Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada tinjauan pustaka berisi tentang penjabaran terkait penelitian terdahulu

yang relevan serta beberapa teori dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan

penelitian. Sebagaimana diketahui bahwa mitigasi bencana merupakan aspek

penting yang harus dilakukan agar meminimalisir dampak buruk dari sebuah

bencana. Hal ini dilakukan karena hanya dengan mitigasi bencana akan terlihat

beberapa potensi kerugian dan cara mengurangi kerugian tersebut melalui persiapan

yang tentunya harus mendapat dukungan dari setiap pihak.

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu digunakan sebagai gambaran awal pada penelitian yang

akan dilaksanakan, penelitian terdahulu yang terdapat dalam penelitian ini secara

umum berkaitan dengan mitigasi bencana dan bencana kekeringan dengan

pendekatan penelitian kualitatif. Penjabaran tentang penelitian terdahulu dalam

penelitian ini dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu

No. Nama dan Judul Tujuan Metode Kesimpulan


Tahun Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
1. Wicaksono Analisis Mitigasi Mengetahui Menggunakan Pemahaman
& Bencana dalam pemahaman pendekatan masyarakat
Pangestuti Meminimalisir masyarakat kualitatif Kampung
(2019) Risiko Bencana Kampung deskriptif Wisata Jodipan
(Studi pada Wisata Jodipan terhadap
Kampung Wisata terhadap mitigasi bencana
Jodipan Kota mitigasi bencana bisa dibilang
Malang) dan Upaya cukup dalam
mitigasi bencana pelaksanaan,
oleh masyarakat namun kurang
Kampung dalam hal teori,
Wisata Jodipan

27
No. Nama dan Judul Tujuan Metode Kesimpulan
Tahun Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
pola hidup atau
kebiasaan
masyarakat
Kampung
Wisata Jodipan
untuk mulai
menjaga
lingkungan
terutama
kebersihan
sungai agar
terhindar dari
risiko yang
didapat
2. Nasyiruddin Strategi Mengetahui Menggunakan Strategi
et al. (2015) Pemerintah strategi pendekatan penanggulangan
Daerah dalam penanggulangan deskriptif bencana banjir
Penanggulangan bencana banjir kualitatif di Kabupaten
Bencana Banjir di di Kabupaten Bantaeng yang
Kabupaten Bantaeng telah dilakukan
Bantaeng yaitu dengan
menyediakan
sarana dan
prasarana berupa
alat dan lahan
untuk
membangun
waduk, sebagai
penampung air
dari DAS dan
anak sungai
ketika datang
terjangan hujan
3. Sadat Intergovernmental Mengetahui Menggunakan Implementasi
(2019) dalam implementasi metode dari konsep
Penanganan dari konsep penelitian intergovermental
Bencana Alam intergovermental kualitatif dalam
Pemerintahan dalam deskriptif penanganan
Daerah penanganan bencana di
daerah memiliki

28
No. Nama dan Judul Tujuan Metode Kesimpulan
Tahun Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
bencana di relevansi yang
daerah kuat, namun
perhatian
Pemerintah
Daerah terhadap
model
Penanggulangan
Bencana secara
bersama sama
masih rendah
4. Falah & Kelembagaan Mengkaji Analisis data Pemerintah
Purwanto Mitigasi kelembagaan dilakukan Kabupaten
(2018) Kekeringan di mitigasi secara Grobogan telah
Kabupaten kekeringan di kualitatif mengeluarkan
Grobogan Kabupaten enam peraturan
Grobogan terkait
penanggulangan
bencana secara
umum serta
strategi
penyediaan air
minum, belum
ada rencana
induk untuk
antisipasi dan
mitigasi bencana
kekeringan.
5. Nahar Studi Deskriptif Mengkaji Menggunakan Strategi
(2016) tentang Strategi strategi Badan metode penanggulangan
Badan Penanggulangan penelitian bencana
Penanggulangan Bencana Daerah kualitatif kekeringan
Bencana Daerah Kabupaten dengan tipe meliputi pada
Kabupaten Pasuruan dalam penelitian tiga tahapan
Pasuruan dalam Penanggulangan deskriptif penanggulangan
Penanggulangan Bencana becana, yaitu
Bencana Kekeringan tahap Pra
Kekeringan di Wilayah bencana,
di Wilayah Kabupaten tanggap darurat
Kabupaten Pasuruan dan pasca
Pasuruan Bencana.

