Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Etika, Kebijakan, Peran, Kedudukan, Kode Etik Guru Dan Latar Belakang
Pendidikan Di Indonesia

Disusun Oleh

Kelompok I

Nama Nim

Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Dari

Mata Kuliah Etika Profesi Guru TI


Dosen M. Andi Setiawan,
M.Pd

Universitas Muhammadiyah Palangkaraya

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Prodi Pendidikan Teknologi Informasi


Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika, Kebijakan,
Peran, Kedudukan, Kode Etik Guru Dan Latar Belakang Pendidikan Di Indonesia” ini dengan
tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah
Etika Profesi Guru TI Semester VI pada Program Studi Pendidikan Teknologi Informasi. Kami
berharap makalah ini dapat memberikan informasi mengenai pentingnya “Etika, Kebijakan,
Peran, Kedudukan, Kode Etik Guru Dan Latar Belakang Pendidikan Di Indonesia” bagi
mahasiswa.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. M. Andi Setiawan, M.Pd selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pendidikan
Teknologi Informasi.
2. Rekan-rekan yang mengikuti Mata Perkuliahan Pendidikan Teknologi Informasi.
Kami menyadari bahwa Makalah ini tidak sepenuhnya sempurna baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki masih terbatas. Tapi
Kami berharap tugas ini dapat berguna bagi para pembacanya sekarang atau masa depan dan
menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis dalam proses pembuatannya. Kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan.

Kasongan, 5 Mei 2023

Tim Penulis
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah

Indonesia pernah mengalami masa penjajahan baik oleh bangsa barat maupun pada masa
penjajahan jepang. Sehingga tidak mengherankan apabila pengaruhnya sangat kuat dalam
segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi maupun militer. Masa penjajahan juga
berpengaruh terhadap sejarah pendidikan di Indonesia. Secara garis besar, sejarah pendidikan
di Indonesia terbagi atas sistem pendidikan di masa kerajaan, sistem pendidikan pra
kemerdekaan dan masa kemerdekaan. SejarahIndonesia meliputi suatu rentang waktu yang
sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan “Manusia jawa”
yang berusia puluhan juta tahun yang lalu. Periodes prasejarah Indonesia dapat dibagi menjadi
lima era yaitu era prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di jawa
dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan. Era colonial yaitu masuknya orang-
orang eropa terutama, belanda yang menginginkan rempah - rempah mengakibatkan penjajahan
oleh belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20,
era kemerdekaan Awal saat pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya
Soekarno (1996), era order baru 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1996-1998) serta era
reformasi yang berlangsung sampai sekarang.

Etika merupakan istilah yang sejak dulu hingga sekarang terus diperbincangkan oleh para
ahli, terutama di dunia filsafat dan pendidikan. Istilah etika cukup menarik untuk dikaji karena
berbicara tentang baik dan buruk, benar dan salah, atau yang seharusnya dilakukan dan
ditinggalkan. Etika selalu menghiasi kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya.
(Marzuki, 2013:1) Etika dalam kenyataanya telah menempatkan dirinya pada posisi yang paling
sering untuk dikaji dan diterapkan dalam kesehariannya. Etika memberikan kepada manusia
orientasi bagaimana menjalankan kehidupannya agar tidak menimbulkan masalah dalam
kehidupan. Etika pada akhirnya membantu manusia dalam mengambil sebuah tindakan mana
dan apa yang harus dilakukan serta apa yang hendaknya dijauhi. (Ahmad, 1991:47) Dewasa ini,
perkembangan yang amat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, Baik di bidang politik,
ekonomi, kebudayaan, pertahanan, komuniskasi dan sebagainya yang berdampak kepada
pendidikan dan pembelajaran. Dengan perkembangan tersebut UNESCO menjelaskan bahwa
ada beberapa tantangan kontroversial yang harus dihadapi dengan cara menyeimbangkan
berbagai tekanan, di antaranya tuntutan global dengan lokal, 2 tradisional dengan modern,
tuntutan spritual dengan kebutuhan modern, antara tuntutan spritual dengan kebutuhan
material. (Suyono,2014:29) Etika dalam pembelajaran sangat penting untuk dijunjung tinggi
dan diterapkan, karena etika memberikan batasan mana yang baik atau buruk, boleh atau tidak
dilakukan oleh siswa atau guru sebagai pendidik. Dalam pembelajaran di dalamnya ada siswa
sebagai orang yang bertujuan mendapatkan ilmu dan seorang guru sebagai pentransfer ilmu,
jika tidak menjunjung nilai-nilai etika maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan diperoleh
kecuali kalimat-kalimatnya saja. (Suyono,2014:31) Guru merupakan unsur pendidikan yang
sangat bepengaruh terhadap proses pendidikan. Dalam perspektif pendidikan islam,
keberadaan, peran dan fungsi guru merupakan keharusan yang tidak dapat diingkari. Tidak ada
pendidikan tanpa kehadiran guru. Guru merupakan penentu arah dan sistematika pembelajaran
mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola sampai kepada usaha bagaimana anak didik
seharusnya belajar dengan baik dan benar dalam mengakses diri akan pengetahuan dan nilai
hidup. (Cholid, 2018:2) Guru menduduki posisi kunci dalam seluruh akivitas pendidikan, tidak
terkecuali di madrasah. tanpa kelas, gedung, peralatan, dan sebagainya proses pendidikan masih
dapat berjalan walaupun dalam keadaan darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir
tidak mungkin dapat bejalan. Selain iu, secanggih apapun kurikulum pendidikan itu dirancang,
tetapi guru sebagai pelaku utama tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan maka
kurikulum itu akan mubadzir. Maka, akan beakibat pada tidak tercapainya tujuan 3 pendidikan,
dan pada akhirnya peseta didik akan gagal atau tidak berhasil dalam pendidikannya. (Junaedi,
2017:114) Guru menjadi figur sentral yang mempengaruhi karakter siswa dalam melakukan
proses pembelajaran yang berkarakter. Bahkan sekolah atau lembaga pendidikan yang masih
terbatas sarana dan prasarananya, guru yang menjadi ujung tombak keberhasilan proses
pembelajaran. Guru berperan sebagai sumber ilmu atau sumber belajar bagi siswanya. Siswa
akan belajar dari apa yang diberikan oleh gurunya. Di sinilah guru harus berhati-hati dalam
bertutur kata dan berperilaku, sebab semuanya akan ditiru oleh siswanya. (Marzuki,2013:10)
Ironisnya guru yang seharusnya memberikan kasih sayang dan teladan yang baik, dewasa ini
terjadi berbagai persoalan. Persoalan-persoalan tersebut justru datang dari seorang guru. Seperti
kasus pencabulan Seorang guru terhadap siswanya di Kota Pekalongan, serta kasus guru
menampar siswa dihadapan siswa yang lain disalah satu SMK di Jawa Tengah yang mana
sangat bertolak belakang dari kewajiban guru untuk mendidik dan mencontohkan etika yang
baik kepada siswanya. Namun bila Guru tidak memiliki wibawa, Siswa akan memandang
rendah bahkan meremehkan guru, seperti yang baru saja terjadi di Salah satu sekolah di daerah
Gresik dimana siswa memegang kepala hingga mencengkram baju Guru. Jika seorang guru dan
murid memperhatikan etika dalam pembelajaran sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak akan
terjadi, apalagi kejadian itu terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah yang sepatutnya cara
penyelesaiannya dengan cara yang edukatif, 4 sehingga tidak ada lagi penyelesaian masalah
siswa atau guru diselesaikan terkesan secara sangat arogan. Program Kompetensi guru saat ini
walaupun merupakan sebuah perangkat pengetahuan ketrampilan dan perilaku tugas yang harus
dimiliki sekaligus harus dihayati, dikuasai dan diwujudkan oleh guru dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan di dalam kelas yang disebut dengan pengajaran, harus didasari dengan
etika personal, begitu juga harus merefleksikan etika tersebut dalam kegiatan pengajaran
bahkan saat berinteraksi dengan murid.

