Oleh :
QUSYAIRI (2214314201162)
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Autisme didapatkan pada sekitar 20 per 10.000 penduduk, dan pria lebih
sering dari wanita dengan perbandingan 4:1, namun anak perempuan yang terkena
akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Beberapa penyakit sistemik, infeksi dan
neurologis menunjukkan gejala-gejala seperti-austik atau memberi kecenderungan
penderita pada perkembangan gejala austik. Juga ditemukan peningkatan yang
berhubungan dengan kejang.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara
diketemukan beberapa fakta yaitu 43% penyandang autisme mempunyai kelainan
pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap
lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama
pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya
ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian).
Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu
kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak
ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak
perdebatan dan respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang
fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.
PEMBAHASAN
b. Etiologi
Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk
mengetahui adanya retardasi mental perlu anamnesis yang baik, pemeriksaan
fisik dan laboratorium. Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan
multifaktorial. Walaupun begitu terdapat beberapa faktor yang potensial
berperanan dalam terjadinya retardasi mental seperti yang dinyatakan oleh Taft
LT (1983) dan Shonkoff JP (1992) dibawah ini.
1. Organik
a. Faktor prekonsepsi : kelainan kromosom (trisomi 21/Down syndrome dan
Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan neuro-
cutaneos, dll.)
b. Faktor prenatal : kelainan petumbuhan otak selama kehamilan (infeksi,
zat teratogen dan toxin, disfungsi plasenta)
c. Faktor perinatal : prematuritas, perdarahan intrakranial, asphyxia
neonatorum, Meningitis, Kelainan metabolik:hipoglikemia,
hiperbilirubinemia, dll
d. Faktor postnatal : infeksi, trauma, gangguan metabolik/hipoglikemia,
malnutrisi, CVA (Cerebrovascularaccident) - Anoksia, misalnya
tenggelam
2. Non organic
a. Kemiskinan dan klg tidak harmonis
b. Sosial kultural
c. Interaksi anak kurang
d. Penelantaran anak
3. Faktor lain: Keturunan; pengaruh lingkungan dan kelainan mental lain (15-
20% ; AAP, 1984)
c. Klasifikasi
Menurut nilai IQ-nya, maka intelegensi seseorang dapat digolongkan
sebagai berikut (dikutip dari Swaiman 1989):
Nilai IQ :
1. Sangat superior 130 atau lebih
2. Superior 120-129
3. Diatas rata-rata 110-119
4. Rata-rata 90-110
5. Dibawah rata-rata 80-89
6. Retardasi mental borderline 70-79
7. Retardasi mental ringan (mampu didik) 52-69
8. Retardasi mental sedang (mampu latih ) 36-51
9. Retardasi mental berat 20-35
10. Retardasi mental sangat berat dibawah 20
Yang disebut retardasi mental apabila IQ dibawah 70, retardasi mental
tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe sedang mampu latih,
sedangkan retardasi mental tipe berat dan sangat berat memerlukan pengawasan
dan bimbingan seumur hidupnya.
d. Manifestasi Klinik
Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai
beberapa kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-
kadang gambaran stigmata mengarah kesuatu sindrom penyakit tertentu.
Dibawah ini beberapa kelainan fisik dan gejala yang sering disertai retardasi
mental, yaitu (Swaiman, 1989)
1. Kelainan pada mata
2. Kejang
3. Kelainan kulit
4. Kelainan rambut
5. Kepala
6. Perawakan pendek
7. Distonia
Pencegahan
1. Imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan
2. Konseling perkawinan
3. Pemeriksaan kehamilan rutin
4. Nutrisi yang baik
5. Persalinan oleh tenaga kesehatan
6. Memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga
7. Pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat
8. Program mengentaskan kemiskinan, dll
TINJUAN ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data demografi
a. Identitas Klien
b. Identitas Orang tua
2. Riwayat Kesehatan
Tanda dan gejala :
a. Mengenali sindrom seperti adanya mikrosepali
b. Adanya kegagalan perkembangan yang merupakan indikator RM seperti anak
RM berat biasanya mengalami kegagalan perkembangan pada tahun pertama
kehidupannya, terutama psikomotor; RM sedang memperlihatkan penundaan
pada kemampuan bahasa dan bicara, dengan kemampuan motorik normal-
lambat, biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun; RM ringan biasanya terjadi pada
usia sekolah dengan memperlihatkan kegagalan anak untuk mencapai kinerja
yang diharapkan.
c. Gangguan neurologis yang progresif
d. Tingkatan/klasifikasi RM (APA dan Kapan; Sadock dan Grebb, 1994)
1) Ringan ( IQ 52-69; umur mental 8-12 tahun)
Karakteristik :
Usia presekolah tidak tampak sebagai anak RM, ttp terlambat dalam
kemampuan berjalan, bicara , makan sendiri, dll
Usia sekolah, dpt melakukan ketrampilan, membaca dan aritmatik,
diarahkan pada kemampuan aktivitas sosial.
Usia dewasa, melakukan ketrampilan sosial dan vokasional,
diperbolehkan menikah tidak dianjurkan memiliki anak. Ketrampilan
psikomotor tidak berpengaruh kecuali koordinasi.
2) Sedang ( IQ 35- 40 hingga 50 - 55; umur mental 3 - 7 tahun)
Karakteristik :
Usia presekolah, kelambatan terlihat pada perkembangan motorik,
terutama bicara, respon saat belajar dan perawatan diri.
Usia sekolah, dapat mempelajari komunikasi sederhana, dasar kesehatan,
perilaku aman, serta ketrampilan mulai sederhana, Tidak ada
kemampuan membaca dan berhitung.
Usia dewasa, melakukan aktivitas latihan tertentu, berpartisipasi dalam
rekreasi, dapat melakukan perjalanan sendiri ke tempat yg dikenal, tidak
bisa membiayai sendiri.
3) Berat ( IQ 20-25 s.d. 35-40; umur mental < 3 tahun)
Karakteristik :
Usia prasekolah kelambatan nyata pada perkembangan motorik,
kemampuan komunikasi sedikit bahkan tidak ada, bisa berespon dalam
perawatan diri tingkat dasar sepeti makan.
Usia sekolah, gangguan spesifik dlm kemampuan berjalan, memahami
sejumlah komunikasi/berespon, membantu bila dilatih sistematis.
Usia dewasa, melakukan kegiatan rutin dan aktivitas berulang, perlu
arahan berkelanjutan dan protektif lingkungan, kemampuan bicara
minimal, meggunakan gerak tubuh.
4) Sangat Berat ( IQ dibawah 20-25; umur mental seperti bayi)
Karakteristik :
Usia prasekolah retardasi mencolok, fungsi. Sensorimotor minimal,
butuh perawatan total.
Usia sekolah, kelambatan nyata di semua area perkembangan,
memperlihatkan respon emosional dasar, ketrampilan latihan kaki,
tangan dan rahang. Butuh pengawas pribadi. Usia mental bayi muda.
Usia dewasa, mungkin bisa berjalan, butuh perawatan total, biasanya
diikuti dengan kelainan fisik.
3. Pemeriksaan fisik:
a. Kepala : Mikro/makrosepali, plagiosepali (bentuk kepala tidak simetris)
b. Rambut : Pusar ganda, rambut jarang/ tidak ada, halus, mudah putus dan cepat
berubah
c. Mata : mikroftalmia, juling, nistagmus, dll
d. Hidung : jembatan/punggung hidung mendatar, ukuran kecil, cuping
melengkung keatas, dll
e. Mulut : bentuk “V” yang terbalik dari bibir atas, langit-langit lebar/
melengkung tinggi
f. Geligi : odontogenesis yang tidak normal
g. Telinga : keduanya letak rendah; dll
h. Muka : panjang filtrum yang bertambah, hypoplasia
i. Leher : pendek; tidak mempunyai kemampuan gerak sempurna
j. Tangan : jari pendek dan tegap atau panjang kecil meruncing, ibu jari gemuk
dan lebar, klinodaktil, dll
k. Dada & Abdomen : terdapat beberapa putting, buncit, dll
l. Genitalia : mikropenis, testis tidak turun, dll
m. Kaki : jari kaki saling tumpang tindih, panjang & tegap/ panjang kecil
meruncing diujungnya, lebar, besar, gemuk.
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan kromosom
b. Pemeriksaan urin, serum atau titer virus
c. Test diagnostic sepetti : EEG, CT Scan untuk identifikasi abnormalitas
perkembangan jaringan otak, injury jaringan otak atau trauma yang
mengakibatkan perubahan.
B. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d kelainan fungsi Kognitif
2. Kerusakan komunikasi verbal b/d lambatnya keterampilan ekspresi dan resepsi
bahasa.
3. Risiko cedera b/d perilaku agresif/ koordinasi gerak tidak terkontrol
4. Gangguan interaksi sosial b/d kesulitan bicara /kesulitan adaptasi sosial
5. Gangguan proses keluarga b/d memiliki anak RM
6. Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian/berhias, toileting b/d
ketidakmampuan fisik dan mental/ kurangnya kematangan perkembangan.
2.2 Autisme
a. Defenisi
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos (diri) sedangkan isme
(paham/aliran). Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan
perkembangan dalam dunianya sendiri. Beberapa pengartian autis menurut para
ahli adalah sebagai berikut:
1. Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak,
mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri. (Leo kanker handojo,
2003)
2. Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang
mengalami kondisi menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak
mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku
“Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”.
(American Psychiatic Association, 2000)
3. Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi,
perilaku, emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan
terlambat atau tidak normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi
bayi (biasanya sebelum usia 3 tahun). “Sumber dari Pedoman Penggolongan
Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)
4. Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun
saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan
sosial atau komunikasi yang normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut
terisolasi dari anak yang lain. (Baron-Cohen, 1993).
Jadi anak autisme merupakan satu kondisi anak yang mengalami
gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur
sebelum 3 tahun mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial serta
perilakunya. Anak autisme dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
1. Segi pendidikan : anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria
DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/layanan pendidikan
secara khusus sejak dini.
2. Segi medis: anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan/kelainan
otak yang menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial,
perilaku sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan
penanganan/terapi secara klinis.
3. Segi psikologi: anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan yang berat bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek
komunikasi sosial, perilaku, bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan
secara psikologis.
4. Segi sosial: anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan berat dari beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial,
sehingga anak ini memerlukan bimbingan keterampilan sosial agar dapat
menyesuaikan dengan lingkungannya.
