Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi merupakan penyebab utama penyakit di dunia terutama di
daerah tropis seperti Indonesia karena keadaan udara yang banyak berdebu
dan temperatur yang hangat serta lembab sehingga mendukung mikroba
untuk dapat tumbuh subur. Keadaan tersebut ditunjang dengan kemudahan
transportasi dan keadaan sanitasi buruk yang lebih memudahkan penyakit
infeksi semakin berkembang (Kuswandi, dkk., 2001). Infeksi piogenik
merupakan infeksi yang ditandai dengan terjadinya peradangan lokal yang
parah dan biasanya dengan pembentukan nanah (pus). Infeksi piogenik
dikarenakan adanya invasi dan multiplikasi mikroorganisme pathogen di
jaringan sehingga mengakibatkan luka pada jaringan dan berlanjut menjadi
penyakit, melalui berbagai mekanisme seluler dan umumnya disebabkan oleh
salah satu kuman piogenik (Singh et al., 2013).
Infeksi piogenik menyebabkan beberapa penyakit umum, impetigo,
osteomyelitis, sepsis, artritis septik, spondylodiscitis, otitis media, sistitis dan
meningitis. Infeksi piogenik menghancurkan neutrophil melalui pelepasan
leukosidin sehingga terbentuk abses. Hal tersebut merupakan ciri khas infeksi
yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Miller and John, 2011).
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang
menyebabkan berbagai infeksi piogenik dan infeksi kulit, suporasi,
pembentukan abses serta septikemia yang fatal. Staphylococcus aureus dapat
menimbulkan penyakit melelui kemampuannya tersebar luas dalam jaringa
dan melalui pembentukan zat ekstra seluler. Berbagai zat yang berperan
sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin,
seperti katalase, koagulase, hemolisin, leukosidin, toksin eksfoliatif, toksin
sindrom syok toksik (TSST), dan enterotoksin. Pengobatan terhadap infeksi
Staphylococcus aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, tetapi pada
infeksi yang cukup berat,di perlukan pemberian antibiotik secara oral atau
intrafena, seperti penisilin, metillisin, sefalosforin, eritromisin, linkomisin,
vankomisin dan rifampisin (Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000). Namun
penggunaan antibiotik menyebabkan efek samping obat sehingga sampai
sekarang masyarakat masih memamfaatkan ramuan tradisional yang tidak
mempunyai efek samping jika dipergunakan dengan benar. Ramuan
tradisional juga dapat membantu masyarakat yang tinggal di wilayah
pedesaan (Mulyani, 2015).
Penggunaan bahan-bahan alami asal tumbuhan (herbal) untuk
mengobati berbagai penyakit kembali menjadi trend di kalangan masyarakat
Indonesia, salah satunya yaitu tanaman Kelor (Moringa oleifera, Lamk).
Kelor merupakan salah satu tanaman yang memiliki aktivitas farmakologi
sebagai antibakteri, antidiabetik, ekspektoran, dan antiinflamasi. Aktivitas
tersebut disebabkan oleh kandungan kimia yang terdapat di dalamnya. Daun
kelor mengandung beberapa senyawa aktif diantaranya arginin, leusin dan
metionin. Kandungan arginin pada daun kelor segar mencapai 406,6 mg,
sedangkan pada daun kering 1,325 mg. Arginin berfungsi untuk
meningkatkan imunitas atau kekebalan tubuh. Selain itu, arginin dapat
mempercepat proses penyembuhan luka, meningkatkan kemampuan untuk
melawan kanker, dan memperlambat pertumbuhan tumor (jonni et al, 2011).
Faktor-faktor lingkungan memilliki pengaruh terhadap metabolit
sekunder yang terdapat dalam suatu tanaman. Untuk mengetahui kandungan
fitokimia yang terdapat di dalam kulit batang kelor dengan menggunakan
skrining fitokimia. Skrining fitokimia yang dilakukan meliputi dentifikasi
steroid, flavonoid, alkaloid, fenol, tanin, dan saponin. Kandungan tersebut
tidak hanya terdapat pada daun, biji, buah ataupun bunga tetapi juga terdapat
pada kulit batangnya. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa kulit
batang kelor mengandung golongan senyawa steroid, flavonoid, alkaloid,
fenol, dan tanin (Vaterius 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Oluduro (2011) menunjukkan bahwa
ekstrak daun kelor mampu menghambat beberapa jenis bakteri, seperti
Staphylococcus aureus. Namun belum dilakukan uji aktivitas antibakteri dari
ekstrak kulit batang pohon kelor terhadap bakteri, oleh karena itu perlu