29
2.2 Tinjauan Teori

2.2.1 Implementasi Program

Sebelum membahas tentang model implementasi program, perlu diketahui

bahwa program merupakan bentuk nyata atau aplikatif dari kebijakan. Hal ini

karena kebijakan seringkali berhubungan dengan dorongan dan peraturan. Program

membutuhkan baik aturan maupun implementasi. Selain itu, kebijakan merupakan

praktika sosial, kebijakan bukan peristiwa yang tunggal atau terisolir. Oleh karena

itu, kebijakan merupakan sesuatu yang dihasilkan pemerintah yang dirumuskan

berdasarkan dari segala kejadian yang terjadi di masyarakat. Kejadian tersebut ini

tumbuh dalam praktika kehidupan kemasyarakatan, dan bukan merupakan

peristiwa yang berdiri sendiri, terisolasi, dan asing bagi masyarakat.1

Berdasarkan kenyataan bahwa kebijakan dalam ranah publik merupakan

suatu bentuk rumusan atau rencana program guna menyelesaikan suatu

permasalahan di masyarakat, maka program menjadi salah bentuk pelaksanaan

yang bisa digunakan untuk merealisasikan kebijakan yang telah dirumuskan

sebelumnya. Berkaitan dengan hal itu, maka realisasi program sebagai ujung dari

kebijakan harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu terkait dengan lembaga

yang yang menjalankan program, alokasi sumberdaya serta keputusan dalam

melaksanakan program tersebut2. Guna memahami lebih jauh tentang program

sebagai pelaksanaan dari rumusan kebijakan, pada poin berikut disajikan beberapa

model implementasi program.

1
Thoha, M. 2012. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
2
Ramdhani, A dan Ramdhani, M. 2017. Konsep Umum Pelaksanaan Kebijakan Publik. Jurnal
Publik. Vol. 11 (1): 1-12

30
Salah satu model implementasi progrom adalah teori George Edward III

menjelaskan bahwa masalah implementasi terlebih dahulu dikemukakan dari dua

pertanyaan pokok, yakni: faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi

kebijakan dan faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan.

Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut, oleh Edward III dirumuskan empat faktor

yang mempengaruhi keberhasilan implementasi yakni komunikasi, sumber daya,

sikap dan struktur birokrasi.3

Pertama, komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan

dikomunikasikan para organisasi atau publik. Implementasi program akan berjalan

secara efektif bila mereka yang melaksanakan program mengetahui apa yang harus

mereka lakukan sehingga tujuan dan sasaran program dapat dicapai sesuai dengan

yang diharapakan. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan

informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan.

Kedua, Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam

mengimplementasikan kebijakan dengan baik. Indikator-indikator yang digunakan

untuk melihat sejauhmana sumberdaya dapat berjalan dengan baik meliputi empat

komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan

guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas

atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.

Ketiga, disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki

implementor. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan

menjalankan kebijakan dengan baik. Jika implementasi suatu kebijakan ingin

efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang

3
Akib dan Tarigan. 2008. Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif, Model dan
Kriteria Pengukurannya. Jurnal Kebijakan Publik: Vol 2 tahun 2008.

31
akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk mekaksanakannya,

sehingga dalam praktiknya tidak menjadi bias.

Keempat, struktur organisasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut

adanya kerjasama banyak orang. Struktur birokasi ini mencangkup aspek-aspek

seperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit

organisasi dan sebagainya. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap

organisasi adalah adanya prosedur operasi (Standard Operating Procedures atau

SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Keempat

faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi yang berjalan secara

simultan dan saling berpengaruh satu sama lain dalam pandangan George Edward

III.

