OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PADA PASIEN DENGAN THALASEMIA
A. KONSEP PENYAKIT
1. PENGERTIAN
Istilah talasemia, yang berasal dari kata yunani thalassa dan
memiliki makna “laut”, digunakan pada sejumlah kelainan darah bawaan
yang ditandai defisiensi pada kecepatan produksi rantai globin yang
spesifik dalam Hb (Wong, 2009).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada
hemoglobin. dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh
darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari) (Arif
Manjoer, 2000).
Talasemia merupakan kelompok gangguan darah yang diwariskan,
dikarakteristikkan dengan defisiensi sintesis rantai globulin spesifik
molekul hemoglobin (Muscari, 2005). Talasemia adalah penyakit bawaan
dimana sistem tubuh penderitanya tidak mampu memproduksi hemoglobin
yang normal (Pudjilestari, 2003). Sindrom talasemia merupakan kelompok
heterogen kelainan mendelian yang ditandai oleh defek yang
menyebabkan berkurangnya sintesis rantai α- atau β-globin (Mitcheel,
2009).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari). Penyebab kerusakan
tersebut adalah Hb yang tidak normal sebagai akibat dari gangguan dalam
pembentukan jumlah rantai globin atau struktur Hb (Nursalam,2005).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Thalasemia merupakan keadaan yang diwarisi, yaitu diwariskan dari
keluarga kepada anak. Kecacatan gen menyebabkan haemoglobin dalam
sel darah merah menjadi tidak normal. Mereka yang mempunyai penyakit
Thalasemia tidak dapat menghasilkan haemoglobin yang mencukupi
dalam darah mereka. Haemoglobin adalah bahagian sel darah merah yang
mengangkut oksigen daripada paru-paru keseluruh tubuh. Semua tisu
tubuh manusia memerlukan oksigen. Akibat kekurangan sel darah merah
yang normal akan menyebabkan pesakit kelihatan pucat kerana paras
hemoglobin (Hb) yang rendah (anemia).
2. PATOFISIOLOGI
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb A dengan polipeptida
rantai alfa dan dua rantai beta . Pada beta thalasemia adalah tidak adanya
atau kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada
gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen. Adanya suatu
kompensator yang meningkat dalam rantai alfa, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin
defective. Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan
ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah
menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan dalam rantai alfa ditemukan pada thalasemia beta dan
kelebihan rantai beta dan gamma ditemukan pada thalasemia alfa.
Kelebihan rantai polipeptida kini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit.
Globin intra eritrositik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai
rantai polipeptida alfa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stbil
badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
Produksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi
RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow,
produksi RBC diluar menjadi eritropoetik aktif. Kompensator produksi
RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik. Dan dengan cepatnya
destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow
menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh
3. PATHWAY
Mutasi DNA
Pengikatan O2berkurang
Hb defectif
Ketidakseimbangan polipeptida
Hipoksia
Dyspneu
Endokrin Jantung Hepar Limpa Kulit
menjadi
Penggunaan otot kelabu
Tumbang Gagal Hepatomegali Splenomegali
bantu napas
terganggu Jantung
Malas makan
Intake
nutrisi <<
MK:
Defisit Nutrisi
4. ETIOLOGI
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang
diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen
yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11.
Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta
ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan
disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat
thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen
dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa
sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin
terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia
(Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari
kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada
proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari
ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-
masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan
terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak
mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak
dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak
hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak
hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak
mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah
penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh
pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/
Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia
trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka
menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau
Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka
akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka
akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak
seorang diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor.
Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah
sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-
anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di
kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa
sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga
memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita
Thalassaemia mayor
5. KLASIFIKASI
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada
Thalassemia terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11
mempunyai satu gen β pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan
dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total
empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α
dan dua subunit β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya
separuh dari kuantitas protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan
produksi subunit protein yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen
globin gagal, dan produksi protein globin subunit tidak seimbang.
Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh
gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat menyebabkan
defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang
mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek
secara delesi dan nondelesi dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak,
2007).
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada
kromosom 16, maka akan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi
gen sering terjadi pada Thalassemia α maka terminologi untuk
Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi, apakah pada
satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat
lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis)
atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada
dua gen dilabel αo (Sachdeva, 2006).
1) Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α
sehingga secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu
pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu
tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa menurunkan kepada
anaknya (Wiwanitkit, 2007).
2) Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik
mikrositik dan anemia ringan. Individu dengan tipe ini biasanya
kelihatan dan merasa normal dan mereka merupakan karier yang
bisa menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit, 2007).
3) Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering
memerlukan transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar
antara produksi rantai α dan β menyebabkan akumulasi rantai β di
dalam eritrosit menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu
Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2007).
4) Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan
biasanya meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah
dilahirkan, yang biasanya diakibatkan oleh hydrop fetalis.
Kekurangan empat rantai α menyebabkan kelebihan rantai γ
(diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai β menghasilkan
masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu Hemoglobin
Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap oksigen sangat tinggi)
(Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva, 2006).
b. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada
kromosom 11 (Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β
disebabkan point mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen,
2006). Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya
terdapat di daerah tropis dan subtropis serta di daerah dengan
prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit, 2007).
1) Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan. Satu
pertiga penderita Thalassemia mengalami tipe ini.
2) Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β
terjadi. Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal
dihasilkan pada keadaan ini.
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS
PRECISE, 2010)
a. Thalasemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor
merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar
hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah
merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel
darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek,
hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk
memperpanjang hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak
normal saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya
gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung
berdetak lebih kencang dan facies cooley. Faies cooley adalah ciri khas
thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang
pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk
mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan
tampak memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita
thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan
seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering
transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat
ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian
sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.
b. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia,
namun individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak
muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia
menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi masalah.
Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada
garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor
dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas,
loyo dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada
sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi
tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya
Secara molekuler talasemia dibedakan atas: (Behrman et al, 2004)
a. Talasemia a (gangguan pembentukan rantai a).
b. Talasemia b (gangguan pembentukan rantai b).
c. Talasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak
gen-nya diduga berdekatan).
d. Talasemia d (gangguan pembentukan rantai d).
6. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala lain dari thalasemia yaitu :
a. Thalasemia Mayor
1) Pucat
2) Lemah
3) Anoreksia
4) Sesak napas
5) Peka rangsang
6) Tebalnya tulang kranial
7) Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
8) Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
9) Disritmia
10) Epistaksis
11) Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
12) Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
13) Kadar besi serum tinggi
14) Ikterik
15) Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar
hidung lebar dan datar.
b. Thalasemia Minor
1) Pucat
2) Hitung sel darah merah normal
3) Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml
di bawah kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
sedang
7. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung.
Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan
kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai
jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini
menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia
disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan
Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah
transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis
mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi
kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi
melanin (Herdata, 2008)
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test. Screening test, di daerah endemik, anemia
hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia
(Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi
pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent
carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada
diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit.
Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi
natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui
probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang
bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol <
spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF berkaitan kegunaan
sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu
penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi
81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53%
(Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi
hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang
memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan
(Wiwanitkit, 2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus
telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x
(MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi
kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi
besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang
diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi
sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita
Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan
anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula
MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala
lanjut (Yazdani, 2011).
Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin
di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah
Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan
kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai
abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia
Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi
Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan
Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual
Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini
berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung
konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,
2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan
tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang
berlaku (Wiwanitkit, 2007).
9. PENATALAKSANAAN
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara
lain : Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat
dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine
diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama
dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
Splenectomy dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal
dari suplemen (transfusi).
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif
(misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan
pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap
penelitian.
