Anda di halaman 1dari 87

PRAKTIK PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI

HALAMAN JUDUL

Nomor Reg. Perkara : 003/PUU-X1/2022

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3 KELAS E REGUER

DOSEN PEMBIMBING PRAKTIK:


ILHAM KURNIAWAN ARDI, S.H., M.H.
ARI WIRYA DINATA, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU
2022
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR PRAKTIK PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI
IDENTITAS KELOMPOK

NO NAMA NPM

1 ARDIANSYAH PUTRA B1A020045

2 RIO VOLDA SIANTURI B1A020075


3 FIRDA AULIA NURJANAH B1A020135
4 YAHYA HERWANTO BAGGIO B1A020185
5 SHELY INDAH NUSRHINTA B1A020205
6 BAYU BUDI WIJAYA B1A020210
7 AHMAD ALFARIZI B1A020220
8 CATHERINEAMANNA P B1A020250
9 ILHAM ARDI B1A020295

10 CITRA KARDEFFI.Z B1A020305

11 PATRIA NATHAM SATVASTE B1A020375

12 PANDU DWI ANUGRAH B1A020385

13 M.GAVINDO ERICK P B1A020405

14 SARAH ANANDA PUTRI B1A020415


LAPORAN AKHIR PRAKTIK PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI

FIRDA AULIA NURJANAH Kuasa Hukum


ARDIANSYAH PUTRA Hakim Ketua
RIO VOLDA SIANTURI Hakim Anggota I
AHMAD ALFARIZI Hakim Anggota II
PANDU DWI ANUGRAH Hakim Anggota III
M.GAVINDO ERICK P Hakim Anggota IV
CITRA KARDEFFI.Z Hakim Anggota V
SHELY INDAH NUSRHINTA Hakim Anggota VI
ILHAM ARDI Hakim Anggota VII
BAYU BUDI WIJAYA Hakim Anggota VIII
CATHERINEAMANNA P Ahli Pemohon I
ARDIANSYAH PUTRA Ahli Pemohon II
YAHYA HERWANTO BAGGIO Keterangan Pemerinta
SARAH ANANDA PUTRI DPR
PATRIA NATHAM SATVASTE Ahli Pemerintah
YAHYA HERWANTO BAGGIO Ahli DPR
FIRDA AULIA NURJANAH Panitera

II
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya
kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktik MK dengan
judul “ ”. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara dan Praktik Mahkamah
Konstitusi pada program Strata-1 di Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu.
Tak lupa, kami ucapkan terimakasih untuk semua pihak yang terlibat dan
ikut serta membantu dalam proses penyusunan laporan ini. Serta bimbingan dosen
pengampu mata kuliah Hukum Acara Praktik Mahkamah Konstitusi, Bapak ARI
WIRYA DINATA, S.H., M.H dan Bapak ILHAM KURNIAWAN ARDI, S.H.,
M.H.
Kami menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan. Meskipun demikian, kami berharap laporan ini dapat manambah
ilmu dan pengetahuan bagi kita semua, baik kami sebagai penulis, pembaca dan
semua pihak yang membaca sehingga dapat memberikan dan menambah
pemahaman dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya dibidang Hukum Acara dan
Praktik Mahkamah Konstitusi.

Bengkulu, Desember 2022

Kelompok III Kelas E Reguler


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................................2
IDENTITAS KELOMPOK..........................................................................................................3
KATA PENGANTAR...................................................................................................................3
DAFTAR ISI..................................................................................................................................4
PUTUSAN......................................................................................................................................5
RISALAH PUTUSAN.................................................................................................................43
SURAT KUASA KHUSUS PEMOHON...................................................................................45
SURAT KUASA TERMOHON PEMERINTAH.....................................................................47
SURAT KUASA KHUSUS TERMOHON DPR.......................................................................48
SURAT PENETAPAN MAJELIS HAKIM PANEL................................................................49
SURAT PENETAPAN MAJELIS HAKIM PLENO................................................................50
SURAT PENETAPAN HARI SIDANG....................................................................................51
SURAT PENTAPAN HARI SIDANG PEMERIKSAAN PENDAHULUAN.........................52
SURAT PEMANGGILAN PARA PIHAK................................................................................53
SURAT LAPORAN PENDAHULUAN.....................................................................................55
RISALAH SIDANG PENDAHULUAN.....................................................................................56
PERMOHONAN PENGUJIAN.................................................................................................57
RISALAH PEMBACAAN PERMOHONAN............................................................................67
KETERANGAN TERTULIS DPR RI.......................................................................................68
RISALAH PEMERINTAH DAN DPR......................................................................................79
KESIMPULAN DPR DAN PEMERINTAH.............................................................................80
RISALAH PEMBACAAN KESIMPULAN..............................................................................81
RISALAH PEMBUKTIAN........................................................................................................84
PUTUSAN

Nomor------------------

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara Konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
meanjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Pasal 169 huru n Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 A ayat
(1), dan Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, diajukan oleh :

Nama : Abdul Ghofar


Tempat/Tanggal Lahir : Bone, 21 Juni 1961
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta,Jawa
tengah
Status Perkawinan : Kawin
Jabatan : Wakil Presiden RI
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia

Selanjutnya disebut sebagai……………………...................................PEMOHON


[1.2] Membaca Permohonan Pemohon;
Mendengar Keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar Keterangan Pemerintah;
Mendengar Keterangan DPR;
Mendengar Keterangan Saksi Ahli;
2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 10


November 2022 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2017 dan diregistrasi pada Rabu tanggal
……………. dengan Nomor 145/PUU-VIII/2017, yang telah diperbaiki dan
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal ………, menguraikan hal-hal
sebagai berikut:

A. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon


1. Bahwa menurut Dr. H. Imam Soebechi, S.H.,M.H. dalam buku Hak Uji Materil,
secara harfiah legal standing dapat diartikan sebagai kedudukan hukum. Legal
standing, standingtusue ,iusstandi, locussandi juga dapat diartikan sebagai hak
seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai
penggugat dalam proses gugatan perdata (civil proceding). Lebih sederhana lagi,
legal standing dapat diartikan sebagai “hak gugat”.

2. Bahwa menurut Harjono dalam bukunya yang berjudul Konstitusi sebagai Rumah
Bangsa Pemikiran Hukum, legal standing diartikan sebagai keadaan di mana
seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu
mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau
sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.

3. Bahwa berdasarkan pendapat dua ahli diatas dapat disimpulkan definisi dari legal
standing adalah hak seseorang untuk mengajukan permohonan atau gugatan
dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa di depan lembaga peradilan dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi.

4. Bahwa jaminan seseorang untuk dapat mengajukan permohonan telah dijamin


oleh konstitusi tertulis dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 28D ayat (1)
yang mengaturbahwa:
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
5. Bahwa salah satu indikator kemajuan berbangsa dan bernegara adalah penjaminan
hak setiap warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan. Judicial Review merupakan bentuk perwujudan dari
penjaminan hak-hak dasar warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Maka secara tidak langsung
Mahkamah Konstitusi tidak hanya berperan sebagai penjaga konstitusi (The
guardian Of Constitution) melainkan juga suatu badan yang menjaga hak asasi
manusia.

6. Bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk menjaga supremasi


konstitusi, termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh karena
itu, sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan dengan
konstitusi adalah batal. Hal itu secara tegas dinyatakan oleh John Marshall Bahwa
untuk menjamin keadilan diperlukan lembaga yang dapat menguji pemberlakuan
undang-undang ditengah masyarakat, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.

7. Bahwa A. Mukthie Fadjar, dalam Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,


menjelaskan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar
belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh
karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan
Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya
sekadar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan
moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan
hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara. Di dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa
tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan
atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-
cita demokrasi. Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan
sebagai koreksi terhadap pengalaman. Dengan kesadaran inilah pemohon
kemudian memutuskan untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 158 Ayat
(1) huruf d Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Pasal 24 ayat
(1), 24 C ayat (1) Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang -
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian
Undang–Undang menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang -
undang,yaitu:
a. Perorangan Warga NegaraIndonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam
undang -undang;
c. Badan hukum publik dan privat,atau;
d. Lembaga negara.

9. Bahwa dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang - Undang Mahkamah


Konstitusi mengatur sebagai berikut:
“Yangdimaksuddengan“hakkonstitusional”adalahhak-hak yang diatur dalam
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

10. Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, MK dalam


yurisprudensinya memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus
memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Nomor: 006/PUU/- III/2005
dan Nomor: 011/PUU-V/2007, sebagai berikut:
a). Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.
b). Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang - Undang yang diuji.
c). Bahwa kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus
dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d). Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang - Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e). Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

11. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan hukum (legal
standing) pemohon dalam perkara pengujian Undang - Undang terhadap UUD
di Mahkamah Konstitusi yaitu:
a). Pihak yang bersangkutan haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas
dirinya telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksudoleh Pasal 51 Undang -
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi;
b). Pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya memang
mempunyai hak - hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-kewenangan
tertentu yang ditentukan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c). Hak - hak atau kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah
dirugikan oleh berlakunya Undang - Undang yang bersangkutan.

12. Bahwa pemohon adalah perseorangan yang memiliki kedudukan sebagai Wakil
Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 yang memiliki hak yang sama
sebagai Warga Negara Indonesia terhadap ketidakadilan yang
dirasakan.---------------------------------------------------------------------

13. Bahwa Pasal 28C ayat (2) UUD RI 1945 “ setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.” menjamin hak setiap orang untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya; -----------
14. Bahwa hak untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hak setiap orang, baik perorangan
warga negara (naturlijke persoon) maupun badan hukum
(rechtspersoon);---------------------------------------------------------------------

15. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Jo. UU No. 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan : “pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenanangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang,
(c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga
negara;--------------------------------------------------------------------

16. Bahwa Pemohon adalah Perorangan Warga Negara Indonesia memiliki hak dan
kewajiban serta kewenangan yang diakui secara hukum menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dalam Pasal 51 ayat (1) bagian a
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dijelaskan : “Yang
dimaksud perorangan adalah termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama”;-----------------------

17. Selanjutnya, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-


III/2005 Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, pemohon harus memenuhi syarat
sebagai berikut;
a. Adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. Bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
18. Bahwa selanjutnya Pemohon ingin menjelaskan kerugian konstitusional akibat
pemberlakuan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum : “Persyaratan menjadi calon Presiden dan
calon wakil presiden. adalah: n. belum pernah menjabat sebagai presiden atau
wakil presiden , selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”
dengan penjelasan “Yang dimaksud dengan belum pernah menjabat 2 (dua) kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama' addah yang bersangkutan belum pernah
menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-
hrrut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari
(ima) tahun. “ yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 “
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.”, Pasal 6A ayat (1) UUD RI 1945 “preiden dan wakil presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” dan Pasal 7UUD RI 1945
“presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa
jabatan.”;--------------------------------------------------------------------------

Pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan di atas


berarti memiliki legal standing untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian legal standing ini menjadikan pemohon sebagai subjek hukum
yang sah untuk mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ke Lembaga Negara ini.
Persyaratan legal standing mencakup syarat formal sebagaiman ditentukan dalam
Undang-Undang dan syarat materil yakni adanya kerugian konstitusional akibat
keberlakukan Undang-Undang yang bersangkutan.---------------------------

19. Bahwa undang-undang merupakan produk politik. Sebagai produk politik maka
mungkin saja substansi dari undang-undang tersebut bertentangan dengan
konstitusi (UUD 1945). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa undang-
undang lahir melaui proses legislasi yang melibatkan pihak legislatif dan
eksekutif yang syarat dengan tolak-ulur kepentingan politis. Itu sebabnya,
lembaga yudikatif berperan sebagai cabang kekuasaan yang akan membersihkan
undang-undang tersebut dari kepentingan politik melalui judicial
review;--------------------------------------------------------
20. Bahwa salah satu materi muatan di dalam Undang-Undang Dasar adalah
mengatur mengenai hak-hak asasi manusia. Sebagaimana tercantum dalam Pasal
28D ayat (1) UUD RI 1945 “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”;-------------------------------------

21. Bahwa terkait dengan permohonan Pemohon dalam pengujian ini, maka dapat
dipahami telah terjadi kerugian Konstitusional Pemohon dengan
diberlakukannya pasal Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dirasa bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;-----------

22. Bahwa Pemohon juga memiliki hak untuk memperjuangkan hak-hak


konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya”;--------------------------------------------