2.2.2 Mitigasi Bencana

1. Pengertian Mitigasi Bencana

Mitigasi Bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko

bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana. Selanjutnya menurut Pusponegoro &

Sujudi (2016) menjelaskan bahwa pencegahan atau mitigasi bencana adalah

tindakan atau upaya melalui berbagai cara, untuk mencegah terjadinya bencana atau

paling tidak mengurangi efeknya.4

Selanjutnya menurut Herdwiyanti & Sudaryono (2013) menyatakan bahwa

Tingkat resiko bencana selain ditentukan oleh potensi bencana juga ditentukan oleh

upaya mitigasi bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Dalam

siklus penanggulangan bencana, mitigasi bencana termasuk dalam kategori

4
Pusponegoro, A. D., & Sujudi, A. (2016). Kegawatdaruratan Dan Bencana: Solusi Dan Petunjuk
Teknis Penanggulangan Medik Dan Kesehatan. Jakarta: Rayyana Komunikasindo.

32
prabencana dimana situasi tidak terjadi bencana. Upaya atau kegiatan dalam rangka

pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya

bencana serta mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh bencana.5

Berdasarkan beberapa penjelasan teoritis tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa mitigasi bencana merupakan setiap aspek dan upaya untuk mengurangi

terjadinya dampak negatif dari bencana yang terjadi baik secara alami ataupun

karena tindakan manusia.

2. Pengertian Kekeringan

Fenomena alam seringkali memiliki dampak yang merugikan, mesipun

sebenarnya dalam fenomena yang merugikan tersebut ada campur tangan manusia,

hal ini juga terjadi pada fenomena kekeringan yang menyebabkan kerugian dalam

beberapa aspek misalnya berkurangnya kualitas sanitasi, pengairan pertanian yang

minim dan berdampak pada ketahanan pangan. Kekeringan bisa disebabkan oleh

fenomena alam berupa panjangnya masa musim kemarau serta faktor eksternal oleh

campur tangan manusia misalnya alih fungsi lahan hijau serapan air menjadi

perumahan. Kekeringan (drought) adalah merupakan salah satu bencana yang sulit

dicegah serta berpengaruh terhadap ketersediaan cadangan air dalam tanah, baik

yang diperlukan untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan manusia.

Kekeringan merupakan sebuah fenomena alam yang biasa terjadi akibat dari

pengaruh iklim. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa menjadi kendala dalam

peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di Indonesia pada setiap musim

5
Herdwiyanti, F dan Sudaryono. 2013. Perbendaan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau
Dari Tingkat Self Efikasi Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Daaerah Dampak Bencana Gunung
Kelud. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial. 2 (1):1-7

33
kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas

dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya6.

Baharsjah dan Fagi mengatakan bahwa kekeringan merupakan faktor

penghambat pertumbuhan produksi padi, yang selanjutnya mempengaruhi

perekonomian nasional. Sebagian wilayah Indonesia kekeringan merupakan suatu

masalah yang harus dihadapi hampir setiap tahun. Seperti yang terjadi pada tahun

1994, kekeringan di pulau Jawa telah menghancurkan 290.457 ha tanaman padi atau

sekitar 79% dari luas total seluruh Indonesia.7

Kekeringan (kemarau) dapat timbul karena gejala alam yang terjadi di bumi

ini. Kekeringan terjadi karena adanya pergantian musim. Pergantian musim

merupakan dampak dari iklim. Pergantian musim dibedakan oleh banyaknya curah

hujan. Pengetahuan tentang musim bermanfaat bagi para petani untuk menentukan

waktu tanam dan panen dari hasil pertanian. Kekeringan merupakan gambaran

umum iklim meskipun banyak kekeliruan mengingat hal tersebut jarang terjadi dan

terjadi tiba-tiba. Kekeringan juga disebut sebagai penyimpangan sementara, yang

membedakan dari kegersangan, yang dibatasi wilayah curah hujan yang rendah dan

merupakan ciri iklim Namun, pada dasarnya kekeringan mengandung hubungan

antara ketersediaan dan kebutuhan air, dimana kekeringan bermula dari defisiensi

curah hujan dengan periode waktu terpanjang.

