Anda di halaman 1dari 9

Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1 Nomor 2 Tahun 2019


e-ISSN: 2655-948X

SEJARAH PROFESI KEGURUAN DI INDONESIA


Amalia Zahro1, Kusnul Chotimah2, Huda Rizal Alif3
Universitas Islam Malang
e-mail: 22001011001@unisma.ac.id, 22001011011@unisma.ac.id,
22001011019@unisma.ac.id

Abstract

The teacher as one of the educational staff has a big duty and responsibility. These
duties and responsibilities are broader than just making students know and
understand the teaching materials provided, namely making students become
educated human beings who understand as human beings, so that it is beneficial for
themselves and their environment. Teacher performance, which has been a discourse
in improving the quality of Human Resources (HR), has made teachers one of the
central issues regarding education nationally. The problem of teachers is a problem
of education, and the problem of education is a problem of the nation. approximately
approximately education practitioners bring up the issue of teachers in an effort to
improve teacher professionalism.
Kata Kunci: guru, pendidikan, peserta didik

Pendahuluan
Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan
khususnya di tingkat institusional. Tanpa guru pendidikan hanya menjadi slogan
muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru (Surya,
2003:2). Karena itu, untuk menjadikan pendidikan sebagai sebuah sektor
pembangunan yang efektif.
Guru adalah faktor yang mutlak. Bukan saja jumlahnya yang harus
mencukupi, melainkan mutunya juga harus baik, sebab jumlah dan mutu guru
adalah unsur yang secara langsung ikut menentukan kekuatan sektor pendidikan.
Dengan kata lain, kekuatan dan mutu pendidikan sesuatu negara dapat dinilai
dengan mempergunakan faktor guru sebagai salah satu indeks utama. Itulah
antara lain sebabnya mengapa guru faktor yang mutlak dalam pembangunan.
Pengalaman-pengalaman inilah yang seharusnya menjadi perhatian
kebijakan pengembangan guru di Indonesia. Sayangnya selama ini kita menjadikan
guru hanya sebagai bagian dari aparat pemerintah, yang melakukan tugas harus
sesuai dengan birokrasi yang cenderung hirarkis. Akibatnya guru terkooptasi oleh
birokrasi sehingga menghilangkan jati diri guru sebagai pendidik dan pembimbing
di persekolahan.

This work is licensed under Creative Commons Attribution Non Commercial 4.0 International
License Available online on: http://riset.unisma.ac.id/index.php/fai/index
Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

Peran guru selama ini memang telah diperlakukan sebagai profesi tetapi
perlakuan yang diberikan kepada guru tidak mencerminkan bahwa guru adalah
profesi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penderitaan yang dialami guru dalam
melaksanakan tugasnya. Profesi guru kurang dihargai sebagai tenaga profesional,
padahal peran yang dimainkannya telah memenuhi syarat atau ciri-ciri sebagai
tenaga professional.
Metode
Artikel ini disusun dengan menggunakan metode penelusuran kepustakaan
dengan pendekatan deskriptif kualitatif. pendapat dan argumen dikutip dan
digunakan sebagai penguat argumen mereka, setelah itu dapat ditarik suatu
kesimpulan.
1) Jenis dan Sifat Penelitian
a) Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mengumpulkan suatu data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan
obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau yang
telah dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang dimana pada dasarnya
tertumpu pada penkajian kritis dan mendalam terhadap suatu bahan pustaka yang
relavan. Sebelum mengkaji suatu bahan pustaka, peneliti harus mengetahui
terlebih dahulu dengan pasti tentang darimana sumber informasi ilmiah itu
diperoleh. Adapun beberapa sumber yang akan digunakan untuk penelitian
tersebut antara lain: buku-buku, jurnal ilmiah, refrensi statistik, hasil-hasil
penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, desentrasi, dan internet, serta sumber-
sumber lainnya yang relavan.
b) Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berfokus pada penjelasan sistematis tentang fakta yang diperoleh
pada saat penelitian tersebut dilakukan.
2) Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpuluan data penelitian ini diambil dari sumber data, yaitu
subjek dari mana data dapat diperoleh.
3) Teknik Analisa Data
Untuk memperoleh hasil yang benar dan sesuai dalam menganalisa data,
penulis menggunakan teknik analisis isi. Analisis isi (Contect Analysis) adalah
peelitian yang bersifat pembahasan secara mendalam terhadap isi suatu informasi
yang tertulis atau tercetak di media massa