Jadi Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan
fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga anak
autisme mempunyai dunianya sendiri.
b. Klasifikasi
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan
gejalanya. Sering kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa
autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale
(CARS). Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut:
1. Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan
dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2. Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun
tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik
cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan
yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan
kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti.
Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon
dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang
tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti
setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur (Mujiyanti, 2011).
c. Etiologi
Penyebab autisme menurut banyak pakar telah disepakat bahwa pada
otak anak autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Apa sebabnya sampai
timbul kelainan tersebut memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang
diajukan oleh para pakar, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi
udara, air dan makanan. Diyakini bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase
pembentukan organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0 ± 4
bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan setelah 15
minggu.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara
diketemukan beberapa fakta yaitu 43% penyandang autisme mempunyai
kelainan pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap
lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama
pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris,
daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Juga
didapatkan jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga
terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi
gangguan atau kekacauan impuls di otak.
d. Manifestasi Klinis
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
Meliputi kemampuan berbahasa dan mengalami keterlambatan atau
sama sekali tidak dapat bicara. Menggunakan kata-kata tanpa
menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam
waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Tidak
mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
Ekolalia (meniru atau membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu
artinya. Bicara monoton seperti robot.
2. Gangguan dalam bidang interaksi social
Meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka.
Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak
senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan
orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu
untuknnya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila
didekati malah menjauh.
3. Gangguan dalam bermain
Diantaranya bermain sangat monoton dan aneh, misalnya menderetkan
sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mobil dan
mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kedekatan
dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus
dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau
mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, gelang karet, baterai atau benda
lainnya. Tidak spontan, reflaks dan tidak berimajinasi dalam bermain. Tidak
dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang
bersifat pura-pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin
yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering
terjadi, sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila bermain harus
melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.
4. Gangguan perilaku
Dilihat dari gejala sering dianggap sebagi anak yang senang kerapian
harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat
hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia
datangi, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari dan berlari-
lari tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya
seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti dirinya sendiri seperti
memukul kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif
(pendiam), duduk diam bengong denagn tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda,
ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat
sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur,
gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.
5. Gangguan perasaan dan emosi
Dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah
tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum),
terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, bahkan bisa
menjadi agresif dan merusak. Tidak dapt berbagi perasaan (empati) dengan
anak lain.
6. Gangguan dalam persepsi sensori
Meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya (penglihata), pendengaran,
sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.
Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila
mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci
rambutnya. Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak
menyukai pelukan, bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari
pelukan.
7. Intelegensi
Dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara
fungsional. Kecerdasan sering diukur melalui perkembangan nonverbal,
karena terdapat gangguan bahasa. Didapatkan IQ dibawah 70 dari 70%
penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai IQ diatas
100. Anak autis sulit melakukan tugas yang melibatkan pemikiran simbolis
atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan yang menonjol di
suatu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat
menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes
secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme,
maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat
digunakan untuk mendiagnosa autisme:
1. Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa
kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang
didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15;
anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan
gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan
komunikasi verbal
2. The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan
autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18
bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
3. The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri
dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk
mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
4. The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme
bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt
didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor
dan konsentrasi.
f. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk:
a. Terapi wicara : membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga
membantu anak berbicara yang lebih baik.
b. Terapi okupasi : untuk melatih motorik halus anak
c. Terapi perilaku : anak autis seringkali merasa frustasi. Teman-temannya
seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan
kebutuhannya, mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan
sentuhan. Maka tak heran mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku
terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negative tersebut dan
mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan
rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
g. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku
bangsa, tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b) Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa,
keterlambatan atau sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi
dalam waktu singkat, tidak senang atau menolak dipeluk. Saat bermain
bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan dengan benda tertentu
seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana
saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya.
Sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu
pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend
apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ
dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun
sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100.
Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
1. Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
2. Cidera otak
Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan. Biasanya pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
1. Status perkembangan anak.
a. Anak kurang merespon orang lain.
b. Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
c. Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
d. Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
e. Keterbatasan kognitif.
2. Pemeriksaan fisik
a. Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
b. Terdapat ekolalia.
c. Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
d. Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
e. Peka terhadap bau.
3. Psikososial
a. Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
b. Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
c. Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
d. Perilaku menstimulasi diri
e. Pola tidur tidak teratur
f. Permainan stereotip
g. Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
h. Tantrum yang sering
i. Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu
pembicaraan
j. Kemampuan bertutur kata menurun
k. Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
4. Neurologis
a. Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
b. Refleks mengisap buruk
c. Tidak mampu menangis ketika lapar
h. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko mutilasi diri dibuktikan dengan individu autistik.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
3. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan perkembangan.
4. Gangguan identitas diri berhubungan dengan tidak terpenuhinya tugas
perkembangan.
3. Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma
dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum
peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak
benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa
peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua
itu tidak benar.
4. Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya
sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban
kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang
terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah
mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan
berkonsultasi dengan para profesional.
5. Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali
merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang telah dia alami.
6. Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu
oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.
7. Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara
penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika
penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat
dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi
proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan
orang lain di rumah dan di tempat terapi.
2. Psikoterapi
a) Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa
ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan
dengan lebih baik melalui :
b) Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
c) Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar
dan sakit kepala.
d) Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti
dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress
(stresor).
e) Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
f) Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
g) Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang
mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya
seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak
hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak
rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi
pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang (Anonim, 2005).
h) Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus,
orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari.
Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
i) Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara
detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami
hambatan untuk menceritakannya.
j) Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi
ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat
(misalnya: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan
situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita
menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya
dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
k) Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma.
Terapis menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat
dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih
merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya
(Anonim, 2005).
l) Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban
perkosaan, yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban
bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka
saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
m) Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling
berbagi cerita mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan
penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban bisa memperingan beban
pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita
dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim,
2005).
g. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan
berbeda satu sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah
hal yang wajar. Luka yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak
hingga seumur hidup. Banyak korban yang merasa kehilangan kepercayaan diri
dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat membuat mereka
kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka
sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk
dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis
mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya.
Respons tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda
dengan munculnya berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat
baru terlihat lama setelah peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah
beberapa perubahan psikologis yang umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami
korban pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses
penyembuhan. Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri
sendiri karena dua hal:
Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah
dalam tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan
pemerkosaan. Mereka akan terus merasa untuk seharusnya berperilaku
berbeda sehingga tidak diperkosa.
Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri
mereka sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat
mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin
merasa tidak dapat menerima kenyataan atau justru menyalahkan
sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah
diyakinkan bahwa ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian
berhubungan erat dengan gangguan lain, seperti pola makan,
kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan
terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan
fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko
untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa
malu dan merasa tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan
dapat menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa
dan tidak layak hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak
diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah menikah). Dalam
kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban
disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang
menjadi penyebab diperkosa. Selain itu, korban berisiko mengalami hal-
hal lain seperti depresi, merasa seakan-akan peristiwa tersebut terulang
terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami gangguan tidur
dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri.
Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru
menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada
tubuhnya. Sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru
dapat dideteksi beberapa waktu kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola
makan atau gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat,
berat badan turun, dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada
vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang
membuat virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih
rawan terjadi pada anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya
belum terbentuk dengan kuat. Meski belum ada tanda-tanda yang terasa,
namun korban pemerkosaan sebaiknya memeriksakan diri untuk
mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual. Infeksi seperti
HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh
terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera
mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
Peradangan pada vagina atau vaginitis.
Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual
atau justru menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk
merespons penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di
luar kontrol.
Infeksi kantong kemih.
Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang
mungkin terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil
menyembuhkan diri sendiri, mereka harus dihadapkan pada kenyataan
adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka
harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat membuat bayi
berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun
dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat,
dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan
bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan.
h. Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban
perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang
karena anda hidup. Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap
kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga
sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan
penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan
memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa.
Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak
menghakimi, untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang
memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien
pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya
meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak
menyelidiki. Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan
kesempatan untuk katarsis bahwa pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah
yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang
klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk mengurangi trauma
dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan.
Karena ansietas berat dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan
dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan
tertulis untuk referensi selanjutnya (mis., psikoterapis, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia
untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi
bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
2.5 KDRT
a. Pengertian
Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana
sesorang melakukan tindakan yang dapat menyebabkan perasaan kesal atau
marah yang tidak konstruktif.
Undang-undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk anacman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional dan
seksual pada anak-anak pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan
terhadap suami atau istri dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiayaan dan
perilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima bila dilakukan orang yang
tidak dikenal sering kali di toleransi selama bertahun-tahun dalam keluarga.
Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang
aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindungi, dapat menjadi tempat
paling berbahaya bagi korban.
b. Karakteristik Kekerasan Dalam Keluarga
1. Isolasi sosial
Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak
mengundang orang lain datang ke rumah mereka atau tidak mengatakan
kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami
penganiayaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih
disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam
bahwa ibu, saudara kandung atau hewan peliharaan mereka akan dibunuh
jika orang diluar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka
ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain
mencampuri “urusan keluarga yang pribadi”.
2. Kekerasan dan control
Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada
dalam posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban
adalah anak, pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan
kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial.
Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat
keputusan, mengeluarkan uang, atau diijinkan untuk meluangkan waktu
diluar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan
emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering
mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan
anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasnaya menyebabkan
peningkatan perilaku kekerasaan (Singet at al, 1995).
3. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan yang lain
Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, alkohol, dengan kekerasan
dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-akibat tidak
menyebabkan individu menjadi penganiaya sebalik, penganiaya juga
cenderung menggunakan alcohol atau obat-obatan lain. 50-90% pria yang
memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat
penyalahgunaan zat. Jumlah wanita yang mengalami penganiayaan dan
mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50%.
4. Proses transmisi antargenerasi
Berarti bahwa pola perilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial. Transmisi
antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan suatu pola yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang
menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat orang tua
mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian
integral dalam suatu hubungan dekat. Akan tetapi tidak semua orang
menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya tau pelaku
kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan
perilaku kekerasan yang terus ada.
c. Faktor Presdiposisi
Faktor Psikologis
Psychoanalytical Theory : Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia di pengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di
ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspesikan
dengan agresivitas.
