PROFESI KEGURUAN
TENTANG
1. FATIMAH
2. JUMRATUL AQABAH
3. M. NUR ALAMSYAH
4. MUHAMMAD RIZAL
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayahnya, sehingga penyusunan makalah dengan judul “Sejarah Profesi Guru di
Indonesia” akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Kami berharap dari isi
makalah ini dapat di jadikan suatu pedoman bagi pembaca dalam menulis tugas
ataupun makalah, sehingga pesan/materi dapat tersampaikan dengan baik.
Penyusunan makalah ini pun dikerjakan untuk memenuhi tugas Mata kuliah
Profesi keguruan. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, Amin.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Apabila
ada kekurangan maupun kekeliruan dalam makalah ini, penulis siap menerima
masukan maupun kritik dan saran dari para pembaca supaya makalah ini dapat
digunakan sebagaimana mestinya
Penulis
i
DAFTAR lSl
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR lSl......................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...............................................................................................1
B. TUJUAN...................................................................................................................2
C. MANFAAT...............................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. PENGERTIAN PROFESI KEGURUAN..................................................................3
B. AWAL KEMUNCULAN GURU DI INDONESIA..................................................4
C. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA.................................6
1. Guru di Zaman Pendudukan Belanda.....................................................................6
2. Era Jepang............................................................................................................13
3. Era Kemerdekaan dan Orde Lama........................................................................14
4. Era Orde Baru dan Reformasi..............................................................................16
BAB lll
PENUTUP.......................................................................................................................20
A. KESIMPULAN.......................................................................................................20
B. SARAN...................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Guru sebagai salah satu tenaga kependidikan memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar. Tugas dan tanggung jawab tersebut lebih luas dari
sekedar hanya membuat peserta didik menjadi tahu dan memahami bahan ajar
yang diberikan, yaitu menjadikan peserta didik menjadi manusia terdidik yang
memahami perannya sebagai manusia, sehingga bermanfaat bagi diri dan
lingkungannya. Kinerja guru yang selama ini menjadi wacana dalam
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia, telah menjadikan guru sebagai
salah satu isu sentral mengenai pendidikan secara nasional. Persoalan guru
adalah persoalan pendidikan, dan persoalan pendidikan adalah persoalan
bangsa. Begitulah kira-kira kalangan praktisi pendidikan menggiring isu
tentang guru dalam upaya meningkatkan profesionalime guru.
Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan
khususnya di tingkat institusional. Tanpa guru pendidikan hanya menjadi
slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru (Surya,
2003:2).
Guru pernah mempunyai status yang sangat tinggi dalam manyarakat,
mempunyai wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap sebagai orang yang serba
tahu dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia. Namun, kewibawaan guru
mulai memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan
tegnologi, dan kepedulian guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa
(Sanusi et al., 1991). Dalam era tegnologi yang maju sekarang, guru bukan lagi
satu-satunya tempat bertanya dalam masyarakat. Pendidikan masyarakat
mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru berkurang antara lain
karena ststus guru dianggap kalah gengsi dari jabatan lainnya yang mempunyai
pendapatan yang lebih baik..
1
B. TUJUAN
C. MANFAAT
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Sejarah pendidikan guru di Indonesia menunjukkan peningkatan
kualifikasi akademik seorang guru. Perkembangan kualifikasi akademik
seorang guru terjalin bersama dengan kebutuhan nyata pengajar di setiap
zaman.
Pada era Kolonial Belanda, untuk mengajar sekolah rakyat (Volkschool)
dengan kurikulum membaca, menulis, dan berhitung, hanya dibutuhkan kursus
selama dua tahun bagi seorang lulusan sekolah dasar.
Saat ini, sejak munculnya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, setiap
guru, baik tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA, wajib memiliki kualifikasi
akademik dari pendidikan tinggi. Sebelumnya, hanya guru yang akan mengajar
SMP atau SMA saja yang harus bergelar sarjana atau program diploma empat.