Guru adalah profesi yang unik karena begitu banyaknya kompetensi yang harus mereka
miliki dalam melaksanakan tugasnya mempersiapkan generasi yang akan datang. Guru harus
bisa menempatkan dirinya sebagai agen perubahan “Agent Of Change”. Hal terpenting dari
seorang guru dalam mendidik siswanya adalah karakter.Untuk itu guru harus memiliki peran
dan tanggung jawab secara pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Pertama, tanggung
jawab pribadi yaitu mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, dan
menghargai serta mengembangkan dirinya. Kedua, tanggung jawab sosial dwujudkan melalui
kompetensi guru dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif.
Ketiga, tanggung jawab intelektual (profesional) diwujudkan melalui penguasaan berbagai
perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk penunjang tugasnya. Keempat,
tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai mahluk
beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.
Pendidikan disekolah juga digunakan untuk mengembangkan pengetahuan moral anak-anak ke
arah mencapai kesuksesan kurikulum untuk melahirkan individu yang bermoral, beretika dan
berahlak tinggi.

B. Rumusan Masalah
01. Bagaimana sejarah Pendidikan di Indonesia ?
02. Bagaimana penerapan etika seorang guru di Indonesia ?
03. Bagaimana penerapan moral seorang guru dan peserta didik di Indonesia ?
04. Apa saja kebijakan guru di Indonesia ?
05. Bagaimana peran seorang guru ?
06. Apa saja kedudukan guru tersebut ?
07. Bagaimana penerapan kode etik seorang guru ?
C. Tujuan Masalah
01. Untuk mengetahui sejarah Pendidikan di Indonesia.
02. Untuk mengetahui sebuah penerapan etika seorang guru di Indonesia.
03. Untuk mengetahui sebuah penerapan moral seorang guru dan peserta didik di
Indonesia.
04. Untuk mengetahui apa saja peran seorang guru tersebut.
05. Untuk mengetahui kedudukan seorang guru tersebut.
06. Untuk mengetahui sebuah penerapan kode etik seorang guru.
BAB II