2
dilakukan penelitian terhadap efek antibakteri ekstrak kulit batang pohon
kelor terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik melakukan uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol kulit batang pohon kelor (Moringa oleifera,
Lamk) dalam menghambat atau membunuh bakteri Staphylococcus aureus.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah :
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan di
bahas pada penelitian ini adalah “Apakah ekstrak etanol kulit batang pohon
kelor (Moringa oleifera, Lamk) memiliki aktivitas antibakteri terhadap
pertumbuhan Staphylococcus aureus?.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak kulit batang pohon kelor
(Moringa oleifera, Lamk) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
D. Ruang lingkup

Ruang lingkup penelitian ini antara lain dalam bidang ilmu fitokimia,
ilmu farmakognosi, ilmu obat tradisional, ilmu farmakologi dan mikrobiologi
medis.
E. Manfaat Penelitian
1. Untuk Masyarakat
a. Masyarakat dapat mengetahui manfaat ekstrak kulit batang pohon
kelor (Moringa oleifera, Lamk) sebagai tanaman obat herbal yang
murah, dan mudah didapat.
b. Memberikan tambahan informasi ilmiah mengenai bahan herbal
khususnya ekstrak kulit batang pohon kelor (Moringa oleifera,
Lamk) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
2. Untuk Institusi Pendidikan
Pengembangan hasil penelitian ini dalam ilmu pengetahuan dan
dapat dijadikan sebagai acuan untuk identifikasi tanaman herbal yang
berkhasiat.

3
3. Untuk Peneliti
Dalam membuat karya tulis ilmiah ini, peneliti dapat menambah
ilmu pengetahuan tentang aktivitas antibakteri ekstrak kulit batang pohon
kelor (Moringa oleifera, Lamk) serta meningkatkan kemampuan (skill)
laboratorium terutama dalam bidang fitokimia, ilmu farmakognosi, ilmu
obat tradisional, ilmu farmakologi dan mikrobiologi medis.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI
1. Tanaman pohon kelor
a. Definisi
Kelor (Moringa oleifera, Lamk.) adalah sejenis tumbuhan dari suku
moringaceae. Tumbuhan kelor asli berasal dari India yang dikenal
dengan nama sohanjna. Tumbuhan dapat tumbuh banyak diberbagai
negara semi-tropis dan tropis salah satunya negara indonesia dan dikenal
dengan nama yang berbeda-beda. Walaupun diketahui tanaman kelor
berasal dari India, tetapi pengembangan terluas sebenarnya di Afrika.
Salah satu yang paling berjasa dalam pengembangan tanaman kelor
adalah Lowell Fugli (Mardiana, 2013).

a. Pohon kelor b. Kulit batang pohon kelor

Gambar 2.1 Dokumen Pribadi

b. Klasifikasi dan Morfologi


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliphyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales

5
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa (Pradana 2013).
Spesies : Moringa oleifera Lamk.

Kelor atau biasa dikenal dengan tanaman perdu dengan tinggi batang
7-11 meter. Batang berkayu getas (mudah patah), cabang jarang, tetapi
mempunyai akar yang kuat. Bunga berbau semerbak, berwarna putih
kekuningan, dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau, sedangkan
buahnya berbentuk segitiga memanjang, Akar tunggang, berwarna putih,
membesar seperti lobak. Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun
berseling (alternate), beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun
saat muda berwarna hijau muda, setelah dewasa hijau tua, bentuk helai
daun bulat telur, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (obtusus), tepi
rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah
halus (Kurniawan, 2013).
Tanaman kelor dapat bertahan dalam musim kering yang panjang
dan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar
antara 250 sampai 1500 mm. Meskipun lebih suka tanah kering lempung
berpasir atau lempung,tetapi dapat hidup di tanah yang dominasi tanah
(Utami, 2013).
a. Kandungan
Kandungan senyawa tanaman kelor terbilang sangat lengkap.
Variasi dan kadar kandungannya sangat tinggi, jauh melampaui
kandungan tanaman lain. Tanaman kelor mengandung lebih dari 90
nutrisi dan 46 jenis antioksidan. Selain itu, ada lebih dari 46
antioksidan dan 36 senyawa antiinflamasi yang terbentuk secara
alami. Itulah sebabnya kelor disebut sebagai sumber antioksidan
alami terbaik. Kelor juga merupakan sumber serat terbaik, bahkan
memeiliki kandungan beta karoten 4 kali lipat lebih bersar dari
wortel. Selain itu, kelor juga mengandung minyak omega-3 dan
klorofil (Mardiana, 2013).

