Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MKU

GANGGUAN KESEIMBANGAN FOSFAT


PADA PENDERITA GIZI BURUK

SITI HUZAIFAH
C105211007

Pembimbing:
dr. Setia Budi Salekede, SpA (K)
dr. Sri Hardiyanti Putri, SpA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN .........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................2

2.1 Definisi Gizi Buruk................................................................................................2

2.2 Klasifikasi Gizi Buruk............................................................................................2

2.3 Faktor Risiko Gizi Buruk.......................................................................................4

2.4 Regulasi Fosfat.......................................................................................................9

2.5 Gangguan Keseimbangan Fosfat pada Penderita Gizi Buruk..............................13

2.6 Pencegahan Gangguan Keseimbangan Fosfat pada Penderita Gizi Buruk..........16

2.7 Terapi Koreksi Fosfat pada Penderita Gizi Buruk...............................................18

BAB III. KESIMPULAN.........................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................20

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Gangguan Homeostasis Fosfat.............................................................10

Gambar 2. Patofisiologi Gangguan Fosfat pada Gizi Buruk...............................15

Gambar 3. Malnutrition Universal Screening Tool..............................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Kementerian Kesehatan RI, gizi buruk adalah keadaan gizi balita
yang ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: a) pitting edema bilateral, minimal
pada kedua punggung kaki; b) BB/PB atau BB/TB kurang dari -3 standar deviasi; c)
lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm pada balita usia 6-59 bulan. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Gizi buruk (severe wasting) dapat meningkatkan angka kesakitan dan


kematian serta meningkatkan risiko terjadinya stunting. Data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2018 menunjukkan prevalensi wasting (gizi kurang) pada balita sebesar 10,2%
dan 3,5% atau sekitar 805.000 balita diantaranya merupakan severe wasting (gizi
buruk). (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Kekurangan fosfor, magnesium, dan mineral lainnya umum terjadi pada anak-
anak dengan gizi buruk akut. Memberi makan kembali (re-feeding) dengan diet tinggi
karbohidrat tetapi dengan jumlah fosfor yang tidak memadai dapat menyebabkan
sindrom re-feeding, ditandai dengan hipofosfatemia dan kadang-kadang
mengakibatkan kegagalan pernapasan atau peredaran darah dan bahkan kematian.
Meskipun konsentrasi serum fosfat (S-fosfat) mungkin tidak cukup mencerminkan
status tubuh, fosfat yang rendah mungkin mengindikasikan asupan yang tidak
adekuat. (Hother et al., 2016)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gizi Buruk


Menurut Kementerian Kesehatan RI, gizi buruk adalah keadaan gizi balita
yang ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: a) pitting edema bilateral, minimal
pada kedua punggung kaki; b) BB/PB atau BB/TB kurang dari -3 standar deviasi; c)
lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm pada balita usia 6-59 bulan. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan prevalensi wasting (gizi
kurang) pada balita sebesar 10,2% dan 3,5% atau sekitar 805.000 balita diantaranya
merupakan severe wasting (gizi buruk). (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2020)

2.2 Klasifikasi Gizi Buruk

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Marasmus

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering

ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan
gizi buruk. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah
seperti orang tua, cengeng dan rewel meskipun setelah makan, kulit keriput
yang disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang, perut cekung,
rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan

keriput (baggy pant) serta iga gambang. (Liansyah, 2015)

2
Pada marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan atrofi otot serta

menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan proses fisiologis. Tubuh

membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh asupan makanan untuk


kelangsungan hidup jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan, energi cadangan
protein juga digunakan. Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sintesis glukosa.
(Liansyah, 2015)

b. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat


disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal namun asupan protein yang
inadekuat. Seperti halnya marasmus, kwashiorkor juga merupakan hasil akhir

dari tingkat keparahan gizi buruk. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala
tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai
seluruh, pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala
gastrointestinal, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, kulit penderita
biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam
dan lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran
hati serta anemia ringan. (Liansyah, 2015)

Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan perlemakan hati

dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi proses katabolisme

jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi

dengan jumlah kalori yang cukup dalam asupan makanan. Kekurangan protein

dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam amino esensial yang

3
dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan yang terdapat cukup karbohidrat

menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian asam amino dari

dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke otot.

Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh berkurangnya

asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan oedema. (Liansyah,

2015)

c. Marasmik-Kwashiorkor

Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala klinik


kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan (BB) menurut umur (U) <
60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak mencolok.
(Liansyah, 2015)

2.3 Faktor Risiko Gizi Buruk

Faktor risiko terjadinya malnutrisi antara lain :

a.Asupan makanan
Kurangnya asupan makanan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain yaitu pola
makan yang salah, tidak tersedianya makanan secara cukup, dan anak tidak cukup

atau salah mendapat makanan bergizi seimbang. Kebutuhan nutrisi pada balita
meliputi air, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Setiap gram
protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori, dan karbohidrat 4 kalori. Distribusi
kalori dalam makanan balita dalam keseimbangan diet adalah 15% dari protein, 35%
dari lemak, dan 50% dari karbohidrat. Maka jika terjadi kelebihan kalori yang

4
menetap setiap hari sekitar 500 kalori dapat menyebabkan kenaikan berat badan 500
gram dalam seminggu. (Liansyah, 2015)

Terdapat perbedaan asupan makanan pada setiap kelompok umur, misalnya pada
kelompok umur 1-2 tahun masih diperlukan pemberian nasi tim meskipun tidak perlu
disaring. Hal ini dikarenakan pertumbuhan gigi susu telah lengkap apabila anak sudah
berumur 2-2,5 tahun. Kemudian pada usia 3-5 tahun balita sudah dapat memilih
makanan sendiri sehingga asupan makanan harus diatur dengan sebaik mungkin.
Memilih makanan yang tepat untuk balita harus menentukan jumlah kebutuhan dari
setiap nutrien, menentukan jenis bahan makanan yang dipilih, dan menentukan jenis
makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan yang dikehendaki. (Liansyah,
2015)

Balita dengan gizi buruk sebagian besar memiliki pola makan yang kurang beragam,

artinya mereka mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak memenuhi gizi

seimbang. Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan pangan, dikatakan pola

makanan dengan gizi seimbang jika mengandung unsur zat tenaga yaitu makanan

pokok, zat pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur

yaitu sayur dan buah. (Liansyah, 2015)

b. Status sosial ekonomi

Balita dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi.
Hal ini dapat disebabkan oleh karena rendahnya ekonomi keluarga sehingga pada
akhirnya akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga tersebut. Selain
itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab
langsung dari kekurangan gizi pada anak balita. Keadaan sosial ekonomi yang rendah

5
berkaitan dengan masalah kesehatan yang dihadapi karena ketidaktahuan dan
ketidakmampuan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. (Liansyah, 2015)

Ibu yang bekerja baik dari sektor formal atau informal yang dilakukan secara reguler

di luar rumah yang akan berpengaruh terhadap waktu yang dimiliki oleh ibu untuk

memberikan pelayanan terhadap anaknya. Pekerjaan tetap ibu yang mengharuskan

ibu meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore menyebabkan pemberian ASI tidak

dilakukan dengan sebagaimana mestinya. (Liansyah, 2015)

c. ASI

Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada
bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI

eksklusif kurang dari dua bulan. Sebanyak 86% bayi mendapatkan makanan berupa

susu formula, makanan padat, atau campuran antara ASI dan susu formula.
Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI merupakan makanan

terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan disempurnakan sampai umur dua tahun.
Memberi ASI kepada bayi merupakan hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh
karena praktis, mudah, murah, sedikit kemungkinan untuk terjadi kontaminasi,dan
menjalin hubungan psikologis yang erat antara bayi dan ibu yang penting dalam
perkembangan psikologi anak tersebut. (Liansyah, 2015)