Pembahasan

A. Sejarah Pendidikan Di Indonesia


1. Ajaran Agama Menjadi Landasan Pendidikan
a. Pendidikan Hindu-Budha
Sistem pendidikan semenjak periode awal berkembangnya agama Hindu-
Budha di Indonesia sepenuhnya sudah bermuatan keagamaan. Pelaksanaan
pendidikan keagamaan Hindu-Budha berada di padepokan-padepokan. Ajaran
Hindu-Budha ini memberikan corak praktik pendidikan di zaman kerajaan-kerajaan
Hindu dan Budha di Kerajaan Kutai (Pulau Kalimantan), Kerajaan Tarumanegara
hingga Majapahit (Pulau Jawa), Kerajaan Sriwijaya (Pulau Bali dan Sumatera).
Kaum Brahmana pada masa Hindu-Budha merupakan kaum yang
menyelenggarakan pendidikan dan pelajaran. Maka perlu diketahui bahwa sistem
kasta yang diterapkan di Indonesia tidak terlalu keras seperti sistem kasta yang ada
di India. Adapun beberapa materi-materi yang dipelajari ketika pendidikan
keagamaan Hindu-Budha berlangsung, yaitu teologi (ilmu agama), bahasa dan
sastra (ilmu kecakapan), ilmu-ilmu kemasyarakatan (ilmu sosial), ilmu-ilmu eksakta
(ilmu perbintangan), ilmu pasti yaitu (perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa),
dsb.
Pada periode akhir berkembangnya pendidikan Keagamaan Hindu-Budha,
pola pendidikan dilakukan oleh para guru pengajar di padepokan-padepokan tidak
lagi bersifat kolosal dalam kompleks, dengan jumlah murid relatif terbatas dan
bobot materi pembelajaran yang bersifat religius dan spiritual. Selain belajar untuk
menuntut ilmu, para murid di padepokan ini juga harus bekerja demi terpenuhinya
kebutuhan sehari-hari mereka. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada masa pendidikan
keagamaan Hindu-Budha pengelola pendidikan adalah kaum Brahmana, bersifat
tidak formal, dapat mengundang guru untuk datang ke istana, dan pendidikan
kejuruan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
b. Pendidikan Islam
Saudagar asal Gujarat pada abad ke-13 menjadi salah satu ciri-ciri dari
mulainya pendidikan berlandaskan ajaran Islam di Indonesia. Mula-mula kehadiran
mereka terjalin melalui hubungan teratur dengan para pedaganag asal pulau Sumatra
dan Jawa. Kemudian, para saudagar yang beragama Islam asal Gujarat itu di
Indonesia menjadi penyebar agama Islam. Ajaran agama Islam awal berkembang di
kawasan pantai pesisir, sementara ajaran agama Hindu masih kuta di kawasan
pedalaman. Kerajaan Samudra-Pasai (1297) di Indonesia menjadi kerajaan Islam
pertama lebih tepatnya Aceh. Jauh sebelum Kerajaan Samudra-Pasai berdiri
pengaruh ajaran Islam sudah masuk terlebih daulu ke Indonesia. Terbukti dengan
adanya batu nisan seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 476
H (1082 M) di Leran, dekat Gresik Jawa Timur (di kutip dari
laman https://www.kompasiana.com di akses pada tanggal 29 November 2019,
pukul 0951 WIB). Pada masa pra-kolonial pendidikan agama Islam berbentuk
pendidikan di pesantren, pendidikan di musola/langgar dan pendidikan di madrasah.
Pertama, Pendidikan di musola/langgar dilaksanakan secara sederhana dengan
binaan guru mengaji yang memiliki status dibawah kyai, materi yang diajarkan
membaca Al-Qur’an dan Fiqih Dasar. Kedua, Pendidikan di pesantren memiliki
sistem pendidikan pemondokan sederhana, materi pembelajaran bersifat khusus
(keagamaan), penghormatan tertinggi kepada guru, tidak ada gaji untuk guru karena
memotivasi santri semata-mata karena Allah SWT., dan santri datang untuk
menuntut ilmu secara suka rela. Ketiga, pendidikan di madrasah memiliki sistem
pendidikan yang mengajarkan agama dan ilmu pengetahuan seperti astronomi (ilmu
falak), dan ilmu pengobatan. Ketiga sistem pendidikan Islam ini tetap bertahan sejak
datangnya kolonial Belanda hingga saat ini.
c. Pendidikan Katholik Dan Kristen Protestan
Pendidikan Katholik bermula dari abad ke-16 melalui orang-orang Portugis
yang menguasai Malaka. Portugis memiliki usaha mencari rempah-rempah untuk
dijual di Eropa, dikarenakan saat itu harga rempah-rempah sangat mahal. Portugis
bersama misionaris Katholik-Roma berperan ganda sebagai penasehat spiritual,
menempuh perjalanan jauh disertai menyebar agama agama yang diyakini pada
setiap tempat yang di datanginya. Segera setelah Portugis dan Katholik-Roma
menduduki suatu pulau, menjadikan penduduk setempat sebagai pemeluk Katholik-
Roma merupakan usaha utama yang mereka lakukan. Kemudian, untuk mendidik
anak-anak setempat didirikanlah acara seminar-seminar. Namun, hanya sekitar
setengah abad (500 tahun) kekuasaan Portugis itu bertahan dan tidak berlangsung
lama karena diusir oleh Spanyol. Kemudian sistem pendidikan bercorak agama
Kristen-Protestan tersebar di bawah pengaruh bangsa Belanda di Indonesia.
2. Kepentingan Penjajah Menjadi Landasan Pendidikan
a. Pendidikan Pada Masa Portugis
Indonesia mengalami perkembangan dari aspek ekonomi yaitu perdagangan
pada abad ke-16. Saat itu datanglah Portugis disusul dengan bangsa Spanyol datang
ke Indonesia untuk berdagang dan menyebarkan Agama Nasrani (Khatolik).
Portugis datang ke Indonesia bersama dengan missionaris salah satu namanya ialah
Franciscus Xaverius. Dalam penyebaran agama Nasrani (Katholik), menurut
Franciscus Xaverius sangat diperlukan untuk mendirikan sekolah-sekolah
(seminarie). Pada tahun 1536 telah berdiri sebuah seminarie di Ternate yang
menjadi sekolah agama anak-anak orang terkemuka. Pelajaran yang dierikan di
