Anda di halaman 1dari 22

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI DAUN

KELOR (Moringa oleifera.) DENGAN METODE


DPPH

PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Proposal

Oleh
Pinling Bouato
442418007

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................7
2.1 Tumbuhan Daun Kelor (Moringa Oleifera).......................................................7
2.1.1 Klasifikasi Daun Kelor (Moringa Oleifera)..............................................7
2.1.2 Habitat dan Morfologi Daun Kelor (Moringa Oleifera)...........................8
2.1.3 Kandungan Kimia Daun Kelor(Moringa Oleifera)...................................8
2.2. Metabolit sekunder.............................................................................................9
2.3 Tenik Pemisahan...............................................................................................13
2.3.1 Ekstraksi.................................................................................................13
2.3.2 Fitokimia................................................................................................13
2.4 Antioksidan.......................................................................................................14
2.4.1 Uji aktivitas antioksidan.........................................................................15
2.5 Radikal Bebas...................................................................................................16
2.6 Kromatografi.....................................................................................................17
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis.......................................................................18
2.6.2 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif.......................................................18
2.7 Spektrofotometer UV-Vis..................................................................................19
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................20
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................................20
3.2 Metode Penelitian..............................................................................................20
3.2.1 Alat.........................................................................................................20
3.2.2 Bahan......................................................................................................20
3.3 Tahap Penelitian................................................................................................20

3.3.1 Persiapan sampel....................................................................................20


3.3.2 Pembuatan Ekstraksi..............................................................................21
3.3.3 Fraksi......................................................................................................21
3.3.4 Uji Fitokimia..........................................................................................21
3.3.5 Kromatografi Lapis Tipis.......................................................................24
3.3.6 Kromatografi Lapis Tipis preparatif.......................................................24
3.3.7 Pengujian Antioksidan............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27
LAMPIRAN 30
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan termasuk salah satu negara yang kaya akan keragaman
tanaman yang dapat dimanfaatkan. Indonesia juga dikenal sebagai ”mega biodiversity”
negara ketiga setelah Brazil dan Zaire. Keanekaragaman yang tinggi didukung oleh
wilayah yang luas dengan banyak kepulauan dan berada di daerah tropis.

Salah satu spesies tanaman yang ada di indonesia yang banyak mengandung
antioksidan ditemukan dalam dalam tumbuhan kelor (Moringa Oleifera Lam) salah
satunya pada bagian daun.

Penanaman kelor di Indonesia tersebar di seluruh daerah, mulai dari Aceh


hingga Meurauke. Oleh karena itu, tanaman kelor dikenal berbagai daerah, seperti
murong (Aceh), munggai (Sumatera Barat), kilor (Lampung), kelor (Jawa Barat dan
Jawa Tengah), marongghi (Madura), kiloro (Bugis), parongge (Bima), kawona
(Sumba), dan kelo (Ternate) (Mardiana, 2013).
Salah satu tanaman yang banyak mengandung antioksidan ditemukan dalam
tumbuhan kelor (Moringa oleifera Lam.), salah satunya pada bagian daun. Penelitian
sebelumnya terhadap ekstraksi daun kelor (Moringa oleifera Lam.) menunjukkan adanya
aktivitas antioksidan yang tinggi dalam proses in vivo dan in vitro (Chumark, et al.,
2008), selain itu dalam daun kelor (Moringa oleifera Lam.) kaya akan phytochemicals,
karoten, vitamin, mineral, asam amino, senyawa flavonoid dan phenolic (Anwar, et al.,
2007).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
tumbuhan daun kelor (Moringa Oliefera Lam) dengan memanfaatkan batang dari
tumbuhan tersebut, dengan judul penelitian Uji Aktifitas Antioksidan Fraksi Daun Kelor
(Moringa Oleifera) menggunakan metode DPPH.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana aktivitas antioksidan ekstrak daun kelor?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui nilai aktivitas antioksidan ekstrak daun kelor.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini ini yaitu dapat memberikan informasi
ilmiah kepada masyarakat tentang pemanfaatan sebagai tanaman obat, Serta dapat
menjadi acuan untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Daun Kelor
Daun kelor merupakan salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber
antioksidan. Daun kelor memiliki jumlah vitamin dan mineral yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan alami. Metode pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan
pengukuran nilai absorbansi dari DPPH radikal dan ABTS radikal kation menggunakan
spektrofotometer UV/VIS. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi secara in vitro
aktivitas antioksidan dari ekstrak daun kelor yang telah difraksinasi. Dengan mengetahui
aktivitas antioksidan dari daun kelor secara kuantitatif diharapkan dapat menjadikan daun
kelor sebagai sumber antioksidan dan meningkatkan nilai guna dari daun kelor.

