Anda di halaman 1dari 18

HUKUM MUAMALAH

ANALISIS MENINGKATNYA PERCERAIAN PADA MASA


COVID-19 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

M. ZULFAHMI
B1A020393

Dosen Pengampu : Subanrio, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
BENGKULU 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................i
BAB I.......................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................4
C. Tujuan................................................................................4

D. Manfaat.............................................................................4

BAB II.....................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................6
A. Penyebab Kasus Perceraian Meningkat Pada Masa
Pandemi Covid-19.............................................................6
B. Solusi Pencegahan Perceraian Yang Terus Meningkat
Akibat Dampak Pandemi Covid-19
.........................................................................................
11
BAB III..................................................................................14
PENUTUP..............................................................................14
A. Kesimpulan.....................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................16

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No.1
tahun 1974). Ikatan lahir yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena
dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan
pihak lain dalam masyarakat, sedangkan Sesuai dengan tujuan dari perkawinan
yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat
membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan
adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talak, maupun cerai atas putusan hakim.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag)
Mahkamah Agung, tren angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan
terutama sejak pada masa krisis ekonomi moneter 1997-1998, dimana angka
putusan cerai gugat lebih tinggi dibanding cerai talak. Menurut data 60 sampai
dengan 70 persen dari jumlah perkara yang masuk merupakan cerai gugat dan
seringkali pengajuan gugatan itu dilakukan oleh pihak istri. Kebanyakan alasan
pihak istri mengajukan gugat cerai lantaran banyak mengalami ketidakharmonisan
dalam kehidupan rumah tangga.
Fenomena yang terjadi pada krisis ekonomi moneter tahun 1997- 1998
kembali terjadi pada masa pandemi Covid-19. Hal tersebut dapat dilihat dari data
yang dilansir dari suara.com, pada bulan Juni hingga Juli 2020, Jumlah perceraian
meningkat hingga 80% kasus gugatan cerai yang masuk ke pengadilan agama
yang diajukan oleh pihak istri. Data yang tidak jauh berbeda juga disampaikan
oleh Direktur Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung, saat awal penerapan
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April dan Mei 2020, perceraian di
Indonesia di bawah 20.000 kasus. Namun, pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah
perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus. Salah satunya, kota Bengkulu yang
memiliki kasus perceraian yang cukup tinggi pada masa pandemi Covid-19. Dari
data yang masuk ke Pengadilan Agama Kelas IA Bengkulu, Januari hingga
Agustus 2020 sudah ada 900 perkara gugatan dan permohonan perceraian. Tidak

1
hanya di Bengkulu saja, tetapi secara nasional perkara perceraian juga meningkat
akibat pandemi Covid-19.
Peningkatan kasus perceraian selama pandemi Covid-19 disebabkan oleh
kondisi atau faktor yang kompleks, tidak hanya internal tetapi juga dapat terjadi
karena faktor eksternal. Faktor internal keterbatasan ekonomi dan terjadinya
konflik dalam rumah tangga menjadi salah satu faktor perceraian, permasalahan
tersebut bermula karena terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara
mendadak, sehingga keuangan keluarga menjadi tidak stabil. Mayoritas istri
mengungkapkan bahwa alasan utama yang melatar belakangi terjadinya
perceraian yaitu faktor ekonomi dikarenakan Suami tidak mampu untuk
memenuhi seluruh kebutuhan dasar keluarga dikarenakan jumlah pendapatan yang
kurang mencukupi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan interaksi dan komunikasi
yang baik di tengah persoalan atau konflik yang menimpa pasangan suami istri
untuk mencegah terjadinya perceraian, serta suami istri harus dalam satu frekuensi
saat menyelesaikan masalah supaya tercipta keharmonisan dalam keluarga.
Faktor-faktor lain yang mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga
antara lain, faktor usia muda, faktor ekonomi, faktor belum memiliki keturunan
dan faktor suami sering berlaku kasar menjadi penyebab terjadinya perceraian.
Faktor keuangan yang tidak mencukupi menempati urutan tertinggi, yang
menyebabkan pertengkaran yang terus-menerus dan tidak ada harapan hidup
rukun lagi. Penyebab perceraian, seperti ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), perselingkuhan, dan sebagainya, sejatinya hanya merupakan pemicu,
namun yang paling mendasar sebagai penyebab perceraian adalah tidak adanya
komitmen antar masing-masing pasangan dalam mencapai tujuan perkawinan
yang ada pada UU No 1 tahun 1974 dan tujuan hukum islam sendiri. Faktor
eksternal adanya pihak ketiga pun menjadi salah satu pemicu tingginya perceraian
pada masa pandemi. Penyebab perceraian baik faktor eksternal maupun faktor
internal pada masa pandemi itulah membawa dampak susulan berupa
meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Dalam perspektif hukum Islam, perceraian dipandang sebagai langkah
terakhir yang diambil untuk mempertahankan kesejahteraan dan keberlanjutan
keluarga. Hukum Islam memberikan pedoman mengenai prosedur perceraian,
pembagian harta, hak asuh anak, dan hak-hak lainnya yang terkait dengan
2
perceraian. Tujuan utamanya adalah melindungi hak-hak individu, kesejahteraan
anak-anak, dan menjaga stabilitas masyarakat.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di Indonesia, yang mengatur tentang