sekolah Nasrani (Katholik) ini ada beberapa diantaranya pelajaran agama,
membaca, menulis dan berhitung. Kabupaten Solor, Flores Timur juga mendirikan
semacam seminarie dan mempunyai kurang lebih 50 orang murid yang juga
mengajarkan bahasa Latin. Tujuh kampung di Ambon penduduknya sudah
beragama Katholik pada tahun 1546, di kampung ini ternyata juga
menyelenggarakan pengajaran untuk rakyat umum. Pengajaran ini sering
menimbulkan pemberontakan sehingga akhir abad ke-16 musnahlah kekuatan
Portugis di Indonesia. Ini menandakan hilang juga missi Katholik di Maluku.
Hilangnya tenaga missi itu menjadi salah satu akibat dari jatuhnya Negara sehingga
usaha-usaha pendidikan terpaksa harus diberhentikan.
b. Pendidikan Pada Masa Belanda
Belanda datang ke Pulau Jawa Indonesia untuk berdagang dan menciptakan
kekuasaan baru setelah berakhirnya kekuasaan Portugis pada akhir abad ke-16.
Belanda yang bergabung dalam badan perdangan VOC, menganggap bahwa agama
Katholik yang disebarkan oleh Portugis perlu digantikan dengan agama Protestan
yang dianutnya. Dengan itulah sekolah-sekolah keagamaan didirikan terutama di
daerah yang dulunya telah terpengaruh agama Nasrani (Katholik) oleh Portugis dan
Spanyol. Sekolah pertama di Ambon didirikan oleh VOC pada tahun 1607.
Pembelajaran yang diberikan yaitu membaca, menulis dan sembahyang. Guru
pendidik berasal dari Belanda dan mendapat upah. Salah satu alasan tidak ada
susunan persekolahan dan gereja di Pulau Jawa karena Pulau Jawa tidak terkena
pengaruh Portugis. Pada tahun 1617 sekolah pertama didirikan di Jakarta, lima tahun
kemudia pada 1622 sekolah itu mempunyai murid 92 laki-laki dan 45 perempuan.
Sekolah ini memiliki tujuan untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang cakap
sehingga dapat dipekerjakan di administrasi dan gereja pada pemerintahan. Bahasa
Belanda menjadi bahasa pengantar hingga tahun 1786. Pendidikan kejuruan mulai
muncul sejak abad ke-19 dan pada abad ke-20 muncul golongan baru yaitu golongan
cerdik, pandai yang mendapat pendidikan Barat, namun golongan ini tidak
mendapat tempat dan perlakuan wajar dalam masyarakat kolonial. Partai yang
timbul sesudah tahun 1908 ada yang berdasarkan Sarekat Islam, berdasarkan sosial
seperti Muhamadiyah, ada pula berdasarkan asas kebangsaan seperti Indische Partij.
Indische Partij merupakan pergerakan yang pertama kali merumuskan semboyan
Indie los van Nederland yang berarti “Indonesia Merdeka” dan diambil alih oleh
PNI (1928).
c. Pendidikan Pada Masa Jepang
Jepang merupakan salah satu negara penjajah Indonesia yang berlangsung
lumayan pendek (17 Maret 1942–17 Agustus 1945). Jepang menguasai Indonesia
dimana perang, segala usaha Jepang di tunjuukan hanya untuk perang. Murid-murid
bergotong-royong mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir untuk pertahanan,
halaman seolah ditanami umbi-umbian dan sayur untuk bahan pangan, menanam
pohon jarak untuk menambah pasokan minyak demi kepentingan perang.
Runtuhnya pengaruh kolonial Belanda diikuti dengan tumbangnya sistem
pendidikannya pula. Banyak orang Belanda diinternir oleh pemerintah militer
Jepang sehingga banyak sekolah-sekolah untuk anak Belanda dan Indonesia
kalangan atas lenyap. Hanya susunan sekolah untuk anak-anak Indonesia saja yang
tertinggal. Sekolah rendah seperti Sekolah Desa 3 tahun, Sekolah Sambungan 2
tahun, ELS, HIS, HCS masing-masing 7 tahun, Schakel School 5 tahun, dan MULO
dihapus semua. Pendidikan Sekolah Rakyat (Kokomin Gakko) 6 tahun, Sekolah
Menengah Cu Gakko (laki-laki) dan Zyu Gakko (perempuan) 3 tahun yang ada di
Indonesia sejak masa Jepang dan masih banyak lagi sekolah kejuruan (sekolah
guru), yaitu sekolah untuk mempersipkan tenaga pendidik dalam jumlah yang besar
demi memompa dan mempropagandakan semangat Jepang kepada anak didik.
3. Kepentingan Penjajah Menjadi Landasan Pendidikan
a. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan
Tokoh pendidik yang berjasa pada masa kolonial Belanda seperti Ki Hajar
Dewantara, Moh. Syafe’i dari INS, Mr. Suwandi yang mengganti ejaan Bahasa
Indonesia yang disusun sebelumnya oleh Van Phuysen. Dari beberapa tokoh di atas,
pemerintahan Indonesia telah berupaya untuk mengangkat tokoh yang berjasa dalam
pendidikan Indonesia dimasa kolonial ini pada awal pendidikan masa kemerdekaan.
Pengangkatan Menteri PP dan K. Prof. Dr. Priyono dari partai Kiri Murba menjadi
tanda pengaruh masuknya ideologi kiri di dunia pendidikan.
b. Pendidikan Pada Masa Order Baru
Usaha pembangunan terencana dalam Pelita I sampai Pelita II, III dan
seterusnya telah dilancarkan oleh pemerintahan Orde Baru dengan tokoh-tokoh
teknorat dalam pucuk pimpinan pemerintahan. Rencana pendidikan dalam Pelita I
ini dapat dikembangkan menurut satu rencana dan menyesuaikan keuangan Negara.
Harga minyak tanah yang melonjak naik pada masa orde baru ini berakibat pada
keuangan Negara yang membengkak. Hal ini menjadi penyebab di dirikannya SD
Inpres (Instruksi Presiden) mengangkat guru-guru dan mencetak buku pelajaran.
Hasil dari Pelita I dalam bidang pendidikan yaitu telah ditatar lebih dari 10.000
orang guru. Enam puluh tiga koma lima juta buku SD kelas I telah dibagikan, 6000
gedung SD dibangun, 57.740 orang guru terutama guru SD diangkat, serta 5 Proyek
Pusat Latihan Teknik yaitu di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Ujung
Pandang telah dibangun.