Frustration aggression theory : teori yang dikembangkan oleh Freud ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan makan akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya
akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang lain atau objek
yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan
agresif mempunyai perilaku agresif.
Faktor presipitasi
3. Perubahan perilaku
Agresif pasif, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk. Nada suara keras dan
kasar.
4. Menyerang atau menghindar
5. Menyatakan secara asertif
6. Memberontak
7. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.
f. Bentuk-Bentuk KDRT
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
2. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjamjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
kergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah tangga sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut.
A. Pengkajian
1. Pengumpulan data
a. Aspek biologis
Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epinepria sehingga tekanan darah meningkat, takikardia,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala
kecemasan yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
kaku, dan reflex cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat
marah bertambah.
b. Aspek emosional
Salah satu anggota yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul anggota yang lain,
mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indera sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu megkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konseprasa percayadan ketergantugan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan anggota keluarga yang lain-lain.
Individu seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku
yang lain sehingga anggota keluarga yang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses
tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang
lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal ini yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan moral dan rasa tidak
berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji
individu secara komprehensif meliputiaspek fisik, emosi, intelektual, sosial
dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut : aspek
fisik, terdiri dari muka merah, pandangan tajam, nafas pendek dan cepat,
berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek
emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel, aspek intelektual :
mendominasi, bawel, sarkasme,berdebat, meremehakn. Aspek sosial :
menarik diri, penolakan kekerasan, ejekan, humor.
2. Klasifikasi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2
macam yaitu ata subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui
wawancaraperawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui observasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.
3. Analisa data
Dengan melihat data obyektif dan subyektif dapat menentukan masalah
yang dihadapi keluarga dan dengan memperlihatkan pohon masalah dapat
diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa
data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
4. Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari : muka merah,pandangan tajam, nafas pendek dan
cepat, berkeringat sakit fisik, penalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
Aspek emosi: tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. Aspek intelektual:
mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. Aspek sosial :
menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
B. Pohon Masalah
resiko mencederai diri sendiri
Efek lain dan lingkungan : resiko p
kekerasan
Causa HDR
2) Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern
menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga
modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan
menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengadopsi
anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para
penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.
Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga
miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran
pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan.
Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian
dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke
Amerika.
Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak
Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak hanya
mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja janinpun
bisa mereka tampung.
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di
perbatasan Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit
putih dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan
untuk orok bermata bundar dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000
Ringgit Malaysia.
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa
buruh migran Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu
saat di luar negeri, dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi
secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh
pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan bayi
majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.
3) Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional,
di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya
bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada para TKW,
di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai oleh PJTKI
dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat bulanan yang
padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak
sebanyak gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW harus tetap
bekerja apapun kondisi yang dihadapi di lapangan sampai habis masa
kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa
dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan eksploitasi
terhadap pekerja.
Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang yang
menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari dari
hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat
dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan
terus ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.
4) Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya
narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk
dicegah penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok
desa. karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis
dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang
menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi
hasilnya sangat menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan
pekerjaan yang layak dengan penghasilan besar walaupun resikonya
juga sangat besar.
Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk
mengedarkan pil setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak
kasus dalam tayangan berita di mana muda mudi tertangkap
menyeludupkan narkoba termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi.
Mereka sangat sulit sekali untuk membuka siapa yang ada dibalik
mereka, karena biasanya mereka sudah diikat dengan perjanjian untuk
tidak membuka dan kadangkala mereka sendiri tidak tau siapa pihak
pertama atau pemilik barang haram tersebut. Akhirnya merekalah yang
harus menerima resikonya sementara bandar narkobanya bebas
melenggang.
Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat
bagi para pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah
yang bahkan menggendong anak kecil dengan penampilan yang amat
sangat tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba modern berburu
kepingan rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata
banyak diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-
tempat yang sudah ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini,
dibutuhkan kerja keras dari semua pihak dengan sungguh-sungguh dan
bukan penyelesaian yang hanya bersifat formalitas belaka. Memang
sudah ada upaya dari Dinas Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena
buktinya semakin hari perempuan yang mengemis di jalanan makin
banyak.
5) Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)
Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya mahar
yang diminta oleh pihak perempuan, sementara laki-laknya tidak
mampu secara ekonomi untuk memenuhinya sedangkan usia mereka
lebih dari cukup untuk menikah. Maka salah satu caranya adalah
dengan membeli perempuan dari luar negeri untuk dinikahinya karena
tidak perlu memberikan mahar yang besar dan lebih mau menuruti apa
maunya si laki- laki. Ini dialami oleh seorang TKW dimana ia
menceritakan bahawa ia telah menikah dengan laki-laki asal timur
tengah, namun ironinya ketika perempuan tersebut hamil ia
dipulangkan ke Indonesia dengan tanpa sepersenpun diberi nafkah dan
biaya persalinan. Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat
perkawinan sebagai salah satu penipuan.
4. Korban Human Trafficking
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental.
fisik, seksual, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang
(Pasal 1 ayat 3 UU No 21 Tahun 2007).
Ciri-ciri perdagangan orang dalam konteks migrasi ketenagakerjaan?
1. Perekrutan tanpa Perjanjian Penempatan;
2. Ditempatkan tanpa perjanjian Kerja;
3. Perekrutan dibawah umur (-18 thn) dokumen dipalsukan;
4. Perekrutan tanpa izin suami/orang tua/wali;
5. Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih);
6. Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan;
7. Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin
dari Menteri Tenaga Kerja;
8. Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian Kerja;
9. Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun
tidak sesuai dengan peraturan Indonesia.
10. Beban biaya diatas ketentuan yang ditetapkan pemerintah (over
charging).
b. penderitaan,
2.7 ADHD
a. Definisi ADHD
Sesuai dengan edisi keempat dari American Psychiatric Association’s
Diagnostic andStatistical Manual (DSM-IV), ADHD adalah suatu keadaan yang
menetap dari inatensi dan/atau hiperaktifitas-impulsivitas yang lebih sering
frekuensinya dan lebih berat dibandingkan dengan individu lain yang secara
tipikal diamati pada tingkat perkembangan yang sebanding (Tayono, 2013).
Gambaran penting ADHD yaitu pola persisten tidak perhatian dan/atau
hiperaktivitas serta impulsivitas yang lebih sering daripada pada anak dengan
usia yang sama (Ballard, Kennedy, & O’Brien, 2014). ADHD merupakan
gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik hingga
menyebabkan aktifitas yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal tersebut
ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa
duduk dengan tenang. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka
meletup-letup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan (Klik dokter,
2008 dalam Dania, 2019).
b. Etiologi ADHD
Menurut Susanto & Fengkey, (2016) faktor-faktor yang mungkin berperan
dalam terjadinya ADHD, yaitu:
1) Cedera otak: telah lama diperkiraan bahwa anak yang terkena ADHD
mendapat cedera otak yang minimal dan samar-samar pada sistem safar
pusatnya selama periode janin dan perinatalnya
2) Faktor neurokimiawi: Neurotransmitter dopamin (DA) dan norepinefrin (NE)
terlibat dalam patofisiologi ADHD; dopamin adalah neurotransmitter yang
terlibat dalam penghargaan, pengambilan risiko, impulsif, dan suasana hati;
norepinefrin memodulasi perhatian, gairah dan suasana hati. Studi otak pada
individu dengan ADHD menunjukkan adanya cacat pada gen reseptor
dopamin D4 (DRD4) dan ekspresi berlebih dari dopamin transporter-1
(DAT1). Reseptor DRD4 menggunakan DA dan NE untuk memodulasi
perhatian dan tanggapan terhadap lingkungan seseorang. Protein transporter
DAT1 atau dopamin membawa DA / NE ke terminal saraf prasinaps sehingga
mungkin tidak memiliki interaksi yang cukup dengan reseptor post-sinaptik.
3) Struktur anatomi: pemeriksaan brain imaging yang dilakukan pada anak
dengan ADHD menunjukkan pengecilan volume otak yang bermakna pada
korteks prefrontal dorsolateral, kaudatus, palidum, korpus kalosum, dan
serebelum.
4) Faktor psikososial: Anak-anak dalam institusi seringkali hiperaktif dan
memiliki rentan atensi rendah. Tanda tersebut terjadi akibat adanya
pemutusan hubungan emosional yang lama, dan gejala menghilang jika faktor
pencetus dihilangkan, seperti melalui adopsi atau penempatan di rumah
penitipan.
Sedangkan menurut Pieter, H. Z. dkk.(2011) penyebab ADHD, yaitu
1) Dimensi Genetik
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa hiperaktif yang menyertai
ADHD selalu diikuti dengan riwayat keluarga yang mengalami ADHD. Dari
hasil penelitian ditemukan bahwa hampir 1/3 dari ayah yang hiperaktif akan
memberikan kontribusi 2-8 kali lebih mudah terkena ADHD yang sama
diturunkan pada anaknya. Mereka akan memperlihatkan gangguan tingkah
laku, gangguan perasaan, emosi, dan substansi (Biederman, dkk, 1992;
Faraone, dkk, 2000; dan Faraone, 2003, dalam ). Salah satu penelitian yang
menambahkan penguatan pada pembentukan ADHD adalah faktor gen.
Seperti yang dikatakan oleh Sprick, dkk, (2000) bahwa gen-gen yang
bertanggung jawab pada pembentukan ADHD adalag gen yang berkaitan
dengan unsur kimiawi saraf (neurochemical), seperti dopamine, norepinefrin,
dan serotonin.
2) Volume otak
Dari penelitian dan diagnostik pada otak (brain imaging) ditemukan
bahwa terdapat mekanisme otak yang menghasilkan defisit atensi (gangguan
pemusatan perhatian), impulsif, dan hiperaktif pada penderita ADHD. Salah
satu penelitian yang reliabel menunjukkan bahwa penderita ADHD memiliki
volume otak yang lebih kecil dan basal gaglia yang terletak lebih jauh dalam
otak dan cerebrallar vermis. Kecilnya volume otak sudah bisa dideteksi pada
awal-awal perkembangan otak yang mengalami kerusakan progresif umum.
Dipastikan mereka mengalami penurunan aliran darah pada korpus striatum
yang bisa menyebabkan defisit motivasi dan memicu sikap acuh (Pop-per,
dkk, 2003).