6
Daun kelor mengandung beberapa senyawa aktif diantaranya
arginin, leusin dan metionin. Kandungan arginin pada daun kelor
segar mencapai 406,6 mg, sedangkan pada daun kering 1.325 mg.
Arginin berfungsi untuk meningkatkan imunitas atau kekebalan
tubuh. Selain itu, arginin dapat mempercepat proses penyembuhan
luka, meningkatkan kemampuan untuk melawan kanker, dan
memperlambat pertumbuhan tumor. Pada daun kelor segar
mengandung leusin sekitar 492 mg. Leusin berperan dalam
pembentukan protein otot dan fungsi normal. Kandungan metionin
pada daun kelor segar sebesar 117 mg dan 350 mg 10 pada daun
kelor segar. Metionin berperan dalam penyerapan lemak dan
kolesterol (Mardiana, 2013).
Tanaman Kelor memiliki aktivitas farmakologi sebagai
antidiabetik, diuretik, ekspektoran, dan antiinflamasi. Aktivitas
tersebut disebabkan oleh kandungan kimia yang terdapat di dalam
tanaman tersebut. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa kulit
batang kelor mengandung golongan senyawa steroid, flavonoid,
alkaloid, fenol, dan tanin (Vaterius 2015).
Kelor terdiri dari komponen – komponen fitokimia Alkaloids
0,4%, Tannin 0,33%, Saponin 18,34%, Flavonoids 0,77%, Phenol
0,29%. Mineral yang ada di dalam daun Moringa oleifera berupa
sodium 11,86 ppm, potassium 25,83 ppm, kalsium 98,67 ppm,
Magnesium 107,56 ppm, Zinc 148,54 ppm, Iron 103,75 ppm,
Mangan 13,55 ppm, tembaga 4,66 ppm, timah 2,96 ppm. Dan
kandungan proksimat dari daun Moringa oleifera berupa karbohidrat
45,43%, protein 16,15%, lemak 6,35%, Fibre 9,68%, kelembaban
11,76% dan abu 10,64% (Oluduro, 2012)
b. Manfaat
Tanaman kelor merupakan tanaman multiguna. Hampir seluruh
bagian tanaman kelor dapat di mamfaatkan. Selain menjadi sumber

7
makanan, tanaman ini juga berpotensi sebagai obat tradisional
(Kurniawan, 2013).
Menurut Mardiana (2013), berdasarkan kandungan kimia, kelor
mempunyai manfaat yang luar biasa diantaranya yaitu, pada
daunnnya berfungsi untuk antimikroba, antibakteri, antiinflamasi,
infeksi, virus Ebstein Barr (EBV), virus herpes simplek (HSV-1),
HIV/AIDS, cacingan, bronkhitis, gangguan hati, anti tumor, demam,
kanker prostat, kanker kulit, anemia, diabetes, tiroid, gangguan
syaraf, kolik disaluran pencarnaan, rematik, sakit kepala, anti
oksidan, sumber nutrisi (protein dan mineral) dan tonik. Tanaman
Kelor memiliki aktivitas farmakologi sebagai antidiabetik, diuretik,
ekspektoran, dan antiinflamasi. Aktivitas tersebut disebabkan oleh
kandungan kimia yang terdapat di dalam tanaman tersebut. Hasil
skrining fitokimia menunjukkan bahwa kulit batang kelor
mengandung golongan senyawa steroid, flavonoid, alkaloid, fenol,
dan tanin (Vaterius 2015).
Kulit batang kelor berfungsi untuk mengatasi gangguan
pencernaan, flu, antibakteri sariawan, antitumor dan rematik.
Bersifat detoksifikasi, yaitu menetralisir racun ular serta
kalajengking. Getah kelor dimanfaatkan sebagai antimikroba, anti
tifoid, dan meredakan deman, asma, disentri, anti inflamasi, rematik
dan gangguan saraf. Kelor juga digunakan untuk mencegah karies
gigi. Akar kelor dapat dimanfaat juga sebagai bumbu campuran
perangsang nafsu makan. Bersifat antimikroba, menghilangkan
karang gigi, flu, demam, asma, penguat jantung, antiinflamasi,
edema, rematik, sakt kepala dan pembesaran hati. Bunga kelor
berfungsi untuk mengatasi flu dan pilek berat, dipakai sebagai
stimulan, afrodisiak, dan menyembuhkan radang tenggorokan,
penyakit otot, tumor, pembesaran limfe, menurunkan kolesterol serta
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah penyakit yang di

8
sebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan lemak fosfolipid
(Mardiana, 2013).

2. Bakteri Staphylococcus aureus


a. Morfologi bakteri Staphylococcus aureus

Gambar 2.2 bakteri Staphylococcus aureus (Mulyani 2015).

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif dengan


diameter 0,5-1,0 mm, berbentuk serangkaian buah anggur, tidak
membentuk spora dan tidak bergerak (BSN 2015). Foster (2008)
menambahkan bahwa Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk
kokus, gram-positif dan memiliki diameter 0,5-1,0 mm, berkelompok,
berpasangan dan kadang berantai pendek. Lay (1994) menyatakan
bahwa bakteri gram positif berwarna ungu disebabkan kompleks zat
warna kristal violet-yodium tetap dipertahankan meskipun diberi
larutan pemucat. Perbedaan struktur luar dinding sel bakteri gram
positif dan negatif mengakibatkan terjadinya perbedaan warna pada
akhir prosedur pewarnaan gram. Dinding sel terluar bakteri gram positif
terdiri dari peptodoglikan tebal tanpa lapisan lipoprotein atau
lipopolisakarida sedangkan bakteri gram negatif memiliki dinding
selnya terdiri dari peptidoglikan tipis yang dibungkus oleh lapisan
lipoprotein atau lipoposakarida (Ijong 2015).Menyatakan bahwa