c. Pendidikan Pada Masa Reformasi


Kurikulum 1994 digunakan pada masa pemerintahan Habibie telah
mengalami penyempurnaan pada masa pemerintahan Gus Dur. Pendidikan pada
masa pemerintahan Megawati mengalami perubahan tatanan, antara lain:
 Diubahnya Kurikulum 1994 ke Kurikulum 2000 menjadi Kurikulum 2002
setelah disempurnakan (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yaitu
kurikulum dalam orientasinya dalam pendidikan fokus pada 3 aspek
utama yang dikembangkan, antara lain aspek afektif, kognitif, dan
psikomotorik.
 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disahkan
pada 8 Juli 2003 yang memberikan dasar hukum untuk membangun
pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi,
desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjujung HAM (dikutip dari
laman https://kompasiana.com pada tanggal 29 November 2019, pukul
10.03 WIB)
Setelah jabatan Megawati turun dan digantikan oleh Susilo Bambang
Yudhoyono, UU No. 20/2003 masih berlaku ditambah dengan UU RI No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen. Setelah penetapan UU tersebut disusul
dengan pergantian Kurikulum KBK menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) berdasarkan pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (di kutip dari www.gurupendidikan.co.id di akses pada tanggal 29
November 2019, pukul 19.17 WIB). KTSP merupakan kurikulum operasional
yang dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari
tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan serta silabus.
Sejarah pendidikan di Indonesia memiliki cerita yang manarik masa ke masa nya. Sejarah
pendidikan Indonesia di masa lampau hingga sekarang memberikan kita gambaran bahwa
dalam bentuk apapun pendidikan itu tetaplah penting untuk membentuk karakter pribadi kita.
Walaupun sistem penerapannya berbeda-beda tetapi pendidikan memiliki kesamaan tujuan.
Mulai dari pendidikan keagamaan, pendidikan karena penjajah hingga pendidikan pasca
kemerdekaan. Setiap masa wajib mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan bangsa di
masa itu dan mampu menjawab tantangan di masa mendatang.