4
dianggap sebagai penjelmaan kehidupan spiritual kebenaran. Pada masa itu, di
dalam menyampaikan pengetahuan dari buku suci (Weda), para siswa tinggal
di rumah Begawan tersebut serta mengabdi dengan penuh kesetiaan dan
pengabdian. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada saat ajaran agama
Budha mempengaruhi nusantara. Jejak pengajaran pada masa budha, dapat
diketahui melalui pada zaman kerajaan Sriwijaya. Tujuan utama pendidikan
berdasarkan ajaran Sidharta Gautamma, yakni setiap manusia penganut Budha
dididik menjadi manusia sempurna agar dapat masuk nirwana/ surga. Salah
seorang guru yang terkenal adalah Darmapala. Sistem pengajarannya
menggunakan format asrama sebagai sekolah sekaligus tempat tinggal para
siswa dan guru. “Belajar menjadi etos baru bagi kehidupan umat. Hal ini
dibuktikan melalui bentuk dari salah satu arca di Candi Borobudur. Arca
Dhyani Budha bersikap darma cakra mudra, kedua tangannya di dada
menggambarkan, bahwa manusia hidup harus belajar (PGRI, 2008: 3)”. Corak
pendidikan masa hindu-budha, ternyata memberikan pengaruh pula pada
sistem pendidikan islam.
Masuknya islam ke tanah air mempengaruhi sudut pandang masyarakat,
yang memerlukan pendalaman ajaran agama islam. Oleh karena itu, dikenalah
sistem pesantren. Dalam proses belajarnya, pesantren mengandung corak
ajaran hindu-budha. Pesantren mempercayakan pendidikan pada seorang guru
yang disebut kyai. Pada mulanya pembelajaran dilaksanakan di langgar-
langgar atau pelataran masjid. Namun, karena jumlah santri semakin banyak
maka pembelajaran dilakukan di rumah kiyai. Kemudian untuk dapat
memaksimalkan pemahaman akan ajaran agama islam, maka pesantren
menjadi sistem asrama. Sehingga murid atau santri tinggal berdekatan dengan
guru.
Hal tersebut kemudian membawa pengaruh bagi perkembangan
pesantren, sehingga pesantren menjadi lebih besar peranannya. Selain sebagai
sarana belajar, pesantren telah dipercaya oleh masyarakat sebagai pewaris
nilai-nilai guna melengkapi nilai-nilai yang diajarkan dalam lingkungan
keluarga. Berkembangnya peran pesantren tersebut, akhirnya memunculkan
5
konsekuensi logis adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup bagi para
santri dan guru yang tinggal di pesantren. Akhirnya, pesantren mengajarkan
untuk mengelola alam, sehingga pesantren berupaya mandiri dalam pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Apabila menilik kemampuan pesantren dalam pewarisan nilai-nilai, tidak
lepas dari peran kiai sebagai pemimpin pesantren. Karena pada umumnya
sebuah pesantren dapat berdiri karena gagasan seorang kiai yang telah
mempuni bidang keilmuannya, sehingga perlu meneruskan pengetahuannya
pada generasi selanjutnya.
6
Adanya sekolah pada masa kolonial, bukan bermaksud mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagaimana hakikat pendidikan. Tetapi, sekolah pada
saat itu mulai memperkenalkan masyarakat pada orientasi bekerja dan upah.
Tujuan utama sekolah ini, yakni menghasilkan tenaga administrasi yang
cakap, yang nantinya bisa dipekerjakan pemerintah, administrasi dan gereja.
Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Belanda.