B. Alasan-alasan Permohonan

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, atas dasar legal standing
tersebut di atas, Pemohon menyampaikan permohonan untuk Mahkamah
Konstitusi dapat menguji keberlakuan dari Pasal 169 huruf n Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1
ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 dengan alasan
sebagai berikut:

Pengujian Materiil

A. Norma UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945


1. Pasal 24 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
2. Pasal 24C Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”
B. PASAL AQUO BERTENTANGAN DENGAN PASAL 24 AYAT (1)
UUD NRI TAHUN 1945

1. Bahwa dengan adanya Pengujian Pasal 169 huruf n Undang-


Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan
Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai produk legislasi nasional merugikan hak
konstitusional pihak pemohon, karena dengan adanya ketentuan
pasal tersebut menyebabkan terhalangnya hak perorangan untuk
memajukan diri pihak pemohon, dimana hak perorangan adalah
hak dasar yang dimiliiiki setiap manusia;----------------------------
2. Bahwa Pemohon memandang pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan pasal 1 ayat
(1), pasal 6A ayat (1), dan pasal 7 UUD RI 1945 yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
b. Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi :
“Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat”
c. Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi :
“Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa
5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”

3. Bahwa pertentangan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut :
a. Dalam pasal 7 UUD RI 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 (lima) tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama,
hanya untuk satu kali masa jabatan” yang menjadi suatu asas umum
bersifat abstrak mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil
presiden republik Indonesia.
b. Dalam pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan
umum yang menyatakan bahwa “Persyaratan menjadi calon
Presiden dan calon wakil presiden. adalah: n. belum pernah
menjabat sebagai presiden atau wakil presiden , selama 2 (dua) kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama” sebagai norma yang
menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil
presiden republik Indonesia
c. Dalam penjelasan pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum yang menyatakan bahwa ““Yang dimaksud
dengan belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam
jabatan yang sama' addah yang bersangkutan belum pernah
menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan,
baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa
jabatan tersebut kurang dari (ima) tahun. “ dianggap merugikan
pemohon sebagai warga negara indonesia karena pemohon merasa
bahwa konstitusi memberi hak politik sebagai peserta pemilihan
umum untuk dua kali masa jabatan yang sama sebagai presiden dan
wakil presiden namun untuk waktu yang berturut-turut, yang berarti
jika pemohon tidak berturut-turut maka dapat mengajukan diri
sebagai calon wakil presiden Indonesia untuk periode 2019-2024.
4. Bahwa presentasi masyarakat masih sangat tinggi untuk mendorong
Abdul Ghofar untuk menjadi Wakil Presiden di masa jabatan
berikutnya.
C. PETITUM

Berdasarkan dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka


pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materil
sebagai berikut :
1. Mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan
PEMOHON ;-------------------------------------------------------------
2. Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019
beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, Presiden dan
Wakil Presiden dapat dipilih kembali sepanjang dimaknai bahwa jabatan yang
tidak berturut-turut;----------------------------------------
3. Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019
beserta penjelasannya tidak memiliki hukum yang mengikat sepanjang dimaknai
jabatan yang tidak berturut-turut;------------------------
4. Memerintahkan putusan ini dimuat dalam lembaran Negara;----------------

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, pemohon telah mengajukan


alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-3 sebagai
berikut :

1. Bukti P-1 : Photo copy Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017


Tentang Pemilihan Umum
2. Bukti P-2 : Photo copy UUD NRI Tahun 1945
3. Bukti P-3 : Photo copy Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia

[2.3] KETERANGAN PEMERINTAH ATAS ARGUMEN PEMOHON MENGENAI


PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 169 HURUF N UNDANG UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP
PASAL 1 AYAT (2), OASAL 6A AYAT (1) DAN PASAN 7 UUD NRI
TAHUN 1945

1) Bahwa dengan adanya Pengujian Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat
(2), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai produk legislasi nasional yang membatasi masa
jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dikategorikan sebagai
merugikan hak konstitusional seseorang.
2) Bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum tidak dapat dianggap bertentangan terhadap Pasal
1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

3) Bahwa ketentuan Pasal 169 huruf n dan Penjelasan 169 huruf n Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 telah memberikan penafsiran yang jelas
bahwa “Yang dimaksud dengan belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan
dalam jabatan yang sama adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam
jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak
berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun.

4) Bahwa landasan filosofis, sosiologis dan yuridis telah termuat didalam pokok
pikiran pada konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Unsur filosofis, sosiologis dan yuridis tersebut
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan undang-undang yang bertujuan
sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi
menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif
dan efisien. Sehigga dengan adanya batasan masa menjabat bagi Presiden dan /
atau Wakil Presiden menjadi bentuk dari penjaminan dari kepastian hukum.

5) Bahwa yang menjadi landasan filosofis dari dicantumkannya batasan menjabat


bagi Presiden dan / atau Wakil Presiden di Indonesia pada Pasal 169 huruf n
dilandaskan pada teori pembatasan kekuasaan. Secara historis dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, penerapan teori pembatasan kekuasaan
terdapat di dalam TAP MPR No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan kekuasaan
dan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang menjelaskan norma-norma
yang sejala dengan ketentuan dalam Pasal 169 huruf n. Aturan pembatasan masa
jabatan Presiden hingga dua periode merupakan suatu hal yang sangat ideal dan
sejalan dengan teori demokrasi dan sistem pemerintahan presidensial. Pembatasan
jabatan presiden hanya dua kali bertujuan untuk membatasi agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan kesewenang-wenangan.
Pembatasan masa jabatan presiden hingga dua periode bertujuan untuk
menciptakan iklim demokrasi dan regenerasi kepemimpinan nasional.

6) Bahwa adanya batasan menjabat pada Presidan dan/atau Wakil Presiden


sebagaimana tercantum dalam Pasal 169 huruf n tidak melanggar hak politik
pemohon. Dalam Kovenan Internasional Sipil dan Politik, ICCPR (International
Convenan on Civil and Political Rights) tahun 1966 disebutkan bahwa Hak poliik
merupakan hak yang boleh dibatasi pemenuhannya yaitu hak yang disebut sebagai
derogable rights, yang terdiri dari hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk
bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara. Kategori derogable,
yaitu hak-hak yang boleh dikurangi/ dibatasi pemenuhannya oleh pihak negara.
Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini meliputi (i) hak atas kebebasan
berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk
dan menjadi anggota buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat/
berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberi informasi
dengan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan/
tulisan). Negara diperbolehkan mengurangi kewajiban dalam pemenuhan hak-hak
tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding
dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi; (i)
menjaga keamanan/ moralitas umum, dan (ii) menghormati hak/ kebebasan orang
lain. Oleh karena itu sepanjang pembatasan tersebut diterapkan tidak bertujuan
sebagai suatu tindakan diskriminasi terhadap seseorang dan ditujukan untuk
ketertiban umum maka diperbolehkan melakukan pembatasan hak.
7) Dengan demikian pemerintah dapat menjelaskan bahwa argumen dan fakta
selebihnya yang diajikan oleh pemohon tidak perlu ditanggapi satu persatu karena
apa yang disampaikan pemohon tidak ada relevansinya dan tidak membuktikan
adanya pelanggaran hak-hak konstitusionalnya pemohonBahwa dalam hal ini
legal standing penggugat sebagai organisasi perlindungan anak adalah rancu
terhadap permohonan yang diajukan, karena permohonan pengujian pasal ini
bersifat mencederai hak demokrasi yang berada ditangan rakyat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat
Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus
permohonan pengujian materiil Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan permohonan pemohon ditolak atau setidak-idaknya permohonan
pemohon dinyatakan tidak dapat diterima
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan
3. Menyatakan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum tetap memiliki kekuatan hukum dan tetap berlaku di
seluruh wilayah Indonesia

[2.4] KETERANGAN DPR ATAS ARGUMEN PEMOHON MENGENAI


PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 169 HURUF N UNDANG UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP PASAL
1 AYAT (2), OASAL 6A AYAT (1) DAN PASAN 7 UUD NRI TAHUN 1945

Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo,


DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai
kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:

I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon


Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam
ketentuan pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi, yang
menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau hak
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu :
(1) Perorangan warga negara Indonesia;
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang
diatur dalam UU;
(3) Badan hukum publik atau privat;
(4) Lembaga negara”
Hak dan/atau kewenangan Konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat
(1) tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini
menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur didalam UUD 1945 saja
yang termasuk hak konstitusional.
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon
yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
undangg-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan :
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
disebut didalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
b. Hak dan/atau kewenangan Kostitusionalnya sebagaimana yang dimaksud
“penjelasan pasal 51 ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang.
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon sebgai akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.

Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR-RI berpandangan bahwa


meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo
sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, namun merujuk ukuran kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi , Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktkan secara
actual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verband
kerugian yang didalilkan pemohon dengan ketentuan Pasal UU a quo yang dimohonkan
pengujian.
II.Pengujian Pasal 169 huruf (n) undang – undang nomor 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Bahwa Negara Hukum telah menjadi Jiwa bangsa Indonesia sebagaimana
dimaktubkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pasca amandemen ketiga, yang
menyebutkan : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Penjelmaan dari negara
hukum (rechtstaat) terwujud dalam setiap tindakan dan penyelenggaran negara
yang berlandaskan hukum (supreme of law).
2. Bahwa dalam doktrin ilmu hukum, judicial review berlaku umum sebagai hak uji
terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Terkait kewenangan pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan itu,
dikenal istilah judicial constitutional review
3. Bahwa pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945 menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
4. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan: ”Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;

5. Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan dalam
UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum khususnya pada Pasal 169 huruf
n terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 7 UUD RI tahun 1945.
Maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa
dan mengadili permohonan pengujian a quo

6. Bahwa pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara aktual


kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal
verband kerugian yang didalilkan
7. Bahwa Pemohon tidak mampu menguraikan secara jelas kerugian Konstitusional
dengan pemberlakuan Pasal 169 huruf n aya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum.

8. Bahwa pendapat pemohon mengenai kehadiran Pasal 169 huruf n Undang-


Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan
aturan yang lebih tinggi yaitu Undang –Undang Dasar yaitu pasal 1 ayat 2, pasal
6A ayat 1dan pasal 7 ayat 1 jelaslah pendapat yang salah karena pada dasarnya
Undang-undang a quo tersebut telah dibentuk dengan berbagai pertimbangan
dengan landasan filosofis, yuridis, serta sosiologis

9. Bahwa pembentukan undang-undang a quo telah memenuhi asas-asas


pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang diatur di dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan

[2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis ………….


yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal ……………yang pada
pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan

Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang telah didengar keterangannya dalam
persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai berikut :