9
Staphylococcus aureus merupakan gram positif yang memiliki lapisan
peptidoglikan tebal Retnowati et al. (2011).

b. Habitat bakteri Staphylococcus aureus


Bakteri ini dapat di temukan secara normal di dalam hidung dan
pada kulit (dan kurang umum di lokasi lain) sekiranya 25 % - 30% dari
orang dewasa yang sehat dan 25% dari pekerja rumah sakit. Habitat
alami Staphylococcus aureus pada manusia adalah di daerah kilit,
hidung, mulut, dan usus besar, dimana pada keadaan sistem imun
normal, Staphylococcus aureus tidak bersifat patogen Staphylococcus
aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di
lingkungan denga rentan konsentrasi zat terlarut yang pekat Retnowati
et al. (2011).
c. Dampak bakteri Staphylococcus aureus
Dampaknya pada tubuh, bakteri ini dapat menyebabkan kolonisasi
dan menyebabkan infeksi pada berbagai organ. Staphylococcus aureus 
adalah salah satu penyebab paling sering akan terjadinya infeksi yang
didapat di rumah sakit, dan sering kali menjadi penyebab luka pasca
operasi Retnowati et al. (2011).
d. Solusi terhadap bakteri Staphylococcus aureus 

Ketika mengalami infeksi bakteri Staphylococcus aureus,


beberapa pilihan pengobatan yang bisa dilakukan adalah pemberian
obat antibiotik, baik yang diminum maupun yang disuntik; operasi
pengangkatan jaringan mati yang terinfeks; dan operasi pengangatan
benda asing, misalnya, jahitan atau implan yang menjadi pemicu
terjadinya infeksi. Bakteri Staphylococcus aureus banyak terdapat di
sekitar kita. Jika tidak hati-hati, bakteri ini bisa menimbulkan infeksi.
Oleh karena itu, kita perlu pencegahan dengan cara rajin mencuci
tangan, tidak berbagi penggunaan barang pribadi dengan orang lain, dan

10
melakukan pemeriksaan ke dokter jika ada luka pada kulit yang berisiko
mengalami infeksi Retnowati et al. (2011).

3. Ekstraksi

a. Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyairan zat aktif dari bagian
tanaman obat berguna untuk menarik komponen kimia yang terdapat
dalam bagian tanaman tersebut. Ekstraksi merupakan proses pemisahan
bahan dari campurannya dengan menggunakan perlarut tententu
(Marjoni, 2016).
Proses ekstraksi pada dasarnya adalah proses pemisahan massa
komponen zat padat yang terdapat pada simplisia ke dalam pelarut
organik yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai
macam metode dan cara sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi itu
sendiri. Sampel yang akan di ekstraksi dapat berbetuk sampel segar
ataupun sampel yang dikeringkan. Sampel yang umum digunakan sampel
segar karena penetrasi pelarut akan berlangsung lebih cepat. Penggunaan
sampel kering juga memiliki kelebihan yaitu dapat mengurangi kadar air
yang terdapat di dalam sampel, sehingga dapat mencegah kemungkinan
rusaknya senyawa akibat aktivitas anti mikroba (Marjoni, 2016).
b. Metode Ekstraksi
1. Ekstraksi secara dingin
Metode ekstraksi secara dingin ini bertujuan untuk mengestrak
senyawa – senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan
terhadap panas atau bersifat thermolabil (Marjoni, 2016). Ekstraksi
secara dingin dapat dilakukan dengan berbagai cara, berikut ini :
a) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan
hanya dengan cara merendam simplisia dalam satu atau campuran

11
pelarut selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan
terlindung dari cahaya (Marjoni, 2016). Keuntungan ekstraksi
dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yaitu cara
pengerjaannya yang lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan
penyaringan yang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak
cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak
dengan pelarut disimpan dalam wadah tetutup untuk periode
tertentu dengan Pengadukan yang sering. Sampai zat tertentu
dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa
yang termolabil (Tiwari et al., 2011).
b) Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin
dengan cara mengalirkan pelarut secara kontinu atau simplisia
selama waktu tertentu (Marjoni, 2016).
Proses perlokasi terdiri dari tahap pengembangan bahan,
tahap perendaman, tahap perkolasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penampung ekstrak) secara terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat). Untuk menentukan akhir dari pada
perkolasi dapat dilakukan pemerikasaan zat secara kualitatif
pada perkolat akhir. Ini adalah prosedur yang paling sering
digunakan untuk mengekstrak bahan aktif dalam penyusunan
tincture dan ekstrak cair (Ditjen POM, 2000).
2. Ekstraksi cara panas
Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang
terkandung dalam simplisia sudah di pastikan tahan panas (Marjoni
2016). Metode ekstraksi yang membutuhkan panas diantaranya ;
a) Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan alat khusus
berupa ekstraktor soklet, suhu yang digunakan lebih rendah
dibandingkan dengan suhu pada metode refluks (Marjoni, 2016)