6
Beberapa sifat pada ASI yaitu merupakan makanan alam atau natural, ideal,

fisiologis, nutrien yang diberikan selalu dalam keadaan segar dengan suhu yang

optimal dan mengandung nutrien yang lengkap dengan komposisi yang sesuai

kebutuhan pertumbuhan bayi. Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI

juga mengandung antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita terhadap
infeksi. Hal ini yang menyebabkan balita yang diberi ASI, tidak rentan terhadap
penyakit dan dapat berperan langsung terhadap status gizi balita. Selain itu, ASI
disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda
dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi.
Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air
besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi akan rawan diare. (Liansyah,
2015)

d. Pendidikan ibu

Salah satu faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang rendah
sehingga menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang
diperlukan dalam kehidupan. Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi
pada anak balita. (Liansyah, 2015)

Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi derajat


kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan anak.
Tingkat pendidikan yang tinggi membuat seseorang mudah untuk menyerap

informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku sehari-hari. Selain itu tingkat

7
pendidikan yang tinggi kemungkinan akan meningkatkan pendapatan dan dapat
meningkatkan daya beli makanan. Pendidikan diperlukan untuk memperoleh

informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. (Liansyah, 2015)

e.Pengetahuan ibu
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan
keluarga khususnya pada anak balita. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi
menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Keluarga akan lebih
banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Selain itu,
gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. (Liansyah, 2015)

f.Penyakit penyerta

Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan terhadap
penyakit – penyakit seperti tuberculosis (TBC), diare persisten (berlanjutnya episode
diare selama 14 hari atau lebih dan dimulai dari suatu diare cair akut atau
berdarah/disentri) dan HIV/AIDS. Penyakit tersebut dapat memperburuk keadaan gizi
melalui gangguan masukan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi
esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi
kurang maupun gizi buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan
mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit. Di sisi lain

anak yang menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk. (Liansyah, 2015)

g.Berat Badan Lahir Rendah


Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram

tanpa memandang masa gestasi. Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah


kelahiran prematur. Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu ini
pada umumnya disebabkan oleh karena ibu tidak mempunyai uterus yang dapat
menahan janin, gangguan selama kehamilan, dan lepasnya plasenta yang lebih cepat

8
dari waktunya. Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi
normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan,
fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi dan prognosanya juga semakin
kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi akibat kurang
matangnya organ karena prematur. (Liansyah, 2015)

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat disebabkan oleh bayi lahir kecil untuk

masa kehamilan yaitu bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan saat berada di

dalam kandungan. Hal ini disebabkan oleh keadaan ibu atau gizi ibu yang kurang

baik. Kondisi bayi lahir kecil ini sangat tergantung pada usia kehamilan saat

dilahirkan. Peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi, dan

anak merupakan faktor utama yang disebabkan oleh BBLR. Gizi buruk dapat terjadi

apabila BBLR jangka panjang. Pada BBL, zat anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini
menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk
kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk. (Liansyah,
2015)

h. Kelengkapan imunisasi

Infeksi pada balita dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi terhadap suatu
penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap penyakit tersebut sehingga bila
balita kelak terpajan antigen yang sama, balita tersebut tidak akan sakit dan untuk

menghindari penyakit lain diperlukan imunisasi yang lain. Imunisasi merupakan


suatu cara untuk meningkatkan kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat dibagi
menjadi imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman

9
atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan untuk merangsang tubuh
memproduksi antibodi sendiri sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan
sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. (Liansyah, 2015)

Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan balita
karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita

masih belum sebaik dengan orang dewasa. Sistem kekebalan tersebut yang
menyebabkan balita menjadi tidak terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan
imunisasi, maka kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena
penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi.
Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi dilakukan secara bertahap dan
lengkap terhadap berbagai penyakit untuk mempertahankan agar kekebalan dapat
tetap melindungi terhadap paparan bibit penyakit. (Liansyah, 2015)

2.4 Regulasi Fosfat

Keseimbangan homeostasis fosfat berpusat pada pengaturan fosfat oleh


tulang, usus, dan ginjal. Penyakit yang sering menyerang organ-organ ini disertai
dengan hiper atau hipofosfatemia yang signifikan. Zat pengatur utama yang dapat
diidentifikasi adalah hormon paratiroid (PTH), vitamin D, dan faktor pertumbuhan
fibroblast 23 (FGF23) dengan kofaktor yaitu glukuronidase klotho. Gangguan ketiga
hormon yang ini menghasilkan sindrom hiper atau hipofosfatemia dan kelebihan
fosfat atau kekurangan fosfat. (Lederer, 2014)
Sebuah studi asosiasi genom-lebar baru-baru ini mengidentifikasi
polimorfisme nukleotida tunggal di area genom yang mencakup beberapa protein
yang sebelumnya diketahui berperan dalam homeostasis fosfat. Serum fosfat adalah
fungsi homeostasis fosfat sebagai pergerakan fosfat yang seimbang pada ruang
intraseluler dan ekstraseluler. (Lederer, 2014)