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

Hasil dan Pembahasan


Sejarah Perkembangan Profesi Keguruan Dalam bukunya Sejarah
Pendidikan Indonesia, Nasution (1987) secara jelas melukiskan sejarah
pendidikan di Indonesia terutama dalam zaman colonial belanda, termasuk juga
sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-
orang yang tidak di didik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-angsur
dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lolos dari sekolah guru
(Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. Karena kebutuhan
guru yang mendesak maka Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat lima macam
guru, yakni:
1. Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang
penuh
2. Guru yang bukan lulusan sekolah guru, tetapi lulus ujian yang diadakan
untuk menjadi guru
3. Guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu
4. Guru yang dimagangkan kepada guru senior, yang merupakan calon guru
5. Guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak yang berasal dari
warga yang pernah mengecap pendidikan. Tentu saja yang terakhir ini
sangat beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Guru pernah mempunyai status yang sangat tinggi dalam manyarakat,
mempunyai wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap sebagai orang yang serba
tahu dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia. Peranan guru saat itu tidak
hanya mendidik anak di depan kelas, tetapi mendidik masyarakat, tempat bagi
masyarakat untuk bertanya, baik untuk memecahkan masalah pribadi ataupun
masalah sosial. Namun, kewibawaan guru mulai memudar sejalan dengan
kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi, dan kepedulian guru yang
meningkat tentang imbalan atau balas jasa (Sanusi etal., 1991). Dalam era
tegnologi yang maju sekarang, guru bukan lagi satu-satunya tempat bertanya
dalam masyarakat. Pendidikan masyarakat mungkin lebih tinggi dari guru, dan
kewibawaan guru berkurang antara lain karena ststus guru dianggap kalah gengsi
dari jabatan lainnya yang mempunyai pendapatan yang lebih baik. Walaupun
sekolah guru telah dimulai dan kemudian juga didirikan sekolah normal, namun
pada mulanya bila dilihat dari kurikulumnya dapat kita katakan hanya
mementingkan pengetahuan yang akan diajarkan saja. Ke dalamnya belum
dimasukkan secara khusus kurikulum ilmu mendidik dan psikologi. Sejalan dengan
pendirian sekolah-sekolah yang lebih tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti
Hollands Indlanse School (HIS), Meer Uitgebreid Lagere Onderwidjs (MULO),
Hogere Burgeschool (HBS), dan Algemene Middelbare School (AMS) maka secara