12
b) Refluks
Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik
didih pelarut selama waktu dan jumlah pelarut dengan adanya
pendingin balik (kondensor). Proses ini umumnya dilakukan 3-5
kali pengulangan pada residu pertama, sehingga termasuk proses
ekstraksi yang cukup sempurna (Marjoni, 2016).
c) Dekok
Dekok adalah infusa pada waktu yang lebih lama (≥30 0C) dan
temperature sampai titik didih (Ditjen POM, 2000). Dekok adalah
ekstraksi dengan pelarut air pada temperature 900C selama 30
menit. Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut
dalam air dan kontituen yang stabil terhadap panas dengan cara
direbus dalam air selama 15 menit (Tiwari et al., 2011).
d) Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-300C).
Ini adalah jenis ekstraksi maserasi dimana suhu sedang digunakan
selama proses ekstraksi (Tiwari et al., 2011)
4. Ekstrak

Ekstrak merupakan suatu produk hasil pengambilan zat aktif melelui


proses ekstraksi menggunakan pelarut, dimana pelarut yang digunakan di
uapkan kembali sehingga zat aktif ekstrak menjadi pekat. Bentuk dari ektrak
yang di hasilkan dapat berupa ekstrak kental atau ektrak kering tergantung
jumlah pelarut yang di uapkan (Marjoni, 2016).

Jenis jenis ekstrak yaitu:

a. Menurut Farmakope Indonesia :

1. Ekstrak cair : (Extracta fluida liquid) adalah hasil penyairan bahan


alam dan masih mengandung pelarut.

13
2. Semi solid : Ekstrak kental (extrak spissa) adalah ekstrak yang
telah mengalami proses penguapan dan sudah tidak mengandung
cairan pelarut lagi, tetapi konsistensinya tetap cair pada suhu
kamar.
3. Ekstrak kering (extracta sicca) adalah ekstrak yang telah
mengalami proses penguapan dan tidak lagi mengandung pelarut
dan berbentuk padat (kering).

b. Berdasarkan Kandungan Ekstrak

1. Ekstrak alami adalah ekstrak murni yang mengandung bahan obat


herbal alami (negative herbal drug preparation), kerig (sicca),
berminyak (oleoresin), tidak mengandung sovent (air, etanol) dan
eksipien (meltodekstrin,lakotosa dan sakarosa).
2. Ekstrak non alami sediaan ekstrak herbal yang tidak mengandung
bahan alami. Estrak non alami dapat berbentuk extracta spissa
( campuran gliserin,propilekol), ekstrak kering (meltodektrin
laktosa) , ekstracta fluida, tingtur (tincture), sediaan cara non
alkohol (gliserin, air) dan maserat berminyak ( Marjoni, 2016).

c. Pelarut

Pelarut adalah suatu zat yang melarutkan zat terlarut (cairan,


padat,atau gas yang berbeda secara kimiawi). Pelarut biasanya berupa
cairan tetapi juga bisa menjadi padat, gas atau fluida superkritis .
1) Etanol
Etanol disebut juga etil alkohol atau alkohol murni adalah
sejenis cairan yang mudah menguap dan tidak berwarna. Etanol
merupakan alkohol rantai tunggal dengan rumus kimia
(C2H5OH). Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai
bahan-bahan kimia yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan
manusia. Dalam kimia, etanol adalah pelarut yang penting untuk

14
sintesis senyawa kimia dan juga memiliki aktivitas antifungal
(Supretta et al., 2011).
Etanol merupakan senyawa organik yang tersusun dari unsur-
unsur karbon, hydrogen dan oksigen. Etanol memiliki titik didih
yang lebih tinggi dibandingkan dengan methanol dan lebih rendah
dibandingkan dengan alkohol-alkohol lainnya. Etanol bersifat
miscible terhadap air dan dengan kebanyakan larutan organik,
termasuk larutan non-polar seperti aliphatic hydrocarbons. Bila
bahan non-polar dilarutkan dalam etanol, dapat ditambahkan air
untuk membuat larutan yang kebanyakan kebanyakan air. Sifat
etanol dapat mengekstraksi senyawa-senyawa tersebut dan
mengakibatkan senyawa-senyawa tersebut mudah larut di dalam
etanol (Aziz et al., 2009). Hal ini dikarenakan etanol yang bersifat
semi polar dapat melarutkan senyawa-senyawa yang polar
maupun non-polar seperti tanin, flavonoid, fenol dan minyak
atsiri (Fadillah, 2014).
2) Metanol
Metanol sering disebut metil alkohol, mempunyai rumus
kimia CH3OH dan merupakan pelarut yang tak berwarna.
Menurut sejarahnya, metanol disebut alkohol kayu ( Fessenden,
1997)
Metanol digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi maserasi
karena metanol bersifat sebagai pelarut polar yang mampu
melarutkan unsur-unsur bioaktif yang bersifat polar pada
tanaman. Kelebihan pelarut metanol dapat menghasilkan
kandungan kimia dari proses ekstraksi dan dapat melarutkan
senyawa-senyawa yang bersifat polar seperti golongan fenol
(asam fenolik, flavonoid, alkaloid, tanin dan lignan) (Santosa,
1995 dalam Sumihe et al., 2014).
3) Aquadest