Tahun 1648, seiring dengan mulai kompleksnya mekanisme
penyelenggaraan pendidikan, maka kali pertama pemerintah Belanda
membuat undang-undang sekolah yang menjadi cikal bakal sistem sekolah
yang dikenal saat ini.Isinya, antara lain:
a) Sekolah yang akan didirikan harus dengan izin pemerintah Belanda
b) Jam sekolah berlangsung mulai pukul 08.00-11.00 atau pukul 14.00-
17.00
c) Pelajaran campuran murid laki-laki dan perempuan dilarang
d) Hari libur dan uang sekolah diatur pemerintah
e) Sekolah-sekolah harus dipantau 2 kali setahun (PGRI, 2008: 7)”
Sedangkan, bagi rakyat pribumi biasa tidak disediakan sekolah oleh
kolonial. Sehingga pendidikan rakyat berlangsung di daerah-daerah secara
mandiri yang dikelola oleh masyarakat setempat.Melalui sistem sekolah
yang dideklarasikan oleh kolonial, maka berimbas pula pada guru. Guru
pada awalnya diangkat secara sembarang, karena kualifikasinya hanya
mampu membaca, menulis dan berhitung saja, serta satu orang guru dapat
mengajar puluhan bahkan ratusan murid.
Akhirnya, pada April 1852 di Surakarta didirikan Kweekschool, yang
merupakan sekolah guru pertama. Sejak inilah guru menjadi sebuah profesi
baru di kalangan masyarakat. Guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah
diikat oleh syarat-syarat tertentu, terutama haruslah tamatan dari sekolah
guru buatan Belanda. Namun, dengan kebijakan tersebut tidak membuat
para guru lupa kulitnya, karena guru justru berupaya mengambil peran
dalam pencerdasan bangsa.
7
Munculnya sekolah yang didirikan Belanda pada kenyataannya
mengilhami beberapa tokoh pejuang bangsa ini untuk turut serta mendirikan
sekolah serupa. Karena dalam sumber lain menyatakan bahwa tujuan
Belanda mendirikan sekolah di Nusantara bukan semata-mata untuk
menjalankan politik yang menguntungkan Belanda. Melainkan terdapat
maksud untuk memberikan satu jejak positif terhadap Negara jajahan agar
mampu mengembangkan dirinya kelak melalui pendidikan. Karena
bagaimanapun akan selalu diamini bahwa pengembangan SDM adalah
melalui pendidikan.
Pada akhirnya, perguliran sejarah pergerakan kebangsaan di tanah air
telah mencatatkan figur guru tidak hanya sebagai pengajar, melainkan juga
sebagai pejuang di garda depan yang mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan. Tokoh-tokoh yang mengembangkan lembaga pendidikan
diantaranya, Organisasi Budi Utomo yang dipimpin oleh Dr.Wahidin Sudiro
Husodo; Muhammadiyah yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan; K.H
Hasyim Ashari yang mendirikan organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang
bertujuan mengembangkan dan memajukan pendidikan anak bangsa; serta
Ki Hajar Dewantara (Suryadi Suryaningrat) yang mendirikan Perguruan
Taman Siswa dengan tiga semboyannya yang sebenarnya dicetuskan oleh
kakak Kartini, Sasro Kartono, yang sengaja diucapkan berdasarkan hasil
pikirannya bahwa sebagai seorang guru harus berada di depan, tengah dan
belakang. Banyak tokoh pejuang lain seperti R.A Kartini, Dewi sartika dan
Rohana Kudus yang juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan
cirri khasnya masing-masing.
Melalui organisasi yang berlatar belakang pendidikan tersebutlah
nyata perjuangan bangsa Indonesia. Guru pada saat itu sudah berupaya
dikelola dengan lebih baik. Karena telah tersedianya berbagai sekolah guru,
namun tetap dalam pengawasan kolonial. Sehingga sekolah guru pun
terkotak-kotakan, ada sekolah guru yang dikhususkan akan mengajar bangsa
Belanda, sekolah guru.
8
Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia dari
Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998 (2009) menyebutkan, terdapat
empat jenis pendidikan bagi calon guru sekolah dasar pada zaman Hindia
Belanda yang dapat dikelompokkan menjadi dua.
Pertama, sekolah guru untuk mereka yang akan mengajar di sekolah
rendah pribumi dengan pengantar bahasa Belanda. Dalam kelompok
pertama ini, terdapat Kweekschool dan Hogere Kweekschool (HKS) yang
kemudian diubah menjadi Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).