10
Hormon utama yang terlibat dalam regulasi serum fosfat adalah PTH, vitamin
D, dan FGF23 dengan kofaktor klothonya. Gangguan hipofosfatemia akibat fungsi
abnormal dari hormon-hormon ini termasuk hiperparatiroidisme primer, kekurangan
vitamin D, dan osteomalacia onkogenik, serta beberapa bentuk rakhitis
hipofosfatemia kongenital disebabkan oleh ekspresi berlebih atau aktivitas FGF23
yang berlebihan. Sebaliknya, hilangnya aktivitas PTH melalui pembedahan ablasi,
proses autoimun, atau resistensi PTH, seperti terlihat dengan
pseudohipoparatiroidisme atau intoksikasi vitamin D, dan defisiensi FGF23, seperti
yang terjadi pada familial kalsinosis humoral, adalah kelainan yang ditandai dengan
hiperfosfatemia. (Lederer, 2014)
Gambar 1. Gangguan homeostasis fosfat

Ketiga hormon tersebut mempengaruhi metabolisme fosfat. Fungsi PTH


terutama sebagai hormon pengatur kalsium dengan efek sekunder pada homeostasis
fosfat. FGF23 berfungsi terutama sebagai hormon pengatur fosfat dengan efek

sekunder pada homeostasis kalsium. Efek dari sistem umpan balik intrinsik ini bisa
sulit diprediksi. Penyakit primer ginjal, usus atau tulang mempengaruhi serum fosfat
secara langsung dan tidak langsung bekerja pada regulator hormonal utama. Penyakit
ginjal kronis dikaitkan dengan disregulasi metabolisme fosfat, yang berpuncak pada
pengembangan hiperfosfatemia berkelanjutan pada gagal ginjal tahap akhir.
'Hipotesis trade-off' mengatakan bahwa pengurangan jumlah nefron pada gagal ginjal
awal menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat oleh nefron yang tersisa, dicapai

11
dengan meningkatkan level PTH. Kita tahu sekarang bahwa gagal ginjal primer
menyebabkan kelainan pada semua hormon yang terlibat dalam homeostasis fosfat,
mulai dengan pengurangan ekspresi klotho, diikuti oleh peningkatan FGF23 dan
penurunan simultan dalam ekspresi 1,25-dihidroksivitamin D3 dan akhirnya oleh
peningkatan PTH pada saat serum fosfat mulai meningkat. (Lederer, 2014)
PTH, vitamin D, dan sistem FGF23 serta klotho memiliki peran utama dalam
regulasi homeostasis fosfat di seluruh tingkat organisme, menentukan total asupan,
distribusi, dan ekskresi terutama melalui efek pada transportasi epitel. Beberapa
faktor lainnya berperan dalam regulasi konsentrasi serum fosfat. (Lederer, 2014)
Serum fosfat menunjukkan ritme sirkadian yang jelas dengan puncaknya pada
tengah hari dan malam hari pada pukul 08.00-10.00. Ritme diurnal ini tidak memiliki
hubungan yang jelas dengan efek fosfat dari PTH atau FGF23A sebagaimana
penurunan dalam serum fosfat antara pukul 04.00 dan 08.00 tidak berhubungan
dengan peningkatan ekskresi fraksional fosfat. Diet fosfat memiliki efek minimal
pada ritme sirkadian ini. (Lederer, 2014)
Ekskresi fosfat oleh ginjal terutama dikendalikan oleh mekanisme luapan
yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Tubulus ginjal memiliki transpor normal
maksimum untuk reabsorbsi fosfat sekitar 0,1 mmol/menit. Ketika jumlah fosfat yang
ada dalam filtrat glomerulus kurang dari jumlah ini, pada dasarnya semua fosfat yang
disaring direabsorbsi. Ketika lebih dari jumlah ini, kelebihannya diekskresikan. Oleh
karena itu, fosfat secara normal mulai masuk ke dalam urin ketika konsentrasinya
dalam cairan ekstraseluler meningkat di atas ambang batas sekitar 0,8 mM/L, yang
memberikan beban fosfat di tubulus sekitar 0,1 mmol/menit, dengan asumsi GFR 125
ml/menit. Karena kebanyakan orang mengonsumsi fosfat dalam jumlah besar dalam
produk susu dan daging, konsentrasi fosfat biasanya dipertahankan di atas 1 mM/L,
suatu tingkat di mana ada ekskresi fosfat terus-menerus ke dalam urin. (Guyton,
2017)
Tubulus proksimal biasanya menyerap kembali 75 sampai 80 persen fosfat
yang disaring. Tubulus distal menyerap sekitar 10 persen dari beban yang disaring,
dan hanya sejumlah kecil yang direabsorbsi di lengkung Henle, tubulus kolektivus,

