Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PROFESI KEGURUAN
TENTANG

SEJARAH PROFESI GURU DI INDONESIA


DOSEN PENGAMPU:

DI SUSUN OLEH: KELOMPOK 1

1. FATIMAH

2. JUMRATUL AQABAH

3. M. NUR ALAMSYAH

4. MUHAMMAD RIZAL

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


(STKlP) TAMAN SlSWA BlMA

PROGRAM STUDl PENDIDIKAN MATEMATIKA

TAHUN AKADEMIK 2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayahnya, sehingga penyusunan makalah dengan judul “Sejarah Profesi Guru di
Indonesia” akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Kami berharap dari isi
makalah ini dapat di jadikan suatu pedoman bagi pembaca dalam menulis tugas
ataupun makalah, sehingga pesan/materi dapat tersampaikan dengan baik.
Penyusunan makalah ini pun dikerjakan untuk memenuhi tugas Mata kuliah
Profesi keguruan. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, Amin.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Apabila
ada kekurangan maupun kekeliruan dalam makalah ini, penulis siap menerima
masukan maupun kritik dan saran dari para pembaca supaya makalah ini dapat
digunakan sebagaimana mestinya

Penulis

Bima, 26 September 2023

i
DAFTAR lSl

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR lSl......................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...............................................................................................1
B. TUJUAN...................................................................................................................2
C. MANFAAT...............................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. PENGERTIAN PROFESI KEGURUAN..................................................................3
B. AWAL KEMUNCULAN GURU DI INDONESIA..................................................4
C. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA.................................6
1. Guru di Zaman Pendudukan Belanda.....................................................................6
2. Era Jepang............................................................................................................13
3. Era Kemerdekaan dan Orde Lama........................................................................14
4. Era Orde Baru dan Reformasi..............................................................................16
BAB lll
PENUTUP.......................................................................................................................20
A. KESIMPULAN.......................................................................................................20
B. SARAN...................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Guru sebagai salah satu tenaga kependidikan memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar. Tugas dan tanggung jawab tersebut lebih luas dari
sekedar hanya membuat peserta didik menjadi tahu dan memahami bahan ajar
yang diberikan, yaitu menjadikan peserta didik menjadi manusia terdidik yang
memahami perannya sebagai manusia, sehingga bermanfaat bagi diri dan
lingkungannya. Kinerja guru yang selama ini menjadi wacana dalam
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia, telah menjadikan guru sebagai
salah satu isu sentral mengenai pendidikan secara nasional. Persoalan guru
adalah persoalan pendidikan, dan persoalan pendidikan adalah persoalan
bangsa. Begitulah kira-kira kalangan praktisi pendidikan menggiring isu
tentang guru dalam upaya meningkatkan profesionalime guru.
Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan
khususnya di tingkat institusional. Tanpa guru pendidikan hanya menjadi
slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru (Surya,
2003:2).
Guru pernah mempunyai status yang sangat tinggi dalam manyarakat,
mempunyai wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap sebagai orang yang serba
tahu dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia. Namun, kewibawaan guru
mulai memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan
tegnologi, dan kepedulian guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa
(Sanusi et al., 1991). Dalam era tegnologi yang maju sekarang, guru bukan lagi
satu-satunya tempat bertanya dalam masyarakat. Pendidikan masyarakat
mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru berkurang antara lain
karena ststus guru dianggap kalah gengsi dari jabatan lainnya yang mempunyai
pendapatan yang lebih baik..

1
B. TUJUAN

Adapun tujuan kita mempelajari sejarah perkembangan profesi keguruan/


kependidikan adalah : Agar kita mengetahui bahwa bagaimana sejarah
perkembangan profesi keguruan itu sendiri, apakah untuk mencapai profesi
keguruan langsung tercipta begitu saja ataukah melalui perjuangan panjang
untuk mendapatkan keahlian dalam mengajar.

C. MANFAAT

Setelah membahas makalah ini diharapkan kepada para mahasiswa agar


dapat mengenal bagaimana sejarah profesi keguruan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PROFESI KEGURUAN

Istilah profesi dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk


menunjukkan tentang pekerjaan seseorang. Seseorang yang pekerjaannya
mengajar dikatakan profesinya sebagai guru. lstilah profesi dalam konteks ini
sama artinya dengan pekerjaan atau tugas yang dilakukan oleh seseorang dalam
kehidupan sehari-hari.
Secara etimologi, istilah profesi berasal dari bahasa inggris
yaitu profession atau bahasa Latin , profecus yang artinya mengakui, adanya
pengakuan menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sedangkan secara Terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada
pekerjaan mental yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai
instrument untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual
(Danin,2002). Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok yaitu
pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.
Menurut Anonim (2010), Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan
pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi
biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi
yang khusus untuk bidang profesi tersebut.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
menegaskan guru adalah jabatan profesi sehingga seorang guru harus mampu
melaksanakan tugasnya secara profesional. Dalam UU tersebut disebutkan
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Untuk menjadi pendidik yang professional harus
dimiliki empat kompetensi, salah satunya adalah kompetensi profesional guru.