Prof. Dr. EEP ISRO’ ISLAMIANTO, S.I.P., M.Si

1. Sistem demokrasi pancasila.


Pancasila sebagai falsafah bangsa memainkan peran yang penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelima sila yang dimuat di dalam Pancasila
berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Ideologi
yang terdapat di dalam pancasila meliputi seluruh pandangan cita-cita, nilai-nilai, dan
keyakinan yang ingin diwujudkan oleh seluruh bangsa dan negara dalam kehidupan nyata
yang konkrit sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjanto Poespowardojo. Apabila
merujuk pada butir-butir sila dalam pancasila mulai dari sila pertama hingga sila kelima,
hal yang fundamental dan inheren dengan perkara yang diajukan oleh pemohon yang
dapat dikaji yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Makna yang terdapat di dalam sila
ke-2 pancasila tersebut salah satunya pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.
Jaminan terhadap hak asasi manusia ini harus dipenuhi oleh negara secara adil kepada
seluruh rakyat Indonesia. Salah satu hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara
dan merupakan bahagian dari tujuan negara ialah hak politik warga Negara.
Berkenaan dengan hak politik warga Negara, maka tak dapat kita lepaskan dengan
sistem demokrasi yang dijalankan pemerintah sebagai wujud implementasi nilai
pancasila. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni demos yang berarti
rakyat dan kratein yang berarti pemerintahan yang secara literer bermakna pemerintahan
rakyat. Sedangkan secara harfiah makna demokrasi adalah memerintah negara oleh rakyat
atau pemerintah oleh rakyat untuk rakyat. Artinya, bahwa rakyatlah yang memerintah
dengan perantara wakil-wakilnya dan kemauan rakyatlah yang diturut. Pemerintahan
demokrasi adalah pemerintahan negara yang di lakukan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan ini, maka jelaslah sesungguhnya yang berkuasa adalah rakyat.
Demokrasi tampaknya lebih kental sebagai ideologi yang difatwakan oleh
kapitalisme, apalagi Fukuyama memakai istilah demokrasi leberalisme, artinya demokrasi
lebih gampang bersesuaian dengan kapitalisme. Walaupun tidak dapat dinafikan di negara
yang berideologi komunispun ada demokrasi sosialis dan negara seosialis demokratis.
Indonesia mempunyai demokrasi yang tersendiri pula, yaitu demokrasi pancasila.
Demokrasi pancasila mempunyai ciri dan bentuknya sendiri. Yang bukan demokrasi
liberal juga bukan demokrasi sosialis.
Sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi pancasila, tentu tetap harus
kembali pada cita-cita lahirnya sebuah Negara ini. Demokrasi yang digagaskan harus
mampu memberikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, serta mampu dalam
persaingan positif peradaban dunia. Semua itu adalah cita-cita mulia yang
penanggungjawabnya sendiri tak tau bagaimana cara membawanya. Layaknya
positivisme hukum, demokrasi yang digaungkan Negara Indonesia dibakukan dalam
aturan yang jelas untuk memenuhi hak-hak konstitusional rakyat. Akan tetapi, nyata-
nyata ketika hak tersebut coba ditagih rakyat seakan-akan kekuasaan sajalah yang berhak
mengotak-atik sistem dengan kedok melayani rakyatnya. Untuk menerapkan prinsip
negara hukum yang equity antara yang memerintah dan yang diperintah, sebagai prioritas
utama. Demokrasi harus memberdayakan rakyat. Pemerintahan demokrasi itu langsung
mengenai soal-soal rakyat sebagai penduduk dan warga negara dalam hak dan kewajiban.
Negara hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok
manusia yang disebut bangsa, dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan
mereka bersama. Menurut Hans Kelsen tokoh positivisme hukum, demokrasi
menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi yang memiliki legitimasi untuk
memerintah negaranya.  Di sinilah timbul pemikiran tentang demokrasi.

Robert rick menegaskan perlunya pemisahan mendasar antara ranah ekonomi dan
ranah politik. Pemisahan itu hanya merupakan penundaan momenter bagi interaksi dan
interplay kedua ranah yang berhubungan sangat erat itu. Dengan adanya pemisahan antara
ranah ekonomi dan politik, maka demokrasi tidak akan disalahgunakan. Dalam wacana
ilmu politik, konsepsi demokrasi seperti ini dikenal dengan demokrasi deliberatif. Dalam
model demokrasi deliberatif suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi
empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada fakta, bukan hanya didasarkan pada
ideologi dan kepentingan.
Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan
perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan
jangka pendek atau politik dagang sapi yang bersifat kompromistis. Keempat, bersifat
imparsial. Dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas
terkecil sekalipun) secara inklusif. Dalam model itu, legitimasi demokrasi tidak
ditentukan oleh seberapa banyak dukungan atas suatu keputusan, melainkan seberapa luas
dan dalam melibatkan proses deliberasi.
Penguasa politik dengan penguatan demokrasi, membuka ruang dialog sekaligus
komonikasi di ruang-ruang publik. Dalam meningkatkan komunikasi yang partisipatoris.
Penguasa politik membuka keran dialog, untuk dikoreksi dan dikritik atas setiap
kebijakan politik yang diambilnya.
Hendry B. Mayo mengemukakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah
sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan yang berkala, yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik, dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan poltik.
Demokrasi kekinian adalah demokrasi yang mampu meningkatkan partisipasi
politik masyarakat, sehingga mampu menjadi jawaban terhadap setiap masalah-masalah
kebangsaan hari ini. Seperti halnya pemilihan umum baik pemilihan kepala daerah
ataupun pemilihan Presiden, seharusnya menjadi momen penting untuk menjalankan
setiap sendi-sendi demokrasi, karena demokrasi bagi bangsa Indonesia  merupakan
tatanan kenegaraan yang paling sesuai dengan martabat manusia yang menghormati dan
menjamin pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

2. Politik hukum kekuasaan Negara.


“ Hukum tanpa politik adalah kelumpuhan, sedangkan politik tanpa hukum
adalah buta. “
- Janedjri M Gaffar –

AS Hikam dalam pemaparannya menyebutkan adanya beberapa hak-hak dasar


politik yang inti bagi warga negara diantaranya; hak mengemukakan pendapat, hak
berkumpul, dan hak berserikat. Dalam UUD 1945, tercantum adanya keberadaan hak
politik sipil dalam beberapa pasal. Pada pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 mengenai
persamaan kedudukan semua warga negara terhadap hukum dan pemerintahan “ Segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. “; Pasal 28C ayat
(2) UUD RI 1945 tentang hak berpartisipasi membangun Negara “ Setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negara. ”
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hak-hak politik masyarakat Indonesia yang
dijamin oleh UUD, yaitu hak membentuk dan memasuki organisasi politik ataupun
organisasi lain yang dalam waktu tertentu melibatkan diri ke dalam aktivitas politik; hak
untuk berkumpul, berserikat, hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran
tentang politik, hak untuk menduduki jabatan politik dalam pemerintahan, dan hak untuk
memilih dalam pemilihan umum. Yang mana semuanya direalisasikan secara murni
melalui partisipasi politik.
Adapun keseluruhan penggunaan hak politik sipil dibedakan atas dua kelompok:
1. Hak politik yang dicerminkan oleh tingkah laku politik masyarakat. Biasanya
penggunaannya berupa hak pilih dalam pemilihan umum, keterlibatan dalam
organisasi politik dan kesertaan masyarakat dalam gerakan politik seperti
demonstrasi dan huru-hara.
2. Hak politik yang dicerminkan dari tigkah laku politik elit. Dalam hal ini, tingkah
laku elit dipahami melalui tata cara memperlakukan kekuasaan, penggunaan
kekuasaan dan bentuk hubungan kekuasaan antar elit, dengan masyarakat.
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim mengungkapkan bahwa dalam paham
kedaulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang
kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara
pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah pula yang menentukan tujuan yang hendak
dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.
Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah
pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat
di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebutlah yang
bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara
bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang
maupun pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka
wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Mekanismenya melalui
pemilihan umum (general election).
Dengan demikian, secara umum tujuan pemilihan umum itu adalah:
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga Negara.
Ketika rakyat menginginkan suatu perubahan atas kepercayaan yang timbul dari
dalam jiwa, maka sesungguhnya keinginan tersebut mestilah dijamin dan diberikan arah
yang menjuruskan terhadap kehendak itu. Terlebih ketika keinginan atas siapa-siapa saja
yang akan mewakilinya untuk lebih maksimal dalam memenuhi kebutuhan hidup hak
warga Negara, baik bidang ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya yang mendukung
kesejahteraan warga Negara itu sendiri. Namun, seringkali politik hukum yang lahir dari
pemikiran pemegang kekuasaan dengan wewenang yang didominasinya tak jarang
memutus angan-angan warga Negara yang seharusnya penerapan hukum dari pasal 1 ayat
(2) UUD RI 1945 sebagai penjamin hak-hak warga Negara. Hukum seakan-akan tak lagi
ada. Maka benarlah teori kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan, dan
kekuasaan tanpa hukum adalah sebuah angan-angan. Secara perlahan hak-hak politik
hilang dengan kewenangan hukum sang pemegang kuasa Negara dengan membuat aturan
yang seakan-akan memenuhi keinginan rakyat secara utuh.
Pada tingkat undang-undang, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mengatur hak pilih dalam Pasal 43 yang menentukan bahwa:
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, maka seluruh aspek penyelenggaraan pemilihan
umum harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Tidak adanya jaminan
terhadap hak warga negara dalam memilih pemimpin negaranya merupakan suatu
pelanggaran terhadap hak asasi. Terlebih lagi, Pasal 1 Ayat (2) UUD RI tahun 1945
menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Dalam berbagai lapangan hidup timbul keinginan untuk mencapai hukum
responsif yang bersifat terbuka terhadap perubahan-perubahan masyarakat dengan
maksud untuk mengabdi pada usaha meringankan beban kehidupan sosial dan mencapai
sasaran-sasaran kebijakan sosial seperti keadilan sosial, emansipasi kelompok-kelompok
sosial yang dikesampingkan dan ditelantarkan serta perlindungan terhadap lingkungan
hidup.   
Dalam  konsep hukum responsif ditekankan pentingnya makna sasaran kebijakan
dan penjabaran yuridis dan reaksi kebijakan serta pentingnya partisipasi kelompok-
kelompok dan pribadi-pribadi yang terlibat dalam penentuan kebijakan. Nonet dan
Selznick tidak bermaksud bahwa penggunaan hukum merupakan alat untuk mencapai
sasaran-sasaran yang ditetapkan secara sewenang-wenang, tetapi hukum yang
mengarahkan pada perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam cita-cita dan kehendak
yuridis dari seluruh masyarakat. Nilai-nilai ini bukan hal yang telah menjadi kebijakan
pemerintah, tetapi nilai-nilai ini harus tercemin secara jelas di dalam praktik penggunaan
dan pelaksanaan hukum, sehingga dalam penghayatannya nilai-nilai ini mampu untuk
memberikan arah pada kehidupan politik dan hukum.  
Lain halnya dengan politik kekuasaan dalam penggunaan hukum represif. Hukum
ini secara khusus bertujuan untuk mempertahankan status-quo penguasa yang kerap kali
dikemukakan dengan dalih untuk menjamin ketertiban. Aturan-aturan hukum represif
bersifat keras dan terperinci, akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuatnya sendiri.
Hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk mematuhi hukum bersifat mutlak
dan ketidakpatuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan, sedangkan kritik terhadap
penguasa dianggap sebagai suatu ketidaksetiaan. Inilah yang dirasakan di bumi pertiwi
saat ini untuk mempersempit hak politik warga Negara untuk ikut serta terlibat sebagai
pengisi lini pemerintahan.

Prof. Dr. CENDANI LESIANA, S.H., M.H


1. Pemilihan Umum sebagai Wujud Daulat Rakyat
Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan,
masyarakat, atau atas diri sendiri, berdasarkan pemberian dari Tuhan atau masyarakat.
Lalu, Menurut teori J. J. Rousseau, kedaulatan rakyat merupakan sebuah kontrak social
yaitu perjanjian bersama bahwa antara rakyat dan pemerintah yang diwakili Presiden
harus dipenuhi. Presiden berjanji akan melindungi dan menjalankan kehendak rakyat,
memerintah dengan adil, sebagai imbalannya  rakyat mematuhi Presiden dalam urusan
itu. Apabila Presiden tidak mampu memenuhi janjinya sesuai undang-undang, ia harus
meletakkan jabatan atau dipaksa turun dari kedaulatannya. Dan kedaulatan rakyat ini
tentu bersifat permanen dimana kedaulatan ini akan tetap ada selama suatu Negara ini
masih berdiri.. Maka dari itu masyarakat akan menaruh rasa percayanya kepada calon
presiden yang mereka anggap mempuni untuk menjalankan mandat dari masyarakat.
Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang mana hal ini dirumuskan pada
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi
“Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang”.
Yang mana secara ekpslisit bahwa rakyatlah memiliki kekuasaan tertinggi,
sehingga rakyatlah yang berhak memilih pemimpin dari suatu Negara.
Kedaulatan rakyat ini tentu lahir dari sebuah demokrasi, yang mana berdasarkan
asas demokrasi yang pada pokoknya menyatakan masyarakat memiliki hak setara untuk
mengambil sebuah keputusan untuk mengubah kehidupan mereka. Demokrasi
mengizinkan warga Negara berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan adanya demokrasi ini dapat menciptakan kontrak social bagi masyarakat untuk
menimplementasikan cita-cita nasional. Dalam implementasinya prinsip Demokrasi di
Negara Indonesia salah satunya diwujudkan melaui Pemilihan Umum, pemilihan umum
merupakan perwujudan yang nyata antara demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Dalam pemilihan umum harus didasari keinginan rakyat bukan keinginan suatu
individu atau kelompok. Di dalam PEMILU rakyat akan menciptakan suatu kontrak
social sebagai langkah untuk mencapai “kedaulatan rakyat” untuk mempercayakan
individu dalam mengembah amanah rakyat yang berupa kepentingan umum. Karena,
demokrasi berdasarkan asas “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” bahwa suatu
hasil demokrasi memang benar-benar keinginan rakyat agar tercapainya pasal cita-cita
dan tujuan bangsa serta Negara yang tercantum pada Alinea ke-4 Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
Kedaulatan rakyat yang berarti keinginan rakyat, yang bermaksud bahwa
keinginan masyarakat ini benar-benar harus diwujudkan karena berdasarkan asas “Vox
Populi, Vox Dei” yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan sehingga suara rakyat
harus dihargai sebagai penyampai kehendak Illahi dan karena keberadaan rakyatlah suatu
Negara terbentuk maka untuk itu keinginan rakyat juga yang harus diwujudkan. Jika,
rakyat menginginkan seorang individu untuk dijadikan kandidat pemimpin di negaranya
dan individu ini telah pernah menjabat jabatan tersebut berarti rakyat masih percaya
bahwa ia dapat membawa kepentingan umum untuk melanjutkan dan meningkatkan
pembangun serta kualitas Negara.