Pada musim kemarau, sungai akan mengalami kekeringan. Pada saat

kekeringan, sungai dan waduk tidak dapat berfungsi dengan baik. Akibatnya

sawah-sawah yang menggunakan sistem pengairan dari air hujan juga mengalami

6
Puturuhu, F. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan jauh. Yogyakarta : Graha Ilmu
7
Fagi, A. M & Syam. 2002. Penelitian Padi: Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional,
Subang: Balai Penelitian Padi

34
kekeringan. Sawah yang kering tidak dapat menghasilkan panen. Selain itu,

pasokan air bersih juga berkurang. Air yang dibutuhkan sehari-hari menjadi langka

keberadaannya. Kekeringan pada suatu kawasan merupakan suatu kondisi yang

umumnya mengganggu keseimbangan makhluk hidup. Kekeringan merupakan

salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global

seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering

terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun

dalam keadaan kondisi normal. Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam

tergantung dari cara meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan

tanah dimana tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan

tanaman khususnya tanaman pangan. 8

3. Klasifikasi Kekeringan

Untuk memudahkan dalam memahami masalah kekeringan, maka dibuatlah

klasifikasi kekeringan yang terdiri dari kekeringan yang terjadi secara alamiah dan

oleh ulah manusia (antropogenik), sebagai berikut:

a. Kekeringan Alamiah

Kekeringan alamiah bisa dikelompokan berdasarkan jenisnya yaitu:9

1) Kekeringan Meteorologis (meteorological drought)

Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam

satu musim. Kekeringan meteorologis, berasal dari kurangnya curah hujan

dan didasarkan pada tingkat kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan

normal atau rata - rata dan lamanya periode kering. Perbandingan ini haruslah

bersifat khusus untuk daerah tertentu dan bisa diukur pada musim harian dan

8
Puturuhu, F. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan jauh. Yogyakarta : Graha Ilmu
9
Idem.

35
bulanan, atau jumlah curah hujan skala waktu tahunan. Kekurangan curah

hujan sendiri, tidak selalu menciptakan bahaya kekeringan. Pengukuran

kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.

Secara lebih spesifik kekeringan meteorologis didefinisikan sebagai suatu

interval waktu yang mana suplai air hujan aktual pada suatu lokasi jatuh/turun

lebih pendek dibandingkan suplai air klimatologis yang sesungguhnya sesuai

estimasi normal. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis

sebagai berikut:10

a) Kering: apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah

hujan di bawah normal)

b) Sangat kering: apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal

(curah hujan jauh di bawah normal).

c) Amat sangat kering: apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi

normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).

2) Kekeringan Hidrologis (hydrological drought)

Kekeringan hidrologis mencakup berkurangnya sumber- sumber air seperti

sungai, air tanah, danau dan tempat - tempat cadangan air. Definisinya

mencangkup data tentang ketersediaan dan tingkat penggunaan yang

dikaitkan dengan kegiatan wajar dari sistem yang dipasok (sistem domestik,

industri, pertanian yang menggunakan irigasi). Salah satu dampaknya adalah

kompetisi antara pemakai air dalam sistem - sistem penyimpanan air ini.

Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau

dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan

10
Palmer, W. C. 1965. Meteorological Drought. Washington D.C : United States: Government
Printing Office.

36
sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka

air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya

kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah

sebagai berikut:11

a) Kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah

periode 5 tahunan

b) Sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh

di bawah periode 25 tahunan

c) Amat sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran

amat jauh di bawah periode 50 tahunan

3) Kekeringan Pertanian (agriculture drought)