15
Aquadest adalah zat kimia yang istimewa, terdiri dari dua
atom hydrogen dan satu atom oksigen dengan rumus kimia
(H2O). Aquadest bersifat netral (pH = 7) dalam keadaan murni.
Aquadest tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Aquadest
bersifat polar karena adanya perbedaan muatan. Aquadest
merupakan pelarut yang baik karena kepolarannya, konstanta
dielektrik yang tinggi dan ukurannya yang kecil, terutama untuk
senyawa ionik dan garam yang polar. Sifat aquadest yang bersifat
polar dapat melarutkan senyawa tanin dan flavonoid yang
mempunyai efek menghambat dan membunuh Candida albicants
(khafidhoh et al, 2015).
4) Aseton
Aseton melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik
dan lifofilik dari tumbuhan Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat
bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki toksisitas
rendah. Aseton digunakan terutama untuk st vvudi
antimikroba dimana banyak felonik yang terdeteksi dengan aseton
(Tiwari et al.,2011)

16
B. Kerangka Konsep

Kelor (Moringa oleifera Lamk)

(Moringa Batang
Akar oleifera Lamk.)
Kulit batang Daun Bunga

Ekstrak kulit batang


pohon kelor
Metode
Maserasi

Menggunakan pelarut Dibuat formulasi


Etanol 96% Sediaan ekstrak etanol dengan
konsentrasi

Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi


100% 75 % 50% 25%

Uji aktivitas
antibakteri

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Keterangan :
: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

17
C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam peneltian ini antara lain :
Ha : Ekstrak kulit batang pohon kelor memiliki aktivitas
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.

H0 : Ekstrak kulit batang pohon kelor Tidak terdapat memiliki


aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.
D. Definisi operasional
a. Kelor
Kelor (Moringa oleifera Lamk.) adalah sejenis tumbuhan dari
suku moringaceae. Tumbuhan kelor asli berasal dari India yang
dikenal dengan nama sohanjna. Tumbuhan dapat tumbuh banyak
diberbagai negara semi-tropis dan tropis salah satunya negara
indonesia dan dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Walaupun
diketahui tanaman kelor berasal dari india, tetapi pengembangan
terluas sebenarnya di Afrika. (Mardiana, 2013).
b. Ekstraksi kelor
Ekstraksi kelor merupakan proses pemisahan kelor dari
campurannya dengan menggunakan perlarut tententu (Marjoni,
2016).
c. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan
hanya dengan cara merendam simplisia dalam satu atau campuran
pelarut selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan
terlindung dari cahaya (Marjoni, 2016).
d. Hasil Ekstraksi
adalah suatu proses penyairan zat aktif dari bagian tanaman
kelor obat berguna untuk menarik komponen kimia yang terdapat
dalam bagian tanaman tersebut (Marjoni, 2016).

18
e. Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan
atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu
metabolism mikroba yang merugikan.
f. Staphylococcus aerus
Upaya untuk menghindari cemaran Staphylococcus aerus
perlu adanya kesadaran menerapkan sanitasi dan hegienis pada
saat mengolah atau menjual baik dari faktor pribadi maupun faktor
lingkungan untuk mencegah kontaminasi bakteri Staphylococcus
aerus yang mempengaruhi mutu dari produk Pinekuhe dan
sehingga tidak menimbulkan keracunan bagi konsumen.
g. Infeksi piogenik
Infeksi piogenik merupakan infeksi yang ditandai dengan
terjadinya peradangan local yang parah dan biasanya dengan
pembentukan nanah (pus). Infeksi piogenik dikarenakan adanya
invasi dan multiplikasi mikroorganisme pathogen di jaringan
sehingga mengakibatkan luka pada jaringan dan berlanjut menjadi
penyakit, melalui berbagai mekanisme seluler dan umumnya
disebabkan oleh salah satu kuman piogenik (Singh et al., 2013).