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

berangsur-angsur didirikan pula lembaga pendidikan guru atau kursus-kursus


untuk mempersiapkan guru-gurunya, seperti Hogere Kweekschool (HKS) untuk
guru HIS dan kursus Hoofdacta (HA) untuk calon kepala sekolah (Nasution, 1987).
Keadaan yang demikian berlanjut sampai zaman pendudukan jepang dan awal
perang kemerdekaan walaupun dengan nama dan bentuk lembaga pendidikan
guru yang disesuaikan dengan keadaan waktu itu. Selangkah demi selangkah
pendidikan guru menigkatkan jenjang kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini
kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru yang tunggal, yakni Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Walaupun jabatan guru tidak harus disebut sebagai jabatan profesional
penuh, statusnya mulai membaik. Di indonesia telah ada Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) yang mewadahi persatuan guru, dan juga mempunyai
perwakilan di DPR/MPR. Apakah para wakil dan organisasi ini telah mewakili
semua keinginan para guru, baik dari segi proesional ataupun kesejahteraan?
Apakah guru betul-betul jabatan profesional, sehingga jabatan guru terlindungi,
mempunyai otoritas tinggi dalam bidangnya, dihargai dan mempunyai status yang
tinggi dalam masyarakat, semuanya akan tergantung kepada guru itu sendiri dan
unjuk kerjanya, serta masyarakat dan pemerintah yang memakai atau
mendapatkan layanan guru itu.
a. Guru di Zaman Pra-Hindu Budha, Hindu-Budha, dan Zaman Islam Masuk di
Indonesia
Guru merupakan pekerjaan tertua. Lebih dulu dibandingkan arsitek yang
baru ada setelah manusia tidak lagi tinggal di gua. Atau, lebih juga dari insiyur
metalurgi yang baru muncul pada masa manusia mengenal logam dan
pengolahannya. Pekerjaan guru ada sejak manusia mampu berpikir dan mengenal
ilmu pengetahuan. Pada awal kemunculan, seseorang membutuhkan orang lain
untuk dimintai pendapat dan dijadikan panutan. Orang-orang kebanyakan
mendatangi pertapa. Pertapa adalah orang yang menjauhkan diri dari kehidupan
duniawinya dan berdiam di suatu tempat tertentu untuk merenung dengan
harapan mendapatkan wahyu dari hal yang ia percayai. Pada umumnya, pertapa
mendiami gua-gua, di bawah pohon yang besar dan rindang. Di tempat tersebut,
pertapa bersila sembari mendengarkan kesunyian. Ditempat itulah kebanyakan
orang awam percaya bahwa orang yang mampu bertapa/hidup tanpa ada hasrat
keduniawian, memiliki ilmu yang bermanfaat. Kebanyakan pertapa adalah orang
yang memang mampu secara ekonomi, atau memiliki kekuasaan. Namun ada juga,
pertapa yang berasal dari kaum yang tidak berada. Orang-orang yang mendatangi
pertapa dan dijadikan muridnya, biasanya mengolah tanah yang dimiliki pertapa
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Dalam kesehariannya, setelah

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

mengolah tanah di pagi sampai siang hari, para pencari ilmu mendatangi pertapa
dan meminta nasihat. Nasihatnasihat yang diberikan biasanya berupa nasihat
tentang bagaimana menjalani hidup dengan tenang sesuai dengan apa yang telah
ditakdirkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, nasihat tersebut kadang berupa tugas
yang harus dilalui oleh pencari ilmu dan baru boleh kembali pada saat mereka
sudah menyelesaikan tugasnya. Selanjutnya, sistem pendidikan pada masa
kerajaan hindu-budha, sudah mengenal adanya guru. Pada masa agama hindu,
yang mengenal sistem kasta, guru berasal dari kasta Brahmana yang dikenal
dengan nama begawan. Dalam hal ini, kasta guru setingkat lebih rendah dari raja.
Oleh karena itu, Begawan memiliki hak-hak tertentu, dan cenderung dimuliakan
oleh masyarakat karena dianggap sebagai penjelmaan kehidupan spiritual
kebenaran. Pada masa itu, di dalam menyampaikan pengetahuan dari buku suci
(Weda), para siswa tinggal di rumah Begawan tersebut serta mengabdi dengan
penuh kesetiaan dan pengabdian. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada
saat ajaran agama Budha mempengaruhi nusantara. Jejak pengajaran pada masa
budha, dapat diketahui melalui pada zaman kerajaan Sriwijaya. Tujuan utama
pendidikan berdasarkan ajaran Sidharta Gautamma, yakni setiap manusia
penganut Budha dididik menjadi manusia sempurna agar dapat masuk nirwana/
surga. Salah seorang guru yang terkenal adalah Darmapala. Sistem pengajarannya
menggunakan format asrama sebagai sekolah sekaligus tempat tinggal para siswa
dan guru. “Belajar menjadi etos baru bagi kehidupan umat. Hal ini dibuktikan
melalui bentuk dari salah satu arca di Candi Borobudur. Arca Dhyani Budha
bersikap darma cakra mudra, kedua tangannya di dada menggambarkan, bahwa
manusia hidup harus belajar (PGRI, 2008: 3)”. Corak pendidikan masa hindu-
budha, ternyata memberikan pengaruh pula pada sistem pendidikan islam.
Masuknya islam ke tanah air mempengaruhi sudut pandang masyarakat, yang
memerlukan pendalaman ajaran agama islam. Oleh karena itu, dikenalah sistem
pesantren. Dalam proses belajarnya, pesantren mengandung corak ajaran hindu-
budha. Pesantren mempercayakan pendidikan pada seorang guru yang disebut
kiyai. Pada mulanya pembelajaran dilaksanakan di langgar-langgar atau pelataran
masjid. Namun, karena jumlah santri semakin banyak maka pembelajaran
dilakukan di rumah kiyai. Kemudian untuk dapat memaksimalkan pemahaman
akan ajaran agama islam, maka pesantren menjadi sistem asrama. Sehingga murid
atau santri tinggal berdekatan dengan guru. Hal tersebut kemudian membawa
pengaruh bagi perkembangan pesantren, sehingga pesantren menjadi lebih besar
peranannya. Selain sebagai sarana belajar, pesantren telah dipercaya oleh
masyarakat sebagai pewaris nilai-nilai guna melengkapi nilai-nilai yang diajarkan
dalam lingkungan keluarga. Berkembangnya peran pesantren tersebut, akhirnya