Gambar 1. Tumbuhan Kelor


2.1.1 Klasifikasi Daun Kelor
taksonomi tanaman kelor sebagai berikut :
Kerajaan :Plantae
Sub kerajaan :Tracheobionta
Superdivisi :Spermatophyta
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Magnoliopsida
Subkelas :Dilleniidae
Bangsa :Capparales
Suku :Moringaceae
Genus :Moringa
Spesies :Moringa oleifera Lamk

2.1.2 Habitat dan Morfologi Daun Kelor (Moringa Oleifera Lamk)


Kelor (Moringa oleifera Lamk.) merupakan tanaman yang berasal dari dataran
sepanjang sub Himalaya yaitu India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Kelor
termasuk jenis tumbuhan perdu berumur panjang berupa semak atau pohon dengan
ketinggian 7-12 meter. Batangnya berkayu (lignosus), tegak, berwarna putih kotor, berkulit
tipis dan mudah patah. Cabangnya jarang dengan arah percabangan tegak atau miring serta
cenderung tumbuh lurus dan memanjang (Tilong, 2012). Daun kelor (Gambar 1.)
berbentuk bulat telur, bersirip tak sempurna, beranak daun gasal, tersususun majemuk
dalam satu tangkai, dan hanya sebesar ujung jari. Helaian daun kelor berwarna hijau, ujung
daun tumpul, pangkal daun membulat, tepi daun rata, susunan pertulangan menyirip serta
memiliki ukuran 1-2 cm (Yulianti, 2008). Bunga kelor muncul di ketiak daun, beraroma
khas dan berwarna putih kekuning-kuningan. Buah kelor berbentuk segitiga, dengan
panjang sekitar 20-60 cm dan berwarna hijau. Kelor berakar tunggang, berwarna putih,
berbentuk seperti lobak, berbau tajam dan berasa pedas (Tilong, 2012).
Penanaman kelor di Indonesia tersebar di seluruh daerah, mulai dari Aceh hingga
Meurauke. Oleh karena itu, tanaman kelor dikenal berbagai daerah, seperti murong (Aceh),
munggai (Sumatera Barat), kilor (Lampung), kelor (Jawa Barat dan Jawa Tengah),
marongghi (Madura), kiloro (Bugis), parongge (Bima), kawona (Sumba), dan kelo
(Ternate) (Mardiana, 2013).