3) Kehamilan
Adaptif makanan, seperti zat pewarna, perencah dan zat pengawet
makanan diperkirakan turut bertanggung jawab pada pembentukan gangguan
ADHD. Seperti yang dikatakan oleh Linnet, dkk. (2003). Bahwa kebiasaan
ibu merokok saat hamil memberikan konstribusi besar pada pembentukan
gangguan ADHD. Ibu hamil yang merokok memiliki risiko tiga kali lebih
tinggi menghasilkan anak ADHD. Apalagi jika ibu melahirkan anak kembar
monozigot yang dianggap paling rentan terkena ADHD.
4) Dimensi psikologis dan sosial
Dimensi psikologis dan sosial dianggap turut bertanggug jawab dalam
pembentukan ADHD. Respons negatif dari orang tua, guru, dan teman-teman
sebaya sangat berpengaruh pada perilaku hiperaktif dan impulsif. Respons-
respons negatif berupa self-esteem yang rendah, citra diri yang negatif, dan
sikap penolakan terhadap anak ADHD.
c. Tipe ADHD dan Manifetasi Klinis
Menurut DSM-IV dalam Susanto & Fengkey, (2016) tipe dan manifestasi
klinik ADHD, yaitu :
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : terdapat lebih dari 6 gejala berikut
telah menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat
yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
a) Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detil dan tidak
teliti dalam mengerjakan tugas atau aktivitas lainnya.
b) Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap
tugas atau aktivitas bermain
c) Sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara langsung.
d) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah,
pekerjaan sehari-hari, atau tugas di tempat kerja (bukan karena perilaku
menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi).
e) Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas.
f) Sering menghindari, membenci, atau enggan untuk terlibat dalam tugas
yang memiliki usaha mental yang lama (seperti tugas di sekolah dan
pekerjaan rumah).
g) Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas
atau aktivitas (misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun peralatan).
h) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar.
i) Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
2. Hiperaktivitas-impulsivitas: terdapat lebih dari 6 gejala hiperaktivitas-
impulsivitas berikut ini telah menetap selama sekurang-kurangnya enam
bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan. Gejala Hiperaktivitas ialah sebagai berikut :
a) Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di
tempat duduk.
b) Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau di dalam situasi yang
diharapkan anak tetap duduk.
c) Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu
luang secara tenang.
d) Sering dalam keadaan “siap bergerak/pergi” (atau bertindak seperti
digerakkan oleh mesin).
Gejala impulsivitas ialah sebagai berikut:
a) Tidak sabar, sering menjawab pertanyaan tanpa berpikir lebih dahulu
sebelum pertanyaan selesai.
b) Sering sulit menunggu giliran.
c) Sering menyela atau mengganggu orang lain sehingga menyebabkan
hambatan dalam lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
d. Tipe Campuran
Gejalanya campuran dari gangguan pemusatan perhatian (inatensi),
hiperaktivitas, dan impulsivitas Tanoyo, D. P. (2013). Menurut Pieter, H. Z. dkk.
(2011), kondisi ini mudah dilihat sehubungan dengan mereka kurang mampu
memperhatikan aktivitas permainan maupun tugas. Perhatiannya mudah
terpecah dan sering kehilangan barang. Faktor penyebabnya bermuara dari
kelemahan daya ingatan. Selain itu, penderita ADHD juga memiliki perilaku
yang berubah-ubah, impulsif, selalu aktif dan tidak bisa asik dalam kegiatan
yang menghabiskan waktu, seperti membaca atau menyusun puzzle.
e. Komplikasi ADHD
Menurut Ballard, Kennedy, & O’Brien, (2014), komplikasi yang dapat
terjadi pada anak ADHD adalah:
1) Intelegensi dan kemampuan anak tidak sesuai dengan performa akademik
2) Dapat memiliki perilaku ingkar atau membangkang atau memiliki gangguan
perilaku/ psikiatrik lain (gangguan ansietas, gangguan alam perasaan seperti
depresi dan bipolar, gangguan belajar, gangguan komunikasi).
3) Komplikasi sekunder ADHD, seperti harga diri rendah dan penolakan oleh
teman sebaya, terus menimbulkan masalah yang serius bagi remaja.
Diperkirakan bahwa sedikitnya pada sepertiga anak, gejala akan berlangsung
hingga usia dewasa (Glod, 1997 dalamVidebeck, 2008).
f. Pemeriksaan Penunjang ADHD
Menurut Tanoyo, (2013), pemeriksaan penuujang yang dilakukan pada anak
ADHD, yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Liver Function Test
2) Complete blood cell counts
b. Pemeriksaan Imaging
1) MRI
2) PET (Positron Emission Tomography)
g. Penatalaksanaan Medis ADHD
Menurut Belleza (2017), penatalaksanaan medis ADHD sebagai beriku:
a. Stimulan. Obat stimulan, seperti methylphenidate (Ritalin, Concerta) dan
dextroamphetamine (Dexedrine), telah sering digunakan; ketika diberikan
dalam jumlah besar, obat-obatan ini dapat menekan nafsu makan dan
mempengaruhi pertumbuhan anak.
b. Atomoxetine. Atomoxetine (Strattera) telah menjadi lini kedua dan, dalam
beberapa kasus, pengobatan lini pertama pada anak-anak dan orang dewasa
dengan ADHD karena kemanjuran dan klasifikasi sebagai nonstimulan.
c. Antidepresan trisiklik. Antidepresan trisiklik (imipramine, desipramine,
nortriptyline) telah ditemukan efektif dalam berbagai penelitian pada anak-
anak dengan ADHD. Namun, karena efek samping potensial, mereka jarang
digunakan untuk tujuan ini.
d. Modafinil. Modafinil (Provigil) memiliki data terkontrol placebo yang
mendukung kemanjurannya pada anak-anak dengan ADHD; obat ini dapat
digunakan sebagai pengobatan lini ketiga atau keempat.
Konsep Asuhan Keperawatan Anak dengan ADHD
1. Pengkajian
Menurut Menurut Tanoyo, (2013) tahap pengkajian pada anak ADHD, yaitu
sebagai berikut:
a. Riwayat penyakit sekarang
Sesuai dengan kriteria ADHD berdasarkan DSM IV.
1) Apakah anak sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara
langsung?
2) Apakah anak sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan
tugas? sekolah, pekerjaan sehari-hari, atau tugas di tempat kerja (bukan
karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi).
3) Apakah anak sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan
aktivitas?
4) Apakah anak mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam
aktivitas waktu luang secara tenang?
5) Dst.
b. Riwayat penyakit dahulu.
Ditemukan adanya riwayat pemakaian obat-obatan yang memiliki interaksi
negatif dengan ADHD atau pengobatannya seperti: antikonvulsan,
antihipertensi, obat yang mengandung kafein, pseudoefedrin, monomain
oxidase inhibitors (MAOIs). Didapatkan pula adanya penyakit interaksi
negatif degan ADHD atau pengobatannya seperti: penyakit arterial
(mayor), glaukoma sudut sempit, trauma kepala, penyakit jantung,
palpitasi, penyakit hati, hipertensi, kehamilan, dan penyakit ginjal.
Temukan pula adanya kelainan psikiatrik karena 30 – 50% penderita
ADHD disertai dengan kelainan psikiatrik. Adapun kelainan psikiatrik
yang dimaksud antara lain: gangguan cemas, gangguan bipolar, gangguan
perilaku, depresi, gangguan disosiasi, gangguan makan, gangguan cemas
menyeluruh, gangguan mood, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
panik atau tanpa agorafobia, gangguan perkembangan perfasif,
Posttraumatic stres disorder (PTSD), psikotik, fobia sosial, gangguan tidur,
penyalah gunaan zat, sindrom Tourette’s atau gangguan Tic, dan
komorbiditas somatik.
c. Riwayat keluarga
Temukan adanya anggota keluarga lain yang menderita ADHD
d. Riwayat sosial
Meliputi interaksi antar anggota keluarga, masalah dengan hukum, keadaan
di sekolah, dan disfungsi keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Tanoyo, (2013), pemeriksaan penuujang yang dilakukan pada anak
ADHD, yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Seluruh sistem tubuh
Perlu observasi yang baik terhadap perilaku penderita ADHD karena pada
penderita ADHD menunjukkan gejala yang sedikit pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi : tanda vital, tinggi badan, berat
badan. Pemeriksaan fisik umum termasuk penglihatan, pendengaran dan
neurologis. Tidak ada pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik
untuk ADHD. Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara seksama, mungkin
dapat membantu dalam menegakkan diagnosa, dan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain.
b. Pemeriksaan Psikologis (mental)
Terdiri dari pemeriksaan terhadap kesan umum berupa refleksi menghisap,
kontrol impuls, dan state of arousal. Pemeriksaan mental seperti: tes
intelegensia, tes visuomotorik, tes kemampuan bahasa, dan lain-lain
3. Diagnosis Keperawatan
Menurut Townsend & Morgan, (2018) diagnosa keperawatan yang dapat
diangkat pada anak ADHD, sebagai berikut :
a. Dimensi emosi: kecemasan berhubungan dengan hiperaktif.
b. Dimensi intelektual: perubahan pola belajar: rentang perhatian yang
pendek, mudah teralihkan, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
berhubungan dengan hiperaktif.
c. Dimensi sosial: perubahan pola asuh behubungan dengan hiperaktivitas.
d. Dimensi spiritual: tekanan spiritual: keputusasaan berhubungan dengan
hiperaktif.
e. Dimensi fisik: resiko cedera berhubungan dengan hiperaktif.
4. Rencana Keperawatan
Menurut Townsend & Morgan, (2018) rencana keperawatan yang dapat
diangkat pada anak ADHD, sebagai berikut :
a. Dimensi Emosi
Diagonsa keperawatan:
Kecemasan berhubungan dengan hiperaktif
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kecemasan teratasi
Kriteria hasil :
a) Anak dapat mengidentifikasi stres dan kecemasan dalam lingkungan.
b) Anak dapat memindahkan diri ke area lain ketika terganggu oleh
rangsangan.
c) Anak dapat mengutarakan pikiran dan perasaan tentang situasi masalah
tertentu (berkelahi atau mengambil mainan dari anak-anak lain).
Rencana asuhan keperawatan, sebagai berikut:
a) Bantu mengidentifikasi perasaan frustrasi, kemarahan, amarah, dan
keputusasaan dengan mendengarkan secara aktif, dan berempati.