12
dan duktus kolektivus. Sekitar 10 persen fosfat yang disaring diekskresikan ke dalam
urin.
Di tubulus proksimal, reabsorpsi fosfat terjadi terutama melalui jalur transeluler.
Fosfat memasuki sel dari lumen oleh co-transporter natrium-fosfat dan keluar sel
melintasi membran basolateral melalui proses yang tidak dipahami dengan baik tetapi
mungkin melibatkan mekanisme kontra-transpor di mana fosfat ditukar dengan anion.
(Guyton, 2017)
Perubahan kapasitas reabsorbsi fosfat tubular juga dapat terjadi pada kondisi
yang berbeda dan mempengaruhi ekskresi fosfat. Misalnya, diet rendah fosfat dari
waktu ke waktu, meningkatkan transpor reabsorpsi maksimum untuk fosfat, sehingga
mengurangi kecenderungan fosfat untuk masuk ke dalam urin. (Guyton, 2017)
PTH dapat memainkan peran penting dalam mengatur konsentrasi fosfat
melalui dua efek: (1) PTH meningkatkan reabsorpsi tulang, sehingga membuang
sejumlah besar ion fosfat ke dalam cairan ekstraseluler dari garam tulang, dan (2)
PTH menurunkan transpor maksimum untuk fosfat oleh tubulus ginjal, sehingga
sebagian besar fosfat tubulus hilang dalam urin. Jadi, setiap kali PTH plasma
meningkat, reabsorpsi fosfat tubulus menurun dan lebih banyak fosfat yang
diekskresikan. (Guyton, 2017)
Kadar serum fosfat juga berhubungan dengan usia. Kadar tertinggi terjadi
pada periode neonatal dan awal masa bayi, dan menurun saat pubertas dan dewasa.
Serum fosfat yang tinggi di masa kanak-kanak sangat penting untuk pembentukan
tulang normal, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa hipofosfatemia
mengakibatkan penyakit tulang yang signifikan jika tidak diobati. Suplementasi fosfat
pada manusia dan juga pada model hewan rakhitis menyelamatkan fenotipe tulang.
(Lederer, 2014)
Kandungan fosfat dalam makanan mempengaruhi serum fosfat. Pada
penelitian yang dilakukan Portale sebelumnya, ia membandingkan variasi diurnal
dalam fosfat pada individu yang mengonsumsi kadar fosfat normal, diet tinggi, dan
diet rendah fosfat. Kadar baseline serum fosfat jam 08.00 serupa antara individu yang