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

memunculkan konsekuensi logis adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup


bagi para santri dan guru yang tinggal di pesantren. Akhirnya, pesantren
mengajarkan untuk mengelola alam, sehingga pesantren berupaya mandiri dalam
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila menilik kemampuan pesantren
dalam pewarisan nilai-nilai, tidak lepas dari peran kiai sebagai pemimpin
pesantren. Karena pada umumnya sebuah pesantren dapat berdiri karena gagasan
seorang kiai yang telah mempuni bidang keilmuannya, sehingga perlu meneruskan
pengetahuannya pada generasi selanjutnya.
b. Guru di Zaman Pendudukan Belanda di Indonesia.
Pada masa kolonial Belanda pun memberikan warna tersendiri pada
pembangunan pendidikan indonesia. Masa kolonial Belanda memperkenalkan
sekolah, yang pada dasarnya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. “Sekolah pada awal kemunculannya berkembang di Yunani, yang berarti
waktu luang. Hal ini dilakukan oleh para orang tua yang bekerja, sehingga tidak
memiliki waktu untuk memberikan pengajaran pada anak-anaknya. Sehingga
anak-anak dipercayakan pada orang yang dianggap memiliki pengetahuan yang
lebih di sekolah. Pada akhirnya sekolah menjadi tempat perkumpulan bagi anak-
anak untuk mengkaji mengenai suatu permasalahan yang berkaitan dengan
keilmuan (Topatimasang, 2013: 5-6)”. Perkembangan sekolah muncul di berbagai
Negara, termasuk Belanda yang pada akhirnya menerapkan sistem sekolah pula di
Indonesia. Namun, sistem sekolah yang diperkenalkan oleh kaum kolonial
terhadap rakyat Indonesia ini hanya diperuntukan bagi orang Belanda itu sendiri
serta kaum ningrat. Adanya sekolah pada masa kolonial, bukan bermaksud
mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana hakikat pendidikan. Tetapi,
sekolah pada saat itu mulai memperkenalkan masyarakat pada orientasi bekerja
dan upah. “Tahun 1617 pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah pertama
di Batavia (Jakarta). Sekolah ini masa belajarnya selama lima tahun. Tujuan utama
sekolah ini, yakni menghasilkan tenaga administrasi yang cakap, yang nantinya
bisa dipekerjakan pemerintah, administrasi dan gereja. Bahasa pengantar yang
digunakan adalah bahasa Belanda. Tahun 1648, seiring dengan mulai kompleksnya
mekanisme penyelenggaraan pendidikan, maka kali pertama pemerintah Belanda
membuat undangundang sekolah yang menjadi cikal bakal sistem sekolah yang
dikenal saat ini. Isinya, antara lain:
a) Sekolah yang akan didirikan harus dengan izin pemerintah Belanda
b) Jam sekolah berlangsung mulai pukul 08.00-11.00 atau pukul 14.00-17.00
c) Pelajaran campuran murid laki-laki dan perempuan dilarang
d) Hari libur dan uang sekolah diatur pemerintah