3
Sejarah pendidikan guru di Indonesia menunjukkan peningkatan
kualifikasi akademik seorang guru. Perkembangan kualifikasi akademik
seorang guru terjalin bersama dengan kebutuhan nyata pengajar di setiap
zaman.
Pada era Kolonial Belanda, untuk mengajar sekolah rakyat (Volkschool)
dengan kurikulum membaca, menulis, dan berhitung, hanya dibutuhkan kursus
selama dua tahun bagi seorang lulusan sekolah dasar.
Saat ini, sejak munculnya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, setiap
guru, baik tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA, wajib memiliki kualifikasi
akademik dari pendidikan tinggi. Sebelumnya, hanya guru yang akan mengajar
SMP atau SMA saja yang harus bergelar sarjana atau program diploma empat.

B. AWAL KEMUNCULAN GURU DI INDONESIA

Guru di Zaman Pra-Hindu Budha, Hindu-Budha, dan Zaman Islam


Masuk di Indonesia
Guru merupakan pekerjaan tertua. Pekerjaan guru ada sejak manusia
mampu berpikir dan mengenal ilmu pengetahuan. Pada awal kemunculan,
seseorang membutuhkan orang lain untuk dimintai pendapat dan dijadikan
panutan. Orang-orang kebanyakan mendatangi pertapa. Ditempat itulah
kebanyakan orang awam percaya bahwa orang yang mampu bertapa/hidup
tanpa ada hasrat keduniawian, memiliki ilmu yang bermanfaat.
Orang-orang yang mendatangi pertapa dan dijadikan muridnya, biasanya
meminta nasihat. Nasihat-nasihat yang diberikan biasanya berupa nasihat
tentang bagaimana menjalani hidup dengan tenang sesuai dengan apa yang
telah ditakdirkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, nasihat tersebut kadang berupa
tugas yang harus dilalui oleh pencari ilmu
Selanjutnya, sistem pendidikan pada masa kerajaan hindu-budha, sudah
mengenal adanya guru. Pada masa agama hindu, yang mengenal sistem kasta,
guru berasal dari kasta Brahmana yang dikenal dengan nama begawan. Dalam
hal ini, kasta guru setingkat lebih rendah dari raja. Oleh karena itu, Begawan
memiliki hak-hak tertentu, dan cenderung dimuliakan oleh. masyarakat karena

4
dianggap sebagai penjelmaan kehidupan spiritual kebenaran. Pada masa itu, di
dalam menyampaikan pengetahuan dari buku suci (Weda), para siswa tinggal
di rumah Begawan tersebut serta mengabdi dengan penuh kesetiaan dan
pengabdian. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada saat ajaran agama
Budha mempengaruhi nusantara. Jejak pengajaran pada masa budha, dapat
diketahui melalui pada zaman kerajaan Sriwijaya. Tujuan utama pendidikan
berdasarkan ajaran Sidharta Gautamma, yakni setiap manusia penganut Budha
dididik menjadi manusia sempurna agar dapat masuk nirwana/ surga. Salah
seorang guru yang terkenal adalah Darmapala. Sistem pengajarannya
menggunakan format asrama sebagai sekolah sekaligus tempat tinggal para
siswa dan guru. “Belajar menjadi etos baru bagi kehidupan umat. Hal ini
dibuktikan melalui bentuk dari salah satu arca di Candi Borobudur. Arca
Dhyani Budha bersikap darma cakra mudra, kedua tangannya di dada
menggambarkan, bahwa manusia hidup harus belajar (PGRI, 2008: 3)”. Corak
pendidikan masa hindu-budha, ternyata memberikan pengaruh pula pada
sistem pendidikan islam.
Masuknya islam ke tanah air mempengaruhi sudut pandang masyarakat,
yang memerlukan pendalaman ajaran agama islam. Oleh karena itu, dikenalah
sistem pesantren. Dalam proses belajarnya, pesantren mengandung corak
ajaran hindu-budha. Pesantren mempercayakan pendidikan pada seorang guru
yang disebut kyai. Pada mulanya pembelajaran dilaksanakan di langgar-
langgar atau pelataran masjid. Namun, karena jumlah santri semakin banyak
maka pembelajaran dilakukan di rumah kiyai. Kemudian untuk dapat
memaksimalkan pemahaman akan ajaran agama islam, maka pesantren
menjadi sistem asrama. Sehingga murid atau santri tinggal berdekatan dengan
guru.
Hal tersebut kemudian membawa pengaruh bagi perkembangan
pesantren, sehingga pesantren menjadi lebih besar peranannya. Selain sebagai
sarana belajar, pesantren telah dipercaya oleh masyarakat sebagai pewaris
nilai-nilai guna melengkapi nilai-nilai yang diajarkan dalam lingkungan
keluarga. Berkembangnya peran pesantren tersebut, akhirnya memunculkan

5
konsekuensi logis adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup bagi para
santri dan guru yang tinggal di pesantren. Akhirnya, pesantren mengajarkan
untuk mengelola alam, sehingga pesantren berupaya mandiri dalam pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Apabila menilik kemampuan pesantren dalam pewarisan nilai-nilai, tidak
lepas dari peran kiai sebagai pemimpin pesantren. Karena pada umumnya
sebuah pesantren dapat berdiri karena gagasan seorang kiai yang telah
mempuni bidang keilmuannya, sehingga perlu meneruskan pengetahuannya
pada generasi selanjutnya.

C. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA

Potret perkembangan pendidikan guru di Indonesia, dapat dibagi dalam


empat periode, yaitu:

1. Guru di Zaman Pendudukan Belanda.


Pada masa kolonial Belanda pun memberikan warna tersendiri pada
pembangunan pendidikan indonesia. Masa kolonial Belanda
memperkenalkan sekolah, yang pada dasarnya mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. “Sekolah pada awal kemunculannya
berkembang di Yunani, yang berarti waktu luang. Hal ini dilakukan oleh
para orang tua yang bekerja, sehingga tidak memiliki waktu untuk
memberikan pengajaran pada anak-anaknya. Sehingga anak-anak
dipercayakan pada orang yang dianggap memiliki pengetahuan yang lebih
di sekolah.
Pada akhirnya sekolah menjadi tempat perkumpulan bagi anak-anak
untuk mengkaji mengenai suatu permasalahan yang berkaitan dengan
keilmuan (Topatimasang, 2013: 5-6)”. Perkembangan sekolah muncul di
berbagai Negara, termasuk Belanda yang pada akhirnya menerapkan sistem
sekolah pula di Indonesia. Namun, sistem sekolah yang diperkenalkan oleh
kaum kolonial terhadap rakyat Indonesia ini hanya diperuntukan bagi orang
Belanda itu sendiri serta kaum ningrat.

6
Adanya sekolah pada masa kolonial, bukan bermaksud mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagaimana hakikat pendidikan. Tetapi, sekolah pada
saat itu mulai memperkenalkan masyarakat pada orientasi bekerja dan upah.
Tujuan utama sekolah ini, yakni menghasilkan tenaga administrasi yang
cakap, yang nantinya bisa dipekerjakan pemerintah, administrasi dan gereja.
Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Belanda.
Tahun 1648, seiring dengan mulai kompleksnya mekanisme
penyelenggaraan pendidikan, maka kali pertama pemerintah Belanda
membuat undang-undang sekolah yang menjadi cikal bakal sistem sekolah
yang dikenal saat ini.Isinya, antara lain:
a) Sekolah yang akan didirikan harus dengan izin pemerintah Belanda
b) Jam sekolah berlangsung mulai pukul 08.00-11.00 atau pukul 14.00-
17.00
c) Pelajaran campuran murid laki-laki dan perempuan dilarang
d) Hari libur dan uang sekolah diatur pemerintah
e) Sekolah-sekolah harus dipantau 2 kali setahun (PGRI, 2008: 7)”
Sedangkan, bagi rakyat pribumi biasa tidak disediakan sekolah oleh
kolonial. Sehingga pendidikan rakyat berlangsung di daerah-daerah secara
mandiri yang dikelola oleh masyarakat setempat.Melalui sistem sekolah
yang dideklarasikan oleh kolonial, maka berimbas pula pada guru. Guru
pada awalnya diangkat secara sembarang, karena kualifikasinya hanya
mampu membaca, menulis dan berhitung saja, serta satu orang guru dapat
mengajar puluhan bahkan ratusan murid.
Akhirnya, pada April 1852 di Surakarta didirikan Kweekschool, yang
merupakan sekolah guru pertama. Sejak inilah guru menjadi sebuah profesi
baru di kalangan masyarakat. Guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah
diikat oleh syarat-syarat tertentu, terutama haruslah tamatan dari sekolah
guru buatan Belanda. Namun, dengan kebijakan tersebut tidak membuat
para guru lupa kulitnya, karena guru justru berupaya mengambil peran
dalam pencerdasan bangsa.