13
meengonsumsi fosfat normal dan diet fosfat tinggi tetapi jauh lebih rendah pada
mereka
yang mengonsumsi diet rendah fosfat, yaitu 500 mg setiap hari. Banyak laporan kasus
juga mendokumentasikan penurunan serum fosfat pada individu yang mengonsumsi
suplemen kalsium dalam jumlah besar. Sebaliknya, puasa tidak menyebabkan
penurunan fosfat dan individu dengan konsumsi kalori yang sangat rendah atau
malnutrisi yang jelas seperti pecandu alkohol atau tahanan dari perang mungkin
memiliki serum fosfat normal. (Lederer, 2014)
Individu yang mengalami kurang gizi parah mungkin menunjukkan
hipofosfatemia yang mendalam ketika diberi terapi makanan, yang disebut sindrom
refeeding. Fosfat yang terkandung dalam makanan yang berasal dari tumbuhan
tampaknya memiliki bioavailabilitas yang jauh lebih sedikit daripada makanan yang
berasal dari hewan atau makanan kemasan. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini,
individu yang mengonsumsi sebagian besar diet vegetarian memiliki serum fosfat
yang lebih rendah dan mengekskresikan lebih sedikit fosfat daripada diet hewani
terlepas dari kenyataan bahwa kedua diet mengandung kandungan fosfat. Penjelasan
alternatif bisa menjadi efek kontras dari diet ini pada keseimbangan asam-basa.
(Lederer, 2014)
Diet vegetarian menghasilkan asam bersih yang jauh lebih sedikit beban
daripada diet hewani. Alkalosis cenderung menyebabkan penyerapan fosfat ke dalam
sel dan penurunan ekskresi fosfat ginjal. (Lederer, 2014)

2.5 Gangguan Keseimbangan Fosfat pada Penderita Gizi Buruk

Kekurangan fosfor, magnesium, dan mineral lainnya umum terjadi pada anak-
anak dengan gizi buruk akut (severe acute malnutrition/SAM). Memberi makan
kembali (refeeding) dengan diet tinggi karbohidrat tetapi dengan jumlah fosfor yang
tidak memadai dapat menyebabkan refeeding syndrome (RFS), ditandai dengan
hipofosfatemia dan hipomagnesemia, kadang-kadang mengakibatkan kegagalan
pernapasan atau peredaran darah dan bahkan kematian. (Hother et al., 2016)

14
Fosfat adalah elektrolit intraseluler yang dapat berpindah antara intraseluler
dan estraseluler, keadaan asidosis dapat menyebabkan fosfat keluar dari sel kedalam
plasma. Konsentrasi fosfat didalam serum secara umum dipertahankan dalam batas
normal saat kelaparan dengan mengatur ekresi melalui ginjal. Sebagian besar fosfat
difiltrasi oleh glomerolus dan diabsorpsi di tubulus proksimal. Sebanyak 90% dari
ekskresi terjadi di ginjal. Hilangnya fosfat lewat gastrointestinal adalah 10% dari total
eksresi fosfat dari tubuh. Sebanyak 500-800 gram fosfat disimpan didalam tubuh,
80% dapat ditemukan pada tulang sementara 20% pada jaringan lunak dan otot.
Salah satu karakteristik dari RFS adalah hipofosfatemia. Selama periode
kelaparan, hati bertransisi ke glukoneogenesis, dimana lemak dan protein dipecah dan
digunakan sebagai sumber energi. Pergeseran garam dan elektrolit lainnya (terutama
fosfat, magnesium, kalium) terjadi untuk mengakomodasi perpindahan cairan dan
mempertahankan homeostasis, meskipun masih ada penipisan total metabolit esensial
ini (yang dapat menjelaskan mengapa hasil tes laboratorium mungkin berada dalam
kisaran normal di fase kelaparan awal). (Pulcini, 2016)
Pemberian makanan kembali menyebabkan hiperglikemia (karena kurangnya
suplai insulin yang memadai), yang menyebabkan pergeseran osmolar, dehidrasi, dan
gejala umum lain dari peningkatan glukosa darah. Karbohidrat menjadi sumber energi
utama. Transisi hati ke anabolisme, menghentikan glukoneogenesis, dan mulai
memproduksi glikogen dan protein. (Pulcini, 2016)