B. Penerapan Etika Seorang Guru Di Indonesia


Kattsoff mengemukakan bahwa etika pada prinsipnya berkenaan dengan predikat nilai
benar atau salah. Namun, dalam pembahasan yang khusus, etika membicarakan tentang sifat-
sifat atau atribut-atribut yang mengakibatkan seorang disebut baik/sopan/susila. Sementara,
Poerbawakaca mendefinisikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan mengenai baik dan buruk,
serta usaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
Dengan demikian, etika adalah tata aturan yang berkaitan dengan baik dan buruk perilaku
manusia dalam kehidupan kesehariannya. Guru harus menyadari bahwa jabatan guru adalah
suatu profesi yang terhormat, terlindungi, bermartabat, dan mulia. Karena itu mereka harus
menjunjung tinggi etika profesi. Mereka mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia yang beriman dan berakhlak mulia serta
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju,
adil, makmur, dan beradab. Guru selalu menampilkan performansinya secara profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan jalur pendidikan formal, baik pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, maupun pendidikan menengah. Mereka harus memiliki kemampuan
yang tinggi sebagai sumber daya utama dan kepribadian yang luhur untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
1. Pengertian Etika
Dalam filsafah, etika adalah suatu studi evaluasi tentang perilaku manusia ditinjau
dari prinsip-prinsip moral atau kesusilaan (Ethics in philosophy is the study and
evaluation of human conduct in the light of moral principles). Etika yaitu tentang filsafat
moral mengenai nilai, perilaku dan yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang
benar. Secara singkat dapat dirumuskan, bahwa Etika adalah suatu sistem prinsip-prinsip
kesusilaan atau moral, yang merupakan “standard” atau norma-norma bertindak bagi
orang- orang dalam suatu profesi, misalnya dalam profesi kedokteran, keguruan, dan
sebagainya.
2. Etika Profesi
Bertolak dari formulasi di atas, maka Etika profesi (professional ethics) adalah
prinsip-prinsip atau norma-norma kesusilaan dan moral yang merupakan “pedoman”
bagi sikap dan perilaku anggota-anggota profesi. Yang tercakup dalam perilaku etika
melingkupi segi-segi: 1) Pertanggungjawaban (responsibility). 2) Pengabdian
(dedication). 3) Kesetiaan (loyalitas). 4) Kepekaan (sensitivity). 5. Persamaan (equality).
6. Kepantasan (equity). Mengacu uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa etika
profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan
“pedoman” bertindak bagi para anggota profesi di bidang keguruan, dalam hal ini adalah
para guru. Yang dimaksudkan dengan “guru” di sini, ialah semua orang yang memiliki
wewenang keguruan, yang bertanggung jawab dalam pendidikan. Dalam proses
pendidikan, banyak unsur-unsur yang terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan
dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai tenaga pendidik. Pendidik harus
memiliki etika yang sesuai dengan kode etik profesi keguruan.
3. Prinsip Prinsip Dasar Etika Profesi Keguruan
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa etika profesi keguruan adalah
ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan “pedoman” bertindak bagi
para guru. Ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan inilah yang mengatur bagaimana
seharusnya guru itu bersikap, bertindak atau berbuat secara profesional. Timbul
pertanyaan, ketentuan- ketentuan moral atau kesusilaan apakah yang dijadikan
“pedoman” bagi perilaku para anggota profesi keguruan itu? Dalam hubungan ini kita
bertolak dari dua prinsip dasar etika sebagai berikut :
a. Prinsip Universalistik
Yang dimaksudkan dengan prinsip etika ini, adalah yang sifatnya universal
bagi semua orang. Prinsip ini bertolak dari pandangan tentang hakekat manusia
itu. Secara filosofis dikatakan, bahwa manusia itu adalah makhluk individu yang
keberadaannya tidak terlepas daripada sesamanya dan pada galibnya tak dapat
terlepas dari Tuhan Penciptanya. Inti dari manusia itu adalah kata-hati
(conscience) yang berfungsi sebagai instansi yang menimbang dan memutuskan
apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah di hadapan
sesamanya maupun dengan Tuhannya. Hal ini menyangkut tanggung jawab, bukan
hanya terhadap diri sendiri, melainkan juga terhadap sesama manusia dan pada
akhirnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Adapun realisasi dari hal ini, ialah
kesadaran akan hukum cinta kasih terhadap Tuhan, sesama manusia, seperti
terhadap diri sendiri. Dalam hubungan ini Kristus telah bersabda:
“Hendaklah engkau mengasihi Tuhanmu Allah dengan sebulat hatimu,
dengan seluruh jiwamu, dengan segenap akal budimu, dengan segenap
tenagamu. Hendaklah engkau mengasihi pula sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini tergantunglah seluruh hukum
taurat dan nabi-nabi.”
Santo Paulus pun telah menegaskan, “Hukum cinta kasih adalah hukum
pokok. Jika kita telah memenuhi hukum ini, maka kita akan memenuhi hukum-
hukum lainnya juga ... cinta kasih tidak mendatangkan kejahatan, karena itu di
dalam cinta kasih terpenuhilah seluruh hukum.”. Perbuatan atau tindakan para
profesional di bidang keguruan yang berdasarkan cinta kasih (sebagai prinsip etika
yang universalistik) pada hakekatnya mengandung (1) pengabdian/dedikasi yang
tulus dan (2) pengorbanan yang ikhlas, baik pengorbanan waktu, tenaga, pikiran
dan segala-galanya ... bahkan sampai rela mengorbankan jiwa raganya ... demi
Tuhan. Para guru yang berprinsipkan “cinta kasih” sebagai “pedoman”
perilakunya akan ikhlas “mengkorbankan dirinya” dalam menunaikan tugas
profesionalnya.
b. Prinsip Nasionalistik
Prinsip etika profesi keguruan yang nasionalistik, adalah yang sifatnya
nasional bagi guru-guru se Indonesia. Prinsip etika yang dimaksudkan adalah
“Pancasila”, dasar dan falsafah Negara serta “way of life” Bangsa Indonesia
termasuk para guru Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, para guru
Indonesia dalam praktek profesionalnya haruslah Pancasilais, berbuat atau
bertindak sesuai dengan sila-sila Pancasila, yaitu (1) Berketuhanan yang Maha
Esa, (2) Berperikemanusiaan, (3) Berjiwa nasional, dan (4) Demokratis, serta (5)
Berkeadilan sosial.
Berkaitan dengan hal itu, Soetjipto dan Kosasi (2003) memilah Etika Guru Profesional
sebagai berikut:
1. Etika Guru Profeisonal Terhadap Peraturan Perundang Undangan
Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru
melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan jelas
bahwa dalam kode etik tersebut diatur agar guru di Indonesia perlu taat pada peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan
Nasional. Guru adalah aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh
karena itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku.
Sebagai contoh pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari
kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan
kemudian diubah lagi menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru menggunakan
pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya. Guru yang profesional taat akan
peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang baru
tersebut dan akan menerima tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan akan
dapat memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
2. Etika Guru Profeisonal Terhadap Peraturan Peserta Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti
membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
Pancasila. Dalam membimbing peserta didik, Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga
kalimat padat yang terkenal yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan
tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik
tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini.
Pertama, guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi peserta didiknya. Guru adalah
contoh nyata bagi peserta didik. Perilaku guru hendaknya jadi teladan. Seorang guru
berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap peserta didik.
Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru harus dapat
mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai
pendapat orang lain. Kedua, guru harus dapat mempengaruhi dan mengendalikan peserta
didik. Dalam hal ini, perilaku dan pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk
mengubah perilaku peserta didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus
ditakuti, tetapi hendaknya menjadi sahabat bagi peserta didik tanpa menghilangkan
kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu
mengendalikan peserta didik. Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi dalam
keberagaman peserta didik. Bagi guru, keberagaman peserta didik yang dihadapinya
adalah sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru
akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan
peserta didik, kemahiran mengintervensi perkembangan peserta didik dan kemahiran
mengakses perkembangannya. Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan
sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua
harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku mendidik. Sementara itu, prinsip
manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang
bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berilmu
pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya
tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga
harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial
maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar
peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi
tantangan di masa depan. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang
harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.
3. Etika Guru Profeisonal Terhadap Pekerjaan
Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai profesional, guru harus
melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat
memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru dapat menyesuaikan
kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat.
Keinginan dan permintaan ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh sebab itu, guru
dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan mengembangkan
mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru
secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat
profesinya”. Secara profesional, guru tidak boleh merasa diri sudah sempurna dengan
ilmu yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus. Bagi guru, belajar terus
menerus adalah hal yang mutlak. Hal ini karena yang dihadapi adalah peserta didik yang
sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan
kearifan dalam bertindak dan menanganinya. Untuk meningkatkan mutu profesinya,
secara formal guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya,
seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya. Secara informal dilakukan melalui menyimak
televisi, radio, koran.
4. Etika Guru Profeisonal Terhadap Tempat Kerja
Suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidak
optimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak
menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal. Dalam UU No. 20/ 2003
pasal 1 dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan fasilitas
sekolah yang memadai secara merata dan bermutu di seluruh jenjang pendidikan. Jika ini
terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan fasilitas yang ada dalam
rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional. Di sisi
lain, jika kita dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas yang
memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai
seorang guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa fasilitas yang
memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing peserta didik.
Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi seperti ini. Berkaitan dengan ini,
pendekatan pembelajaran kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk lebih
kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu guru mengaitkan
materi pelajaran dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik
mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara itu, sikap profesional guru terhadap tempat kerja juga dengan cara
menciptakan hubungan harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di lingkungan sekolah,
masyarakat maupun dengan orang tua peserta didik.
5. Etika Guru Profeisonal Terhadap Teman Sejawat
Dalam Kode Etik Guru disebutkan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi,
semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial, yang berarti: 1) Guru hendaknya
menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya. 2)
Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan
kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya. Dalam hal ini
ditunjukkan bahwa betapa pentingnya hubungan yang harmonis untuk menciptakan rasa
persaudaraan yang kuat di antara sesama anggota profesi. Di lingkungan kerja, yaitu
sekolah, guru hendaknya menunjukkan sikap yang ingin bekerja sama, menghargai,
pengertian, dan rasa tanggung jawab kepada sesama personel sekolah. Sikap ini
diharapkan akan memunculkan rasa senasib sepenanggungan, menyadari kepentingan
bersama, dan tidak mementingkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan
kepentingan orang lain. Dengan demikian kemajuan sekolah pada khususnya dan
kemajuan pendidikan dapat terlaksana. Sikap ini hendaknya juga dilaksanakan dalam
pergaulan yang lebih luas yaitu sesama guru dan di sekolah lain. Dalam UU. No 14 Tahun
2005 pasal 7.1.i disebutkan bahwa ”Guru harus memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur hal- hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan
guru.” Pasal 41.3 menyebutkan ” Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi” Ini
berarti setiap guru di Indonesia harus tergabung dalam suatu organisasi yang berfungsi
sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Di
Indonesia organisasi ini disebut dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dalam Kode Etik Guru Indonesia butir delapan disebutkan: Guru secara bersama-sama
memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan
pengabdian. Ini makin menegaskan bahwa setiap guru di Indonesia harus tergabung
dalam PGRI dan berkewajiban serta bertanggung jawab untuk menjalankan, membina,
memelihara dan memajukan PGRI sebagai organisasi profesi, baik sebagai pengurus
ataupun sebagai anggota. Hal ini dipertegas dalam dasar keenam kode etik guru bahwa
guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan, dan meningkatkan martabat
profesinya. Peningkatan mutu profesi dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi perbandingan
dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Jadi kegiatan pembinaan profesi tidak hanya
terbatas pada pendidikan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja,
melainkan dapat juga dilakukan setelah lulus dari pendidikan prajabatan ataupun dalam
melaksanakan jabatan.
C. Penerapan Moral Seorang Guru Di Indonesia
1. Pengertian Moral, Etika Dan Ahlak
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari
kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan
bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya
moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-
batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat
dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan
terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
(ekokurniawan17.blogspot.com/2013/.../peran-guru-dalam-membentuk-etika moral.ht...
Diakses sabtu, 25-02-2017. Pk. 07.15 WIB).
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita
dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-
sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah
baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan :
 Pertama, jika dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan
manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,
sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika
lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep- konsep, sedangkan
moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang di masyarakat. Hal ini berarti tolak ukur yang digunakan dalam moral
untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya
yang berlaku di masyarakat.
 Kedua, etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat
praktis.
 Ketiga, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (
umum ), sedangkan moral secara lokal.
 Keempat, moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
 Kelima, moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa
asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut
dengan qalb,fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal :
1. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral.
2. Kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan
yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan
dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
3. Kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral
lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan
oleh masyarakat. Nilai atau sistem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang
akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut
ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika
nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk
kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan
suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar. Moralitas adalah sopan
santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan kebaikan. Bertingkah laku baik, bagi
peserta didik seharusnya terwujud dalam seluruh pola kehidupan yang berarah kepada
keluarga, guru dan teman. Etika ialah studi tentang cara penerapan hal yang baik bagi
hidup manusia yang menurut Solomon, (1984:2), mencakup dua aspek :
1. Disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya.
2. Nilai-nilai hidup nyata dan hukum tingkah laku manusia yang menopang nilai-
nilai tersebut.
Makna atau arti etika lebih mengarah pada tindakan yang sadar dan disengaja. Istilah
etika ditinjau dari segi makna atau arti, hampir sama dengan moral, tetapi dalam
pemakaian ilmiah, moral biasanya hanya menyangkut kebaikan atau keburukan secara
lahir atau kelihatan dari apa yang sebenarnya terjadi. Jadi etika adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja sebagai hasil yang tegas berdasarkan analisa dan akal
budi yang menyangkut pemikiran sistematik tentang kelakuan, motivasi dan keadaan
batinyangmenyadarinya.
(http://pendidikanmoraldanetika.blogspot.co.id/2011/11/moral-dan-etika.html. diakses
sabtu, 25- 02-2016, Pkl. 07.23 WIB).
Untuk melihat sikap batin maupun perbuatan lahir dibutuhkan suatu alat, yakni
ukuran moral berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kiranya dapat kita katakan
bahwa sekurang-kurangnya kita mengenal adanya dua ukuran yang berbeda, yakni
ukuran yang ada dalam hati kita dan ukuran yang dipakai oleh orang lain waktu mereka
menilai diri kita.
2. Pengertian Ahlak
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang
selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya
secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal
sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari
berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih,
mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling
melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan
akhlak, yaitu :
1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiaannya.
2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan.
4. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan
main-main atau karena bersandiwara.
5. Sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak ( khususnya akhlak yang baik)
adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan
karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
(ekokurniawan17.blogspot.com/2013/.../peran-guru-dalam-membentuk-etika-
moral.ht... Diakses sabtu, 25-02-2017. Pk. 07.15 WIB).