Kekeringan peratanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan

hidrologi terhadap produksi tanaman pangan dan temak. Kekeringan ini

terjadi ketika kelembapan tanah tidak mencukupi untuk mempertahankan

hasil dan pertumbuhan rata – rata tanaman atau dengan kata lain berhubungan

dengan kekurangan lengastanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak

mampumemenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu

pada wilayah yang luas. Kebutuhan air bagi tanaman, bagaimanapun juga

tergantung pada jenis tanaman, tingkat pertumbuhan dan sarana- sarana

tanah. Dampak dari kekeringan pertanian sulit untuk bisa diukur karena

rumitnya pertumbuhan tanaman dan kemungkinan adanya faktor-faktor lain

yang bisa mengurangi hasil seperti hama, alang-alang, tingkat kesuburan

tanah yang rendah dan harga hasil tanaman yang rendah. Kekeringan

11
Puturuhu, F. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan jauh. Yogyakarta : Graha Ilmu

37
kelaparan bisa dianggap sebagai satu bentuk kekeringan yang ekstrim,

dimana kekurangan banjir sudah begitu parahnya sehingga sejumlah besar

menusia menjadi tidak sehat atau mati. Bencana kelaparan biasanya

mempunyai penyebab-penyebab yang kompleks sering kali mencangkup

perang dan konflik. Meskipun kelangkaan pangan merupakan faktor utama

dalam bencana kelaparan, kematian dapat muncul sebagai akibat dari

pengaruh - pengaruh yang tumit lainnya seperti penyakit atau kurangnya

akses dan jasa-jasa lainnya.

Kekeringan pertanian sebagai suatu periode ketika air tanah tidak cukup

memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan

tanaman mati. Definisi kekeringan hidrologis adalah suatu periode di mana

bila untuk sungai alirannya di bawah normal atau bila untuk waduk

tampungan air tidak ada (habis). Kekeringan sosial ekonomi adalah hasil

proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena dampak

kekeringan Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan

meteorologi. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah

sebagai berikut12:

a) Kering: apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan

s/d sedang)

b) Sangat kering: apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung

daun (terkena berat)

c) Amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)

12
Idem.

38
4) Kekeringan Sosio Ekonomi (socio-economic drought)

Kekeringan Sosio Ekonomi berhubungan dengan ketersediaan dan

permintaan akan barang-barang dan jasa dengan tiga jenis kekeringan yang

disebutkan diatas, atau dengan kata lain bahwa kekeringan Sosial Ekonomi

berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari

kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, dan

pertanian. Ketika persediaan barang - barang seperti air, jerami atau jasa

seperti energi listrik tergantung pada cuaca, kekeringan bisa menyebabkan

kekurangan. Konsep kekeringan sosioekonomi mengenali hubungan antara

kekeringan dan aktivitas-aktivitas manusia. Sebagai contoh, praktek-praktek

penggunaan lahan yang jelek semakin memperburuk dampak-dampak dan

kerentanan terhadap kekeringan di masa mendatang. Intensitas kekeringan

sosial ekonomi diklasifikasikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Intensitas Kekeringan Sosial Ekonomi

No. Kategori Ketersediaan Pemenuhan Kebutuhan Jarak ke


air (Liter/ untuk Sumber
orang/hari) Air (km)
1 Kering Langka >30 Minum, masak, cuci alat 0,1-0,5
Terbatas <60 masak/makan, mandi terbatas
2 Kering >10 Minum, masak, cuci alat 0,5 -3
(Langka) <30 masak/makan, mandi
3 Kering (Kritis) <30 Minum, masak >3
Sumber: Puturuhu (2015)

b. Kekeringan oleh Ulah Manusia (Antropogenik)

Kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan manusia terhadap aturan

yang ada sehingga menyebabkan kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang

direncanakan, sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola

tanam/penggunaan air, kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air

39
akibat perbuatan manusia. Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi

apabila:

1) Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%

2) Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%

3) Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.

Berdasarkan uraian klasifikasi kekeringan di atas, maka gejala terjadinya

kekeringan sebagai berikut:

1) Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah

normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan

indikasi pertama adanya bencana kekeringan. Keterkaitan ini dapat

digambarkan lewat siklus hidrologi.

2) Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air

permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air

sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan

indikasi awal adanya kekeringan.

3) Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah

(kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan

tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang

menyebabkan tanaman menjadi kering.

4. Dampak Bencana Kekeringan

Beberapa akibat bencana kekeringan diantaranya adalah dalam sektor

ekonomi, lingkungan, dan sosial13.

