Anda di halaman 1dari 3

Tahapan dalam Ukhuwah Islamiyah :

1. Pertama, Ta’aruf (Saling Mengenal)


Tahap awal adalah berkenalan, untuk lebih mengenal karakter individu masing-masing. Mulai dari
mengenal secara fisik (jasadiyah), seperti badan, suara, tingkah laku, materi, alamat, keluarga, pekerjaan,
pendidikan, rumah dan lainnya. Selanjutnya, mengenal kejiwaan (nafsiyah) yang ditekankan kepada
upaya memahami kejiwaan seperti: karakter, emosi, dan tingkah laku. Termasuk mengenal pemikiran,
kecenderungan, visi dan misi hidupnya. Begitulah, satu manusia dengan manusia lainnya, yang berbeda-
beda dari segala sisinya, diciptakan untuk saling mengenal. Hal ini tidak terbatas pada fisik maupun
identitas ringkas. Namun melalui taaruf akan bisa lebih mengenal banyak hal seperti latar belakang
pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide cita-cita dan juga masalah kehidupan.
Allah menyebutkan di dalam ayat-Nya:
ۡ ‫َر َوُأنثَ ٰى َو َج َع ۡلنَ ٰـ ُكمۡ ُشعُو ۬بًا َوقَبَ ِٕٓاٮ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ْۚ‌ا ِإ َّن َأ‬
‫ڪ َر َم ُكمۡ ِعن َد ٱهَّلل ِ َأ ۡتقَ ٰٮ ُك ۚمۡ‌ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم َخبِي ۬ ٌر‬ ٍ ۬ ‫يَ ٰـَٓأيُّہَا ٱلنَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ۡقنَ ٰـ ُكم ِّمن َذك‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat
[49]: 13).
2. Kedua, Tafahum (Saling Memahami)
Setelah saling mengenal, baik secara jasadiyah maupun nafsiyah. Maka menapak selanjutnya pada
tahapan saling memahami satu dengan yang lainnya. Ini bukan sekedar kenal nama, alamat, fisik dan
pemikiran. Namun sudah sampai pada kita memahami kekurangan dan kelebihan saudara kita. Sehingga
kita bisa tahu apa yang disukai dan paham mana yang tidak disukai. Sehingga kita bisa menempatkan diri
apabila kita bersamanya. Kita akan memaklumi kekurangannya, seraya menutupi aibnya. Bahkan
berupaya ikut memperbaikinya. Juga menghormati kelebihannya, mengambil manfaat darinya dengan
cara menyampaikannya pada yang lain. Dalam tataran ini, sudah tiada rasa iri, dengki, hasad dan
prasangka buruk pada sesama mukmin. Yang ada adalah saling merendahkan diri dan menghargai yang
lain. Dalam Kitab Fiqih Adab (Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub) dijelaskan bahwa sikap Muslim
terhadap Muslim lainnya mestinya saling merendah dan berlemah lembut. Sikap ini dapat mengekalkan
ukhuwah Islamiyah di tengah mereka. Sedangkan takabbur dan meremehkan orang lain adalah sebab
sebagian di antara umat saling menjauhi dengan sebagian lainnya, yang ini bisa jadi akan merenggangkan
ukhuwah Islamiyah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
‫ضعُوا َحتَّى اَل يَ ْف َخ َر َأ َح ٌد َعلَى َأ َح ٍد َواَل يَب ِْغ َأ َح ٌد َعلَى َأ َحد‬
َ ‫ي َأ ْن ت ََوا‬
َّ َ‫َأوْ َحى ِإل‬
Artinya: “Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang
berbangga diri pada yang lain, dan agar tidak seorang pun berlaku zalim pada yang lain.” (HR Muslim).
3. Ketiga, Ta’awun (Saling Menolong)
Setelah mengenal dan memahami kedua belah pihak dengan baik. Maka, sudah tidak ada masalah lagi
dengan perbedaan di antara keduanya, yang bukan tataran aqidah tentunya. Apalagi jika hanya pada
masalah furu’iyah (cabang fikih), teknis, atau yang sifatnya duniawi. Semua no problem. Yang ada adalah
husnuzan. Maka, naiklah pada level selanjutnya, yakni Ta’awun (saling menolong). Ta’awun ini hanya
dapat dilakukan dengan niat yang tulus, hati yang bersih, pemikiran yang jernih, dan amal yang kontinyu.
Sehingga yang ada adalah saling membantu antara sesama Muslim dalam kebaikan adalah kebahagiaan
tersendiri. Membantu bukan lagi beban dan kebiasaan, tapi sudah merupakan darah daging dan nafas
kehidupan setiap Muslim. Bagai satu anggota badan, yang saling menyayangi.
‫ ِإ َذا ا ْشتَكَى ِم ْنهُ عُضْ ٌو تَدَاعَى َساِئ ُر ْال َج َس ِد بِال َّسهَ ِر َو ْال ُح َّمى‬،‫ َمثَ ُل ْال َج َس ِد‬،‫ َوتَ َرا ُح ِم ِه ْم‬،‫ َوتَ َعاطُفِ ِه ْم‬،‫َمثَ ُل ْال ُمْؤ ِمنِينَ فِي ت ََوا ِّد ِه ْم‬
Artinya: “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi,
seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau
merasakan demam.” (HR Muslim).
4. Keempat, Takaful (Saling Menanggung)
Inilah ketinggian ukhuwah Islamiyah, rasa sedih dan senang diselesaikan bersama. Ketika ada saudara
yang mempunyai masalah, maka kita ikut menanggung dan menyelesaikan masalahnya tersebut. Bukan
sekedar simpati, tapi lebuh ke empati. Bukan semata prihatin dan ikut mendoakan, tapi bergerak
mengulurkan tangan, memberi bantuan, memudahkan dan melapangkan urusan.