7
Munculnya sekolah yang didirikan Belanda pada kenyataannya
mengilhami beberapa tokoh pejuang bangsa ini untuk turut serta mendirikan
sekolah serupa. Karena dalam sumber lain menyatakan bahwa tujuan
Belanda mendirikan sekolah di Nusantara bukan semata-mata untuk
menjalankan politik yang menguntungkan Belanda. Melainkan terdapat
maksud untuk memberikan satu jejak positif terhadap Negara jajahan agar
mampu mengembangkan dirinya kelak melalui pendidikan. Karena
bagaimanapun akan selalu diamini bahwa pengembangan SDM adalah
melalui pendidikan.
Pada akhirnya, perguliran sejarah pergerakan kebangsaan di tanah air
telah mencatatkan figur guru tidak hanya sebagai pengajar, melainkan juga
sebagai pejuang di garda depan yang mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan. Tokoh-tokoh yang mengembangkan lembaga pendidikan
diantaranya, Organisasi Budi Utomo yang dipimpin oleh Dr.Wahidin Sudiro
Husodo; Muhammadiyah yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan; K.H
Hasyim Ashari yang mendirikan organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang
bertujuan mengembangkan dan memajukan pendidikan anak bangsa; serta
Ki Hajar Dewantara (Suryadi Suryaningrat) yang mendirikan Perguruan
Taman Siswa dengan tiga semboyannya yang sebenarnya dicetuskan oleh
kakak Kartini, Sasro Kartono, yang sengaja diucapkan berdasarkan hasil
pikirannya bahwa sebagai seorang guru harus berada di depan, tengah dan
belakang. Banyak tokoh pejuang lain seperti R.A Kartini, Dewi sartika dan
Rohana Kudus yang juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan
cirri khasnya masing-masing.
Melalui organisasi yang berlatar belakang pendidikan tersebutlah
nyata perjuangan bangsa Indonesia. Guru pada saat itu sudah berupaya
dikelola dengan lebih baik. Karena telah tersedianya berbagai sekolah guru,
namun tetap dalam pengawasan kolonial. Sehingga sekolah guru pun
terkotak-kotakan, ada sekolah guru yang dikhususkan akan mengajar bangsa
Belanda, sekolah guru.

8
Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia dari
Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998 (2009) menyebutkan, terdapat
empat jenis pendidikan bagi calon guru sekolah dasar pada zaman Hindia
Belanda yang dapat dikelompokkan menjadi dua.
Pertama, sekolah guru untuk mereka yang akan mengajar di sekolah
rendah pribumi dengan pengantar bahasa Belanda. Dalam kelompok
pertama ini, terdapat Kweekschool dan Hogere Kweekschool (HKS) yang
kemudian diubah menjadi Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).
Kedua, sekolah guru untuk mereka yang akan menjadi guru pada sekolah
rendah pribumi dengan bahasa pengantar salah satu dari bahasa-bahasa
daerah, seperti Jawa, Sunda, Melayu atau Bugis. Dari kelompok kedua ini,
terdapat Cursus voor Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian
diubah menjadi Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO) serta
Normaalschool atau juga disebut sebagai Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers.
Kweekschool negeri pertama didirikan pada 1852 di Solo oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Jauh sebelumnya, telah didirikan Kweekschool
oleh penyebaran agama Kristen (zending) di Ambon pada tahun 1834. Pada
tahun 1871, muncul peraturan yang menyatakan bahwa pengadaan sekolah
dasar bumiputra harus didahului oleh pengadaan tenaga guru. Atas dasar
peraturan itulah, Kweekschool kemudian diperbanyak. Beberapa
Kweekschool didirikan, antara lain di Tondano pada tahun 1873, Ambon
(1874), Magelang , Probolinggo, Banjarmasin (1875), Makassar (1876), dan
Padang Sidempuan (1879).
Murid yang diterima di Kweekschool adalah mereka yang telah tamat
dari sekolah pemerintahan untuk anak-anak pribumi, berumur paling tidak
12 tahun, dan berasal dari keluarga baik-baik. Namun di kemudian hari,
mereka yang dapat diterima di Kweekschool ini hanya mereka yang telah
tamat kelas VII HIS. Lama studi di Kweekschool ini ditempuh selama 4
tahun.

9
Awalnya, bahasa Belanda hanya merupakan salah satu mata pelajaran
di Kweekschool. Namun, sejak 1915, bahasa Belanda menjadi bahasa
pengantar dalam kegiatan belajar mengajar di Kweekschool. Tamatan
Kweekschool kemudian dapat mengajar di Hollands-Inlandse School (HIS).
Lulusan Kweekschool diberi gaji yang disamakan dengan gaji seorang
asisten wedana, sebesar 50 gulden hingga 150 gulden per bulan. Lulusan
Kweekschool pun mendapat gelar resmi, yakni “mantri guru”, yang
memberikan mereka kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintah
lainnya. Selain itu, mereka juga berhak untuk menggunakan payung,
tombak, tikar, dan kotak sirih menurut ketentuan pemerintah. Mereka juga
mendapat biaya menggaji empat pembantu untuk membawa keempat
lambang kehormatan itu. Tanda-tanda kehormatan itu membangkitkan rasa
hormat, termasuk murid-muridnya sendiri, khususnya anak-anak kaum
ningrat.
Selain Kweekschool, terdapat pula Hogere Kweekschool (HKS) yang
pada tahun 1927 diganti menjadi Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK).
Perubahan tersebut mengikuti perubahan fokus pendidikan di HIK, yakni
dari tekanan pada penguasaan bahasa Belanda secara sempurna menjadi
pengembangan pengetahuan secara luas.
Pendidikan di HIK ditempuh selama enam tahun. Sama seperti
Kweekschool, lulusan HKS maupun HIK kemudian dapat mengajar di
sekolah HIS, tetapi dengan gaji lebih besar, sekitar 175 gulden per bulan.
Gedung Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri I Yogyakarta, awal
Oktober 1988. Dibangun tahun 1904, gedung ini dulu disebut gedung
Kweekschool karena memang menjadi tempat pendidikan para calon guru.
Di sisi lain, terdapat sekolah calon guru sekolah dasar yang nantinya
akan mengajar di sekolah rakyat (Volkschool), yakni Cursus voor
Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian diubah menjadi
Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO). Program CVO berupa
kursus selama dua tahun. Mereka yang diterima sebagai peserta kursus ialah