3. Strategi Dan Penerapan Pendidikan Moral


Strategi pendidikan moral adalah pendekatan atau upaya yang dilakukan untuk
menumbuh-kembangkan sikap, tingkah laku dan budi pekerti anak. Indikator
keberhasilan strategi ini akan terlihat dari pergaulan anak sehari-hari. Untuk
mendukung upaya penerapan pendidikan moral perlu adanya program dan kebijakan.
Hal ini bertujuan untuk mewujudkan sasaran apa yang ingin dicapai. Pemerintah dan
guru dalam bidang pendidikan telah memiliki hal tersebut dan sudah diterapkan di
lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat dengan cara yaitu sebagai
berikut :
1. Keteladanan
Memberi contoh dan teladan kepada anak dinilai sebagai strategi paling
efektif dalam pembentukan moral anak. Strategi doktrin yang sering
dilakukan pihak orang tua, guru dan orang dewasa lainnya. Sebaliknya,
mengajarkan sesuatu nilai moral dan etika disertai contoh dan bukti nyata
justru lebih menunjukkan hasil yang signifikan. Orangtua menyuruh anak
shalat dan mengerjakan amal kebaikan. Orangtua memang melaksanakan
shalat dan suka bersedekah, mengasihi anak yatim dan bersikap ramah
terhadap tamu. Seorang guru mengajarkan pola hidup sederhana dan
dicontohkan secara nyata dengan sikap dan perbuatan kesederhanaan, rendah
hati dan jujur. Tidak sebaliknya. Siswa disuruh sederhana namun fakta yang
mereka lihat pada guru malah jauh dari kesederhanaan. Yang paling
mendesak barangkali adalah memberikan contoh yang nyata bagaimana etika
berbicara dengan yang lebih muda, dengan teman sebaya, dan dengan orang
tua serta guru. Begitu pula sikap dan tingkah laku bergaul di tengah
masyarakat, ini perlu dicontohkan dengan nyata kepada anak oleh orang
tuanya.
2. Pembiasaan Diri
Kebiasaan-kebiasaan unik dan positif dalam keluarga, lingkungan sekolah
dan masyarakat, perlu dikembangkan secara berkesinambungan. Kebiasaan-
kebiasaan tersebut mengarah pada pembentukan moral anak. Misalnya,
pemberian hukuman kepada anak/siswa yang melakukan kesalahan sebagai
bukti tanggung jawab terhadap tingkah laku yang merugikan diri sendiri
maupun orang lain. Pemberian penghargaan verbal maupun non verbal kepada
anak/siswa yang melakukan kebiasaan baik.
3. Peraturan Dan Tata Tertib
Dalam keluarga memiliki aturan dan tata tertib tertentu yang harus ditaati
sehingga anak terbiasa untuk patuh dan taat pada setiap peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Di lembaga sekolah sudah pasti memiliki
peraturan dan aturan tertentu. Penegakan peraturan dan tata tertib tersebut mesti
dengan pendekatan persuasif. Hukuman dan sanksi yang diberikan kepada
siswa yang melanggar mestilah bersifat mendidik dan memberi efek kesadaran
diri.
4. Aktivitas Dan Hobi
Anak-anak tidak hanya beraktivitas dan belajar secara rutin di sekolah
maupun di rumah. Anak juga butuh bermain dengan sesama teman,
menyalurkan hobi dan kegemarannya. Dalam hal ini, ada nilai sosial pergaulan
seperti saling menghargai melalui ucapan maupun tingkah laku. Kegiatan olah
raga mengandung nilai sportifitas, menerima kekalahan dan kemenangan.
Tentu saja masih masih banyak strategi lain dalam menerapkan pendidikan
moral kepada anak. Namun demikian prinsipnya adalah sekecil apapun usaha
pengembangan nilai moral dan etika pada anak, sudah sangat berarti mereduksi
krisis moral pada anak dan remaja.
D. Kebijakan Seorang Guru Di Indonesia
Kebijakan tersebut meliputi perencanaan dan penataan kebutuhan guru; peningkatan
kualifikasi akademik; penuntasan sertifikasi guru; peningkatan kompetensi berbasis kelompok
kerja profesi; serta pemberian penghargaan, kesejahteraan, dan perlindungan.
E. Peran Guru Dalam Proses Pembelajaran
Warso (2014) dalam bukunya Proses Pembelajaran & Penilaiannya di
SD/MI/SMP/MTs/SMA/MA/SMK mengatakan pada pelaksanaan proses pembelajaran guru
mempunyai peran yang sangat penting. Peran/tugas guru dalam proses pembelajaran tersebut
meliputi guru sebagai :
1. Guru sebagai sumber belajar maka gurulah yang menjadi tempat peserta didik menggali
atau mengambil pelajaran. Sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran
hendaknya guru harus memiliki bahan referensi yang lebih banyak dibandingkan
dengan siswa dan guru perlu melakukan pemetaan tentang materi pelajaran.
2. Guru sebagai fasilitator berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan
siswa dalam kegiatan pembelajaran.
3. Guru sebagai pengelola pembelajaran, guru berperan dalam menciptakan iklim belajar
yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman melalui pengelolaan kelas.
Sebagai pengelola pembelajaran guru memiliki 4 fungsi umum yaitu : merencanakan
tujuan belajar; mengorganisir berbagai sumber belajar; dan memimpin dan mengawasi.
4. Guru sebagai demonstrator yaitu peran untuk mempertunjukkan kepada siswa tentang
segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan paham terhadap
pesan/informasi belajar yang disampaikan. Guru juga berperan sebagai model atau
teladan bagi siswa.
5. Guru sebagai pembimbing yaitu membimbing siswa agar dapat menentukan berbagai
potensi yang dimilikinya sebagai bekal mereka, membimbing siswa agar dapat
mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan
ketercapaian tersebut ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia ideal yang
menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat. Tugas guru adalah menjaga,
mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi, minat dan bakatnya.
6. Guru sebagai motivator, proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa memiliki
motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan potensi belajar siswa.
Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan
motivasi belajar siswa.
7. Guru sebagai penilai berperan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang
keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan melakukan penilaian maka
guru akan mengetahui atau menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Dan juga guru dapat menentukan keberhasilan setiap program-program
yang telah direncanakan oleh guru itu sendiri.
(Sumber belajar; Fasilitator; Pengelola pembelajaran; Demonstrator; Pembimbing;
Motivator; dan Penilai.)

F. Kedudukan Guru
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang
diangkat sesuai dengan peraturan perundang
G. Kode Etik Seorang Guru
Kode etik merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab, kode etik adalah aturan-aturan
untuk bertingkah laku sehingga pada profesi apapun tentu memiliki kode etiknya masing-
masing. Apalagi kode etik merupakan salah satu syarat untuk sesuatu pekerjaan dapat dikatakan
sebagai profesi. Ada beberapa kriteria yang menjadi standar yang harus dipenuhi sehingga suatu
pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi diantara lain:
 Harus mendapat pengakuan dari pemerintah dan masyarakat.
 Adanya kode etik.
 Mempunyai organisasi profesi yang menaungi.
 Profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup.
Jelas sekali bahwa yang namanya kode etik adalah suatu yang sangat urgent, disamping
sebagai syarat guru bisa dikatakan sebagai profesi , kode etik juga yang akan menjadi salah
satu panduan bagaimana tingkah laku pelaku profesi tersebut.
Kode etik seorang guru yaitu:
 Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
 Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional.
 Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan
bimbingan dan pembinaan.
 Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar mengajar.
 Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya
untuk membina peran serta dan bertanggung jawab bersama terhadap Pendidikan.
 Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dam
martabat profesinya.
 Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan
social.
 Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian.

Anda mungkin juga menyukai