2.1.3 Kandungan Kimia Daun Kelor


Tanaman kelor mangandung 539 senyawa yang dikenal dalam pengobatan
tradisional Afrika dan India yaitu bertindak sebagai stimulan jantung dan peredaran darah,
antitumor, antipiretik, antiepilepsi, antiinflamasi, diuretik, antihipertensi, menurunkan
kolesterol, antioksidan, antidiabetik, antibakteri, dan antijamur (Toripah dkk., 2014).
Menurut penelitian Ojiako (2014), ekstrak daun kelor mengandung tanin 8,22%, saponin
1,75%, dan fenol 0,19%. Daun kelor memiliki kandungan bahan aktif seperti flavonoid,
saponin, tanin, dan polifenol sebagai antimikrobia (Sally dkk., 2014). Mekanisme bahan
aktif antibakteri ini yaitu dengan peningkatan permeabilitas dari dinding sel bakteri
sehingga membran sel bakteri rusak dan bakteri lisis (Esimone dkk., 2006).
Daun kelor sebagai sumber antioksidan alami yang baik karena kandungan
berbagai jenis senyawa antioksidan pada daun kelor seperti asam askorbat, flavonoid,
fenolik, dan karotenoid. Tingginya konsentrasi asam askorbat, zat estrogen dan β-sitosterol,
besi, kalium, fosfor, tembaga, vitamin A, B, C yang membuat daun kelor memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan Kandungan kimia asam amino yang terdapat pada daun kelor
berbentuk asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, arginin,
triptofan, sistein, dan metionin (Makkar dan Becker, 1996).
Suhu pemanasan akan merusak antioksidan sehingga dapat menghambat
kemampuan antioksidan untuk menangkap radikal bebas. Hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi suhu maka aktivitas antioksidan 9 akan semakin menurun (Trilaksani,
2003). Pada teh bunga kamboja yang menggunakan suhu 90 ºC memiliki aktivitas
antioksidan sebesar 4,99% sedangkan dengan suhu 60 ºC memiliki aktivitas antioksidan
yang lebih tinggi yaitu sebesar 6,44% (Triastuti, 2008).
Aroma yang dimiliki daun kelor agak langu, namun aroma akan berkurang ketika
dipetik dan dicuci bersih lalu disimpan pada suhu ruang 30 ºC sampai 32 ºC (Kurniasih,
2013). Bau langu yang terdapat pada daun kelor disebabkan oleh enzim yaitu enzim
protease (Fathimah dan Wardani, 2014). Menurut Trisnawati dan Nisa (2015), daun kelor
segar yang diblancing selama 5 menit dapat menginaktivasi enzim penyebab bau langu.
Daun kelor mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan yang
mampu menjaga terjadinya oksidasi sel tubuh. Flavonoid secara umum terdapat hampir
pada semua tumbuhan yang terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon. Flavonoid
dapat berfungsi sebagai antimikrobia, antivirus, antioksidan, antihipertensi, dan mengobati
gangguan fungsi hati. Flavonoid bersifat bakteriostatik dalam menghambat pertumbuhan
bakteri (Binawati dan Amilah, 2013).
Flavonoid adalah senyawa fenolik yang dapat berubah jika ditambahkan senyawa
yang bersifat busa dan ammonia. Flavonoid di alam merupakan senyawa yang larut dalam
air. Ikatan flavonoid dengan gula menyebabkan banyaknya bentuk kombinasi yang dapat
terjadi di dalam tumbuhan, sehingga flavonoid pada tumbuhan jarang ditemukan dalam
keadaan tunggal (Harbone, 1987). Golongan flavonoid mempunyai cincin 10 piran yang
menghubungkan rantai tiga karbon dengan salah satu dari cincin benzena (Robinson,
1995).
Menurut Sudirman (2014), flavonoid mempunyai kemampuan berinteraksi dengan
DNA bakteri dan menghambat fungsi membran sitoplasma bakteri dengan mengurangi
fluiditas dari membran dalam dan membran luar sel bakteri. Hal tersebut menyebabkan
kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri dan membran sel tidak berfungsi lagi, termasuk
untuk perlekatan dengan substrat. Hasil interaksi tersebut menyebabkan terjadinya
kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom. Ion hidroksil secara
kimia menyebabkan perubahan komponen organik dan transport nutrisi, sehingga
menimbulkan efek toksis terhadap sel bakteri. Struktur umum flavonoid dapat dilihat pada
Gambar 2

Gambar 2. Struktur umum flavonoid (Sudirman. 2014)