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

e) Sekolah-sekolah harus dipantau 2 kali setahun (PGRI, 2008: 7)” Sedangkan,


bagi rakyat pribumi biasa tidak disediakan sekolah oleh kolonial.
Sehingga pendidikan rakyat berlangsung di daerah-daerah secara mandiri yang
dikelola oleh masyarakat setempat. Melalui sistem sekolah yang dideklarasikan
oleh kolonial, maka berimbas pula pada guru. Guru pada awalnya diangkat secara
sembarang, karena kualifikasinya hanya mampu membaca, menulis dan berhitung
saja, serta satu orang guru dapat mengajar puluhan bahkan ratusan murid.
Akhirnya, pada April 1852 di Surakarta didirikan Kweekschool, yang merupakan
sekolah guru pertama. Sejak inilah guru menjadi sebuah profesi baru di kalangan
masyarakat. Guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah diikat oleh syarat-syarat
tertentu, terutama haruslah tamatan dari sekolah guru buatan Belanda. Namun,
dengan kebijakan tersebut tidak membuat para guru lupa kulitnya, karena guru
justru berupaya mengambil peran dalam pencerdasan bangsa. Munculnya sekolah
yang didirikan Belanda pada kenyataannya mengilhami beberapa tokoh pejuang
bangsa ini untuk turut serta mendirikan sekolah serupa. Karena dalam sumber lain
menyatakan bahwa tujuan Belanda mendirikan sekolah di Nusantara bukan
semata-mata untuk menjalankan politik yang menguntungkan Belanda. Melainkan
terdapat maksud untuk memberikan satu jejak positif terhadap Negara jajahan
agar mampu mengembangkan dirinya kelak melalui pendidikan. Karena
bagaimanapun akan selalu diamini bahwa pengembangan SDM adalah melalui
pendidikan. Pada akhirnya, perguliran sejarah pergerakan kebangsaan di tanah air
telah mencatatkan figur guru tidak hanya sebagai pengajar, melainkan juga sebagai
pejuang di garda depan yang mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Tokoh-
tokoh yang mengembangkan lembaga pendidikan diantaranya, Organisasi Budi
Utomo yang dipimpin oleh Dr.Wahidin Sudiro Husodo; Muhammadiyah yang
diprakarsai oleh Ahmad Dahlan; K.H Hasyim Ashari yang mendirikan organisasi
Nahdatul Ulama (NU) yang bertujuan mengembangkan dan memajukan
pendidikan anak bangsa; serta Ki Hajar Dewantara (Suryadi Suryaningrat) yang
mendirikan Perguruan Taman Siswa dengan tiga semboyannya yang sebenarnya
dicetuskan oleh kakak Kartini, Sasro Kartono, yang sengaja diucapkan berdasarkan
hasil pikirannya bahwa sebagai seorang guru harus berada di depan, tengah dan
belakang. Banyak tokoh pejuang lain seperti R.A Kartini, Dewi sartika dan Rohana
Kudus yang juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan cirri khasnya
masing-masing. Melalui organisasi yang berlatar belakang pendidikan tersebutlah
nyata perjuangan bangsa Indonesia. Lalu bagaimana dengan kondisi guru pada
saat itu? Guru pada saat itu sudah berupaya dikelola dengan lebih baik. Karena
telah tersedianya berbagai sekolah guru, namun tetap dalam pengawasan kolonial.
Sehingga sekolah guru pun terkotak-kotakan, ada sekolah guru yang dikhususkan