ِ ‫ َو َم ْن يَ َّس َر َعلَـى ُمــع‬،‫ب يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة‬


‫ يَسَّــ َر هللاُ َعلَيْـ ِه فِــي الـ ُّد ْنيَا‬، ‫ْس ٍر‬ َ َّ‫ نَـف‬، ‫ب ال ُّد ْنيَا‬
ِ ‫س هللاُ َع ْنهُ ُكـرْ بَةً ِم ْن ُكـ َر‬ َ َّ‫َم ْن نَـف‬
ِ ‫س ع َْن ُمْؤ ِم ٍن ُكـرْ بَةً ِم ْن ُك َر‬
‫ َواآْل ِخ َر ِة‬،
Artinya: “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah
melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang
kesulitan, maka Allah Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.” (HR
Muslim).
5. Kelima, Itsar (Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri)
Ini adalah tingkatan tertinggi dalam tingkatan ukhuwah Islamiyah, setelah 4 T (Ta’aruf, Tafahum,
Fa’awun dan Takaful). Sebenarnya, tingakatan 5 T saja sudah sangat baik dan mencukupi. Namun, dari
kalangan sahabat memberikan teladan, hingga pada tahapan kelimat ini, yaitu Itsar, mendahulukan orang
lain dari pada diri sendiri. Sebagai contoh, ketika dalam suatu perang, salah seorang sahabat sangat
kehausan. Ia hanya tinggal mempunyai satu kali jatah air untuk minum. Saat akan meminumnya,
terdengar rintihan sahabat lain yang kehausan. Maka air tersebut ia berikan kepada sahabat yang kehausan
itu. Saat mau meminumnya, terdengar sahabat lain lagi yang merintih kehausan. Kemudian ia berikan air
tersebut kepada sahabat itu. Begitu seterusnya sampai air tersebut kembali kepada si pemilik air pertama
tadi. Akhirnya semua syahid. Juga ketika para sahabat Muhajirin, yang berhijrah dari Makkah ke
Madinah. Maka, para sahabat Anshar menyediakan apa yang dimilikinya untuk saudaranya. Cintanya
pada saudaranya melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Seperti disebutkan di dalam hadits:
 ‫ال يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِحبَّ َأل ِخي ِه َما يُ ِحبُّ لِنَ ْف ِس ِه‬
Artinya: “Tidak beriman seseorang di antaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai
dirimu sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).

https://www.gramedia.com/literasi/islamiyah-adalah
https://minanews.net/lima-tingkatan-ukhuwah-islamiyah

Anda mungkin juga menyukai