2. Konsep Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Bagian Hak Asasi Manusia.

Menurut Austin-Ranney, HAM adalah ruang kebebasan individu yang


dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.
sedangkan hak dasar (basic right) adalah hak mendasar dalam diri manusia yang telah
dimiliki manusia sejak lahir dan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Hak Politis merupakan hak dasar yang tentunya merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia. Menurut International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966)
berkaitan dengan hak politik warga negara menegaskan dalam Pasal 25 bahwa “Setiap
warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan
apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam menjalankan
segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih
secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas
dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara
tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka
dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada
umumnya atas dasar persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa
hak politik, memilih dan di pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan,
peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga
negara.” Dan tersebut turut ditegaskan oleh peraturan perundang-Undangan Indonesia
pada Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa
“Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”, lalu
diatur lebih lanjut pada Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “Setiap warga negara berhak untuk dipilih
dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan dengan ketentuan pasal-pasal tersebut, pokok utamanya adalah
rakyat bebas untuk memilih siapapun menurut kehendak rakyat yang berhak memimpin
mereka, yang dipilih baik secara langsung dan tidak langsung berdasarkan asas langsung,
bebas, jujur, dan rahasia.
Terkait dengan ketentuan Pasal 169 Huruf N Undang-Undang No 07 Tahun 2017
yang berbunyi “persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah: n. belum
pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan
dalam masa jabatan yang sama” hal ini tentu tidak sinkron dengan Pasal 1 Ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945. Karena Pasal 169 Huruf N ini memberi batasan terhadap
keinginan rakyat untuk mewujudkan suatu kontrak social dan tentunya memberi batasan
untuk memilih kandidap pemimpin Negara.
Dengan didasari asas demokrasi yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil
maka akan sulit untuk mencapai asas tersebut. karena apabila calon kadidat yang
diinginkan oleh masyarakat telah menjabat selama 2 (dua) kali hal ini akan mempersulit
perwujudan dari asas demokrasi yaitu asas “kebebasan” dimana pemilih bebas untuk
memilih siapapun calon kandidat Presiden dan/atau Wakil Presiden tanpa adanya
paksaan. Namun, kebebasan rakyat ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya Pasal 169
Huruf N UU No 17 tentang Pemilu karena di dalam pasal ini tidak memperbolehkan
Presiden dan Wakil Presiden untuk menjabat lebih dari 2 kali masa jabatan sehingga
masyarakat tidak bebas memilih kandidat untuk menjabat sebagai pemimpin Negara,
mereka harus memilih kandidat yang hanya masuk pada opsi pilihan tanpa dapat
mengusungkan dan menyuarakan kandidat yang mereka anggap masih berkompeten
dalam membangun bangsa dan Negara. Sehingga dengan hal ini tentu pasal 169 Huruf N
UU No 17 Tahun 2017 yang memuat syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden
ini bertentangan dengan pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang pada
pokoknya memuat ketentuan tentang kedaulatan rakyat.
Ditinjau dalam hak untuk dipilih yang secara tersirat tertera pada Pasal 28 C Ayat
(2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
Negaranya.” Ketentuan ini bermakna bahwa setiap orang berhak memajukan dirinya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Setiap
orang berhak untuk mencalonkan dirinya untuk menjadi pilihan rakyat dalam hal
pembangunan Negara dalam arti dapat ikut serta dalam calon Presiden, DPR, MPR,
Menteri, Guberner, Bupati/ Wali Kota, bahkan tingkat RT. Karena hal ini untuk
memperkuat asas demokrasi “ dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Dengan adanya
Pasal 6 A yang berisi persyaratan Presiden dan/atau wakil Presiden memberi batasan pada
hak kolektif individu untuk mengembangkan dirinya demi kepentingan bangsa Negara.
Sehingga hal ini tidak sinkron antara Undang-Undang terhadap Undang Dasar.

3. Tinjauan Aspek Peraturan Perundang-Undangan Pemilu

Stufenbau adalah teori yang dikemukakan oleh Hans Kalsen yang menyatakan
bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana
norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih
tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada
norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Hal ini diperkuat dengan asas “Lex
Superior derogate legi inferiori” yang berarti Undang-Undang yang lebih tinggi
mengenyampingkan Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya
Dalam sistem Hukum Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
peraturan dasar yang harus diikuti oleh peraturan-peraturan lain sehingga peraturan-
peraturan yang dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945. Dimana di dalam Pasal 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Peraturan
Perundang-Undangan yang berbunyi ;
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undang sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
Jelas tertera pada ketentuan tersebut bahwa Undang-undang Dasar 1945
merupakan induk dari peraturan-peraturan lain dibawahnya. Sehingga setiap ketentuan
yang lahir haruslah berkesinabungan antara peraturan yang berkedudukan lebih tinggi dan
bawahnya.
Berkaitan dengan Pasal 169 Huruf N Undang-undang No 07 Tahun 2017 tentang
Pemilu tentu bertengan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6 A, dan Pasal 7 Undang-undang
Dasar 1945 yang menimbulkan polemik antara masyarakat. Sehingga, akibat hukumnya
hukum yang posisinya lebih rendah dan bertentangan dengan peraturan yang
kedudukannya lebih tinggi harus di cabut melalui pengujian Undang-Undang ke
Mahkamah Konstusi.

 Menimbang bahwa terhadap permohonan terhadap Pemohon, Ahli dari


Pemerintah memberi jawaban bertanggal 9 Juli 2018 dan menyerahkan jawaban
tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah, yang pada pokoknya
mengemukakan sebagai berikut :

Prof. Dr. ADITYA MAULANA, S.H, M.H


1. Partisipasi Masyarakat dalam Demokrasi sebagai Landasan Hukum
Administrasi Negara

Hukum Adsministrasi Negara merupakan salah satu alat bagi implementasi tujuan
negara kesejahtraan welfare state, Maka pemahaman Hukum Administrasi Neagara
menjadi satu hal yang sangat vital untuk dikembangkan dalam kehidupan bernegara.
Dalam konsepwelfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di
seluruh segi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pengetahuan terkait
dari fungsi dari Hukum Administrasi Negara sendiri, sebagai dasar dan alternative dalam
mewujudkan Negara yang sejahtera.
Hukum Administrasi mempunyai 3 landasan yaitu Landasan negara hukum
meliputi Asas Legalitas, HAM, Pembagian Kekuasaan, Pengawasan Pengadilan.
Landasan Demokrasi meliputi adanya Dewan Perwakilan Rakyat, Adanya peran serta
masyarakat . Landasan ketiga yaitu Landasan ajaran instrumental.
Dalam sistem demokrasi penyelenggara negara harus bertumpu pada partisipasi
dan kepentingan rakyat. Prinsip demokrasi juga dianut oleh Indonesia hal ini dapat dilihat
pada Pasal 1 Ayat ( 2 ) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
berbunyi :
“ kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang –undang dasar ’’
Berdasar pada pasal tersebut maka jelaslah bahwa Indonesia merupakan negara
yang menganut paham demokrasi karena menitik beratkan kedaulatan pada tangan rakyat.
Menurut para ahli demokrasi adalah :
Abraham Lincoln
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.

Charles Costello
Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-
kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak
perorangan warga negara.

John L. Esposito
Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya,
semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah
terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Berdasar pengertian diatas dapatlah ditarik simpulan demokrasi adalah sistem
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam sistem pemerintahan
demokrasi, rakyat turut berpartisipasi aktif dalam kebijakan pemerintahan. Pada sistem
pemerintahan demorkasi mengizinkan seluruh warga negara untuk berpartisipasi aktif.
Peran serta itu bisa diwakilkan atau secara langsung dalam perumusan, pengembangan
dan penetapan undang-undang. Setiap ahli memiliki penafsiran tersendiri terhadap
demokrasi, meskipun kurang lebih memiliki makna dan tujuan yang sama.
Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda
dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk
mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu
melakukan revolusi. Demokrasi bertujuan untuk mencegah kediktatoran yang dapat
dilakukan pemerintah, maka pembatasan kekuasaan merupakan salah satu cara untuk
mencapai tujuan demokrasi agar pemerintah yang berkuasa tidak melakukan abuse of
power atau kesewenang-wenagan.

2. Kedudukan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.

Ridwan HR dalam buku Hukum Administrasi Negara (hal. 101-102). Ridwan


menjelaskan bahwa seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas, maka
berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, sebagaimana yang
didefinisikan oleh H.D van Wijk/ Willem Konijnenbelt, sebagai berikut:
a.  Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan.
b.  Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c.  Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Lebih lanjut, Ridwan HR menjelaskan bahwa wewenang yang diperoleh
secara atribusi bersifat asli berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain,
organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada.
Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung Jawab yuridis tidak
lagi berada pada pemberi delegasi tetapi beralih kepada penerima delegasi.
Sementara pada mandat, penerima mandat hanya bertindak dan atas nama pemberi
mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil penerima mandat tetap berada
pada pemberi mandat.
Wakil presiden memperoleh kewenangannya berdasarkan Atribusi dikarenakan
wakil presiden memperoleh kewenangan berdasarkan peraturan Perundang-Undangan.
Kedudukan wakil presiden dapatlah dilihat pada Pasal 4 ayat ( 2 ) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :
“ Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang wakil
presiden’’
Kedudukan Wakil Presiden menurut pasal 4 ayat ( 2 ) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia sebagai pembantu tugas presiden secara gramatikal sama
dengan tugas mentri-mentri negara yang diatur dalam pasal 17 ayat ( 1 ) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :
“ Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara ’’
Walaupun kedudukan menteri-menteri sama dengan Wakil Presiden tetapi untuk
masa jabatan wakil presiden masa jabatannya dibatasi oleh undang-undang dasar yaitu
pasal 7 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
sebagai berikut :
“ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan ’’
Bayu Dwi Anggono mengatakan bahwa Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia mengatur juga wakil presiden karena ada kata sambung “ dan ’’
diantara kata presiden dan wakil presiden bukan kata sambung “ atau ’’ maka jika
diterjemahkan secara gramatikal yang diatur oleh pasal 7 Undang-undang dasar negara
republik Indonesia tahun 1945 adalah Presiden Bersama Wakil Presiden. Dalam Risalah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa
presiden dan wakil presiden tidak dapat kembali menjabat sebagai presiden dan wakil
presiden apabila sudah menjabat dua kali baik secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut.

Prof. Dr. MEKSEL SENDI., S.Pd,M.Pd

Dalam kontak kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahasa


sudah mendarah daging sebagai media perantara alat komunikasi yang efektif sepanjang
peradaban. Ketika media komunikasi musnah, maka dapat dipastikan pula hubungan antar
makhluk sosial juga terhambat bahkan hilang tanpa jejak.
Sejauh perkembangan zaman, media komunikasi mengalami perkembangan pula
baik dari segi bentuk, jenis maupun frekuensinya. Demikian pula dengan bahasa yang
sangat pesat dalam perkembangannya, terlebih ketika berbicara tentang republik ini yang
beragam suku, bahasa, adat, dan sebagainya. Maka keberagaman tersebut terkadang
menimbulkan pro dan kontra terkait kebermanfaatannya bagi kalangan pengguna.
Di sisi lain, keberagaman bahasa yang muncul dewasa ini menjadi sebuah poros
bangsa-bangsa lain untuk menilik keunikan yang dimiliki republik ini. Baik dalam
penerapannya, namun terkadang media komunikasi yang harusnya memiliki fokus dan
tujuan yang sama tak jarang digunakan untuk persepsi yang berbeda. Hal ini digunakan
oleh mayoritas pemegang kuasa yang ada untuk memperjelas makna yang ditafsirkan
publik untuk lebih dapat dipercaya.
Belakangan ini untuk menundukkan pada aturan baku tentang penggunaan bahasa
yang baik dan benar semakin melebar saja. Entah karena kebutuhan, perkembangan atau
justru perubahan tanpa dasar untuk mencipta karya bahasa baru dalam pembukuan. Hal
ini terbukti ketika kalangan para penulis dokumen-dokumen penting yang
pembentukannya guna khalayak banyak mengambil referensi abstrak dari terjemah
bahasa baku Indonesia. Dengan kata lain, penggunaan lebih kepada mana yang dapat
menguntungkan pembuatnya.