10
mereka yang sudah tamat kelas V dari Sekolah Pribumi Kelas II (Tweede
Inlansche School/TIS), Vervolgschool, atau Standaardschool.
Metode pembelajaran yang dipakai ialah melihat dan meniru, yaitu
menyaksikan bagaimana para guru senior mengajar dan kemudian mereka
menirukannya. Setelah tamat dari pendidikan ini, para siswa ditempatkan
sebagai guru Volksschool, yaitu SD 3 tahun dengan kurikulum sangat
sederhana, yakni membaca, menulis, dan berhitung.
Selain CVO maupun OVVO, terdapat pula Normaalschool dengan
lama pendidikan empat tahun. Mereka yang diterima sebagai murid pada
sekolah ini ialah mereka yang sudah tamat Kelas V dari Sekolah Pribumi
Kelas II, atau Vervolgschool, atau Standaardschool. Selama empat tahun
pendidikan, mereka mendapatkan 14 mata pelajaran, mulai dari bahasa
daerah, bahasa Melayu, ilmu mendidik, ilmu hitung, ilmu bangun, ilmu
tanam-menanam, ilmu hewan, ilmu alam, ilmu bumi, sejarah, menggambar,
menulis, menyanyi, pendidikan jasmani, hingga permainan di luar sekolah.
Noormaalschool negeri pertama untuk siswa laki-laki didirikan pada
tahun 1915 di sejumlah daerah, yakni Padangpanjang, Jember, Garut,
Jombang, dan Makassar. Sedangkan, Noormaalschool pertama untuk siswa
perempuan didirikan di Padangpanjang (1918), Blitar (1919), Tondano
(1920), dan Salatiga (1933).
Para lulusan Normaalschool ini kemudian ditempatkan sebagai guru
pada SD 5 tahun (Tweede Inlandse School/TIS). Selain membaca, menulis,
berhitung, para siswa TIS mendapatkan pengetahuan ilmu bumi,
pengetahuan alam, dan sejarah.
Salah satu perbedaan dari empat sekolah calon guru sekolah dasar di
atas adalah fasilitas belajar mengajar. Mereka yang sekolah di Kweekschool
maupun HKS/HIK mendapatkan gedung sekolah yang mewah, yang
dilengkapi dengan asrama dan perpustakaan yang lengkap. Sedangkan,
kegiatan kursus CVO maupun OVVO tidak memiliki gedung sendiri, tak
berasrama, dan tak memiliki perpustakaan. Situasi sedikit baik dialami para

11
siswa Normaalschools yang mendapatkan gedung sekolah yang sederhana
dengan perpustakaan yang juga sederhana.
Siswa-siswi SMA Negeri 1 Penyabungan Selatan belajar di
sekolahnya di Jalan Willem Iskander, Kecamatan Penyabungan Selatan,
Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Rabu (27/4/2016). Willem
Iskander mendirikan sekolah itu pada tahun 1862 sebagai Sekolah Guru
(Kweekschool) Tano Bato, sekolah guru pertama di Sumatera Utara.
Untuk menjadi guru sekolah menengah (Middelbaar Onderwijs,
setingkat SMP dan SMA) pada zaman Hindia Belanda, dibutuhkan akta
mengajar yang disebut “MO Akte”. Terdapat dua jenis Akta MO, yaitu MO
A dan MO B.
Akta MO A memberi wewenang penuh untuk mengajar dalam mata
pelajaran tertentu di tingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
yang berarti pendidikan rendah yang diperluas dan HBS. Keduanya adalah
pendidikan pada tingkat SLTP. Sedangkan Akta MO B memberi wewenang
penuh untuk mengajarkan mata pelajaran tertentu pada tingkat Algemene
Middlebare School (AMS), yaitu sekolah menengah umum dan HBS.
Keduanya terdapat pada jenjang SMA.
Pendidikan untuk mendapatkan Akta MO pada umumnya hanya
tersedia di Belanda. Di Hindia Belanda, terdapat pendidikan untuk
mendapatkan Akta MO Ilmu Pasti dan Akta MO A Bahasa Inggris.
Pendidikan untuk Akta MO Ilmu Pasti itu dititipkan pada Technische
Hoogeschool di Bandung (ITB).
Pendidikan guru pada zaman Hindia Belanda tidak hanya
diselenggarakan oleh pemerintah saja, tetapi juga diselenggarakan oleh
pihak swasta. Sekolah-sekolah guru swasta hanya ada pada jenjang
Normaalschool untuk pendidikan guru bagi SD dengan bahasa pengantar
bahasa daerah.
Pada mulanya guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang
tidak berpendidikan khusus untuk memangku jabatan guru. Dalam bukunya
Sejarah Pendidikan Indonesia, Nasution (1987) sejarah jelas melukiskan