Kedua, sekolah guru untuk mereka yang akan menjadi guru pada sekolah
rendah pribumi dengan bahasa pengantar salah satu dari bahasa-bahasa
daerah, seperti Jawa, Sunda, Melayu atau Bugis. Dari kelompok kedua ini,
terdapat Cursus voor Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian
diubah menjadi Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO) serta
Normaalschool atau juga disebut sebagai Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers.
Kweekschool negeri pertama didirikan pada 1852 di Solo oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Jauh sebelumnya, telah didirikan Kweekschool
oleh penyebaran agama Kristen (zending) di Ambon pada tahun 1834. Pada
tahun 1871, muncul peraturan yang menyatakan bahwa pengadaan sekolah
dasar bumiputra harus didahului oleh pengadaan tenaga guru. Atas dasar
peraturan itulah, Kweekschool kemudian diperbanyak. Beberapa
Kweekschool didirikan, antara lain di Tondano pada tahun 1873, Ambon
(1874), Magelang , Probolinggo, Banjarmasin (1875), Makassar (1876), dan
Padang Sidempuan (1879).
Murid yang diterima di Kweekschool adalah mereka yang telah tamat
dari sekolah pemerintahan untuk anak-anak pribumi, berumur paling tidak
12 tahun, dan berasal dari keluarga baik-baik. Namun di kemudian hari,
mereka yang dapat diterima di Kweekschool ini hanya mereka yang telah
tamat kelas VII HIS. Lama studi di Kweekschool ini ditempuh selama 4
tahun.
9
Awalnya, bahasa Belanda hanya merupakan salah satu mata pelajaran
di Kweekschool. Namun, sejak 1915, bahasa Belanda menjadi bahasa
pengantar dalam kegiatan belajar mengajar di Kweekschool. Tamatan
Kweekschool kemudian dapat mengajar di Hollands-Inlandse School (HIS).
Lulusan Kweekschool diberi gaji yang disamakan dengan gaji seorang
asisten wedana, sebesar 50 gulden hingga 150 gulden per bulan. Lulusan
Kweekschool pun mendapat gelar resmi, yakni “mantri guru”, yang
memberikan mereka kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintah
lainnya. Selain itu, mereka juga berhak untuk menggunakan payung,
tombak, tikar, dan kotak sirih menurut ketentuan pemerintah. Mereka juga
mendapat biaya menggaji empat pembantu untuk membawa keempat
lambang kehormatan itu. Tanda-tanda kehormatan itu membangkitkan rasa
hormat, termasuk murid-muridnya sendiri, khususnya anak-anak kaum
ningrat.
Selain Kweekschool, terdapat pula Hogere Kweekschool (HKS) yang
pada tahun 1927 diganti menjadi Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK).
Perubahan tersebut mengikuti perubahan fokus pendidikan di HIK, yakni
dari tekanan pada penguasaan bahasa Belanda secara sempurna menjadi
pengembangan pengetahuan secara luas.
Pendidikan di HIK ditempuh selama enam tahun. Sama seperti
Kweekschool, lulusan HKS maupun HIK kemudian dapat mengajar di
sekolah HIS, tetapi dengan gaji lebih besar, sekitar 175 gulden per bulan.
Gedung Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri I Yogyakarta, awal
Oktober 1988. Dibangun tahun 1904, gedung ini dulu disebut gedung
Kweekschool karena memang menjadi tempat pendidikan para calon guru.
Di sisi lain, terdapat sekolah calon guru sekolah dasar yang nantinya
akan mengajar di sekolah rakyat (Volkschool), yakni Cursus voor
Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian diubah menjadi
Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO). Program CVO berupa
kursus selama dua tahun. Mereka yang diterima sebagai peserta kursus ialah
10
mereka yang sudah tamat kelas V dari Sekolah Pribumi Kelas II (Tweede
Inlansche School/TIS), Vervolgschool, atau Standaardschool.
Metode pembelajaran yang dipakai ialah melihat dan meniru, yaitu
menyaksikan bagaimana para guru senior mengajar dan kemudian mereka
menirukannya. Setelah tamat dari pendidikan ini, para siswa ditempatkan
sebagai guru Volksschool, yaitu SD 3 tahun dengan kurikulum sangat
sederhana, yakni membaca, menulis, dan berhitung.