13
Shelia, B, Reed. Pengantar tentang bahaya. 1995. Jakarta: Program Pelatihan Manajemen Bencana

40
a. Ekonomi

Beberapa dampak bencana kekeringan pada aspek ekonomi diantaranya:

1) Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak, kayu, dan

perikanan.

2) Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional

3) Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara langsung

4) Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi

5) Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-biaya

energi

6) Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian

7) Menurunnya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga pangan

8) Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait dengan

kekeringan

9) Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya kejenuhan

pada lembaga-lembaga keuangan

b. Lingkungan

Selain berdampak pada sektor ekonomi, bencana kekeringan juga bisa

berdampak pada kerusakan lingkungan, diantaranya:

a) Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang

b) Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah

c) Kerusakan spesies tanaman

d) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi)

e) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan, berkurangnya

daya pandang)

41
c. Sosial

Dampak ketiga dari bencana kekeringan yaitu dampak sosial yang bisa dirasakan

secara langsung oleh manusia, dampak bencana kekeringan pada sektor sosial

diantaranya:

a) Pengaruh-pengaruh kekurangan pangan (kekurangan gizi, kelaparan)

b) Hilangnya nyawa manusia karena kekurangan pangan atau kondisi-kondisi

yang terkait dengan kekeringan

c) Konflik di antara penggunan air

d) Masalah kesehatan karena menurunnya pasokan air

e) Ketidakadilan dalam distribusi akibat dampak-dampak kekeringan dan

bantuan pemulihan

f) Menurunnya kondisi-kondisi kehidupan di daerah pedesaan

g) Meningkatnya kemiskinan, berkurangnya kualitas hidup

h) Kekacauan social, perselisihan sipil

i) Migrasi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan atau bantuan pemulihan

5. Mitigasi Bencana Kekeringan

Jika dilihat dari beberapa fenomena kekeringan yang terjadi di Indonesia,

maka diketahui bahwa masalah kekeringan menjadi hal rutin yang terjadi di

Indonesia. Tetapi penangangan untuk pencegahan dan penanggulangan sangat

lamban sehingga menjadi masalah berkepanjangan yang tidak terselesaikan.

Bahkan terus berulang dan semakin menyebar ke daerah-daerah yang tadinya tidak

berpotensi terjadi kekeringan. Terdapat dua alternatif untuk mempertahankan

pasokan kebutuhan air dalam meminimalisir terjadinya kekeringan yaitu14:

14
Puturuhu, F. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan jauh. Yogyakarta : Graha Ilmu

42
a. Mengoptimalkan suplay air berlebih pada musim hujan dengan menampung air

hujan dan meningkatkan area resapan air.

Alternatif pertama memang harus dikembangkan di Jawa yang sudah lebih

mapan dalam bidang pertanian. Pengembangan teknologi embung dan kanal

reservoir sudah terbukti dapat membantu mengatasi kekurangan air pada bulan

kemarau. Selain itu untuk daerah aliran sungai perlu penganganan lebih serius

karena banyaknya lahan hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan beralih

fungsi ke peruntukan yang lain seperti pemukiman. Kondisi tersebut mendorong

hujan yang jatuh dialiran sungai tidak tertahan dan langsung mengalir ke sistem

jaringan sungai yang menyebabkan melimpahnya air sungai dan membawa

endapan tanah akibat erosi. Tingginya erosi di DAS cenderung menyebabkan

pendangkalan sungai. Sedangkan pada musim kemarau pada satu sisi curah

hujan rendah ditambah dengan simpanan air tanah sedikit menyebabkan debit

aliran sungai sangat kecil dan volume air cenderung rendah. Untuk tindakan

yang perlu dilakukan pada aliran sungai yaitu dengan membuat bendungan untuk

menyimpan air pada musim hujan. Memang biaya yang diperlukan sangat tinggi,

tetapi manfaat yang dirasakan lebih tinggi dan langsung menyentuh kebutuhan

pengguna.

b. Mengembangkan area pertanian di luar Jawa dengan sentuhan teknologi ramah

lingkungan untuk beradaptasi dengan kondisi lahan yang sebagian besar

didominasi lahan gambut.