Rasional: untuk membantu anak mulai mempertimbangkan sebab
(perasaan) dan efek (memerankan) hubungan perilakunya.
b) Fasilitasi ekspresi perasaan frustrasi, kemarahan, kemarahan, dan
keputusasaan dengan cara yang tepat; bicarakan mereka, gunakan
energi fisik untuk mengekspresikannya.
Rasional: untuk memberikan alternatif bagi perilaku bermasalah.
c) Jelajahi metode alternatif untuk mengungkapkan perasaan ("apa
yang bisa Anda lakukan untuk mengekspresikan diri tanpa
amarah?" atau "apa yang Anda rasakan ketika Anda marah?).
Rasional: untuk mengajarkan tanggapan alternatif.
d) Mintalah klarifikasi ketika ekspresi perilaku perasaan tidak
dipahami.
Rasional: fungsi hubungan perawat-klien adalah untuk memperjelas
perasaan dan menghubungkannya dengan perilaku.
e) Kurangi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
hindari perbandingan dengan orang lain.
Rasional: mengenali individualitas anak dan juga mengurangi
ketegangan yang mungkin terkait dengan tuntutan untuk
menyesuaikan diri.
b. Dimensi Intelektual
Diagnosa keperawatan:
Perubahan pola belajar: rentang perhatian yang pendek, mudah
teralihkan, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi berhubungan
dengan hiperaktif.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan rentang perhatian dan konsentrasi anak meningkat.
Kriteria hasil :
a) Anak tetap duduk untuk periode waktu yang ditentukan,
b) Anak dapat berkonsentrasi pada tugas,
c) Anak dapat menyelesaikan tugas,
d) Anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tanpa
mengganggu orang lain.
Rencana asuhan keperawatan, sebagai berikut:
a) Minta alasan anak untuk perilaku tertentu
Rasional: berikan sarana bagi anak untuk memeriksa perilakunya.
b) Bantu anak meningkatkan rentang perhatian dengan memberikan
lingkungan yang merangsang.
Rasional: membantu anak-anak belajar mengendalikan diri.
c) Gunakan penguatan positif untuk membantu anak menunda. Sambung
tangan segera untuk belajar menunggu, untuk bergiliran.
Rasional: membantu anak-anak belajar mengendalikan diri.
d) Berikan arahan dan tugas yang singkat dan ringkas.
Rasional: rentang perhatian pendek dan anak mengalami kesulitan.
e) Biarkan anak bekerja dengan kecepatannya sendiri dalam batas yang
wajar
Rasional: mengurangi ketegangan yang terkait dengan tekanan untuk
menyelesaikan tugas. Menyelesaikan dan meningkatkan harga diri
anak.
f) Kolaborasi dalam pemberian medikasi obat stimulan dan nonstimulan.
Rasional: meningkatkan konsentrasi dan mengontrol perilaku
c. Dimensi Sosial
Diagnosa keperawatan:
Perubahan pola asuh behubungan dengan hiperaktivitas.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan stabilitas keluarga meningkat.
Kriteria hasil :
a) Meningkatnya kesadaran orangtua tentang perilaku anak dan keadaan
yang terkait dengan perilaku positif atau negatif
b) Meningkatnya pengetahuan orangtua dalam perawatan dan
mendisiplinkan anak.
Rencana asuhan keperawatan, sebagai berikut:
a) Tingkatkan konsep diri anak dengan meningkatkan keterampilan sosial
Rasional: kapasitas untuk berhubungan dengan orang lain akan
meningkatkan harga diri dan mengurangi isolasi.
b) Berikan kesempatan bagi anak untuk melakukan interaksi yang sukses
dengan teman sebaya dengan mengawasi permainan.
Rasional: untuk belajar menjadi sukses dalam pertukaran sosial.
c) Libatkan keluarga dalam perawatan.
Rasional: keluarga merupakan sumber utama perawatan dan
keterlibatan disiplin meningkatkan kerjasama dalam perawatan.
d) Sediakan terapi keluarga
Rasional: disfungsi pada anggota keluarga menunjukkan disfungtion
dalam sistem keluarga. keluarga perlu memeriksa respons mereka
terhadap anak, cara-cara di mana mereka berkontribusi pada perilaku,
dan cara-cara di mana mereka dapat membantu anak dalam
beradaptasi.
e) Berikan peluang bagi anak untuk bermain dengan anak-anak lainnya.
Rasional: meningkatkan sosialisasi anak
d. Dimensi Spiritual
Diagnosa keperawatan:
Tekanan spiritual: keputusasaan berhubungan dengan hiperaktif
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan tekanan spiritual teratasi
Kriteria hasil :
a) Anak dapat merasa aman dan percaya pada orang lain
b) Anak dapat mengendalikan perilaku
Rencana asuhan keperawatan, sebagai berikut:
a) Berikan hubungan suportif yang membina
Rasional: anak dapat merasa aman dan percaya pada orang lain
b) Berikan sikap bahwa anak itu unik dan spesial serta dihargai sebagai
orang yang memiliki hak mampu menghargai orang lain dengan benar.
Rasional: untuk meyakinkan bahwa anak itu baik-baik saja dan
harapan bahwa anak dapat mengendalikan perilaku. meningkatkan
harga diri anak
c) Promosikan rasa cinta dan kepemilikan anak dalam keluarga.
Rasional: mengurangi isolasi
d) Promosikan rasa penerimaan orang tua terhadap anak sebagai anggota
keluarga yang berbeda dan dihargai.
Rasional: mengurangi penolakan orang tua dan untuk meningkatkan
respons mereka terhadap kebutuhan anak.
e) Promosikan kerja sama dengan perawatan.
Rasional: mencegah kerusakan perilaku lebih lanjut dan untuk
meningkatkan kepuasan dan kesenangan dalam hubungan dan
kehidupan secara umum.
e. Dimensi Fisik
Diagnosa keperawatan:
Resiko cedera berhubungan dengan hiperaktif.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan cedera tidak terjadi
Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi cedera pada anak,
b) Anak tidak melukai diri sendiri dan orang lain,
c) Anak mampu menyalurkan kekerasan fisik pada hal yang positif
Rencana asuhan keperawatan, sebagai berikut:
a) Amati perilaku anak secara sering.
Rasional : anak-anak ADHD memiliki resiko tinggi untuk melakukan
pelanggaran, memerlukan pengamatan yang seksama untuk mencegah
tindakan yang bagi diri sendiri atau orang lain.
b) Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan anak.
Rasional : keselamatan fisik adalah prioritas dari keperawatan.
c) Arahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan fisik (kantung
tinju, bola, joging).
Rasional : mengarahkan kekerasan fisik ke arah yang positif.
d) Temani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai meningkat.
Rasional : hadirnya seseorang yang dapat dipercaya memberikan rasa
aman.
5. Evaluasi
Menurut Townsend & Morgan, (2018) evaluasi efektivitas pengobatan
didasarkan pada tujuan yang terukur dan kriteria hasil.
a. Kecemasan teratasi. Dengan kriteria hasil : anak dapat mengidentifikasi
stres dan kecemasan dalam lingkungan, anak dapat memindahkan diri ke
area lain ketika terganggu oleh rangsangan, anak dapat mengutarakan
pikiran dan perasaan tentang situasi masalah tertentu (berkelahi atau
mengambil mainan dari anak-anak lain).
b. Perubahan pola belajar teratasi. Dengan kriteria hasil: anak tetap duduk
untuk periode waktu yang ditentukan, anak dapat berkonsentrasi pada
tugas, anak dapat menyelesaikan tugas, anak dapat berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok tanpa mengganggu orang lain.
c. Perubahan pola asuh keluarga teratasi. Dengan kriteria hasil: meningkatnya
kesadaran orangtua tentang perilaku anak dan keadaan yang terkait dengan
perilaku positif atau negative, meningkatnya pengetahuan orangtua dalam
perawatan dan mendisiplinkan anak
d. Tekanan spiritual: keputusasaan teratasi. Dengan kriteria hasil: anak dapat
merasa aman dan percaya pada orang lain, dan anak dapat mengendalikan
perilaku
e. Cedera tidak terjadi. Dengan kriteria hasil: tidak terjadi cedera pada anak,
anak tidak melukai diri sendiri dan orang lain, anak mampu menyalurkan
kekerasan fisik pada hal yang positif.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Keterangan :
: Laki-Laki
: Perempuan
: Meninggal
P : Pasien
d. Riwayat Anak
Ibu klien mengatakan An. DD melewati salah satu tahapan perkembangan
yaitu fase merangkak.
1. Masa Pre-Natal
Selama kehamilan ibu 4 kali memeriksakan kandungannya ke Puskesmas
dan Dokter, mendapat imunisasi TT sebanyak 2 kali. Selama kehamilan
ibu tidak pernah mengalami ibu tidak pernah mengalami penyakit yang
menular atau penyakit lainnya. Ibu juga berkata saat kehamilannya suka
makan makanan laut seperti udang, kerang.
2. Masa Intra-Natal
Proses persalinan klien secara normal (spontan) dengan bantuan bidan,
dengan umur kehamilan 36 minggu.
3. Masa Post-Natal.
Klien lahir dalam keadaan normal, dengan BBLR ±2000 gram dalam
keadaan sehat. Waktu lahir klien langsung menangis.
e. Pengetahuan Orang Tua
1. Tentang makanan sehat
Orang tua klien belum cukup mengetahuin tentang makanan sehat dan
gizi klien baik dan berat badannya 20 kg. Klien diberikan ASI sampai
umur 6 bulan dan dilanjutkan dengan MPASI.
2. Personal Hygiene
Orang tua klien sudah mengetahui tentang kebersihan dengan baik, dilihat
dari kebersihan klien dan orang tuanya sendiri.
3. Imunisasi
Imunisasi yang didapatkan klien tidak lengkap yaitu: imunisasi BCG satu
kali, DPT empat kali, campak dua kali, polio empat kali, hepatitis B
empat kali.
4. Pola kebiasaan
a. Pola nutrisi
Pola nutrisi klien sebelum sakit: klien makam 3 kali sehari habis 1 porsi
makan, dengan jenis makanan nasi, lauk-pauk, sayuran, minum air putih
dan susu. Nafsu makan klien baik, tidak ada mual dan muntah. Orang tua
klien masih memberikan makanan yang mengandung zat aditif seperti MSG,
yang banyak terdapat pada makanan, jajanan/minuman berwarna, dan gula..