12
perkembangan guru di Indonesia. Pada mulanya guru diangkat dari orang-
orang yang tidak memiliki pendidikan khusus yang ditambah dengan orang-
orang yang lulus dari sekolah guru (kweekschool) yang pertama kali
didirikan di Solo tahun 1852. Karena mendesaknya keperluan guru maka
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru yaitu:
a) Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang
penuh.
b) Guru yang bukan sekolah guru, tetapi lulus ujian yang diadakan untuk
menjadi guru.
c) Guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu.
d) Guru yang dimagangkan kepada seorang guru senior, yang merupakan
calon guru.
e) Guru yang diangkat karena keadaan yang sangat mendesak yang berasal
dari warga yang pernah mengecap pendidikan.

2. Era Jepang
Bergantinya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang pada bulan
Maret 1942 memengaruhi pula kebijakan mengenai pendidikan secara
umum. Khusus untuk sekolah guru, Pemerintah Jepang menggabungkan
berbagai sekolah guru menjadi satu sekolah. Pemerintah Jepang hanya
membuka sekolah guru yang didirikan oleh pemerintah, sedangkan sekolah
guru swasta ditutup dan tidak diizinkan untuk dibuka. Hanya perguruan
Muhammadiyah dan Taman Siswa yang diperbolehkan untuk dibuka.
Sekolah guru bentukan pemerintah militer Jepang memiliki sistem
yang berbeda, yaitu adanya peraturan pemisahan antara siswa laki-laki dan
perempuan. Siswa laki-laki menempati sekolah guru laki-laki atau disingkat
SGL, sedangkan siswa perempuan menempati sekolah guru perempuan
(SGP). Para siswa SGL dan SGP merupakan lulusan sekolah dasar yang
kemudian menempuh pendidikan selama empat tahun dalam asrama.
Penerapan sistem asrama ini bertujuan untuk memudahkan
Pemerintah Jepang mengontrol dan mendoktrin siswa melalu beragam
program pendidikan. Program pendidikan tersebut, di antaranya latihan

13
kemiliteran (kyooren), pengabdian masyarakat atau kerja bakti paksa
(kinrohoshi), dan pendidikan jasmani. Sekolah calon guru SD di zaman
Jepang terdapat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Blitar.

3. Era Kemerdekaan dan Orde Lama


Pada awal kemerdekaan 1945, pemerintah menghadapi persoalan
kekurangan tenaga pengajar, selain juga kekurangan gedung sekolah.
Kekurangan guru tersebut disebabkan oleh setidaknya tiga hal. Pertama,
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang menyebutkan
pendidikan merupakan hak rakyat dan pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan nasional. Kedua, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun
1951, provinsi juga memiliki wewenang untuk membangun dan
menyelenggarakan Sekolah Dasar. Ketiga, pemerintah juga mencanangkan
program wajib belajar pada tahun 1961.
Untuk mengatasi kekurangan guru tersebut, pemerintah kemudian
mendirikan lembaga pendidikan guru sementara secara massal yang disebut
Kursus Pengajar untuk Kursus Pengantar Kepada Kewajiban Belajar
(KPKPKB). Pemerintah mendirikan KPKPKB pada bulan September 1950
melalui Keputusan Menteri Pendidikan No. 5033/F tertanggal 5 Juni 1950.
Siswa yang memasuki lembaga pendidikan ini adalah para pelajar
lulusan SD dengan hasil yang baik, kesehatan baik, dan berwatak susila,
serta berumur antara 15-18 tahun. Semua pelajar KPKPKB diharuskan
mengikat kontrak dengan pemerintah dengan jaminan mendapatkan
tunjangan yang diperoleh sebesar Rp 85 per bulan.
Lahirnya KPKPKB dirasa efektif dan dapat dengan cepat mengatasi
masalah kekurangan tenaga pendidik. Terbukti, selama dua tahun KPKPKB
didirikan, sudah dibangun 400 KPKPKB. Dengan banyaknya KPKPKB,
kebutuhan akan tenaga guru untuk pelaksanaan wajib belajar dengan cepat
dapat terpenuhi.
Meskipun keadaan Jakarta genting disebabkan oleh teror
Belanda/Nica, Sekolah Taman Siswa di Jalan Garuda tetap dibuka (Juni
1946).