Alternatif kedua cenderung dikembangkan diluar Jawa yang memang

ketersedian air lebih tinggi dan lahan relative lebih luas. Pemikiran yang

melatarbelakangi yaitu lahan sawah di Jawa dari tahun ke tahun terus berkurang

43
karena kebutuhan lahan untuk pembagunan terus meningkat. Pemerintah perlu

bertindak nyata di luar Jawa terutama Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan

mengalokasikan sebagian Jahan untuk pertanian. Dengan catatan tidak

mengulang kegagalan pembukaan lahan sejuta hektar di Kalimantan. Aksi nyata

ini juga dimungkinkan untuk merefungsikan kembali hutan gundul akibat illegal

logging dan kebakaran hutan sehingga tidak terbengkalai terlalu lama dan dapat

berfungsi untuk mengatasi krisis pangan yang mulai menghantui bangsa

Indonesia.

6. Tahapan Mitigasi Bencana Kekeringan

Bencana kekeringan biasanya terjadi secara musiman, yakni pada musim

kemarau dengan curah hujan yang rendah sehingga berdampak pada ketersediaan

air yang kurang baik air untuk irigasi pertanian ataupun untuk digunakan dalam

kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, BPBD pada setiap daerah beserta perangkan

pemerintah daerah lainnya mengupayakan agar dampak bencana kekeringan bisa

diminimalisir melalui mitigasi. Tahapan dalam mitigasi bencana kekeringan dibagi

menjadi tiga tahapan utama yaitu pra bencana, saat terjadi bencana dan setelah

terjadi bencana kekeringan atau pasca bencana kekeringan. Tahapan-tahapan

tersebut dijelaskan pada poin berikut.15

a. Tahapan pra bencana

Tahapan pra bencana lebih menekankan pada upaya panen air merupakan

cara pengumpulan atau penampungan air hujan atau air pada aliran saat curah

hujan tinggi. Penampungan ini bisa digunakan saat curah hujan menurun namun

masih memiliki tampungan air. Panen air harus diikuti dengan konservasi air,

15
BPBD Kab. Kendal. 2019. Laporan Akhir Penyusunan Rencana Kontijensi Bencana Kekeringan
di Kabupate Kendal. Yogyakarta: Consultant

44
yakni menggunakan air yang sudah dipanen secara hemat sesuai kebutuhan.

Pembuatan rorak merupakan contoh tindakan panen air aliran permukaan dan

sekaligus juga tindakan konservasi air.

Kegiatan-kegiatan di bidang pencegahan dan mitigasi menempati porsi

atau peran terbesar dalam tahapan pra bencana. Beberapa kegiatan tersebut

diantaranya, masyarakat di sarankan untuk memanfaatkan sumber air yang ada

secara efektif dan efisien, memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang

tersedia untuk keperluan air baku untuk air bersih, menanam pohon sebanyak-

banyaknya di lingkungan sekitar, membuat waduk (embung) disesuaikan dengan

keadaan lingkungan, membuat dan memperbanyak resapan air dengan tidak

menutup semua permukaan dengan plester semen atau ubin keramik,

memberikan perlindungan sumber sumber air bersih yang tersedia, dan

melakukan panen dan konservasi air.

b. Tahapan saat terjadi bencana

Kegiatan-kegiatan di bidang tanggap darurat menempati porsi atau peran

lebih besar dalam tahapan saat terjadi bencana. Selain itu, pada saat musim

kemarau adalah kebakaran lahan dan hutan, jadi lebih bijak lah dalam melakukan

pembakaran sampah di sekitar lingkungan. Kegiatan pada tahapan saat terjadi

bencana yaitu membuat sumur pantek atau sumur bor untuk mendapatkan air,

menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas

terkait, melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan,

menyediakan pompa air, melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian

secara darurat seperti gilir giring.

45
c. Tahapan setelah terjadi bencana

Kegiatan-kegiatan di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi menempati porsi

dan peran lebih besar, tahapan setelah terjadi bencana meliputi beberapa

kegiatan yaitu reboisasi di wilayah sekitar sumber mata air, reboisasi kawasan

sabuk hijau sekitar waduk, rehabilitasi lahan dan konservasi tanah lahan kritis,

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), pembangunan demplot

sumur resapan di wilayah rawan kekeringan, dan pembangunan atau

pengembangan sistem IPA (Instalasi Penampungan Air) mini.