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

akan mengajar bangsa Belanda, sekolah guru pengajar bangsawan serta sekolah
guru pengajar rakyat biasa. Kondisi tersebut menjadikan tidak adanya
penyetaraan pendidikan. Namun, hal yang menarik yang terjadi pada saat itu, guru
tetap menjadi suri teladan bagi masyarakat. Guru pun memiliki idealisme dalam
menjalani profesinya, yakni mencerdaskan bangsa.
B. Guru Sebagai Profesi Di Indonesia
Guru sebagai Profesi di Indonesia, ditandai dengan lahirnya UU Guru dan
Dosen Nomor 14 tahun 2005. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal
31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," dan ayat (5)
yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir
bertujuan untuk memperbaiki pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun
kuantitas, agar sumber daya manusia Indonesia bisa lebih beriman, kreatif,
inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi meningkatkan
kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang
dimaksud meliputi, Sistem Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru
dan Dosen, Standar Kurikulum yang digunakan, serta hal lainnya.
Simpulan
Pada awal kemunculan, seseorang membutuhkan orang lain untuk dimintai
pendapat dan dijadikan panutan. Orang-orang kebanyakan mendatangi pertapa.
Pada masa agama hindu, yang mengenal sistem kasta, guru berasal dari kasta
Brahmana yang dikenal dengan nama Begawan. Masuknya islam ke tanah air
mempengaruhi sudut pandang masyarakat, yang memerlukan pendalaman ajaran
agama islam. Oleh karena itu, dikenalah sistem pesantren. Dalam proses
belajarnya, pesantren mengandung corak ajaran hindu-budha. Perkembangan
sekolah muncul di berbagai Negara, termasuk Belanda yang pada akhirnya
menerapkan sistem sekolah pula di Indonesia. Namun, sistem sekolah yang
diperkenalkan oleh kaum kolonial terhadap rakyat Indonesia ini hanya
diperuntukan bagi orang Belanda itu sendiri serta kaum ningrat. Pada masa
sekarang, guru menjadi profesi dengan lahirnya UU Guru dan Dosen Nomor 14
Tahun 2005
Daftar Rujukan
Soetjipto, Raflis Kosasi. (2007). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta. Samad,
Sulaiman dan A. Razak Daruma. 2009. Profesi Keguruan. Makassar: Fakultas
Ilmu Pendidikan UNM.

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019


Ahmad Muhammad (Nama Penulis)

Subiyakto, Bambang, and Helmi Akmal. "Profesi Keguruan." (2020).


Subiyakto, B., & Akmal, H. (2020). Profesi Keguruan.
SUBIYAKTO, Bambang; AKMAL, Helmi. Profesi Keguruan. 2020

Ketentuan Umum
Artikel meliputi hasil penelitian, hasil kajian awal, atau gagasan orisinil penulis, yang
belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
Page Setup
Artikel diketik pada kertas A4, Margin Kanan-Kiri: 3 cm, Atas-Bawah: 4 cm dengan Font
Cambria 12pt , untuk tulisan Arab dengan Font Traditional Arabic 16pt. Naskah maksimal
memuat 20 halaman (halaman awal - Daftar Rujukan).
Subbbab
Setiap Subbab (Pendahuluan, Metode, Hasil Penelitian, Simpulan) diketik dengan
urutan A, B, C, D, ditulis dengan huruf tebal, Capital Each Word, Cambria 12 pt.
Bahasa
Pengetikan artikel secara konsisten dapat memakai Bahasa Indonesia, Inggris, dan atau
Arab. Tetapi, apapun bahasa artikelnya, Abstrak Wajib memakai Bahasa Inggris.
Rujukan/Kutipan
Perujukan/pengutipan menggunakan teknik Innote rujukan berkurung (nama akhir,
tahun) dengan style APA (American Psychological Assosiation 6th Edition), dan atau
mencantumkan nomor halaman kutipan juga diperbolehkan seperti contoh:
(Kartikasari, 2012) atau (Kartikasari, 2012: 32) yang dilakukan secara konsisten.
Sangat dianjurkan menggunakan software manajer referensi seperti MENDELEY atau
ZOTERO.
Pengecekan Plagiasi
Artikel yang masuk (submit) akan dicek Plagiasi (maksimal 20%) dengan bantuan
Software Plagiasi, selanjutnya akan menyesuaikan mekanisme pada manajerial OJS.

Andragogi: Volume 1 Nomor 2, 2019

Anda mungkin juga menyukai