Dalam pokok perkara Permasalahan tersebut terdapat didalam ketentuan Pasal


169 ayat (1) huruf n uu no 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, yang menentukan
dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur.

Ada beberapa permasalahan yang timbul karena ketentuan tersebut di atas antara lain:
Pasal 169 ayat (1) huruf n UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
beserta penjelasannya, yang berbunyi:
“belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden , selama 2 (dua) kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama” dengan penjelasan “Yang dimaksud dengan belum
pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' addah yang
bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa
jabatan, baik berturut-hrrut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan
tersebut kurang dari (ima) tahun”
Adanya frasa berturut-turut dan tidak berturut-turut dalam pasal
tersebut,sebenarnya telah memperjelas makna dari isi pasal 7 uud NRI tahun 1945 yang
berbunyi” “Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 (lima)
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama, hanya untuk
satu kali masa jabatan”
Yang dimaksud dengan frasa berturut-turut dan tidak berturut-turut sebagaimna
yang disebutkan di dalam pasal 169 ayat (1) huruf n uu no 7 tahun 2017 yaitu presiden
dan wakil presiden hanya dapat menjabat sebagai presiden dan wakil presiden sebanyak
2 (dua) kali masa jabatan,dari penjelasan diatas atau sebagaimana yang dimaksud dengan
frasa “berturut turut maupun tidak berturut turut” dapat kita pahami didalam pengertian
ilmu bahasa indonesia yang baik dan benar yaitu  bahasa yang sesuai dengan kaidah
bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis maupun bahasa baku lisan
Sebagaimana yang dikutip dalam kalimat diatas penjelasan mengenai frasa berturut
turut maupun tidak berturut turut dapat diperjelas atau lebih dipahami didalam kamus
besar bahasa indonesia(KBBI),dapat kita pahami satu persatu dari kalimat tersebut yang
pertama kalimat atau frasa “berturut-turut” yaitu kalimat yang memiliki 2 arti,Berturut-
turut berasal dari kata dasar turut, Berturut-turut adalah sebuah homonim karena arti-
artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Berturut-turut
memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja sehingga berturut-turut dapat menyatakan
suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya dalam jangka
waktu yang sangat dekat. Berturut-turut juga berarti terus-menerus dengan
teratur.selanjutnya yaitu kalimat atau frasa “tidak berturut turut”,dari penjelasan atau
pengertian diatas dapat kita pahami bahwa kalimat selanjutnya memilki arti sebaliknya
atau juga disebut dengan antonim yaitu “kalimat yang merupakan hubungan semantik
antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau
kontras antara yang satu dengan yang lainnya. Lebih sederhana, antonim adalah suatu
kata yang berlawanan makna dengan kata lain. 
Antonim disebut juga dengan lawan kata, bisa dipahami “ jadi kalimat atau frasa
tidak berturut turut bisa juga diartikan sebagai kalimat kata “berantara atau berselang”
yang memiliki memiliki 2 (dua) arti. Berselang berasal dari kata dasar selang. Berselang
adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama
tetapi maknanya berbeda. Berselang memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja
sehingga berselang dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau
pengertian dinamis lainnya,berantara atau berselang juga berarti lewat,berselang juga
berarti berlalu,berantara atau berselang juga berarti setelah atau kemudian,dari semua arti
kata tersebut dapat disimpulkan bahwa makna dari kalimat atau frasa “tidak berturut
turut”yaitu adanya selang waktu yang terjadi atau jeda yang terjadi pada tindakan dan
pegalaman tersebut.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji
Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan :
a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;

Kewenangan Mahkamah Konstitusi


[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan
Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya,


yang dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
…. bertanggal …. dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor …. bertanggal ….,
serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan


yang memiliki kedudukan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia periode
2014-2019 yang memiliki hak yang sama sebagai Warga Negara Indonesia
terhadap ketidakadilan yang dirasakan, yang diatur dalam UUD 1945 yaitu:
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :
“ setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” menjamin hak setiap
orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”

[3.8] Menimbang bahwa dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh Pemohon
dikaitkan dengan hak konstitusional Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga Pemohon memenuhi
syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a


quo, dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian


konstitusionalitas Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum yang menyatakan :
“ belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama”.

[3.11] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai persyaratan calon


presiden dan wakil presiden yang berkonflik dengan hukum yang terdapat didalam
Pasal 169 hururf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang persyaratan
calon presiden dan wakil presiden untuk dua kali masa jabatan yang sama sebagai
presiden dan wakil presiden namun untuk waktu yang berturut-turut, yang berarti
jika tidak berturut-turut maka pemohon dapat mengajukan diri kembali sebagai
calon wakil presiden Indonesia. Akan tetapi di dalam Risalah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa presiden dan wakil
presiden tidak dapat kembali menjabat sebagai presiden dan wakil presiden
apabila sudah menjabat dua kali baik secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut.

[3.12] Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil


Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 169 huruf Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah sesuai menurut hukum. Adapun Pasal
169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
yang menyatakan, “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama“ adalah tidak
bertentangan dengan UUD 1945 dan telah bersifat konstitusional.

4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Menolak permohonan para Pemohon untuk keseluruhan;
2. Menyatakan bahwa Pasal 169 Huruf N Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan UUD
1945;
3. Menyatakan bahwa Pasal 169 Huruf N Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tetap berlaku dan memiliki
kekuatan hukum yang tetap diseluruh wilayah Republik Indonesia.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesian
Sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim


Konstitusi, yaitu Prof. Dr. Yesi Oktriani, S.H., M.H, selaku Ketua merangkap Anggota,
Dr. Ahmad Hafiz Wahyudi, S.H., M.H, Dr. Yolanda Kosmala Dewi, S.H.,M.H, Dr. Sri
Intan Pulandari, S.H.,M.H, Dr. Yusfika Anggraeni, S.H., M.H, Dr. Dimas Combara, S.H.,
M.H, Dr. Salsabila Shapita Putri, S.H., M.H, Dr. Nindia Rizky, S.H., M.H. dan Dr.
Abellio Suaris, S.H., M.H, masing- masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal
11 Januari 2019 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Senin, tanggal 11 Januari 2019, oleh sembilan Hakim Konstitusi,
yaitu, Dr. Yesi Oktriani, S.H., M.H, selaku Ketua merangkap Anggota, Dr. Ahmad Hafiz
Wahyudi, S.H., M.H, Dr. Yolanda Kosmala Dewi, S.H.,M.H, Sri Intan Pulandari,
S.H.,M.H, Dr. Yusfika Anggraeni, S.H., M.H, Dr. Dimas Combara, S.H., M.H, Dr.
Salsabila Shapita Putri, S.H., M.H, Dr. Nindia Rizky, S.H., M.H. dan Dr. Abellio Suaris,
S.H., M.H, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Kevin Leonardo,
S.H. sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya,
Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,
ttd.

Prof. Dr. Yesi Oktriani, S.H., M.H

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd ttd

Dr. Ahmad Hafiz Wahyudi, S.H., M.H Dr. Yolanda Kosmala Dewi, S.H.,M.H

ttd ttd

Dr. Sri Intan Pulandari, S.H.,M.H Dr. Yusfika Anggraeni, S.H., M.H

ttd ttd

Dr. Dimas Combara, S.H., M.H Dr. Salsabila Shapita Putri, S.H., M.H
ttd ttd

Dr. Nindia Rizky, S.H., M.H Dr. Abellio Suaris, S.H., M.H
RISALAH PUTUSAN
Sidang pleno Makamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan
memutuskan sengketa yang bersidang di gedung Makamah Konstitusi Republik Jalan
Merdeka Barat No .6 Jakarta Pusat 10110, yang jatuh pada hari Sabtu, tanggal 24
bulan November tahun 2022.
Dalam perkara Permohonan Uji Materi Pasal Pasal 169 huruf n Undang-
Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 1
ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 7 UUD 1945. Yang di ajukan oleh:

Nama : Abdul Ghoffar


Tempat/Tanggal Lahir : Surakarta, 21 Juni 1961
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat Tinggal : Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.
Selanjutnya disebut sebagai.......................................................................... Pemohon

Susunan Majelis Hakim Pemeriksaan Persiapan :


1. Dr. Ardiansyah Putra, S.H.,M.H. Hakim Ketua
2. Dr. Rio Volda Sianturi, S.H.,M.H. Hakim Anggota I
3. Ahmad Alfarizi, S.H.,M.H. Hakim Anggota II
4. Pandu Dwi Anugerah, S.H.,M.H. Hakim Anggota III
5. M. Gavindo Erik P, S.H.,M.H. Hakim Anggota IV
6. Citra Kardefi Z., S.H.,M.H. Hakim Anggota V
7. Shely Indah Nursinta,S.H.,M.H. Hakim Anggota VI
8. Ilham Ardie, S.H.,M.H. Hakim Anggota VII
9. Bayu Budi Wijaya, S.H.,M.H. Hakim Anggota VIII
10.Catherine Amanna Panjaitan, S.H Panitera Pengganti

Pihak yang hadir :


A. PEMOHON
Abdul Ghoffar
Firda Aulia Nurjanah, S.H.,M.H (Kuasa Pemohon)

B. PRESIDEN/PEMERINTAH
Yahya Herwanto Baggio, S.H.,M.H (Menteri Hukum dan HAM, Selaku Kuasa
Termohon)

C. DPR
Sarah Ananda Putri, S.H,.M.H

Setelah pihak-pihak dipanggil untuk memasuki ruang sidang, Pukul 10.00


WIB sidang dibuka oleh Ketua Majelis Hakim. Ketua Majelis Hakim menerangkan
bahwa sidang hari ini adalah Putusan, dan majelis hakim membacakan putusan.
SURAT KUASA KHUSUS PEMOHON
Yang betanda tangan dibawah ini:
Nama : Firda Aulia Nurjanah, S.H.,M.H
Tempat/Tgl Lahir : Bengkulu, 11 Juli 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Wr. Supratman 4 RT/RW 17/05 No. 05 Kelurahan
Kandang Limun Kota Bengkulu
Pekerjaan : Advokat dan Konsultan Hukum
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia

Dalam hal ini memilih domisili hukum dikantor kuasanya,menerangkan bahwa memberi
suarat kuasa penuh kepada:

ADVOKAT HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

----------------------------------------------KHUSUS----------------------------------------
Untuk atas nama pemberi kuasa,baik secara sendiri-sendriri maupun bersama-sama
mengurus kepentingan pemberi kuasa untuk pengurus perkara: Mahkamah Konstitusi
sebagai pihak yang mewakili pemerintah republik indonesia dalam hal ini presiden
republik indonesia dalam memberikan keterangan pemerintah terhadap pemohon dalam
permohonan pengujian pasal 169 huruf n undang-undang 7 tahun 2017 tentang pemilihan
umum
Untuk menerima kuasa di kuasakan untuk melakukan perbuatan hukum untuk
mengajukan pembelaan terhadap pemohon, mengadap pejabat-pejabat, maupun
menghadiri persidangan pengadilan,menghadap instansi-instansi, menghadap hakim-
hakim, mengajukan dan menandatangani surat-surat, mengajukan segala permohonan,
mengajukan segala keterangan yang di perlukan, mengajukan bukti-bukti maupun saksi-
saksi, mengajukan memori banding anta kontra memori banding, memori kasasi,
mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang di beri kuasa
dengan melakukan perbuatan hukum berupa pencabutan gugatan,meminta penetapan-
penetapan, izin mmembaca berita acara perkara dan segala perbuatan lain yang penting
dan berguna berhubungan dengan menjalankan perkara, serata dapat melakukan
perbuatan yang umum nya dapat di lakukan oleh penerima kuasa untuk kepentingan di
atas, mengajukan banding dan kasasi
Demikian surat kuasa ini dan kekuasaan ini dapat di ahlikan kepada orang lain
dengan hak subsitusi dan seterusnya menurut hukum seperiti yang di maksud dalam pasal
1812 KUHperdata dan menurut syarat-syarat lainnya ditetapan dalam undang-undang