Kebiasaan klien sebelum makan yaitu mencuci tangan. Makanan yang tidak
disukai tidak ada. Sedangkan dirumah sakit klien makan habis 1/2 porsi,
minum air putih dan susu. Klien tidak menggunakan alat bantu untuk makan.
b. Pola Eliminasi
1) BAK
Sebelum dirawat di rumah sakit klien buang 4-5 x/hari, warna kuning
jernih, keluhan tidak ada, dan berbau amonia. Sedangkan di rumah sakit
klien buang air 3-4 x/hari, warna kuning jernih, dan berbau amonia.
2) BAB
Sebelum sakit klien BAB 1x/hari, waktu tidak tentu, warna kuning
kecoklatan, konsistensi padat dengan tidak menggunakan obat-obatan
pencahar. Di rumah sakit, klien BAB 1x/hari, warna kuning kecoklatan,
tidak menggunakan obat-obatan pencahar.
c. Pola personal hygiene
Sebelum sakit klien mandi 2 x/hari waktu pagi dan sore, oral hygiene 2
x/hari waktu pagi dan sore, cuci rambut 3 hari sekali. Di rumah sakit klien
dimandikan 2 x/hari waktu pagi dan sore, oral hygiene 2 x/hari setiap pagi
dan sore, cuci rambut belum pernah selama sakit. Klien dibantu dalam
melakukan aktivitas mandi oleh perawat dan keluarga.
d. Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit klien tidur selama 7-8 jam sehari, tidur siang tidak pernah dan
tidur malam 7-8 jam. Di rumah sakit klien tidur selama 9-10 jam sehari, tidur
siang 2 jam dan tidur malam 7-8 jam. Kebiasaan sebelum tidak ada.
e. Pola aktivitas dan latihan
Klien adalah siswa sekolah dasar inklusi Surabaya. Klien sering melakukan
aktivitas olahraga di sekolah.
5. Pemeriksaan Fisik Sistem Tubuh
a. Pemeriksaan Fisik Umun
kesadaran Compos Mentis, Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 100 x/menit
irama teratur dan teraba kuat, akral kulit klien hangat dengan temperatur
kulit 370C, pernafasan klien dalam batas normal, 23 x/menit. Pada
pemeriksaan sensori, penciuman klien normal, bentuk simetris, kebersihan
hidung baik, dan tidak terdapat polip. Indra pengecapan klien normal, tidak
terlihat peradangan dan pendarahan pada mulut, fungsi pengecapan baik,
mukosa bibir lembab. Indra penglihatan klien normal, bentuk simetris, tidak
ada kotoran mata, konjungtiva tidak anemis, tidak ada peradangan dan
pendarahan, klien dapat melihat jarak dekat dan jarak jauh dengan baik.
Indra pendengaran klien normal, klien dapat mendengar dengan baik jika
dipanggil langsung memberi respon, tidak ada peradangan dan pendarahan,
tidak terdapat serumen yang menumpuk.
b. Sistem Oksigenasi
Jalan napas klien bersih, tidak sesak, tidak menggunakan otot bantu
pernapasan, frekuensi napas 23 x/menit, irama teratur, klien bernapas secara
spontan, batuk tidak ada, pada palpasi dada tidak teraba massa, klien tidak
mengeluh nyeri dan pad taktil fremitus getaran kedua paru simetris, pada
perkusi dada sonor paru kanan dan kiri, suara napas vesikuler, ronkhi dan
wheezing tidak ada, tidak ada nyeri saat bernapas, dan tidak menggunakan
alat bantu nafas.
c. Integumen
Kulit tampak bersih, turgor kulit klien baik, temperatur kulit hangat 37ºC,
tidak terdapat lesi maupun luka, dan klien tidak mengalami kelainan kulit.
d. Muskuloskeletal
Bentuk simetris, tidak ada luka maupun fraktur pada ekstremitas atas dan
bawah.
6. Pemeriksaan Penunjang
Hasil CT-scan atau MRI mengungkapkan penurunan volume otak terutama di
korteks frontalis, basal ganglia dan serebrum.
7. Penatalaksanaan (Terapi dan Diet)
Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien yaitu:
a. Terapi medik : anak mendapatkan obat oral concerta 2x15 mg, pada pukul
06.00 WIB dan 18.00 WIB. Concerta merupakan salah satu obat stimulan
golongan methylphenidate yang berfungsi meningkatkan kemampuan
memperhatikan, tetap fokus pada suatu kegiatan, dan mengendalikan masalah
perilaku. Efek samping obat ini adalah gugup, sulit tidur, kehilangan nafsu
makan, penurunan berat badan, pusing, mual, muntah, atau sakit kepala.
b. Terapi musik dan gerak: merupakan terapi efektif dan alat edukasi untuk anak
dengan ADHD sehingga dapat mempengaruhi perubahan keterampilan yang
penting pada gangguan belajar atau perilaku.
c. Diet : Menghindari konsumsi makanan yang mengandung pengawet, MSG,
pewarna, gula buatan, dan zat sintetik lainnya.
d. Terapi keluarga
Memberitahukan kepada orang tua mengenai faktor-faktor penyebab dan cara
menanggulangi gangguan ADHD.
8. Data Fokus
a. Data Subjektif
Ibu klien mengatakan klien sangat sulit untuk belajar, klien memang lebih
suka memerhatikan benda-benda lain yang ada disekelilingnya seperti
mainan, dan mudah bosan saat belajar seperti banyak alasan. Ibu klien
mengatakan tidak begitu menerapkan aturan kepada klien agar klien disiplin
dan patuh. Ketika klien tidak mau belajar atau sulit untuk belajar, biasanya
akan dibiarkan bermain dan melakukan kegiatan semaunya.
b. Data Objektif
Hasil observasi didapatkan klien mengalami kesulitan dalam konsentrasi
belajar dan belajar dalam keadaan diam. Saat proses belajar mengajar di
dalam kelas klien tidak mampu fokus ketika guru berbicara di depan kelas,
seperti mencoret-coret buku, tidak mengerjakan tugas dari guru, menggigit
pensil. Klien juga sering tidak mendengarkan perintah guru, instruksi yang
diberikan selalu berulang-ulang agar klien mengerti. Saat belajar di dalam
kelas klien suka berdiri dari tempat duduknya, memukul meja, menggedor
papan, dan menaikkan kaki di atas kursi. klien suka melihat aktivitas yang
dilakukan oleh teman-temannya. klien sering menganggu temannya seperti
melempar buku pada teman atau orang yang ada di depannya, memukul, dan
menjaili teman. Klien siswa ADHD dengan lambat belajar. Klien sangat
malas sekali bila belajar, ketika disuruh oleh guru sering tidak mau
melaksanakan dan semaunya sendiri. Ketika teman-teman klien membuat
gaduh, klien akan dengan cepat mengikuti sehingga kelas menjadi ramai.
9. Analisis Data
No Data Masalah Etiologi
1. Data Subjektif: Perubahan pola Hiperaktivitas
a. Ibu klien mengatakan klien belajar: rentang
sangat sulit untuk belajar, perhatian yang
b. Ibu klien mengatakan klien pendek, mudah
memang lebih suka teralihkan, dan
memerhatikan benda-benda ketidakmampuan
lain yang ada disekelilingnya untuk
seperti mainan, dan mudah berkonsentrasi
bosan saat belajar seperti
banyak alasan.
a. Ibu klien mengatakan klien
tidak mampu fokus ketika
guru berbicara di depan kelas,
seperti mencoret-coret buku,
tidak mengerjakan tugas dari
guru, menggigit pensil.
b. Ibu klien mengatakan ketika
teman-teman klien membuat
gaduh, klien akan dengan
cepat mengikuti sehingga
kelas menjadi ramai.
Data Objektif:
a. Hasil observasi didapatkan,
klien mengalami kesulitan
dalam konsentrasi belajar.
b. Klien tidak mampu fokus
ketika ada yang berbicara.
c. Klien sering tidak
mendengarkan perintah,
instruksi yang diberikan
selalu berulang-ulang agar
klien mengerti.
d. Klien sangat malas sekali bila
belajar dan semaunya sendiri.
2. Data Subjektif: Perubahan pola
Hoperaktivitas
a. Ibu klien mengatakan dirinya asuh keluarga
tidak begitu menerapkan
aturan kepada klien agar klien
disiplin dan patuh. Ketika
klien tidak mau belajar atau
sulit untuk belajar, biasanya
akan dibiarkan bermain dan
melakukan kegiatan
semaunya.
b. Ibu klien mengatakan dirinya
lebih menyerahkan
sepenuhnya kepada terapis
dan guru kelas dalam
mengembangkan perilaku
klien dan akademik klien.
Data Objektif:
a. Ibu klien terlihat tidak begitu
memahami kondisi anaknya.
Data Subjektif:
Ibu klien mengatakan saat belajar
klien suka berdiri dari tempat
duduknya, memukul meja,
menggedor papan, dan
menaikkan kaki di atas kursi.
3. Data Objektif: Resiko cedera Hiperaktivitas
a. Klien terlihat sering
menganggu orang lain seperti
melempar benda pada orang
lain, dan menjahili orang lain.
b. Klien terlihat sering berlarian
dan tidak bisa diam.
B. Diagnosa Keperawatan
Setelah kelompok menganalisa data, maka kelompok merumuskan diagnosa
keperawatan yang disusun berdasarkan prioritas. Diagnosa keperawatan pada klien
adalah :
1. Perubahan pola belajar: rentang perhatian yang pendek, mudah teralihkan, dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi berhubungan dengan hiperaktivitas
2. Perubahan pola asuh keluarga berhubungan dengan Hiperaktivitas.
3. Resiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas.
Perencanaan:
Lanjutkan intervensi
a. Minta alasan anak untuk perilaku tertentu (menjahili teman, marah-marah,
dll) dan mengkoreksi perilakunya
b. Ajarkan anak untuk belajar menunggu dan bergiliran dengan penguatan yang
positif.
c. Berikan arahan dan tugas yang singkat dan ringkas.
d. Beri kesempatan klien bekerja dengan kecepatannya sendiri dalam batas
yang wajar.
e. Berikan reward (tepuk tangan, beri ucapan “bagus”) kepada klien saat bisa
mengikuti perintah, misalnya duduk dengan tenang, tidak memukul meja,
dll.
f. Beri anak terapi dengan terapi musik dan gerak.
g. Kolaborasi pemberian obat stimulan oral concerta 2x15 mg, pada pukul
06.00 WIB dan 18.00 WIB.
Pelaksanaan:
Hari Kamis tanggal 22 Maret 2020.