Selain CVO maupun OVVO, terdapat pula Normaalschool dengan
lama pendidikan empat tahun. Mereka yang diterima sebagai murid pada
sekolah ini ialah mereka yang sudah tamat Kelas V dari Sekolah Pribumi
Kelas II, atau Vervolgschool, atau Standaardschool. Selama empat tahun
pendidikan, mereka mendapatkan 14 mata pelajaran, mulai dari bahasa
daerah, bahasa Melayu, ilmu mendidik, ilmu hitung, ilmu bangun, ilmu
tanam-menanam, ilmu hewan, ilmu alam, ilmu bumi, sejarah, menggambar,
menulis, menyanyi, pendidikan jasmani, hingga permainan di luar sekolah.
Noormaalschool negeri pertama untuk siswa laki-laki didirikan pada
tahun 1915 di sejumlah daerah, yakni Padangpanjang, Jember, Garut,
Jombang, dan Makassar. Sedangkan, Noormaalschool pertama untuk siswa
perempuan didirikan di Padangpanjang (1918), Blitar (1919), Tondano
(1920), dan Salatiga (1933).
Para lulusan Normaalschool ini kemudian ditempatkan sebagai guru
pada SD 5 tahun (Tweede Inlandse School/TIS). Selain membaca, menulis,
berhitung, para siswa TIS mendapatkan pengetahuan ilmu bumi,
pengetahuan alam, dan sejarah.
Salah satu perbedaan dari empat sekolah calon guru sekolah dasar di
atas adalah fasilitas belajar mengajar. Mereka yang sekolah di Kweekschool
maupun HKS/HIK mendapatkan gedung sekolah yang mewah, yang
dilengkapi dengan asrama dan perpustakaan yang lengkap. Sedangkan,
kegiatan kursus CVO maupun OVVO tidak memiliki gedung sendiri, tak
berasrama, dan tak memiliki perpustakaan. Situasi sedikit baik dialami para
11
siswa Normaalschools yang mendapatkan gedung sekolah yang sederhana
dengan perpustakaan yang juga sederhana.
Siswa-siswi SMA Negeri 1 Penyabungan Selatan belajar di
sekolahnya di Jalan Willem Iskander, Kecamatan Penyabungan Selatan,
Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Rabu (27/4/2016). Willem
Iskander mendirikan sekolah itu pada tahun 1862 sebagai Sekolah Guru
(Kweekschool) Tano Bato, sekolah guru pertama di Sumatera Utara.
Untuk menjadi guru sekolah menengah (Middelbaar Onderwijs,
setingkat SMP dan SMA) pada zaman Hindia Belanda, dibutuhkan akta
mengajar yang disebut “MO Akte”. Terdapat dua jenis Akta MO, yaitu MO
A dan MO B.
Akta MO A memberi wewenang penuh untuk mengajar dalam mata
pelajaran tertentu di tingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
yang berarti pendidikan rendah yang diperluas dan HBS. Keduanya adalah
pendidikan pada tingkat SLTP. Sedangkan Akta MO B memberi wewenang
penuh untuk mengajarkan mata pelajaran tertentu pada tingkat Algemene
Middlebare School (AMS), yaitu sekolah menengah umum dan HBS.
Keduanya terdapat pada jenjang SMA.
Pendidikan untuk mendapatkan Akta MO pada umumnya hanya
tersedia di Belanda. Di Hindia Belanda, terdapat pendidikan untuk
mendapatkan Akta MO Ilmu Pasti dan Akta MO A Bahasa Inggris.
Pendidikan untuk Akta MO Ilmu Pasti itu dititipkan pada Technische
Hoogeschool di Bandung (ITB).
Pendidikan guru pada zaman Hindia Belanda tidak hanya
diselenggarakan oleh pemerintah saja, tetapi juga diselenggarakan oleh
pihak swasta. Sekolah-sekolah guru swasta hanya ada pada jenjang
Normaalschool untuk pendidikan guru bagi SD dengan bahasa pengantar
bahasa daerah.