7. Jenis Mitigasi Bencana

Menurut pemaparan Ulum (2013) menjelaskan bahwa mitigasi secara umum

dibagi menjadi dua aspek utama yaitu mitigasi struktural dan mitigasi fungsional.16

a. Mitigasi Struktural

Mitigasi strukural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang

dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan

pendekatan teknologi. Selain itu, mitigasi struktural berhubungan dengan upaya

untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara

rekayasa teknis. Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang

direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau

mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila bencana yang

bersangkutan terjadi.

b. Mitigasi Fungsional

Mitigasi fungsional atau yang biasa disebut sebagai mitigasi non-struktural

adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya struktural. Bisa dalam

16
Ulum, MC. 2013. Governance Dan Capacity Building Dalam Manajemen Bencana Banjir Di
Indonesia. Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4 (2): 5-12

46
lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan dan bisa

berupa capacity building masyarakat dengan pelatihan tangguh bencana. Hal ini

semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan

bencana.

2.3 Kerangka Berfikir

Secara umum kerangka berfikir dalam penelitian dijelaskan pada gambar

berikut:

Undang-Undang No. 24 tahun 2007


tentang Penanggulangan Bencana

Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2011 tentang Penanggulangan


Bencana di Kabupaten Lamongan

Kabupaten Lamongan sering terjadi bencana kekeringan, salah satu faktornya


karena Pasokan air di Kabupaten Lamongan hanya mengandalkan aliran
sungai Bengawan Solo dan waduk-waduk yang ada yang juga masih
mengandalkan air hujan (Nurrahman dan Pamungkas, 2013)

Program pemerintah dalam Mitigasi Bencana Kekeringan di Kabupaten


Lamongan

Mitigasi Bencana (Pra Bencana) Kekeringan

Badan Penanggulangan Bencana Dinas Pekerjaan Umum Pengairan


Daerah (BPBD) Kabupaten Kab. Lamongan
Lamongan

Program pemerintah dalam mitigasi Faktor penghambat dan pendukung


bencana kekeringan di Kabupaten pemerintah daerah dalam mitigasi
Lamongan tahun 2020 bencana kekeringan di Kabupaten
Lamongan tahun 2020

Gambar 1. Kerangka Berfikir

47
Pada penelitian tentang Program pemerintah dalam Mitigasi Bencana

Kekeringan di Kabupaten Lamongan berangkat dari Undang-Undang No. 24 tahun

2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menjelaskan bahwa pemerintah

daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk ikut serta dalam

penanggulangan bencana. Sebagaimana diketahui pada bab sebelumnya bahwa

bencana kekeringan sering terjadi di Kabupaten Lamongan, maka Pemerintah

Kabupaten Lamongan membentuk Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2011 tentang

Penanggulangan Bencana di Kabupaten Lamongan yang menjelaskan tentang

langkah-langkah mitigasi pada pra bencana agar meminimalisir dampak bencana,

termasuk bencana kekeringan yang sering terjadi di Kabupaten Lamongan.

Pada Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2011 tentang Penanggulangan

Bencana di Kabupaten Lamongan tersebut dijelaskan bahwa salah satu lembaga

pemerintah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam hal

penanggulangan bencana adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Kabupaten Lamongan. Pada mitigasi bencana kekeringan, Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lamongan melakukan kerjasama dengan

lembaga pemerintahan yang lain yaitu Dinas Pekerjaan Umum Pengairan

Kabupaten Lamongan. Selanjutnya dari beberapa lembaga pemerintahan tersebut

nantinya akan diperoleh gambaran tentang program pemerintah dalam mitigasi

bencana kekeringan di Kabupaten Lamongan, serta faktor penghambat dan

pendukung pemerintah daerah dalam mitigasi bencana kekeringan di Kabupaten

Lamongan.

48

Anda mungkin juga menyukai