15
Gambar 2. Patofisiologi Gangguan Fosfat pada Gizi Buruk

Proses refeeding berpotensi menyebabkan pergeseran elektrolit intraseluler


untuk mengakomodasi proses sel. Ini menimbulkan masalah serius karena individu
yang kelaparan mengalami penurunan kadar elektrolit ini di seluruh tubuh. Elektrolit
serum selanjutnya menurun saat elektrolit tersebut masuk ke dalam sel. Hipokalemia
dan hipomagnesemia disebabkan oleh perpindahan kalium dan magnesium dengan
cepat ke dalam sel saat glukosa dan asam amino diambil. Peralihan sumber energi
menjadi karbohidrat dan peningkatan besar dalam produksi adenosin trifosfat
menyebabkan hipofosfatemia dari fosforilasi glukosa. Defisiensi tiamin terjadi karena
beberapa alasan: 1) reservoir rendah karena deplesi nutrisi sebelum refeeding
syndrome; 2) pergeseran dari lemak ke penggunaan karbohidrat untuk produksi
energi melalui glikolisis, yang meningkatkan kebutuhan tiamin; dan 3) peningkatan
peran sebagai kofaktor untuk keadaan anabolik baru yang dibuat selama pemberian
makan ulang (untuk mensintesis glikogen, lemak, dan protein). Hipernatremia juga

16
dapat terjadi untuk mempertahankan homeostasis ion positif, yang dapat
menyebabkan keadaan hipervolemik dan kemungkinan edema. (Pulcini, 2016)
Hipofosfatemia dapat mengganggu fungsi neuromuskular, sehingga pasien
dapat menunjukkan gejala lemah, gangguan kontraksi otot, parestesia, kram otot, dan
kejang. Otot-otot pernafasan dapat terganggu, menyebabkan fungsi ventilasi yang
kurang baik. Hipofosfatemia berat juga dihubungkan dengan kejadian rhabdomiolisis,
hemolisis, trombositopenia, dan disfungsi dari leukosit. Gangguan fungsi mental
dapat terjadi hingga yang terberat dapat terjadi koma. Seperti dilaporkan pada
beberapa kasus bahkan penurunan sedikit dari fosfor pada kondisi seperti ini dapat
menyebabkan disfungsi dalam skala besar bahkan seluruh tubuh. (Pulcini, 2016)
Refeeding hipofosfatemia dapat terjadi dalam 24-72 jam setelah pemberian
nutrisi kembali. Beberapa penelitian menunjukkan nadir dari fosfor terjadi pada
minggu pertama refeeding. Koreksi secara cepat pada keadaan malnutrisi
menyebabkan perpindahan cairan dan overload cairan intravaskular, yang dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif dengan disertai atropi miokardial pada pasien
malnutrisi. (Pulcini, 2016)

2.6 Pencegahan Gangguan Keseimbangan Fosfat pada Penderita Gizi Buruk


Kunci dari pencegahan terjadinya gangguan keseimbangan fosfat adalah
mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi terjadinya RFS sebelum memberikan
dukungan nutrisi. Pasien dengan berat badan <80% dari berat badan idealnya dan
pasien yang hanya mendapat nutrisi yang sedikit lebih dari 5 hari adalah salah
satunya. Selain itu juga termasuk anorexia nervosa, malnutrisi berat (marasmus,
kwashiorkor), pasien yang puasa atau kekurangan makanan selama paling sedikit 10-
14 hari, puasa atau pemberian hidrasi intravena yang berkepanjangan, dan penderita
obesitas yang mengalami penurunan berat badan secara masif. Beberapa penelitian
dan laporan kasus telah menggambarkan keadaan hipofosfatemia pada RFS serta
konsekuensi yang terjadi. Pasien yang memiliki berat badan <80% berat badan
idealnya atau baru saja kehilangan berat badan 5-10% dalam 1 atau 2 bulan terakhir
juga termasuk dalam kelompok dengan resiko RFS. Langkah penting untuk

17
mencegah RFS adalah mengenali pasien dengan resiko terjadinya RFS sebelum
memberikan koreksi nutrisi. (Pulcini, 2016)
Pedoman NICE adalah pedoman paling komprehensif yang tersedia. Pedoman
ini merekomendasikan mulai pemberian makan kembali pasien berisiko tinggi pada
10 kkal/kg/hari, kemudian meningkat, selama minimal 4 hari, hingga kebutuhan
penuh, ditambah dengan suplementasi (vitamin B1) pada 200-300 mg/hari selama 10
hari pertama dan dengan pemantauan ketat fosfat serum, kalium, dan kebutuhan
cairan. Membatasi masukan natrium dan melengkapi jumlah magnesium dan kalium
serta fosfat yang memadai juga harus dilakukan. (Pulcini, 2016)
Selain itu, The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)
merekomendasikan skrining rutin untuk malnutrisi atau resiko malnutrisi pada semua
pasien yang dirawat dirumah sakit pada saat masuk. Salah satu alat skrining yang
banyak diaplikasikan adalah Malnutrition Universal Screening Tool (MUST), yang
telah di validasi sebagai alat skrining rutin yang mudah digunakan. (BAPEN, 2011)