Pada mulanya guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang
tidak berpendidikan khusus untuk memangku jabatan guru. Dalam bukunya
Sejarah Pendidikan Indonesia, Nasution (1987) sejarah jelas melukiskan
12
perkembangan guru di Indonesia. Pada mulanya guru diangkat dari orang-
orang yang tidak memiliki pendidikan khusus yang ditambah dengan orang-
orang yang lulus dari sekolah guru (kweekschool) yang pertama kali
didirikan di Solo tahun 1852. Karena mendesaknya keperluan guru maka
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru yaitu:
a) Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang
penuh.
b) Guru yang bukan sekolah guru, tetapi lulus ujian yang diadakan untuk
menjadi guru.
c) Guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu.
d) Guru yang dimagangkan kepada seorang guru senior, yang merupakan
calon guru.
e) Guru yang diangkat karena keadaan yang sangat mendesak yang berasal
dari warga yang pernah mengecap pendidikan.
2. Era Jepang
Bergantinya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang pada bulan
Maret 1942 memengaruhi pula kebijakan mengenai pendidikan secara
umum. Khusus untuk sekolah guru, Pemerintah Jepang menggabungkan
berbagai sekolah guru menjadi satu sekolah. Pemerintah Jepang hanya
membuka sekolah guru yang didirikan oleh pemerintah, sedangkan sekolah
guru swasta ditutup dan tidak diizinkan untuk dibuka. Hanya perguruan
Muhammadiyah dan Taman Siswa yang diperbolehkan untuk dibuka.
Sekolah guru bentukan pemerintah militer Jepang memiliki sistem
yang berbeda, yaitu adanya peraturan pemisahan antara siswa laki-laki dan
perempuan. Siswa laki-laki menempati sekolah guru laki-laki atau disingkat
SGL, sedangkan siswa perempuan menempati sekolah guru perempuan
(SGP). Para siswa SGL dan SGP merupakan lulusan sekolah dasar yang
kemudian menempuh pendidikan selama empat tahun dalam asrama.
Penerapan sistem asrama ini bertujuan untuk memudahkan
Pemerintah Jepang mengontrol dan mendoktrin siswa melalu beragam
program pendidikan. Program pendidikan tersebut, di antaranya latihan
13
kemiliteran (kyooren), pengabdian masyarakat atau kerja bakti paksa
(kinrohoshi), dan pendidikan jasmani. Sekolah calon guru SD di zaman
Jepang terdapat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Blitar.
14
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, KPKPKB ditingkatkan
menjadi Sekolah Guru B (SGB) 4 tahun dan kemudian menjadi Sekolah
Guru A (SGA) 6 tahun. Pada waktu bersamaan, didirikan pula kursus-
kursus persamaan Sekolah Guru B (4 tahun, sesudah SD) dan persamaan
Sekolah Guru A (3 tahun, setelah SMP) untuk meningkatkan tenaga
pendidikan. Pada perkembangannya, kursus persamaan SGB dan SGA
berubah menjadi SGB dan SGA. Sekitar tahun 1950, terjadi penambahan
jumlah SGA dan SGB di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, untuk menyuplai pendidikan di sekolah menengah,
pemerintah membuka program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama
(PGSLP), Kursus B-I yang lamanya 3 tahun, dan Kursus B-II yang lamanya
2 tahun sesudah B-I untuk diarahkan menjadi guru di Sekolah Lanjutan Atas
(SLA).
Penyelenggaraan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi mulai
berlangsung sejak tahun 1954 dengan didirikannya Pendidikan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung, Malang, Batu Sangkar, dan Tondano
untuk mendidik calon guru SLTA.
Pada tahun 1961, berdasarkan kesepakatan antara Departemen
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen Perguruan
Tinggi, PTPG dimasukan ke dalam universitas sebagai Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ditujukan untuk mendidik calon sekolah
lanjutan (baik lanjutan pertama maupun lanjutan atas). Dengan berdirinya
FKIP, program-program PGSLP, Kursus B-I, dan B-II diintegrasikan dalam
program FKIP.