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002;
Hassan dan Alatas, 2002; Herdata, 2008)
a. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin
lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine,
dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus
dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap
selesai transfusi darah. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian
kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi. Asam folat 2-5
mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. Vitamin E 200-
400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah
b. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi: limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur hipersplenisme ditandai
dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan
suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi
penderita thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia
mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi
besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak
usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk
melakukan transplantasi ini.
c. Suportif
Tranfusi Darah. Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5
g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
Penyakit jantung coroner Aritmia setelah aktivitas Kolaborasi dengan ahli gizi
Imobilisasi
Gagal jantung kongestif
Diabetes melitus
Imunodefisiensi (mis. AIDS)
6. Resiko Infeksi (D.0142) Setelah diberikan asuhan Pencegahan Infeksi
Definisi : beresiko mengalami keperawatan selama Observasi
peningkatan terserang organisme …x...jam diharapkan dapat Monitor tanda dan gejela
patogenik mengatasi Resiko Infeksi infeksi local dan sitemik
Faktor Resiko : dengan kriteria hasil: Terapeutik
Penyakit kronis (mis. Tingkat infeksi Batasi jumlah pengunjung
Diabetes militus) Kebersihan tangan Berikan perawatan kulit
Efek prosedur invasive meningkat (5) pada area edema
Malnutrisi Kebersihan badan Cuci tangan sebelum dan
Peningkatan paparan meningkat (5) sesudah kontak dengan
organisme pathogen Nafsu makan meningkat pasien dan lingkungan
lingkungan (5) pasien
Kerusakan integritas
Bengkak menurun (5) Jelaskan tanda dan gejala
Vesikel menurun (5) infeksi
kulit
Perubahan sekresi pH
Cairan berbau busuk Ajarkan cara mencuci
menurun (5) tangan dengan benar
Penurunan kerja silialis
Ketuban pecah lama
Sputum berwarna hijau Ajarkan etika batuk
menurun (5) Ajarkan cara memeriksa
Ketuban pecah sebelum
Drainase kondisi luka atau luka
waktunya
purulenmenurun (5) oprasi
Merokok
Pluria menurun (5) Anjurkan meningkatkan
Status cairan tubuh
Periode malaise asupan nutrisi
Ketidakadekuatan
menurun (5) Anjurkan meningkatkan
pertahanan tubuh sekunder
Periode menggigil asupan cairan
Penurunan hemoglobin
menurun (5)
Imununosupresi
Letargi menurun (5) Kolaborasi
Leukopenia Gangguan kognitif Kolaborasi pemberian
Supresi respon menurun (5) imunisasi, jika perlu
inflamasi Kadar sel darah putih
Faksinasi tidak adekuat membaik (5)
Kondisi klinis terkait : Kultur darah membaik
AIDS (5)
Luka bakar Kultur urine membaik
Penyakit paru obstruktif (5)
kronis Kultur sputum membaik
Diabetes militus (5)
Tindakan infasif Kultur area luka
Kondisi penggunaan terapi membaik (5)
steroid Kultur feses membaik
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah ditetapkan. Menurut effendy, implementasi adalah
pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun
pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri dari
tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan
rujukan/ketergantungan.
5. EVALUASI KEPERAWATAN
Menurut Alfaro-LeFevre, evaluasi mengacu kepada penilaian,
tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan penyebab
mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal. Evaluasi
dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon
segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa
status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan
perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Mitcheel, Kumar dkk. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC
Mansjoer Arif,, dkk, 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI, Jakarta:
Medica Aesculpalus
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.
Suriadi, Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Dalam. Edisi 1.
Jakarta: Agung Setia.
Wiwanitkit V. Tropical Anemia. New York: Nova Science Publisher, Inc; 2007:
45.
Wong, D, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Yazdani, B. O., Yaghoubi, N. M., & Giri, E. S., (2011). Factors affecting the
Empowerment of Employees. European Journal of Social Sciences, 20 (2),
267-274.
Denpasar, September 2020
Mengetahui, Mahasiswa
Pembimbing