Jakarta, 03 November 2022

Penerima kuasa Pemberi Kuasa


Tim advokat acara Mahkamah
Konsitusi, atas nama :

Abdul ghoffar
Firda Aulia Nurjanah, S.H.,M.H
SURAT KUASA TERMOHON PEMERINTAH
SURAT KUASA KHUSUS TERMOHON DPR
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6. Jakarta Pusat 10110 Fax:
021-3520177. Email: office@mkri.id

SURAT PENETAPAN MAJELIS HAKIM PANEL


NOMOR : 003/PUU-X1/2022

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Ketua pengadilan Mahkamah Konstitusi semu Jakarta Pusat, telah membaca surat
permohonan pemohon yang didaftarkan di kepaniteraan dengan nomor: 003/PUU-
X1/2022
Menimbang, bahwa untuk memeriksa dan mengadili siding pengujian materil pasal 169
huruf (n) undang – undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat 2, Pasal 4 pasal 6A ayat 1 dan pasal 7.
Oleh karena itu kami menetapkan 3 hakim panel dan 1 panitera pengganti yang mana
terlampir sebagai berikut :

MENETAPKAN :
1 Ardiansah Putra S.H, M.H Hakim Ketua
2 Ahmad Alfarizi S.H, M.H Hakim Anggota I
3 Rio Volda Sianturi S.H, M.H Hakim Anggota II
4 Catherine Amanna Panjaitan, S.H Panitera Pengganti

Menimbang, bahwa untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan muatan materi


dalam isi permohonan yang diajukan, maka majelis hakim untuk dalam hadir pada sidang
pemeriksaan pendahuluan pada hari Kamis 10, November 2022)

Jakarta Pusat, (9, November 2022 )


Panitera Ketua Majelis Hakim

Catherine Amanna Panjaitan, S.H Ardiansah Putra S.H, M.H


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Dewi Sartika No. 136 D Cawing Jakarta, Indonesia Telp. 0821135
E-Mail : Mahkamah Konstitusi_Jakarta@Yahoo.Com

SURAT PENETAPAN MAJELIS HAKIM PLENO


Nomor/003/1/PAN.MK/2022

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Hakim Panel Pengadilan Mahkamah Konstitusi Semu Jakarta Pusat, telah


memeriksa kelengkapan dan kejelasan muatan materi isi permohonan yang diajukan pada
sidang pemeriksaan pendahuluan surat permohonan Nomor: 003/PUU/XI/2022, bahwa
untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa pengujian Materil Pasal 169
Huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 4,
Pasal 6 A ayat (1), dan Pasal 7. Oleh karena itu, kami selaku Panitera menetapkan 3 (tiga)
Anggota Hakim Pleno dan 1 (satu) Panitera Pengganti yang mana terlampir sebagai
berikut :
MENETAPKAN
1 ARDIANSAH PUTRA, S.H., M.H HAKIM KETUA
2 PANDU DWI ANUGRAH, S.H., M.H HAKIM ANGGOTA I
3 MUHAMMAD GAVINDO ERICK, S.H., M.H HAKIM ANGGOTA II

Untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa tersebut di atas, pada


sidang pemeriksaan selanjutnya yang jatuh pada ………

Jakarta, 24 November 2022


Panitera Ketua Majelis Hakim

(FIRDA AULIA NURJANAH, S.H.) (ARDIANSAH PUTRA, S.H., M.H.)


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6, RT.2/RW.3, Gambir, Kota Jakarta
Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110
Telp : (021)23529000, E-mail : mahkamahkonstitusi@yahoo.com

SURAT PENETAPAN HARI SIDANG


NOMOR : 003/PAN-MK2022
Majelis Hakim Pengadilan Semu Mahkamah Konstitusi Jakarta, telah memeriksa
Kelengkapan dan kejelasan muatan isi materi permohonan yang bertanggal 3 November
2022 NOMOR : 12/PUU-XVI/2022 dan diajukan oleh pemohon dalam permohonannya
mengenai pengujian Pasal 169 Huruf N Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, Pasal 6a ayat
(1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang
diajukan oleh yang diajukan oleh Abdul Ghoffar, yang diwakili oleh:
Nama : Firda Aulia Nurjannah, S.H.,M.H.
Tempat/Tanggal Lahir : Bengkulu, 17 Juli 1987
Pekerjaan : Advokat dan Konsultan Hukum
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl WR Supratman 4, RT/RW 17/15, Kandang Limun,
Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu
Pemohon dengan ini mengajukan permohonan Pengujian Materill Pasal 169 huruf
n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menimbang, bahwa untuk memeriksa, mengadili dan Memutuskan sengketa
tersebut maka panitera Mahkamah Konstitusi menetapkan Persidangan selanjutnya dalam
sengketa tersebut jatuh pada Hari Selasa, 24 November 2022 yang akan diadili oleh 9
Hakim Pleno dan 1 Panitera pengganti yang telah ditetapkan sebelumnya.
Jakarta Pusat, 10 November 2022
Mengetahui :
Panitera Pengganti Ketua Majelis Hakim

Catherine Amanna Panjaitan, S.H,.M.H. Prof.DR.ArdiansyahPutra, S.H.,M.H.


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Dewi Sartika No. 136 D Cawing Jakarta, Indonesia Telp. 0821135
E-Mail : Mahkamah Konstitusi_Jakarta@Yahoo.Com

SURAT PENTAPAN HARI SIDANG PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

NOMOR : 003/PUU-X1/2022
Selaku panitera pengadilan semu Mahkamah Konstitusi Jakarta telah membaca
surat permohonan bertanggal … bulan… 2022 nomor…/PUU-X1/2022 yang diajukan
pemohon dalam permohonannya mengenai pengujian materil Pasal 169 huruf n UU No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), dan
Pasal 7 UUD RI Tahun 1945 yang diajukan oleh atas nama :
Nama : Abdul Ghoffar

Tempat, tanggal lahir : Bone, 15 Mei 1942

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan

Status perkawinan : Kawin

Jabatan : Wakil Presiden RI 2014-2019

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 169 Huruf
n UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A
Ayat (1), dan Pasal 7 UUD RI tahun 1945. NOMOR : 003/PUU-X1/2022
Menimbang bahwa untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi muatan
sengketa tersebut maka panitera mahkamah konstitusi menetapkan persidangan
pemeriksaan pendahuluan dalam sengketa tersebut jatuh pada hari … tanggal … bulan …
tahun 2022 yang diperiksa oleh 3 (tiga) hakim panel yang telah ditetapkan sebelumnya.

Jakarta, …… 2022
Panitera Ketua Majelis Hakim

(Firda Aulia, S.H., M.H.) (Ardiansah Putra, S.H., M.H.)


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Dewi Sartika No. 136 D Cawing Jakarta, Indonesia Telp. 0821135
E-Mail : Mahkamah Konstitusi_Jakarta@Yahoo.Com

SURAT PEMANGGILAN PARA PIHAK


Nomor :

Majelis Hakim Persidangan Mahkamah Konstitusi telah memeriksa kelengkapan dan


kejelasan muatan isi materi permohonan Pengujian Materi Pasal 169 huruf n Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7. Kami, Panitera Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia atas perintah Hakim, dengan ini memanggil :

Nama : Abdul Ghofar


Tempat/Tanggal Lahir : Bone, 15 Mei 1942
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kel. Sumber, Kec. Banjarsari,Surakarta, jateng
Status Perkawinan : Kawin
Jabatan : Presiden RI
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia

.....................................................PEMOHON..........................................................

Nama : Bambang Soesatyo


Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 10 September 1962
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jl. Baladewa B/11, RT 014/RW006 Duren Sawit,
Jakarta Timur
Status Perkawinan : Kawin
Jabatan : Ketua DPR RI
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
...................................................TERMOHON..........................................................
Untuk dapat hadir dalam menjalankan sidang sengketa pemeriksaan selanjutnya,
yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Pada hari ini...., Tanggal......, dan menetapkan bahwa
tenggang antara hari panggilan dan hari persidangan sekurang-kurangnya tiga hari.
Jakarta Pusat, ...........................
Panitera

Kevin Leonardo, S.H.


SURAT LAPORAN PENDAHULUAN
RISALAH SIDANG PENDAHULUAN
PERMOHONAN PENGUJIAN

PASAL 169 HURUF n UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
TERHADAP PASAL 1 AYAT (2), PASAL 4, PASAL 6A AYAT (1) DAN
PASAL 7
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

DALAM PERKARA

NOMOR : 003/PUU-IX/2022
FIRDA AND FRIEND
Jl. Wr. Supratman 4 RT 17/RW 5 No. 5 Kota Bengkulu
Email : firda@gmail.com

Nomor : 003/PUU-IX/2022
Perihal : Permohonan Pengujian Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal
1 ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi


Republik Indonesia
Di :
Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6
Jakarta Pusat
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama : Firda Aulia Nurjanah, S.H., M.H.
Tempat, tanggal lahir/usia : Bengkulu, 11 juli 1987/32
Alamat : Jln. Wr. Supratman 4 RT. 17 RW. 5 No. 5
kelurahan kandang limun kota bengkulu
Pekerjaan : Advokat dan konsultan hukum

Bertindak sebagai Kuasa Hukum dari Pemohon dalam perkara Pengujian Pasal 169 huruf
n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana Yohanes Elro Sinaga, S.H., M.H. dan
Mutiara Putri Pembayun, SH., MH. adalah Advokat pada Kantor Hukum Firda &
Associates yang berdomisili di JL. Wr. Supratman 04 RT. 17 RW. 05 No. 05 Kelurahan
Kandang Limun Kota Bengkulu..
Dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama :

Nama : Abdul Ghoffar


Alamat : Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta,Jawa tengah
Selanjutnya disebut sebagai ……………………………...…………..PEMOHON

Dengan ini mengajukan permohonan Pengujian Pasal 169 huruf n Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat
(2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,

D. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

10. Bahwa Negara Hukum telah menjadi Jiwa bangsa Indonesia sebagaimana
dimaktubkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pasca amandemen ketiga, yang
menyebutkan : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Penjelmaan dari
negara hukum (rechtstaat) terwujud dalam setiap tindakan dan penyelenggaran
negara yang berlandaskan hukum (supreme of law). Independensi peradilan
(yudikatif) itu salah satunya dapat tercermin dari diberikannya kewenangan
judicial review/controle juridictionale kepada lembaga kekuasaan kehakiman.
Pemberian kewenangan tersebut bertujuan untuk menjamin tindakan legislatif
dan eksekutif agar berkesesuaian dengan hukum tertinggi, yaitu
konstitusi;----------------------
11. Bahwa dalam doktrin ilmu hukum, judicial review berlaku umum sebagai hak uji
terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Terkait kewenangan pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan itu,
dikenal istilah judicial constitutional review. Sejarah perkembangan
ketatanegaraan telah mengembangkan suatu ‘institusi’ baru yang berperan
melaksanakan kewenangan ‘judicial constitusional review’
tersebut..;--------------------------------------------------
12. Bahwa pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945 menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;---
13. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan: ”Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”;------------------------------------------
14. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial
constitusional review juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap
UUD RI tahun 1945”;------------------------
15. Bahwa salah satu fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga
pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Fungsi Mahkamah Konstitusi
ini termasuk juga dapat menganulir atau membatalkan keberadaan Undang-
Undang baik secara menyeluruh ataupun parsial apabila terbukti bertentangan
dengan UUD RI 1945;------
16. Bahwa dalam hal ini Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai penafsir tunggal
Konstitusi. Maka tidak ada yang dapat memaparkan secara eksplisit berdasar
kewenangan tentang apa yang sedang dimohonkan oleh pemohon untuk
mengujikan materi suatu undang-undang yang
diperkarakan;------------------------------------------------------------------------
17. Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan dalam
UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum khususnya pada Pasal 169 huruf
n terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 7 UUD RI
tahun 1945. Maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan pengujian a quo;
18. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa dan mengadili permohonan aquo;-------------
E. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