Tanin termasuk senyawa fenol dengan berat molekul besar, terdiri dari gugus
hidroksil dan beberapa gugus yang bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk
kompleks kuat yang efektif dengan protein dan beberapa makromolekul (Hayati dkk.,
2010). Bale-Smith dan Swain yang dikutip Haslam (1989), menjelaskan tanin sebagai
senyawa fenolik larut air dengan massa molar sekitar 300-3000, menunjukkan reaksi alami
fenol, 11 mempresipitasi alkaloid, gelatin, dan protein lain. Struktur umum tanin dapat
dilihat pada Gambar 3

Gambar 3. Struktur umum tanin (sudirman.2014).


Menurut Robinson (1995), saponin merupakan glikosida alami yang terkait dengan
steroid alkaloid atau triterpena. Saponin mempunyai aktivitas farmakologi yang cukup luas
yaitu imunomodulator, antitumor, antiinflamasi, antivirus, antijamur, efek hipoglikemik,
dan efek hipokolesterol. Saponin juga mempunyai sifat yang beragam seperti terasa manis,
pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan haemolisis.
Struktur saponin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur saponin steroid dan saponin triterpenoid (jaya 2010)


Polifenol memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus hidroksil dalam
molekulnya. Zat ini juga dikenal dengan nama tanin terlarut yaitu metabolit sekunder yang
terdapat dalam daun, biji dan buah dari 12 tumbuhan tingkat tinggi yang bersifat
antioksidan kuat. Polifenol secara alami dapat ditemukan dalam sayuran, buah, kacang,
minyak zaitun, dan minuman (Nawaekasari, 2012). Struktur umum polifenol dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur umum polifenol (Paembong 2012)

2.2. Metabolit sekunder


Metabolit sekunder ialah senyawa organik yang diperoleh dari tumbuhan
yang tidak memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau
respirasi, transport solute, translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrient,
diferensiasi, serta pembentukan karbohidrat, protein, dan lipid. Metabolit
sekunder biasanya hanya akan dijumpai pada satu spesies atau kelompok spesies,
berbeda pada metabolit primer (asam amino, nukleotida, gula, dan lipid) yang
dijumpai hampir pada semua spesies tumbuhan (Mastuti, 2016). Beberapa
senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak alami tanaman yaitu
alkaloid, terpenoid, saponin, flavonoid dan steroid,tanin.
a. Flavonoid
Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang dijumpai di alam
terutama pada sel tumbuhan tinggi. Senyawa ini termasuk produk metabolit
sekunder yang terjadi dari sel dan terakumulasi dari tubuh tumbuhan sebagai zat
yang beracun (Robinson, T., 1991). Senyawa flavonoid mempunyai struktur dasar
karbon dalam inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi C6 - C3 – C6.
Susunan tersebut dapat membentuk tiga struktur yaitu: 1,3-diarilpropana
(flavonoid), 1,2-diarilpropana (isoflavonoid), 2,2-diarilpropana (neoflavonoid)
(Usman,H, 2012). Menurut Markham (1982) flavonoid merupakan senyawa polar
karena strukturnya memiliki gugus hidroksil yang tak tersulih, atau suatu gula,
sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol,
butanol dan air. Manfaat flavonoid antara lain yaitu untuk melindungi struktur
sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas
vitamin C), antiinflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik
(Barnes dkk, 2004).

Gambar 2. Struktur Kimia Flavonoid


b. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada
semua jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom
nitrogen yang biasa sifatnya basa dan membentuk cincin heterosiklik (Harborne,,
1987).
Kebanyakan golongan dari alkaloid bersifat racun, tetapi ada pula yang
sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid adalah senyawa tanpa warna, atau
sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit
yang berupa cairan (contohnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin dkk.1994).