Gambar 3. Malnutrition Universal Screening Tool

18
The MUST didasarkan sistem risk scoring, yang menilai tiga kriteria spesifik
(indeks massa tubuh, jumlah kehilangan berat badan yang tidak disengaja, dan
kecenderungan asupan nutrisi yang tidak adekuat pada jangka pendek). Pasien dengan
skor yang tinggi dikatakan malnutrisi dan harus dirujuk ke ahli gizi atau tim
dukungan nutrisi. Nilai baseline dari konsentrasi elektrolit fosfat, kalium, natrium,
dan magnesium juga harus diperiksa sebelum memulai pemberian makanan pada
pasien malnutrisi. (Pulcini, 2016)

2.7 Terapi Koreksi Fosfat pada Penderita Gizi Buruk


Pada gizi buruk, gangguan keseimbagan fosfat yang paling sering terjadi adalah
hipofosfatemia yang dapat dikoreksi dengan: (Pulcini, 2016)

Gangguan Derajat Maintenance Terapi Dosis Administrasi


Elektrolit Keparahan Maksimal
Hipofosfat Ringan: 2.3 0.3 – 0.6 0.3 – 0.6 Single Pemeriksaan
– 2.7 mg/dl mmol/kg/hari mmol/kg/ dose: 15 kadar fosfat
(0.74 – Hari/oral mmol/kg dilakukan 2-4
0.87 (IV) jam setelah
mmol/L) 0.08 – koreksi
Sedang: 1.5 0.24 Harian: 1.5
– 2.2 mg/dl mmol/kg/ mmol/kg
(0.48 – IV dalam (IV)
0.71 6-12 jam
mmol/L)
Berat: <1.5
mg/dl (0.48
mmol/L)

19
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan keseimbangan fosfat berupa hipofosfatemia sering terjadi pada


penderita gizi buruk khususnya yang diberi refeeding secara massif. Ini bisa menjadi
masalah untuk pemulihan lebih lanjut karena fosfor diperlukan untuk mengejar
pertumbuhan dan makanan lokal cenderung mengandung fosfor yang rendah. Hal ini
dapat dicegah dengan melakukan skrining rutin pada penderita gizi buruk dan
memulai terapi refeeding berdasarkan guideline NICE.

20
DAFTAR PUSTAKA

BAPEN (2011) ‘“ Malnutrition Universal Screening Tool ” MAG The 5 “ MUST ”


Steps e c Sc or Sc or Sc’.
Guyton, H. (2017) Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology, Surgical
Neurology International. Available at: https://doi.org/10.4103/sni.sni_327_17.
Hother, A.L. et al. (2016) ‘Serum phosphate and magnesium in children recovering
from severe acute undernutrition in Ethiopia: An observational study’, BMC
Pediatrics, 16(1), pp. 1–9. Available at: https://doi.org/10.1186/s12887-016-
0712-9.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020) Pencegahan dan Tata Laksana
Gizi Buruk Pada Balita di Layanan Rawat Jalan Bagi Tenaga Kesehatan.
Lederer, E. (2014) ‘Regulation of serum phosphate’, Journal of Physiology, 592(18),
pp. 3985–3995. Available at: https://doi.org/10.1113/jphysiol.2014.273979.
Liansyah, T.M. (2015) ‘Malnutrisi Pada Anak Balita’, Jurnal Buah Hati, II(1), pp. 1–
12.
Pulcini, C.D. (2016) ‘Refeeding syndrome’, Pediatric Annals, 48(11), pp. e448–e454.
Available at: https://doi.org/10.3928/19382359-20191017-02.

21

Anda mungkin juga menyukai