1. Bahwa pemohon adalah perseorangan yang memiliki kedudukan sebagai Presiden


Republik Indonesia periode 2019-2024 yang memiliki hak yang sama sebagai
Warga Negara Indonesia terhadap ketidakadilan yang
dirasakan.-----------------------------------------------------------------------------
2. Bahwa Pasal 28C ayat (2) UUD RI 1945 “ setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.” menjamin hak setiap orang untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya; ------------
3. Bahwa hak untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hak setiap orang, baik perorangan warga
negara (naturlijke persoon) maupun badan hukum
(rechtspersoon);---------------------------------------------------------------------
4. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan : “pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenanangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang, yaitu (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik
dan privat, atau (d) lembaga
negara;----------------------------------------------------------------
5. Bahwa Pemohon adalah Perorangan Warga Negara Indonesia memiliki hak dan
kewajiban serta kewenangan yang diakui secara hukum menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dalam Pasal 51 ayat (1) bagian a
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dijelaskan : “Yang
dimaksud perorangan adalah termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama”;-----------------------------------
6. Selanjutnya, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, pemohon harus memenuhi
syarat sebagai berikut;------------------------------------------------
f. Adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
g. Bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
h. Bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
i. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji.
j. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

7. Bahwa selanjutnya Pemohon ingin menjelaskan kerugian konstitusional akibat


pemberlakuan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum : “Persyaratan menjadi calon Presiden dan
calon wakil presiden. adalah: n. belum pernah menjabat sebagai presiden atau
wakil presiden , selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”
dengan penjelasan “Yang dimaksud dengan belum pernah menjabat 2 (dua) kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama' addah yang bersangkutan belum pernah
menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-
hrrut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari
(ima) tahun. “ yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 “
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.”, Pasal 6A ayat (1) UUD RI 1945 “preiden dan wakil presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” dan Pasal 7UUD RI 1945
“presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan.” dan pasal 4 UUD RI 1945 “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar{1} dan Dalam
melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden{2}”.
Pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan di atas
berarti memiliki legal standing untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Dengan
demikian legal standing ini menjadikan pemohon sebagai subjek hukum yang sah
untuk mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 ke Lembaga Negara ini. Persyaratan legal
standing mencakup syarat formal sebagaiman ditentukan dalam Undang-Undang
dan syarat materil yakni adanya kerugian konstitusional akibat keberlakukan
Undang-Undang yang bersangkutan.-------------------------------------------------------
8. Bahwa undang-undang merupakan produk politik. Sebagai produk politik maka
mungkin saja substansi dari undang-undang tersebut bertentangan dengan
konstitusi (UUD 1945). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa undang-undang
lahir melaui proses legislasi yang melibatkan pihak legislatif dan eksekutif yang
syarat dengan tolak-ulur kepentingan politis. Itu sebabnya, lembaga yudikatif
berperan sebagai cabang kekuasaan yang akan membersihkan undang-undang
tersebut dari kepentingan politik melalui judicial
review;------------------------------------------------------------
9. Bahwa salah satu materi muatan di dalam Undang-Undang Dasar adalah mengatur
mengenai hak-hak asasi manusia. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD RI 1945 “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”;-------------------------------------
10. Bahwa terkait dengan permohonan Pemohon dalam pengujian ini, maka dapat
dipahami telah terjadi kerugian Konstitusional Pemohon dengan diberlakukannya
pasal Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum yang dirasa bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),
Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;------------
11. Bahwa Pemohon juga memiliki hak untuk memperjuangkan hak-hak
konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”;----------------------------------
12. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, jelas Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagai pemohon Pengujian Pasal 169 huruf n Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;--
F. Pokok Permohonan

1. Bahwa pokok permohonan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat
(2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai produk legislasi nasional merugikan hak
konstitusional pihak pemohon, karena dengan adanya ketentuan pasal tersebut
menyebabkan terhalangnya hak perorangan untuk memajukan diri pihak
pemohon, dimana hak perorangan adalah hak dasar yang dimiliiiki setiap
manusia;--------------------------------
2. Bahwa Pemohon mendalikan pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bertentangan dengan pasal 1 ayat (2), pasal 4, Pasal 6A ayat (1),
dan pasal 7 UUD RI 1945 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :

“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-


Undang Dasar.”
b. Pasal 4

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut


Undang-Undang Dasar{1} Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu
oleh satu orang Wakil Presiden{2}”,
c. Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi :

“Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat”

d. Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi :

“Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 (lima)


tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama,
hanya untuk satu kali masa jabatan”
3. Bahwa pertentangan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal
4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut :
a. Dalam pasal 7 UUD RI 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan wakil
presiden memegang jabatannya selama masa 5 (lima) tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan” yang menjadi suatu asas umum bersifat
abstrak mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden republik
Indonesia.
b. Dalam pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum
yang menyatakan bahwa “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon
wakil presiden. adalah: n. belum pernah menjabat sebagai presiden atau
wakil presiden , selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang
sama” sebagai norma yang menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi
presiden dan wakil presiden republik Indonesia
c. Dalam penjelasan pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan
umum yang menyatakan bahwa ““Yang dimaksud dengan belum pernah
menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' addah yang
bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua
kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut,
walaupun masa jabatan tersebut kurang dari (ima) tahun. “ dianggap
merugikan pemohon sebagai warga negara indonesia karena pemohon
merasa bahwa konstitusi memberi hak politik sebagai peserta pemilihan
umum untuk dua kali masa jabatan yang sama sebagai presiden dan wakil
presiden namun untuk waktu yang berturut-turut, yang berarti jika pemohon
tidak berturut-turut maka dapat mengajukan diri sebagai calon wakil
presiden Indonesia untuk periode 2019-2024.
4. Bahwa presentasi masyarakat masih sangat tinggi untuk mendorong Abdul
Ghofar untuk menjadi Wakil Presiden di masa jabatan periode 2024-2029.

PETITUM
Berdasarkan dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka pemohon
memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai
berikut:

1. Mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan


PEMOHON ;-------------------------------------------------------------
2. Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019
beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, Presiden dan
Wakil Presiden dapat dipilih kembali sepanjang dimaknai bahwa jabatan yang
sama berturut turut maupun tidak berturut-
turut;----------------------------------------
3. Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019
beserta penjelasannya tidak memiliki hukum yang mengikat sepanjang dimaknai
jabatan yang sama berturut -turut maupun tidak berturut-
turut;------------------------
4. Memerintahkan putusan ini dimuat dalam lembaran Negara;----------------

Apabila Majelis Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya – ex ae quo et bono

Jakarta, 10 November 2022


Kuasa Pemohon

FIRDA AULIA NURJANAH, S.H., M.H


RISALAH PEMBACAAN PERMOHONAN
Sidang pleno Makamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan
memutuskan sengketa yang bersidang di gedung Makamah Konstitusi Republik Jalan
Merdeka Barat No .6 Jakarta Pusat 10110, yang jatuh pada hari Sabtu, tanggal 24
bulan November tahun 2022.
Dalam perkara Permohonan Uji Materi Pasal Pasal 169 huruf n Undang-
Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 1
ayat (2), Pasal 4, Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 7 UUD 1945. Yang di ajukan oleh:

Nama : Abdul Ghoffar


Tempat/Tanggal Lahir : Surakarta, 21 Juni 1961
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Tinggal : Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.

Selanjutnya disebut sebagai.......................................................................... Pemohon

Susunan Majelis Hakim Pemeriksaan Persiapan :


1. Dr. Ardiansyah Putra, S.H.,M.H. Hakim Ketua
2. Dr. Rio Volda Sianturi, S.H.,M.H. Hakim Anggota I
3. Ahmad Alfarizi, S.H.,M.H. Hakim Anggota II
4. Pandu Dwi Anugerah, S.H.,M.H. Hakim Anggota III
5. M. Gavindo Erik P, S.H.,M.H. Hakim Anggota IV
6. Citra Kardefi Z., S.H.,M.H. Hakim Anggota V
7. Shely Indah Nursinta,S.H.,M.H. Hakim Anggota VI
8. Ilham Ardie, S.H.,M.H. Hakim Anggota VII
9. Bayu Budi Wijaya, S.H.,M.H. Hakim Anggota VIII
10.Catherine Amanna Panjaitan, S.H Panitera Pengganti

Pihak yang hadir :


A. PEMOHON
Abdul Ghoffar
Firda Aulia Nurjanah, S.H.,M.H (Kuasa Pemohon)

B. PRESIDEN/PEMERINTAH
Yahya Herwanto Baggio, S.H.,M.H (Menteri Hukum dan HAM , Selaku Kuasa
Termohon)

C. DPR
Sarah Ananda Putri, S.H,.M.H

Setelah pihak-pihak dipanggil untuk memasuki ruang sidang, Pukul 10.00 WIB sidang
dibuka oleh Ketua Majelis Hakim. Ketua Majelis Hakim menerangkan bahwa sidang hari
ini adalah Putusan, dan majelis hakim membacakan putusan.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

KETERANGAN TERTULIS DPR RI


ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN MATERI PASAL 169 HURUF N UNDANG-
UNDANG N0 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
TERHADAP
PASAL 1 AYAT 2, PASAL4, PASAL 6A AYAT 1 DAN PASAL 7
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
MAHKAMAH KONSTITUSI
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR : 003/PUU-IX/2022

Jakarta, 1 Desember 2022


Kepada Yth,
MAJELIS HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Dengan hormat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus pimpinan DPR Nomor:
HK.01/2711/DPR/RI/2022 tanggal 10 November 2022, telah memberikan Kuasa kepada
nama disebut dibawah yaitu :

1. Nama : SARAH ANANDA PUTRI, S.H.,LL.M


No. Anggota DPR : A-019
Anggota Komisi : KETUA KOMISI II DPR-RI

Dalam hal ini secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan
atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut-------
--------------------------------------------------DPR-RI------------------------------------------
Sehubungan dengan Surat Nomor:…….. .2022 tanggal 24 November 2022
perihal permintaan keterangan tertulis DPR-RI terkait dengan permohonan pengujian
Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
diajukan oleh Abdul Ghofar (Presiden ) yang dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukum
yang terdiri dari:

1. FIRDA AULIA NURJANAH , S.H., LL.M (Advokat/Penasihat Hukum)

Yang selanjutnya bertindak secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri yang


disebut sebagai
-----------------------------------------PEMOHON-----------------------------------------
Sebelum DPR-RI menanggapi permohonan Pemohon, maka terlebih dahulu akan
diuraikan pokok-pokok permohonan a quo sebagai berikut:
1. Kerugian Konstitusional Pemohon
Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa Pasal 169 huruf n Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan pasal 1 ayat
2, pasal 4, pasal 6A ayat 1 dan pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dengan alasan permohonan sebagai berikut:
5. Bahwa dengan adanya Pengujian Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat
(2), pasal 4, Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai produk legislasi nasional merugikan hak
konstitusional pihak pemohon, karena dengan adanya ketentuan pasal tersebut
menyebabkan terhalangnya hak perorangan untuk memajukan diri pihak
pemohon, dimana hak perorangan adalah hak dasar yang dimiliiiki setiap
manusia;--------------------------------
6. Bahwa Pemohon memandang pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bertentangan dengan pasal 1 ayat (2),pasal 4, pasal 6A ayat (1),
dan pasal 7 UUD RI 1945 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
b. Pasal 4 yang berbunyi :
“(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden”
c. Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi :
“Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat”
d. Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi :
“Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 (lima)
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama,
hanya untuk satu kali masa jabatan”
3. Bahwa pertentangan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, Pasal
6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai berikut :
a. Dalam pasal 7 UUD RI 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan wakil presiden
memegang jabatannya selama masa 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” yang
menjadi suatu asas umum bersifat abstrak mengatur tentang masa jabatan presiden
dan wakil presiden republik Indonesia.
b. Dalam pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum
yang menyatakan bahwa “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon
wakil presiden. adalah: n. belum pernah menjabat sebagai presiden atau
wakil presiden , selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang
sama” sebagai norma yang menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi
presiden dan wakil presiden republik Indonesia
c. Dalam penjelasan pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan
umum yang menyatakan bahwa ““Yang dimaksud dengan belum pernah
menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' addah yang
bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua
kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut,
walaupun masa jabatan tersebut kurang dari (ima) tahun. “ dianggap
merugikan pemohon sebagai warga negara indonesia karena pemohon
merasa bahwa konstitusi memberi hak politik sebagai peserta pemilihan
umum untuk dua kali masa jabatan yang sama sebagai presiden dan wakil
presiden namun untuk waktu yang berturut-turut, yang berarti jika pemohon
tidak berturut-turut maka dapat mengajukan diri sebagai calon wakil
presiden Indonesia untuk periode 2024-2029.
7. Bahwa presentasi masyarakat masih sangat tinggi untuk mendorongt Abdul
Ghofar untuk menjadi Wakil Presiden di masa jabatan berikutnya.