Gambar 3. Struktur Kimia Alkaloid


c. Tanin
Sejenis kandungan tumbuhan yang bersifat fenol mempunyai rasa sepat dan
memiliki kemampuan untuk menyamak kulit, tetapi secara kimia tanin tumbuhan
dibagi menjadi dua golongan. Kandungan tanin yang tinggi mungkin mempunyai
arti sebagai pertahanan dalam tumbuhan, serta dapat membantu mengusir hewan
pemangsa tumbuhan. Disisi lain, apabila kandungan tanin yang tinggi dapat
berpengaruh dan merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak.
Beberapa tanin dianggap memiliki aktivitas antioksidan, menghambat
pertumbuhan tumor serta dapat menghambat enzim seperti reverse transkiptase
dan DNA topoisomerase (Robbinson, 1995).

Gambar 4. Struktur Kimia Tanin


d. Saponin
Saponin berasal dari bahasa Latin, sapo yang berarti sabun, merupakan
senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam
air. Saponin dapat larut dalam air dan alkohol namun tidak dalam eter (Burrel, et
al 1934)

Gambar 5. Struktur Kimia Saponin


e. Terpenoid
Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, istilah ini
digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa
tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Terpenoid memiliki beberapa
macam senyawa, terdiri dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan
seskuiterpena yang sifatnya volatile (C10 dan C15), Senyawa ini menunjukkan
pita serapan yang kuat di daerah spektrum (λmaks 400-500 nm). Masing-masing
golongan terpenoid penting, baik pada pertumbuhan, metabolisme maupun pada
ekologi tumbuhan (Salni, 2011).

Gambar 6. Struktur Kimia Terpenoid


f. Steroid
Senyawa steroid merupakan senyawa turunan (derivat) lipid yang tidak
terhidrolisis. Senyawa yang termasuk golongan steroid, misalnya kolesterol,
ergosterol, dan estrogen. Pada umumnya steroid berfungsi sebagai hormon.
Secara sederhana steroid dapat diartikan sebagai kelas golongan organic bahan
alam yang susunan strukturnya terdiri dari androstan (siklopentano fenantren)
yang mempunyai empat cincin terpadu. Senyawa ini mempunyai efek fisiologis
tertentu (Rizal, 2011).