14
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, KPKPKB ditingkatkan
menjadi Sekolah Guru B (SGB) 4 tahun dan kemudian menjadi Sekolah
Guru A (SGA) 6 tahun. Pada waktu bersamaan, didirikan pula kursus-
kursus persamaan Sekolah Guru B (4 tahun, sesudah SD) dan persamaan
Sekolah Guru A (3 tahun, setelah SMP) untuk meningkatkan tenaga
pendidikan. Pada perkembangannya, kursus persamaan SGB dan SGA
berubah menjadi SGB dan SGA. Sekitar tahun 1950, terjadi penambahan
jumlah SGA dan SGB di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, untuk menyuplai pendidikan di sekolah menengah,
pemerintah membuka program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama
(PGSLP), Kursus B-I yang lamanya 3 tahun, dan Kursus B-II yang lamanya
2 tahun sesudah B-I untuk diarahkan menjadi guru di Sekolah Lanjutan Atas
(SLA).
Penyelenggaraan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi mulai
berlangsung sejak tahun 1954 dengan didirikannya Pendidikan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung, Malang, Batu Sangkar, dan Tondano
untuk mendidik calon guru SLTA.
Pada tahun 1961, berdasarkan kesepakatan antara Departemen
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen Perguruan
Tinggi, PTPG dimasukan ke dalam universitas sebagai Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ditujukan untuk mendidik calon sekolah
lanjutan (baik lanjutan pertama maupun lanjutan atas). Dengan berdirinya
FKIP, program-program PGSLP, Kursus B-I, dan B-II diintegrasikan dalam
program FKIP.
Dalam perkembangannya, Departemen PD dan K menganggap bahwa
FKIP sebagai lembaga pendidik calon guru tidak memenuhi harapan.
Menteri PD dan K Prijono kemudian mendirikan Institut Pendidikan Guru
(IPG) di bawah Departemen PD dan K sebagai alternatif pengganti FKIP
yang berada di bawah Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan (PTIP). Akibatnya, muncul dualisme penyelenggara lembaga

15
pendidikan untuk guru sekolah menengah, yaitu Departemen PD dan K dan
PTIP.
Keadaan tersebut menimbulkan keresahan di FKIP seluruh Indonesia.
Dalam Konferensi Badan Koordinasi Senat Mahasiswa FKIP seluruh
Indonesia pada tahun 1960, muncul tuntutan kepada Presiden Sukarno untuk
membubarkan IPG.
Akhirnya, melalui Keppres 3/1963 pada tanggal 3 Januari 1963, FKIP
dan IPG dilebur menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di
bawah Departemen PTIP yang setara dengan universitas dan merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan guru untuk sekolah menengah. Sejak itu,
jumlah IKIP terus bertambah hingga 10 IKIP. Di luar itu, di setiap provinsi
yang tidak memiliki IKIP, berkembang FKIP di bawah universitas negeri.

4. Era Orde Baru dan Reformasi


Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto menginstruksikan untuk
mendirikan sejumlah 6.000 SD untuk mengatasi persoalan daya tampung.
Akibatnya, muncul masalah kekurangan tenaga pendidik karena banyaknya
sekolah yang dibangun.
Pemerintah kemudian mengembangkan Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) untuk mengatasi kekurangan guru. SPG sebenarnya sudah
dicanangkan sejak tahun 1964, tetapi pelaksanaannya di setiap daerah baru
terlaksana mulai tahun 1967. Pada tahun 1960-an, terdapat 82 SPG di
Indonesia. Jumlah ini menurun pada tahun 1961-1965 yang kemudian
meningkat kembali menjadi 123 SPG.
Pada saat dilaksanakan kebijakan SPG, kurikulum yang digunakan
adalah kurikulum SPG tahun 1968 yang kemudian disempurnakan menjadi
kurikulum SPG tahun 1976. Penggantian kurikulum ini berdasarkan
Keputusan Menteri P dan K tanggal 21 Juli 1976 No.0185/U/1976 tentang
Pembakuan Kurikulum SPG.
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Transmigrasi "17" IV di Kelurahan
Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman. Para lulusan SPG ini akan ditempatkan
di berbagai daerah transmigrasi sebagai pionir bagi para transmigran. SPG

16
ini merupakan kerjasama antara Yayasan Tujuhbelas dengan
DepartemenTranmigrasi, serta Depdikbud menyangkut penempatan serta
pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil. Foto tahun 1984.
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Transmigrasi "17" IV di Kelurahan
Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman. Para lulusan SPG ini akan ditempatkan
di berbagai daerah transmigrasi sebagai pionir bagi para transmigran. SPG
ini merupakan kerjasama antara Yayasan Tujuhbelas dengan
DepartemenTranmigrasi, serta Depdikbud menyangkut penempatan serta
pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil. Foto tahun 1984.
Menjelang tahun 1980, SPG negeri mulai dikurangi karena jumlah
guru yang dibutuhkan oleh sekolah-sekolah mulai tercukupi. SPG secara
bertahap kemudian dialihfungsikan menjadi sekolah menengah atas lainnya.
Alih fungsi tersebut dimulai pada tahun 1989 dan berakhir pada tahun 1990.
Pada saat itu, SPG dialihfungsikan menjadi SMA, SMK, STM, SKK,
maupun sekolah menengah atas lainnya.
IKIP maupun FKIP yang semula dimaksudkan mendidik guru SLTA
kemudian juga mendidik guru SLTP dengan menyelenggarakan crash
program PGSLP dengan beasiswa pada tahun 1970-an di samping juga
menyelenggarakan PGSLA. Pada tahun 1989, SPG dilebur ke dalam
IKIP/FKIP.
Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) juga berfungsi mendidik calon guru TK dan SD melalui program
PGTK dan PGSD.
Pada tahun 1999 dan 2000, sepuluh IKIP berubah nama menjadi
universitas dengan tetap mengemban tugas sebagai lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK). Jumlah tersebut terus bertambah, terutama
dengan berkembangnya jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) swasta. (LITBANG KOMPAS)
Menteri P dan K Dr Daoed Joesoef, hari Sabtu (22/Mei/1982)
mewisuda dan menyerahkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) sekaligus