I. Pendapat DPR-RI

a. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon


Bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam
permohonan a quo dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang ini, yaitu:
a. Perorangan warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum publik atau privat;
d. Lembaga Negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat
tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945”.
Ketentuan penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saja yang termasuk
“hak konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu
pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan pengujian undang-undang Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun
1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan : Kualifikasinya
sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi;
1. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud penjelasan
Pasal 51 ayat (1) yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang;
2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya.
Batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang
ditimbulkan karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat
(vide putusan perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 010/PUU-V/2007)
yaitu sebagai berikut:
A. Adanya Hak Konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
B. Bahwa hak Konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang- undang yang diuji;
C. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksudkan bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan dapat terjadi;
D. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
E. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak terpenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kepentingan dengan Undang-
Undang tersebut atau dapat dikatakan tidak memiliki Kedudukan Hukum (legal standing)
sebagai pihak Pemohon.
Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa
meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo
sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk pada
ukuran kerugian konstitusional . Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan
secara aktual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal
verband kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal UU a quo yang
dimohonkan pengujiannya. adapun pandangan DPR terhadap kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon adalah sebagai berikut:
1. Kerugian konstitusional yang dimaksudkan oleh Pemohon dalam permohonannya
tidak jelas. Dalam permohonannya, Pemohon tidak mampu menguraikan secara
jelas kerugian Konstitusional dengan pemberlakuan Pasal 169 huruf n aya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal ini
ditunjukan dengan Pemohon tidak mampu memberikan data yang valid dan akurat
terhadap kerugian yang dialami disebabkan oleh pemberlakuan Undang-Undang a
quo;
2. sehingga apabila Pemohon berpendapat kehadiran Pasal 169 huruf n Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan
aturan yang lebih tinggi yaitu Undang –Undang Dasar yaitu pasal 1 ayat 2, pasal
4, pasal 6A ayat 1dan pasal 7 ayat 1 jelaslah pendapat yang salah karena pada
dasarnya Undang-undang a quo tersebut telah dibentuk dengan berbagai
pertimbangan dengan landasan filosofis, yuridis, serta sosiologis, maka Undang-
undang Pemilihan Umum tersebut dalam pembuatannya telah memperhatikan
seluruh aspek yang diatur didalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan perundang-undangan pasal 16 sampai 23 pasal 43 sampai 51 dan
pasal 65 sampai 74.

Berdasarkan uraian di atas maka DPR-RI berpendapat bahwa Pemohon tidak


memiliki kedudukan hukum (legal standing). Karena itu sudah sepatutnya apabila
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan
menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

b. Pasal-Pasal Inkonstitusional
Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan uji materiil terhadap ketentuan
pasal 169 huruf n tentang Pemilihan Umum . DPR-RI sebagai pelaku pembentukan
undang-undang akan menyampaikan maksud asli (original meaning) dari masing-masing
pasal yang dipermasalahkan oleh Pemohon tersebut sebagai berikut:

i. Pasal 169 huruf n berbunyi selengkapnya sebagai berikut:


“Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden. adalah: n. belum
pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden , selama 2 (dua) kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama” dengan penjelasan “Yang dimaksud dengan belum
pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' addah yang
bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa
jabatan, baik berturut-hrrut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan
tersebut kurang dari (ima) tahun..”
Bahwa terhadap pasal di atas, DPR berpendapat berdasarkan hasil risalah sidang
pembentukan undang-undang a quo, bahwa ketentuan mengenai hasil investigasi yang
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti).
Selain itu, pembentukan undang-undang a quo telah memenuhi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang diatur di dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yakni:
a. Asas Kejelasan Tujuan
Di dalam penjelasan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud dengan asas
kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
Bahwa yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan.
c. Asas kejelasan rumusan
Asas kejelasan rumusan yang berarti bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis yakni penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Menurut Hamid Attamimi dengan mengutip C.K. Allen mengemukakan pendapat
Montesquieu yang mengemukakan asas-asas dalam pembentukan Peraturan Perundang-
undangan salah satunya meliputi istilah yang dipilih hendaknya bersifat mutlak dan tidak
relatif, dengan maksud menghilangkan kesempatan yang minim untuk perbedaan
pendapat individual.
Di dalam pembentukan undang-undang a quo, telah memenuhi ketiga unsur asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang telah diuraikan
di atas. Sehingga dalam pembentukan seluruh pasal termasuk pasal a quo telah memenuhi
kriteria asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal ini DPR selaku pelaku pembentuk
undang-undang menjelaskan bahwa kejelasan tujuan, materi muatan, serta kejelasan
rumusan penggunaan investigasi yang terdapat di dalam pasal a quo adalah investigasi
teknis dan bukan investigasi yuridis sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon.
d. Asas Keterbukaan
Adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, pembahasan,pengesahan,atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas luasnya untuk memberikan, masukan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
e. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
Adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga Negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga Negara atau penjabat yang tidak berwenang.
f. Asas Dapat di Laksanakan
Adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
g. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat karena memang
benar benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.
Selain itu undang –undang pemilu ini sudah beberapa kali diubah ini
membuktikan bahwa undang-undang ini sudah dikaji sangat serius dan lebih baik oleh
DPR. Selain itu bunyi pasal 169 huruf n ini sudah jelas maksudnya tidak ada makna
ganda didalamnya.
Materi muatan perundang undangan sebagaimana disebutkan didalam pasal 6
undang-undang nomor 12 tahun 2011 yaitu:
h. asas pengayoman
Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Pasal 169 huruf n undang-undng nomor 7 tahun 2017 ini isinya sudah memberikan
perlindungan untuk menghindari kaum mayoritas yang berkuasa. Undng-undang nomor 7
tahun 2017 sudah memenuhi asas pengayoman.
i. asas kemanusiaan
Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
j. asas kebangsaan
Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
k. asas kekeluargaan
Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
l. asas kenusantaraan
Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

ii. Batu Uji


Untuk menguatkan pendapatnya, Pemohon menyandingkan keberadaan pasal-
pasal 169 huruf n dengan ketentuan UUD 1945. Pemohon berpendapat beberapa Pasal
yang bermasalah di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum tersebut
bertentangan dengan Pasal 1 ayat 2, pasal 4, pasal 6A ayat 1 dan pasal 7 UUD NRI Tahun
1945 Selengkapnya Pasal UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi batu uji dari permohonan
Pemohon adalah sebagai berikut:

Pasal 1 ayat 2 UUD 1945


“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”
Pasal 4
“(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-
Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”
Pasal 6 ayat 1
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”
Pasal 7
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”

Bahwa pertentangan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4,pasal
6A ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai berikut :
a. Dalam pasal 7 UUD RI 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan wakil presiden
memegang jabatannya selama masa 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” yang
menjadi suatu asas umum bersifat abstrak mengatur tentang masa jabatan presiden
dan wakil p9presiden republik Indonesia.
b. Dalam pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang
menyatakan bahwa “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden.
adalah: n. belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden , selama 2
(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” sebagai norma yang
menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden
republik Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia


menilai bahwa muatan dari pasal 169 huruf n undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum tersebut tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang
Dasar 1945. Oleh karena itu maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
meminta Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan menolak seluruhnya permohonan
a quo yang diajukan oleh pemohon.
Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono). Demikian keterangan tertulis ini kami sampaikan
sebagai bahan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan.
Kuasa Hukum
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

No.Anggota A-019

SARAH ANANDA PUTRI, S.H.,LL.M


RISALAH PEMERINTAH DAN DPR
KESIMPULAN DPR DAN PEMERINTAH
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6. Jakarta Pusat
10110 Fax: 021-3520177. Email: office@mkri.id

RISALAH PEMBACAAN KESIMPULAN

Sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan


sengketa yang bersidang di gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan
Merdeka Barat No.6. Jakarta Pusat 10110, Pada Hari Selasa, 24 November 2022

Dalam perkara Permohonan Uji Materi Pasal 169 huruf (n) undang – undang
nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang bertentangan dengan UUD NRI 1945
Pasal 1 ayat 2, Pasal 4 pasal 6A ayat 1 dan pasal 7. Yang diajukan oleh :

Nama : Abdul ghoffar


Tempat/Tanggal Lahir : Surakarta, 21 Juni 1961
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Kewarganegaraan : Indonesai
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat Tinggal : Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari,
Surakarta, Jawa Tengah

Selanjutnya disebut sebagai...................................................Pemohon

Susunan majelis Hakim Pemeriksaan Persiapan:

1. Prof. Dr. Ardiansah Putra, S.H, M.H Hakim Ketua

2. Dr. Ahmad Alfarizi, S.H, M.H Hakim Anggota 1

3. Dr.Rio Volda Sianturi, S.H, M.H Hakim Anggota 2

4. Bayu Budi Wijaya, S.H, M.H Hakim Anggota 3


5. Pandu dwi Anugrah, S.H, M.H Hakim Anggota 4
6. Citra Kardeffi, S.H, M.H Hakim Anggota 5
7. Ilham Ardi, S.H, M.H Hakim Anggota 6
8. Shely Indah Nursinta, S.H, M.H Hakim Anggota 7
9. Muhammad Gavindo Erick Pratama, S.H, M.H Hakim Anggota 8
10. Catherine Amanna Panjaitan, S.H,M.H , S.H Panitera Pengganti

Pihak Yang Hadir :


A. PEMOHON
Firda Aulia Nurjana, S.H (Kuasa hukum Pemohon)
Ardiansah Putra S.H, M.H ( ahli pemohon)
Catherine Amanna Panjaitan S.H,M.H ( ahli pemohon)

B. PRESIDEN/PEMERINTAH
Patria Natham Satvhaste S.H,M.H ( ahli Pemerintah)
Yahya Herwanto (Mentri Hukum dan Ham )
C. DPR
Sarah Ananda Putri S.H, M.H (ketua DPR)
Yahya Herwanto Baggio S.H, M.H ( ahli DPR)

Setelah pihak-pihak dipanggil untuk memasuki Ruang Sidang, Pukul 10.00 WIB.
Sidang dibuka oleh ketua majelis hakim .Ketua Majelis menerangkan bahwa sidang hari
ini adalah sidang pembacaan kesimpulan dari para pihak, dan para pihak dipersilahkan
untuk membacakan isi kesimpulan.

Susunan persidangan sama dengan susunan persidangan pertama.

Setelah majelis hakim memasuki ruang sidang , maka kedua belah pihak tersebut
dipanggil oleh panitera untuk memasuki ruang sidang.

Pemohon datang menghadap disertai kuasa hukumnya


Termohon datang menghadap disertai kuasa hukumnya

Sidang ini di buka dan terbuka untuk umum, kemudian hakim ketua menanyakan
kepada kedua belah pihak apakah sudah siap mengikuti sidang pada hari ini, dan dijawab
oleh para pihak mereka siap untuk mengikuti persidangan.

Setelah kesimpulan disampaikan secara tertulis ,yaitu dibacakan oleh pemohon


melalui kuasa hukumnya. Majelis menanyakan kepada pihak termohon memahami dan
mengerti isi dari kesimpulan tersebut. dan setelah itu dilanjutkan pembacaan kesimpulan
oleh termohon melalui kuasa hukumnya. Majelis menanyakan kepada pihak pemohon
memahami dan mengerti isi dari kesimpulan tersebut.

Setelah para pihak selesai membacakan kesimpulan. Majelis Hakim meminta


kepada para pihak agar hadir pada satu minggu kedepannya yaitu tanggal 1 Desember
2022 dengan jam dan tempat yang sama, dengan agenda pembacaan putusan oleh majelis
Hakim.

Demikian Risalah Pembacaan Kesimpulan dibuat dan untuk ditandatangani oleh


ketua majelis Hakim dan Panitera pengganti.

Jakarta pusat 15, Desember 2022


Mengetahui :

Panitera Pengganti Ketua Majelis Hakim


Catherine Amanna Panjaitan, S.H Ardiansah Putra S.H, M.H
RISALAH PEMBUKTIAN

Anda mungkin juga menyukai