19
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lab eksperimental yang bertujuan
untuk mengetahui suatu yang timbul sebagai akibat adanya pengaruh aktivitas
antibakteri kelor terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus ( Asror, 2013)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi Politeknik
“Medica Farma Husada” Mataram
2. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember-Februari 2020

C. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel dependen (terikat) sehingga variabel
independen dapat dikatakan sebagai variabel yang mempengaruhi
(Riwidikdo, 2012). Variabel independen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Ekstraak etanol kulit batang pohon kelor.
2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel independen (bebas) (Sugiono,
2011). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bakteri staphylococcus aureus.
.
D. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Menurut Notoatmojo (2008) Populasi adalah jumlah keseluruhan
sampel yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah tanaman
kelor.

20
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diteliti
(Notoatmojo, 2008). Sampel yang digunakan kulit batang kelor.

E. Instrumen Penelitian
1. Alat dan Bahan

Tabel 3.1 Alat-alat Penelitian

No Alat-alat
1 Pisau 11 Gelas ukur
2 Kertas saring 12 Beaker glass
3 labu erlemeyer 13 Belender
4 Spidol 14 Aluminium poil
5 Wadah penampungan 15 Kertas millimeter
simplisia
6 Oven 16 Media PDA (Potato Dextro
Agar)
7 Sendok 17 Swab kapas steril
8 Pipet tetes 18 Jangka sorong
9 Batang pengaduk, 19 Ayakan mesh 60
10 kertas cakram (paper disc).

Tabel 3.2 Bahan Penelitian


No Bahan
1 Aquades
2 Etanol 96%
3 Ekstrak kulit batang kelor
4 Bakteri staphylococcus aurius
5 Natrium
6 Ciprofloxacin

21
F. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini merupakan data primer yaitu observasi atau
pengamatan langsung daya hambat hasil uji aktivitas antibakteri kulit batang
pohon kelor terhadap pertumbuhan staphylococcus aerus.
G. Alur Kerja
1. Cara kerja
a. Persiapan Bahan
Pengambilan dari beberapa batang pohon kelor yang di peroleh di Desa
Pendem Kecamatan JanapriaKabupaen Lombok Tengah.
b. Pembuatan simplisia kulit batang pohon kelor
1. Diambil kulit batang pohon kelor segar yang akan disortasi basah,
proses sortasi dilakukan dengan cara memisahkan kulit batang
pohon kelor yang masih segar dan memiliki kualitas kulit dan
batang yang bagus, kemudian kulit batang pohon kelor yang telah
di sortasi basah dengan menggunakan yang air mengalir.
2) Ditimbang berat kulit batang pohon kelor sebanyak 300 g (3 kg)
3) Dilakukan perajangan dengan cara dipotong kasar, kemudian
dikeringkan dengan cara di angina-anginkan dibawah sinar
matahari dan ditutupi dengan kain hitam agar tidak secara
langsung terkena sinar matahari dengan waktu 24 jam, dan pada
kelembaban 10%. Pengeringan dilakukan kurang lebih selama 3
hari yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna simplisia
menjadi kecoklatan.
4) Dilakukan sortasi kering terhadap kulit batang pohon kelor yang
mengalami kerusakan pada saat proses pengeringan.
5) Dihaluskan kulit batang pohon kelor dengan menggunakan
blender.
6) Hasil ayakan yang telah halus ditimbang sebanyak 100 g, dan
disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.
c. Pembuatan ekstrak kulit batang pohon kelor metode maserasi

22
1) Sebanyak 300 g serbuk simplisia kulit batang dimasukkan ke
dalam wadah maserasi.
2) Ditambahkan pelarut etanol 96% 2 hari rendam 500 ml
tambahkan sampai 200 ml etanol.
3) Ditutup dan dibiarkan terendam selama 3 hari terlindungi dari
cahaya matahari (1 x 24 jam maserasi dilakukan pengadukan).
4) Ekstrak kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring
sehingga didapat maserat.
5) Hasil maserasi kemudian ditaruh didalam wadah tertutup dengan
baik.
d. Pembuatan konsentrasi ekstrak etanol kulit batang pohon kelor.
Ekstrak etanol kulit batang pohon kelor di buat dalam berbagai
konsentrasi 25 %, 50%, 75% dan 100% sebagai berikut:
Adapun rumus yang di gunakan dalam proses pengenceran ekstrak
kulit batang pohon kelor untuk 1ml :
Rumus :
C1.V1 = C2.V2
Keterangan :
C1 : Konsentrasi ekstrak etanol kulit batang pohon
kelor yang di ambil (mg/ml)
V1 : Volume larutan ekstrak etanol kulit batang
pohon kelor yang di ambil (ml)
C2 : Konsentrasi ektrak etanol kulit batang pohon
kelor yang akan di buat (mg/ml)
V2 :Volume larutan ekstrak etanol kulit batang pohon
kelor yang akan di buat (ml)
e. Pengujian aktivitas antibakteri
Uji aktivitas antibakteri yang digunakan adalah metode Sumuran
yaitu:
1) Disiapkan suspense klinis staphylococcus aurius dengan
kekeruhan 0,5 unit Mc Farland.