17
menyerahkan SK pengangkatan sebagai guru SD secara sekaligus. Ini
adalah yang pertama kalinya.

Walaupun jabatan guru tidak harus disebut sebadai jabatan profesional


penuh, status mulai membaik. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) yang mewadahi persatuan guru, dan juga mempunyai
perwakilan di DPR/MPR.
Dalam sejarah pendidikan guru Indonesia, guru pernah mempunyai status
yang sangat tinggi di masyarakat, mempunyai wibawah yang sangat tinggi, dan
dianggap sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya
mendidik anak di depan kelas, mendidik masyarakat, tempat masyarakat untuk
bertanya, baik untuk memecahkan masalah pribadi maupun sosial. Namun,
wibawa guru mulai memudar sejalan dengan kamajuan zaman, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan keperluan guru yang meningkat tentang
imbalan atau balas jasa.
Meskipun sekolah Guru telah diadakan, namun kurikulumnya masih
lebih mementingkan pengetahuan yang akan diajarkan disekolah, sedangkan
materi ilmu mendidikan psikologi belum dicantumkan secara khusus
didalamnya. Sejalan dengan pendirian sekolah-sekolah yag lebih tinggi
tingkatannya dari sekolah umum seperti Hollands Indlandse School(HIS),
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burgeschool (HBS), dan
Algemene Middlebare School(AMS), secara berangsur-angsur didirikan pula
lembaga pendidikan guru atau kursus-kursus penyiapan guru; seperti Hogere
Kweekschool (HKS) untuk guru HIS dan kursus Hoofdacte (HA) untuk calon
kepala sekolah.
Keadaan demikian berlanjut sampai zaman pendudukan Jepang dan awal
perang kemerdekaan. Secara perlahan namun pasti, pendidikan guru
meningkatkan jenjang kualifikasi dan mutunya saat ini lembaga tunggal untuk
pendidikan guru, yakni Lemabga Pendidikan Tenaga Kpendidikan (LPTK).
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.

18
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya
memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua
masalah yang memiliki mutualkorelasi yang pemecahannya memerlukan
kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan :
1. Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya.
Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya.
2. Profesionalisme guru masih rendah.

19
BAB lll
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan yaitu :

1. Istilah profesi dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk menunjukkan


tentang pekerjaan seseorang. Seseorang yang bekerja sebagai
dokter,dikatakan profesinya sebagai dokter dan orang yang pekerjaannya
mengajar di sekolah dikatakan profesinya sebagai Guru.
2. Dilihat dari sejarah, pada awalnya orang-orang diangkat menjadi guru
belum berpendidikan khusus keguruan, dan secara perlahan-lahan tenaga
guru ditambah dengan mengangkat dari lulusan guru (kweek school) yang
pertama kali didirikan di SOLO pada tahun 1852. karena kebutuhan
penambahan sejumlah guru yang semakin mendesak.

B. SARAN

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah kelompok kami


masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kepada Bapak, Ibu
dosen, dan seluruh pembaca agar dapat memberikan kritik dan sarannya
untuk menyempurnakan makalah kelompok kami.

20
DAFTAR PUSTAKA

Kunandar.2010. Guru professional.Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada

Samad,Sulaiman,dkk.2006.Profesi Keguruan. Fip UNM

Soetjipto.2009. Profesi Keguruan. Jakarta:PT. Asdi Maha Satya.

Wahyudi,Iman. 2012. Mengejar Profesional Guru. Jakarta: Prestasi


Pustakaraya.

UU No.14 tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen

PGRI, 2008; 3, Corak Pendidikan Masa Hindu-Budha

PGRI, 2008:7

Surya 2003:2

Topatimasang , 2013:5-6

Buchori Mochtar,2009, Evolusi Pendidikan di lndonesia dari Kweekschool


sampai ke IKIP 1852-1998

Nasution, 1997, Sejarah Pendidikan lndonesia

Maister, 1997

Akadum 1999

Sanusi et al., 1991

Nasution, 1987

21

Anda mungkin juga menyukai