Dalam perkembangannya, Departemen PD dan K menganggap bahwa
FKIP sebagai lembaga pendidik calon guru tidak memenuhi harapan.
Menteri PD dan K Prijono kemudian mendirikan Institut Pendidikan Guru
(IPG) di bawah Departemen PD dan K sebagai alternatif pengganti FKIP
yang berada di bawah Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan (PTIP). Akibatnya, muncul dualisme penyelenggara lembaga
15
pendidikan untuk guru sekolah menengah, yaitu Departemen PD dan K dan
PTIP.
Keadaan tersebut menimbulkan keresahan di FKIP seluruh Indonesia.
Dalam Konferensi Badan Koordinasi Senat Mahasiswa FKIP seluruh
Indonesia pada tahun 1960, muncul tuntutan kepada Presiden Sukarno untuk
membubarkan IPG.
Akhirnya, melalui Keppres 3/1963 pada tanggal 3 Januari 1963, FKIP
dan IPG dilebur menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di
bawah Departemen PTIP yang setara dengan universitas dan merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan guru untuk sekolah menengah. Sejak itu,
jumlah IKIP terus bertambah hingga 10 IKIP. Di luar itu, di setiap provinsi
yang tidak memiliki IKIP, berkembang FKIP di bawah universitas negeri.
16
ini merupakan kerjasama antara Yayasan Tujuhbelas dengan
DepartemenTranmigrasi, serta Depdikbud menyangkut penempatan serta
pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil. Foto tahun 1984.
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Transmigrasi "17" IV di Kelurahan
Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman. Para lulusan SPG ini akan ditempatkan
di berbagai daerah transmigrasi sebagai pionir bagi para transmigran. SPG
ini merupakan kerjasama antara Yayasan Tujuhbelas dengan
DepartemenTranmigrasi, serta Depdikbud menyangkut penempatan serta
pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil. Foto tahun 1984.
Menjelang tahun 1980, SPG negeri mulai dikurangi karena jumlah
guru yang dibutuhkan oleh sekolah-sekolah mulai tercukupi. SPG secara
bertahap kemudian dialihfungsikan menjadi sekolah menengah atas lainnya.
Alih fungsi tersebut dimulai pada tahun 1989 dan berakhir pada tahun 1990.
Pada saat itu, SPG dialihfungsikan menjadi SMA, SMK, STM, SKK,
maupun sekolah menengah atas lainnya.
IKIP maupun FKIP yang semula dimaksudkan mendidik guru SLTA
kemudian juga mendidik guru SLTP dengan menyelenggarakan crash
program PGSLP dengan beasiswa pada tahun 1970-an di samping juga
menyelenggarakan PGSLA. Pada tahun 1989, SPG dilebur ke dalam
IKIP/FKIP.
Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) juga berfungsi mendidik calon guru TK dan SD melalui program
PGTK dan PGSD.
Pada tahun 1999 dan 2000, sepuluh IKIP berubah nama menjadi
universitas dengan tetap mengemban tugas sebagai lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK). Jumlah tersebut terus bertambah, terutama
dengan berkembangnya jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) swasta. (LITBANG KOMPAS)
Menteri P dan K Dr Daoed Joesoef, hari Sabtu (22/Mei/1982)
mewisuda dan menyerahkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) sekaligus
17
menyerahkan SK pengangkatan sebagai guru SD secara sekaligus. Ini
adalah yang pertama kalinya.
18
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya
memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua
masalah yang memiliki mutualkorelasi yang pemecahannya memerlukan
kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan :
1. Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya.
Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya.
2. Profesionalisme guru masih rendah.
19
BAB lll
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
20
DAFTAR PUSTAKA
PGRI, 2008:7
Surya 2003:2
Topatimasang , 2013:5-6
Maister, 1997
Akadum 1999
Nasution, 1987
21