Td: 100/70 N:86x/i RR:20x/i
15:30 dan setelah transfusi (TD, suhu, nadi suhu: 36,5
dan frekuensi) -Melakukan double cek pada kantong
1.3. Memeriksa kepatenan intavena, darah PRC
flebitis dan tanda infeksi local No. Kantong: F951 8620
1.4. Memberikan nacl 0,9% 50-100ml Golda: B+
sebelum transfuse Vol: ±210 cc
15:55 1.5. Melakukan pengecekan ganda
- Memasang transfusi darah selama ±2
pada label darah
jam
16:00 1.6. Memberikan transfusi dalam waktu
- Pasien paham dengan penjelasan
maksimal 4 jam
perawat tentang reaksi alergi pada
16:05 1.10 Menjelaskan tanda dan gejala reaksi
saat transfusi
transfuse yang perlu dilaporkan (mis.
Gatal, pusing nafas, dan/ atau nyeri dada)
16:15 1.7. Memonitor reaksi tranfusi

18:00 1.8. Mendokumentasikan tanggal,


waktu, jumlah darah, durasi dan
respon transfusi

17:00 3.4 Mengidentifikasi penyebab gangguan S:


integritas kulit (mis: perubahan - Pasien mengatakan sering terpapar
sirkulasi, perubahan status nutrisi, sinar matahari karena bekerja
penurunan kelembaban, suhu dilapangan
lingkungan ekstrem, penurunan - Pasien mengatakan makan 3x sehari
mobilitas dengan nutrisi yg cukup
3.5 Menghindari produk berbahan dasar O:
alcohol pada kulit kering - Kulit nampak kering
2.4 Menganjurkan menggunakan pelembab
(mis. Lotion, serum)
2.5 Menganjurkan minum air yang cukup
2.6 Menganjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
3.1 Monitor tanda dan gejala infeksi lokal S:
dan sistemik O:
3.2 Batasi jumlah pengunjung - Perawat mencuci tangan sesuai
3.3 Pertahankan teknik aseptik pada pasien dengan 5 moment
berisiko tinggi - Pasien sudah paham cara cuci tangan
3.4 Menjelaskan tanda dan gejala infeksi dengan benar
3.5 Mengajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
3.6 Menganjurkan meningkatkan asupan
cairan
22:30 3.3 Mencuci tangan sebelum dan sesudah S:
kontak dengan pasien dan lingkungan O:
pasien - TTV Td: 100/70, nadi: 85x/i, rr:
1.2 Memonitor ttv sebelum, selama, dan 20x/i, suhu: 26,4oC
setelah transfusi (TD, suhu, nadi dan - Melakukan double cek
frekuensi)
1.4 Melakukan pengecekan ganda pada
label darah
1.6 Memberikan transfusi dalam waktu
maksimal 4 jam
1.10 Menjelaskan tanda dan gejala reaksi
transfuse yang perlu dilaporkan (mis.
Gatal, pusing nafas, dan/ atau nyeri dada)
1.7 Memonitor reaksi tranfusi
1.8 Mendokumentasikan tanggal, waktu,
jumlah darah, durasi dan respon
transfusi
E. Evaluasi Hasil
No. Dx Tanggal/jam Evaluasi Hasil
1. S:
O: ku. Sdg, kes.CM
TTV: td:
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
Pasien pulang
2. S:
O:
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
3. S:
O:
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
Penyebab primer: Penyebab sekunder:
Sintesis Hb A berkurang Defisiensi asam folat
Eritropoisis tidak efektif Hemodelusi
Destruktif eritrosit intramedular Destruksi eritrosit oleh S. restikuloemdetial

Mutasi DNA

Produksi rantai Alfa dan beta Hb berkurang

Kelainan pada eritrosit

Pengikatan O2 berkurang

Kompensator meningkat pada rantai A

Rantai B produksi terus menerus

Hb detektif

Ketidakseimbangan polipeptida
Risiko infeksi
Eritrosit tidak stabil

Anemia Transfusi
Hemolisis darah
berat
berulang
Suplai O2 berkurang
Hemosiderosis

Ketidakseimbangan suplai Suplai O2 ke jaringan


Hipoksia Penumpukan besi
O2 dan kebutuhan perifer berkurang

Dyspneu
Perfusi jaringan perifer
tidak efektif
Pengunaan otot
bantu nafas

Kelelahan Endokrin Jantung Hepar Limpa Kulit menjadi


pucat
Tumbang Gagal jantung
Intoleransi Hepatomegali Splenomegali
terganggu
aktifitas
Risiko cidera
Nyeri akut
Malas makan Gangguan Gangguan
tumbuh kembang integritas kulit

Intake oral kurang Defisit nutrisi

Anda mungkin juga menyukai