Pukul 07.05 WIB memberi anak terapi dengan terapi musik dan gerak, respon:
klien mengatakan menyukai lagunya, tetapi klien tidak mau mengikuti keragan
terapis. Pukul 08.00 WIB mengajarkan anak untuk belajar menunggu dan
bergiliran dengan penguatan yang positif, respon: klien mengatakan mau
bergiliran dan mau menunggu, tetapi klien mau menunggu waktunya tidak lama.
Pukul 09.45 WIB memberikan arahan dan tugas yang singkat dan ringkas,
respon: klien mengatakan paham dengan perkataan perawat, tetapi klien tidak
mengerjakan tugasnya. Pukul 10.50 WIB memberikan reward berupa ucapan
“bagus” kepada klien saat bisa mengikuti perintah untuk duduk tenang, respon:
klien terlihat senang dan duduk tenang selama 10 menit. Pukul 11.15 WIB
meminta alasan anak saat menjahili temannya dan mengkoreksinya, respon:
klien mengatakan tidak senang melihat temannya menangis. Pukul 12.15 WIB
memberi kesempatan klien bekerja dengan kecepatannya sendiri dalam batas
yang wajar, respon: klien mengatakan tidak mau mengerjakan tugasnya karena
ingin bermain.
Evaluasi:
Hari Kamis tanggal 22 Maret 2020 pukul 14.00 WIB
Subjektif:
klien mengatakan menyukai lagunya, klien mengatakan mau bergiliran dan mau
menunggu, klien mengatakan paham dengan perkataan perawat, klien
mengatakan senang melihat temannya menangis, klien mengatakan tidak mau
mengerjakan tugasnya karena ingin bermain.
Objektif:
klien terlihat berlarian kesana kemari, klien mau menunggu waktunya tidak
lama, klien tidak mengerjakan tugasnya, klien terlihat senang.
Analisa:
Masalah perubahan pola belajar belum teratasi
Perencanaan:
Discharge Planning
a. Patuh minum obat concerta 2x15 mg pada pukul 06.00 WIB dan 18.00 WIB
b. Patuh memberi alasan untuk perilaku tertentu (menjahili teman, marah-
marah, dll) dan mengkoreksi perilakunya
c. Patuh belajar menunggu dan bergiliran dengan penguatan yang positif.
d. Patuh mengikuti terapi musik dan gerak.
Pelaksanaan
Hari Selasa tanggal 20 Maret 2020.
Pukul 07.24 WIB melibatkan keluarga dalam perawatan anak saat terapi musik
dan gerak, respon: orang tua klien terlihat kooperatif dalam merawat anak.
Pukul 08.50 WIB mendiskusikan dengan orang tua tentang efek stimulasi
berlebihan yang memicu amarah anak, respon: orang tua klien mengatakan tidak
tau penyebab anaknya marah karena anaknya sering tiba-tiba marah.
Pukul 10.00 WIB melakukan terapi keluarga yaitu mengenal faktor-faktor
penyebab dan cara menanggulangi ADHD, respon: orang tua klien mengatakan
paham dengan penjelasan perawat, orang tua klien dapat mengulangi apa yang
dijelaskan perawat.
Pukul 10.30 WIB menentukan faktor-faktor dalam perilaku orang tua (alkohol,
narkoba, penyakit mental) yang dapat mengganggu anak, respon: orang tua klien
mengatakan tidak ada perilaku minum alkohol, narkoba, namun ada tante klien
menderita ADHD.
Pukul 13.00 WIB menjelaskan kepada orang tua tentang diet anak ADHD yang
baik seperti tidak mengandung pengawet, MSG, pewarna, gula buatan, dan zat
sintetik lainnya, respon: orang tua klien mengatakan paham dengan penjelasan
perawat, dan orang tua klien mampu menyebutkan diet yang baik untuk anak
ADHD.
Evaluasi:
Hari Selasa tanggal 20 Maret 2020, pukul 14.00 WIB
Subjektif:
Orang tua klien mengatakan tidak tau penyebab anaknya marah karena anaknya
sering tiba-tiba marah, orang tua klien mengatakan paham dengan perjelasan
perawat, orang tua klien mengatakan tidak ada perilaku minum alkohol, narkoba,
namun ada tante klien menderita ADHD, orang tua klien mengatakan paham
dengan penjelasan perawat mengenai diet anak ADHD
Objektif:
Orang tua klien terlihat kooperatif dalam merawat anak, orang tua klien dapat
mengulangi apa yang dijelaskan perawat, orang tua klien mampu menyebutkan
diet yang baik untuk anak ADHD.
Analisa:
Masalah perubahan pola asuh keluarga belum teratasi
Perencanaan:
a. Libatkan orang tua dalam perawatan anak
b. Lakukan terapi keluarga seperti (mengenal faktor-faktor penyebab dan cara
menanggulangi ADHD, mengembangkan rencana intervensi, memfokuskan
pada penguatan komunikasi, dll).
c. Diskusi dengan orang tua tentang efek stimulasi berlebihan yang memicu
amarah anak.
d. Tentukan faktor-faktor dalam perilaku orang tua (alkohol, narkoba, penyakit
mental) yang dapat mengganggu anak.
e. Jelaskan kepada orang tua tentang diet anak ADHD yang baik seperti tidak
mengandung pengawet, MSG, pewarna, gula buatan, dan zat sintetik lainnya.
Pelaksanaan
Hari Rabu tanggal 21 Maret 2020.
Pukul 07.45 melibatkan keluarga dalam perawatan anak saat terapi musik dan
gerak, respon: orang tua klien terlihat kooperatif dalam merawat anak.
Pukul 09.00 WIB mendiskusikan dengan orang tua tentang efek stimulasi
berlebihan yang memicu amarah anak, respon: orang tua klien mengatakan tidak
tau penyebab anaknya marah karena anaknya sering tiba-tiba marah.
Pukul 10.00 WIB melakukan terapi keluarga yaitu mengenal faktor-faktor
penyebab dan cara menanggulangi ADHD, respon: orang tua klien mengatakan
paham dengan penjelasan perawat, orang tua klien dapat mengulangi apa yang
dijelaskan perawat.
Pukul 12.45 WIB menentukan faktor-faktor dalam perilaku orang tua (alkohol,
narkoba, penyakit mental) yang dapat mengganggu anak, respon: orang tua klien
mengatakan tidak ada perilaku minum alkohol, narkoba, namun ada tante klien
menderita ADHD.
Pukul 12.10 WIB menjelaskan kepada orang tua tentang diet anak ADHD yang
baik seperti tidak mengandung pengawet, MSG, pewarna, gula buatan, dan zat
sintetik lainnya, respon: orang tua klien mengatakan paham dengan penjelasan
perawat, dan orang tua klien mampu menyebutkan diet yang baik untuk anak
ADHD.
Objektif:
Orang tua klien terlihat kooperatif dalam merawat anak, orang tua klien dapat
mengulangi apa yang dijelaskan perawat, orang tua klien mampu menyebutkan
diet yang baik untuk anak ADHD.
Analisa:
Masalah perubahan pola asuh keluarga belum teratasi
Perencanaan:
a. Libatkan orang tua dalam perawatan anak
b. Lakukan terapi keluarga seperti (mengenal faktor-faktor penyebab dan cara
menanggulangi ADHD, mengembangkan rencana intervensi, memfokuskan
pada penguatan komunikasi, dll).
c. Diskusi dengan orang tua tentang efek stimulasi berlebihan yang memicu
amarah anak.
d. Tentukan faktor-faktor dalam perilaku orang tua (alkohol, narkoba, penyakit
mental) yang dapat mengganggu anak.
e. Jelaskan kepada orang tua tentang diet anak ADHD yang baik seperti tidak
mengandung pengawet, MSG, pewarna, gula buatan, dan zat sintetik lainnya.
Pelaksanaan:
Hari Kamis tanggal 22 Maret 2020.
Pukul 07.05 WIB melibatkan keluarga dalam perawatan anak saat terapi musik
dan gerak, respon: orang tua klien terlihat kooperatif dalam merawat anak.
Pukul 08.00 WIB mendiskusikan dengan orang tua tentang efek stimulasi
berlebihan yang memicu amarah anak, respon: orang tua klien mengatakan
sudah mengetahui penyebab anaknya marah. Pukul 09.45 WIB melakukan
terapi keluarga yaitu mengenal faktor-faktor penyebab dan cara menanggulangi
ADHD, respon: orang tua klien mengatakan paham dengan penjelasan perawat,
orang tua klien dapat mengulangi apa yang dijelaskan perawat. Pukul 10.50
WIB memberikan reward berupa ucapan “bagus” kepada klien saat bisa
mengikuti perintah untuk duduk tenang, respon: klien terlihat senang dan duduk
tenang selama 10 menit. Pukul 11.15 WIB menjelaskan kepada orang tua
tentang diet anak ADHD yang baik seperti tidak mengandung pengawet, MSG,
pewarna, gula buatan, dan zat sintetik lainnya, respon: orang tua klien
mengatakan paham dengan penjelasan perawat, dan orang tua klien mampu
menyebutkan diet yang baik untuk anak ADHD.
Evaluasi:
Hari Kamis tanggal 22 Maret 2020 pukul 14.00 WIB
Subjektif:
Orang tua klien mengatakan sudah mengetahui penyebab anaknya marah, orang
tua klien mengatakan paham dengan perjelasan perawat, orang tua klien
mengatakan paham dengan penjelasan perawat mengenai diet anak ADHD.
Objektif:
Orang tua klien terlihat kooperatif dalam merawat anak, orang tua klien dapat
mengulangi apa yang dijelaskan perawat, orang tua klien mampu menyebutkan
diet yang baik untuk anak ADHD.
Analisa:
Masalah perubahan pola asuh keluarga teratasi
Perencanaan
Discharge Planning:
a. Patuh terlibat dalam perawatan anak
b. Orang tua mengetahui tentang efek stimulasi berlebihan yang memicu
amarah anak.
c. Patuh dalam menghindari faktor-faktor dalam perilaku seperti minum
alkohol, narkoba, penyakit mental yang dapat mengganggu anak.
d. Patuh dalam memberikan diet anak ADHD yang baik seperti tidak
mengandung pengawet, MSG, pewarna, gula buatan, dan zat sintetik lainnya.