Gambar 7. Struktur Kimia Steroid


2.3 Tenik Pemisahan
2.3.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dan hasil
dari ekstraksi adalah ekstrak. Ekstrak merupakan sediaan kental hasil dari proses
mengekstraksi senyawa aktif dari bahan alami tanaman atau bahan alami hewan
dengan memakai pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua hasil
pelarut diuapkan, massa atau serbuk diperlakukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Sampurno, 2000).
Ekstraksi adalah penyarian zat - zat berkhasiat atau zat-zat aktif yang
terkandung pada bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk
biota laut. Zat - zat aktif yang terkandung di dalam sel, namun sel tanaman dan
hewan berbeda begitu pula ketebalannya, sehingga perlu untuk melakukan
metode ekstraksi dengan pelarut yang cocok dalam mengikatnya atau
mengekstraksinya. Proses ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa
komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan tersebut terjadi pada lapisan
antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Hudaya. A, 2010).
Ekstraksi yaitu suatu proses pemisahan suatu bahan dari campurannya yang
umumnya menggunakan pelarut, Kaidah sederhana yang berlaku dalam ekstraksi
yaitu ”like dissolve like” yang artinya senyawa polar akan larut dengan baik pada
fase polar dan senyawa nonpolar akan larut dengan baik pada fase nonpolar
(Ketaren, 1988).
2.3.2 Fitokimia
Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang aspek
kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencakup
keanekaragaman senyawa organik yang dibentuk dan disimpan oleh organisme,
dari struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,
penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan
komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman. Tujuan fitokimia
dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang
mempunyai efek racun atau efek farmakologis lain yang bermanfaat apabia
diujikan dengan sistem biologi atau bioassaynya (Harborne, 1987).
Menurut Robinson (1991) tujuan lain melakukan uji fitokimia yaitu untuk
menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat,
yang dimiliki oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis.
Pemanfaatan prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam
semua cabang ilmu tumbuhan. Meskipun cara ini penting dalam semua telaah
kimia dan biokimia juga telah dimanfaatkan dalam kajian biologis.
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan yang
disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan akan berinteraksi dengan cara
menstabilkan radikal bebas sehingga dapat mencegah kerusakan karena radikal
bebas yang mungkin dapat terjadi (Hamid et al., 2010).
Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu
atau lebih elektron pada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam (Kuncahyo, 2007). Antioksidan adalah senyawa penting dalam menjaga
kesehatan tubuh karena berfungsi sebagai penangkap radikal bebas yang banyak
terbentuk di dalam tubuh (Dalimartha, S. 2000). Mekanisme kerja senyawa
antioksidan salah satunya yaitu dengan cara mendonorkan atom hidrogen atau
proton kepada senyawa radikal. Hal ini menjadikan senyawa radikal lebih stabil
(R. Stocker,2004). Antioksidan terdapat pada beberapa jenis tumbuhan, hal ini
juga bisa ditemukan pada buah-buahan segar, rempah-rempah dan sayur-sayuran
yang umumnya mengandung senyawa fenolik (Day,2002)(Gritter,1991).
Antioksidan alami berupa senyawa flavonoid yang termasuk dalam
kelompok senyawa polifenol yang berasal dari tanaman seperti sayur-sayuran, teh,
dan buah-buahan. Senyawa flavonoid bekerja langsung untuk meredam radikal
bebas oksigen seperti superoksida yang dihasilkan dari reaksi enzim xantin
oksidase (Simanjuntak, 2012).
Indigomarie (2009) menuliskan tentang cara antioksidan bekerja. Bahwa,
jika disuatu tempat mengalami reaksi oksidasi dan dari reaksi tersebut
menghasilkan radikal bebas (OH) maka dengan tidak adanya antioksidan, radikal
bebas ini akan menyerang dan bereaksi dengan molekul-molekul lain di
sekitarnya. Hasil dari rekaksi-reaksi tersebut akan menghasilkan radikal bebas
lagi yang dapat bereaksi dengan molekul lain lagi, yang akhirnya akan
menimbulkan reaksi berantai yang membahayakan. Berbeda hasilnya jika
terdapat antioksidan didalam tubuh, radikal bebas tadi akan bereaksi dengan
antioksidan membentuk ikatan stabil dan menghasilkan molekul yang tidak
berbahaya.
Reaksi tanpa adanya antioksidan:
Reaktan → Produk + OH
OH + (DNA, protein, lipid) → Produk + Radikal bebas yang lain
Radikal bebas dari hasil reaksi sebekumnya, akan bereaksi dengan molekul
sekitarnya.
Reaksi dengan adanya antioksidan:
Reaktan → Produk + OH
OH + antioksidan → Produk yang stabil
Radikal bebas bersifat sangat mudah teroksidasi atau bersifat reduktor kuat
dibandingakn dengan molekul lain, sehingga antioksidan akan cenderung
bereaksi dengan radikal bebas terlebih dahulu, dari pada molekul disekitarnya.
(Khaira, 2020)
Menurut (Molyneux, 2004) Parameter yang digunakan untuk menunjukan
aktivitas antioksidan adalah Inhibitory Concentration (IC50). Senyawa dikatakan
memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 50
μg/mL, kuat apabila nilai IC50 antara 50-100 μg/mL, nilai IC50 antara 100- 150
μg/mL itu tergolong sedang, dan lemah apabila nilai IC50 antara 150-200 μg/mL.
Nilai IC50 200-1000 μg/mL dinyatakan masih berpotensi sebagai antioksidan.
2.4.1 Uji aktivitas antioksidan
Pengujian aktivitas antioksidan mampu dilakukan dengan menggunakan
metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl). DPPH merupakan radikal bebas
yang menerima satu elektron hidrogen sehingga menjadi molekul yang stabil.
Metode uji DPPH adalah salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
memperkirakan efektivitas kinerja substansi yang berperan sebagai antioksidan.
Metode pengujian ini berlandaskan pada kemampuan substansi antioksidan
tersebut dalam menetralisir radikal bebas.
Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH)
yaitu radikal bebas sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut
polar. Sifat stabil radikal bebas tersebut dikarenakan radikal bebas ini mempunyai
satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya sehingga molekul tersebut
tidak reaktif sebagaimana pada radikal bebas lainnya. Metode tersebut dipilih
karena merupakan metode yang sederhana, mudah, cepat, peka, dan hanya
memerlukan sedikit bahan. (Sudirman, Sadir. 2013.)