23
2) Disiapkan media PDA ( Potato Dextro Agar ) dengan ketebalan 4
mm.
3) Diambil swab kapas steril di masukkan ke dalam suspense lalu
diperas pada dinding tabung.
4) Dioleskan swab kapas tersebut pada permukaan media PDA
(Potato Dextro Agar ) secara merata, dibiarka mongering selama 5
menit.
5) Dibuat sumuran dengan menggunakan bluetip steril yang di
letakkan pada oermukaan media PDA ( Potato Dextro Agar ).
6) Dimasukkan ekstrak kulit batang pohon kelor sebanyak 4ml pada
masing-masing sumuran konsentrasi masing-masing kuit batang
pohon kelor kering dengan konsentrasi 100%, 75% , 50%, dan
25%.
7) Diberikan jarak yang cukup luas hingga zona jernih tidak
berhimpitan.
8) Diinkubasi pada suhu 37 ͦ C selama 2x24 jam dengan posisi
petridiks tidak terbalik agar ektrak kulit batang pohon kelor kering
tidak tumpah.
9) Diamati adanya zona hambat di sekitar sumuran, zona hambat
yang terbentuk di ukur dengan jangka sorong dan dinyatakan
dalam satuan millimeter (zakaria, 2007)

H. Analisis data
Analisis data dalam penelitian dilakukan dengan cara mengukur zona
hambat ekstrak kulit batang pohon kelor,dengan cara menguji parameter
zona hambat berdasarkan pertumbuhan bakteri menurut Davis and Stout
(1971) pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Kategori daya hambat antibakteri


Diameter zona hambat Kategori daya hambat
antibakteri antibakteri

24
> 20 Sangat kuat
10-20 Kuat
5-10 Sedang
< 5mma Lemah
Sumber: Davis and Stout. 1971

I. Jadwal penelitian
Penelitian di lakukan pada bulan Desember- Februari 2020
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
No Jenis kegiatan Bulan
Oktober November Desember Januari Februari
1 Penyusunsn
proposal
2 Seminar
proposal
3 Penelitian dan
analisa data
4 Penyusunan
KTI(Karya
tulis ilmiah)
5 Ujian KTI
(Karya tulis
ilmiah)
6 Revisi KTI
(Karya tulis
ilmiah)

25
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, F., Miller, L. (2011). Executive function machenisms of theory of mind.
Journal Autism Development Disorder, 41,667-678. Malaysian Journal
of Microbiology, 8, 59-67.
Bennett RN, Mellon FA, Foidl N, Partt JH, Du pont MS< perkins L and Kroon
PA.2003. Profiling glucosinolates and Phenolocs in vegetative and
reproductive tissues of the multi purpose trees Moringa oleifeara L
(Horseradish tree) and Noeinga stenopetala L. J Agric Food Chem
51(12): 3546-3553.
Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 1.Trubus Agriwidya,
Jakarta.
Fadilah. 2014. Kualitas organoleptik dan pertumbuhan bakteri pada susu
pasteurisasi dengn penambahan kayu secang ( Caesalpinia sappan L.)
Selama penyimpanan. Skripsi.Program Studi Teknologi Hasil Ternak.
Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas. Hasanudin.Makasar.
Ijong FG, 2015. Mikrobiologi perikanan dan kelautan. Jakarta (ID) : Rineka
Cipta.
Kurniawan, Setyo. 2013. Obat Ajaib Daun kelor. Yogyakarta : Buku Biru.
Kuswandi., 2001, perkembangan penyakit infeksi daerah tropis, Kompas 12 april
2001.5
Marjoni, R. 2016, Dasar-Dasar fitokimia, CV. Trans info Media : Jakarta Timur.
Notoatmojo, Soekidj,2008, Metodologi penelitian kesehatan. Edisi revisi, Jakarta:
PT, Rineka Cipta.
Oluduro, A. O. (2012). Evalution of antimicrobial properties and nutritional
potenties of Moringa oliefera lam. Leaf in South-Western Nigeria.
Malaysian Journal of Microbiology, 8, 59-67.
Retnowati, R., U Khasanah., Suratno.2011. Modul Praktikum Fitokimia untuk
program studi Farmasi. Universitas Brwijaya. Malang.
Singh, et al. (2013). Epideminology and risk factors of chronic kidney disease in
India–results from the SEEK (Screening and Early Evaluation of Kidney
Disease) study. BMC Nephrology, 14(1)114.
Sugiyono. (2011) Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D.
Bandung: CV Alfabeta.
Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., G & Kaur H., 2011 Phytochemical Screening
And Extraction: A Riview, Internasional Phytochemica Sciencia, 1 (1),
98-106.
Utami, P, (2013), The Miracle of Herbs, Penerbit PT. Agro Media Pustaka:
Jakarta.
Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.

Anda mungkin juga menyukai