Kriteria Hasil:
Tidak terjadi cedera pada anak, anak tidak melukai diri sendiri dan orang lain,
anak mampu menyalurkan kekerasan fisik pada hal yang positif
Rencana Tindakan
a. Amati perilaku anak secara sering.
Rasional : anak-anak ADHD memiliki resiko tinggi untuk melakukan
pelanggaran, memerlukan pengamatan yang seksama untuk mencegah
tindakan yang bagi diri sendiri atau orang lain.
b. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan anak.
Rasional : keselamatan fisik adalah prioritas dari keperawatan.
c. Arahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan fisik (kantung tinju,
bola, joging).
Rasional : mengarahkan kekerasan fisik ke arah yang positif.
d. Temani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai meningkat.
Rasional : hadirnya seseorang yang dapat dipercaya memberikan rasa aman.
Pelaksanaan:
Hari Selasa tanggal 20 Maret 2020.
Pukul 08.00 WIB mengamati perilaku anak, respon: orang tua klien
mengatakan anaknya yang sering mengganggu temannya dan anak terlihat sering
menganggu temannya seperti melempar buku pada teman atau orang yang ada di
depannya, serta menjaili teman.
Pukul 09.15 WIB menyingkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari
lingkungan anak, respon: orang tua klien mengatakan tidak ada benda berbahaya
di lingkungan anak.
Pukul 10.30 WIB mengarahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan
fisik (kantung tinju, bola, joging), respon: anak mengatakan tidak mau bermain
kantung tinju dan melakukan aktivitas fisik yang lain.
Pukul 11.00 WIB menemani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai
meningkat, respon: orang tua klien mengatakan mau mengikuti aktivitas
anaknya.
Evaluasi:
Hari Selasa tanggal 20 Maret 2020, pukul 14.00 WIB
Subjektif:
Orang tua klien mengatakan anaknya yang sering mengganggu temannya, orang
tua klien mengatakan tidak ada benda berbahaya di lingkungan anak, anak
mengatakan tidak mau bermain kantung tinju dan melakukan aktivitas fisik yang
lain, orang tua klien mengatakan mau mengikuti aktivitas anaknya.
Objektif:
anak terlihat sering menganggu temannya seperti melempar buku pada teman
atau orang yang ada di depannya, serta menjaili teman.
Analisa:
Masalah resiko cedera belum teratasi
Perencanaan:
a. Amati perilaku anak secara sering.
b. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan anak.
c. Arahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan fisik (kantung tinju,
bola, joging).
d. Temani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai meningkat.
Pelaksanaan
Hari Rabu tanggal 21 Maret 2020.
Pukul 08.00 WIB mengamati perilaku anak, respon: orang tua klien
mengatakan anaknya yang sering mengganggu temannya dan anak terlihat sering
menganggu temannya seperti melempar buku pada teman atau orang yang ada di
depannya, serta menjaili teman.
Pukul 09.15 WIB menyingkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari
lingkungan anak, respon: orang tua klien mengatakan tidak ada benda berbahaya
di lingkungan anak.
Pukul 10.15 WIB mengarahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan
fisik (kantung tinju, bola, joging), respon: anak mengatakan tidak mau bermain
bola dan melakukan aktivitas fisik yang lain.
Pukul 13.00 WIB menemani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai
meningkat, respon: orang tua klien mengatakan mau mengikuti aktivitas
anaknya.
Evaluasi:
Hari Rabu tanggal 21 Maret 2020 pukul 14.00 WIB
Subjektif:
Orang tua klien mengatakan anaknya yang sering mengganggu temannya, orang
tua klien mengatakan tidak ada benda berbahaya di lingkungan anak, anak
mengatakan tidak mau bermain bola dan melakukan aktivitas fisik yang lain,
orang tua klien mengatakan mau mengikuti aktivitas anaknya.
Objektif:
Anak terlihat sering menganggu temannya seperti melempar buku pada teman
atau orang yang ada di depannya, serta menjaili teman.
Analisa:
Masalah resiko cedera belum teratasi
Perencanaan:
a. Amati perilaku anak secara sering.
b. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan anak.
c. Arahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan fisik (kantung tinju,
bola, joging).
d. Temani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai meningkat.
Pelaksanaan:
Hari Kamis tanggal 22 Maret 2020.
Pukul 07.15 WIB mengamati perilaku anak, respon: orang tua klien mengatakan
anaknya yang sering mengganggu temannya dan anak terlihat sering menganggu
temannya seperti melempar mainan pada teman atau orang yang ada di depannya.
Pukul 08.15 WIB menyingkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari
lingkungan anak, respon: orang tua klien mengatakan tidak ada benda berbahaya
di lingkungan anak.
Pukul 10.00 WIB mengarahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan
fisik (kantung tinju, bola, joging), respon: anak mengatakan tidak mau joging dan
melakukan aktivitas fisik yang lain.
Pukul 11.50 WIB menemani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai
meningkat, respon: orang tua klien mengatakan mau mengikuti aktivitas anaknya.
Evaluasi:
Hari Kamis tanggal 22 Maret 2020 pukul 14.00 WIB
Subjektif:
Orang tua klien mengatakan anaknya yang sering mengganggu temannya, orang
tua klien mengatakan tidak ada benda berbahaya di lingkungan anak, anak
mengatakan tidak mau joging dan melakukan aktivitas fisik yang lain, orang tua
klien mengatakan mau mengikuti aktivitas anaknya.
Objektif:
Anak terlihat sering menganggu temannya seperti melempar mainan pada teman
atau orang yang ada di depannya.
Analisa:
Masalah resiko cedera belum teratasi
Perencanaan
Discharge Planning:
a. Patuh terlibat dalam mengamati perilaku anak.
b. Patuh menyingkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan
anak.
c. Patuh dalam mengarahkan perilaku kekerasan fisik ke benda atau kegiatan
fisik (kantung tinju, bola, joging).
d. Patuh menemani anak jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai
meningkat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan pada An.DD tidak sesuai dengan tahapan usia,
dibuktikan dengan An.DD susah konsentrasi dan tidak bisa bersosialisai dengan
teman akibat hiperaktifitas. ADHD yang dialami pada An.DD merupakan tipe
campuran yaitu tipe campuran dari gangguan pemusatan perhatian (inatensi),
hiperaktivitas, dan impulsivitas.
ADHD pada An.DD disebabkan oleh keturunan dibuktikan bahwa salah satu
keluarga klien memiliki penyakit yang sama. Klien telah mendapatkan terapi musik
dan terapi obat oral Concerta 2x15 mg, pada pukul 06.00 WIB dan 18.00 WIB yang
berfungsi meningkatkan kemampuan memperhatikan, tetap fokus pada suatu
kegiatan, dan mengendalikan masalah perilaku. Tanda dan gejala ADHD yang
nampak pada klien adalah tidak mampu fokus, sangat malas sekali bila belajar,
susah konsentrasi, sering menganggu teman, dan membuat gaduh.
Pengkajian yang terfokus pada pasien An.DD dengan ADHD meliputi riwayat
kesehatan sekarang, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga,
riwayat anak dan pemeriksaan penunjang yang menunjukkan hasil CT-scan atau
MRI mengungkapkan penurunan volume otak terutama di korteks frontalis, basal
ganglia dan serebrum. Pada kasus An.DD dapat dirumuskan diagnosa keperawatan
meliputi, perubahan pola belajar: rentang perhatian yang pendek, mudah teralihkan,
dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi berhubungan dengan hiperaktif,
perubahan pola asuh: kurangnya stabilitas keluarga terkait dengan hiperaktif, dan
resiko cedera berhubungan dengan hiperaktifitas. Intervensi dilakukan kepada
An.DD sebagian besar sudah sesuai dengan teori. Adapun intervensi yang tidak
sesuai dengan teori adalah beri anak terapi dengan terapi musik dan gerak dan
jelaskan kepada orang tua tentang diet anak ADHD yang baik. Evaluasi selama
3x24 jam masalah keperawatan, perubahan pola belajar belum teratasi, koping
keluarga tidak efektif teratasi, dan resiko cedera belum teratasi.
B. Saran
Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis memberikan saran kepada mahasiswa
dan perawat sehingga asuhan keperawatan pada klien ADHD dapat semakin baik.
1. Untuk mahasiswa
a. Mahasiswa/i mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh di
institusi dan menerapkan secara langsung kepada pasien melalui asuhan
keperawatan dan memanfaatkan waktu praktik seoptimal mungkin agar
tujuan dari asuhan keperawatan dapat tercapai.
b. Mahasiswa/i lebih meningkatkan keberanian untuk membina kerja sama dan
komunikasi dengan tim kesehatan lain seperti pada perawat ruangan, co ass,
dokter, dan residen.
c. Mahasiswa lebih meningkatkan promosi kesehatan mengenai nutrisi yang
seimbang sehingga mengurangi resiko terjadinya ADHD
2. Untuk perawat
Adapun saran untuk perawat ruangan yaitu:
a. Mempertahankan tim yang solid dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien.
b. Meluangkan waktu untuk melakukan terapi kepada klien
DAFTAR PUSTAKA
Ballard, K. A., Kennedy, W. Z., & O’Brien, P. G. (2014). Keperawatan kesehatan jiwa
psikiatrik: teori & praktik. Jakarta: EGC.
Dania, Nijma.(2019). Teori Dasar ADHD: Sebuah Panduan Dasar Anak ADHD.
Bandung: Dunkids Media.
Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: Egc, 45, 2010-2011.
Supartini, Yupi. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Mar’atun Nafi’ah, A., Cahyo Wibowo, I., & Dianto, F. (2018). Periodesasi Masa
Perkembangan Anak-Anak. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 1-15.
Rusmawati, D., & Kumala Dewi, E. (2011). Pengaruh Terapi Musik Dan Gerak
Terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku Siswa Sekolah Dasar Dengan
Gangguan ADHD. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 9(1).
Susanto, B. D., & Sengkey, L. S. (2016). Diagnosis dan penanganan rehabilitasi medik
pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder. JURNAL
BIOMEDIK: JBM, 8(3).