Gambar 8. Struktur Kimia DPPH ( 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

Gambar 9. Reaksi Radikal DPPH dengan antioksidan (Windono et al., 2001)


2.5 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron
bebas atau tidak berpasangan, sehingga radikal bebas bersifat tidak stabil. Karena
sifatnya yang tidak stabil, radikal bebas bersifat sangat reaktif dan dapat
mengikat molekul-molekul atau senyawa disekitarnya untuk pemperoleh
pasangan elektron dan mencapai kestabilan. Radikal bebas dapat terbentuk dalam
tubuh serta berlangsung secara terus menerus sehingga dapat menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit. Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas
melalui donor elektron sehingga radikal bebas lebih stabil dan tidak reaktif
(Huselan et al., 2015).
Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai elektron yang tidak
berpasangan. Elektron yang tidak berpasangan tersssebut menyebabkan rasikal
bebas yang sangat reaktif yang kemudian akan menangkap atau mengambil
elektron dari senyawa lain seperti proteon, lipid, karbohidrat dan DNA untuk
menetralkan diri. Radikal bebas dapat masuk ke dalam tubuh dan menyerang sel-
sel yang sehat dan menyebabkan sel-sel tersebut kehilangan fungsi dan
strukturnya. Akumulasi dari kerusakan tersebut berkontibusi terhadap beberapa
penyakit dan menyebabkan kondisi yang biasa disebut penuaan dini (Liochev,
2013).
2.6 Kromatografi
Kromatografi adalah cara pemisahan campuran yang didasarkan atas
perbedaan distribusi dari komponen campuran tersebut di antara dua fase.
Menurut pengertian ini kromatografi selalu melibatkan dua fase yaitu fase diam
(stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Fase diam dapat berupa padatan
atau cairan yang terikat pada permukaan padatan (kertas atau adsorben),
sedangkan fase gerak dapat berupa cairan disebut eluen atau pelarut atau gas
pembawa yang inert. Gerakan fase ini mengakibatkan terjadinya migrasi
diferensial komponen-komponen dalam sampel (Soebagio, 2002).
Dalam teknik kromatografi, sampel yang merupakan campuran dari berbagai
macam komponen ditempatkan dalam situasi dinamis pada sistem. Semua
pemisahan pada kromatografi tergantung dari gerakan relative dari masing-
masing komponen di antara dua fase tersebut. Senyawa atau komponen yang
tertahan lebih lemah oleh fase diam akan bergerak lebih cepat daripada komponen
yang tertahan lebih kuat. Perbedaan pergerakan ini disebabkan oleh perbedaan
dalam adsorpsi, partisi, kelarutan atau penguapan kedua fase (Yazid, 2005).
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik pemisahan komponen -
komponen campuran senyawa-senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di
antara padatan penyerap (adsorbent, fasa diam) yang dilapiskan pada pelat kaca
atau plastik kaku dengan suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati
adsorbent (padatan penyerap). Pengaliran pelarut dikenal sebagai proses
pengembangan oleh pelarut (elusi). Karena kesederhaan dan kecepatan
analisisnya, KLT mempunyai peranan penting dalam pemisahan senyawa-
senyawa yang volatilitasnya relatif rendah, baik senyawa organik maupun
senyawa anorganik.
Di dalam analisis dengan KLT, suatu contoh dalam jumlah yang sangat kecil
ditempatkan (sebagai titik noda) di atas permukaan pelat tipis fasa diam
(adsorbent), kemudian pelat diletakkan dengan tegak dalam bejana pengembang
yang berisi sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang
naik sepanjang permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen
contoh. Komponen-komponen contoh memanjat pelat KLT dengan kecepatan
yang berbeda-beda, tergantung pada kelarutan komponen dalam pelarut dan
derajat kekutan komponen teradsorbsi pada fasa diam. Hasilnya adalah sederetan
bercak-becak (nodanoda) yang tegak lurus terhadap permukaan pelarut dalam
bejana.
Kecepatan senyawa-senyawa sebagai komponen-komponen contoh
memanjat pelat dibandingkan dengan kecepatan pelarut yang mendahuluinya.
Harga perbandingan ini dikenal sebagai harga Rf, dan didefisikan sebagai:

Harga Rf jarak senyawa yang digerakkan dari titik asal


∶ jarak pelarut yang digerakkan dari titik asal
dengan titik asal adalah titik tengah noda contoh yang terdapat pada pelat
KLT (Firdaus, 2011).
2.6.2 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif merupakan salah satu metode pemisahan
yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling dasar
(Hostettmann et al., 1995). Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm.
Ketebalan lapisan dan ukuran pelat mempengaruhi jumlah bahan yang akan
dipisahkan dengan KLTP (Stahl, 1969)
Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok dari pelat dengan spatula
atau pengerok berbentuk tabung. Senyawa harus diekstraksi dari penjerap dengan
pelarut yang paling kurang polar yang mungkin (sekitar 5 ml pelarut untuk 1 g
penjerap) (Hostettmann et al., 1995)
2.7 Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometri merupakan salah satu cabang analisis instrumental yang
mempelajari tentang interaksi molekul atau atom radiasi elektromagnetik (REM).
Komponen pokok dari spektrofotometri meliputi sumber tenaga radiasi yang
stabil, sistem yang terdiri atas cermin, celah-celah, lensa-lensa, monokromotor
untuk mengubah radiasi menjadi komponen-komponen panjang gelombang
tunggal, tempat cuplikan yang transparan dan detektor radiasi yang di hubungkan
dengan pencatat atau sistem meter. Spektrofotometer sesuai dengan namanya
adalah alat yang terdiri dari spektometer dan fotometer. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dan spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan
fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang
diabsobsi (Khopkar, 1990).
Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis yang berdasarkan
pada hasil interaksi molekul atau atom dengan radiasi elektromagnetik. Interaksi
tersebut akan menghasilkan peristiwa berupa hamburan, serapan, dan emisi
(Mulja, 1995)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia, Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan IPA, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) selama ± 5 bulan.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
3.2.1 Alat
Wadah maserasi, Rotary Vacum Evaporator, Corong pisah, cawan porselin,
Tabung reaksi, Gelas kimia, Penangas air, pipet tetes, erlenmeyer, magnetik stirrer,
batang pengaduk, spektrofotometer UV-Vis, FTIR, Set KLT, Labu ukur.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini ,diantaranya yaitu batang
(Moringa oliefera), metanol, serbuk Mg, DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazi),
kuersetin, etil asetat, aquadest, kloroform, n-heksan, pereaksi dragendorf,
pereaksi mayer, pereaksi besi (III) klorida, pereaksi kalium hidroksida Lieberman
-Bauchard., asam klorida encer, HCl 2N, gelatin 1%, KOH 5%, iso amil alkohol,
H2SO4, FeCl3 1%, asam asetat 0,7%.
2.1

Anda mungkin juga menyukai