perkawinan, perceraian, dan hukum keluarga, memberikan pedoman dan
ketentuan dalam menangani kasus perceraian. Undang-Undang ini mengatur
prosedur perceraian, termasuk persyaratan, proses peradilan, pembagian harta
bersama, hak asuh anak, dan kewajiban nafkah. Meskipun pandemi COVID-19
membawa beberapa penyesuaian dalam proses pengadilan dan penyelesaian,
Undang-Undang ini tetap menjadi acuan utama dalam menangani kasus
perceraian di Indonesia.Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, kami
menganalisis masalah dan solusi terkait dengan tingginya tingkat perceraian pada
masa pandemi Covid-
19. Tulisan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data, informasi dengan cara
menelaah sumber-sumber tertulis seperti jurnal ilmiah, buku referensi, literatur,
ensiklopedia, karangan ilmiah, serta sumber-sumber lain yang terpercaya baik
dalam bentuk tulisan atau dalam format digital yang relevan. Secara umum tujuan
penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran masalah dan solusi
pencegahan terkait perceraian yang terus meningkat akibat pandemi Covid-19
sebagaimana dikemukakan dalam rumusan masalah. Penelitian ini akan ditinjau
dalam perspektif hukum islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi masyarakat terutama pemerintah
dalam menyikapi kasus perceraian di masa pandemi Covid-19.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diajukan
adalah:
1. Mengapa kasus perceraian meningkat pada masa pandemi Covid-19?

3
2. Bagaimana solusi pencegahan perceraian yang terus meningkat akibat
dampak pandemi Covid-19?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah tentang analisis meningkatnya perceraian pada masa
COVID-19 dalam perspektif hukum Islam dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya


tingkat perceraian selama pandemi COVID-19. Makalah akan menggali
dampak sosial, konflik dalam rumah tangga, tekanan ekonomi, dan
ketidakharmonisan keluarga yang berpotensi mempengaruhi kestabilan
perkawinan.

2. Menyajikan perspektif hukum Islam tentang perceraian dan bagaimana


pandangan agama tersebut memandang fenomena perceraian pada masa
pandemi COVID-19. Makalah akan menjelaskan prinsip-prinsip hukum
Islam terkait perkawinan, hak-hak individu, kesejahteraan anak-anak,
dan tujuan utama menjaga keberlanjutan keluarga.

3. Membahas peran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam menangani


kasus perceraian di Indonesia. Makalah akan mengulas ketentuan-
ketentuan yang terkandung dalam undang-undang tersebut, termasuk
prosedur perceraian, pembagian harta bersama, hak asuh anak, dan
kewajiban nafkah.

4. Menganalisis bagaimana pandemi COVID-19 memengaruhi proses


perceraian dalam praktek hukum di Indonesia. Makalah akan
membahas penyesuaian yang dilakukan dalam proses pengadilan dan
penyelesaian kasus perceraian selama pandemi.

5. Menyajikan rekomendasi atau solusi untuk mengatasi meningkatnya


perceraian selama masa COVID-19, baik dalam perspektif hukum
Islam maupun dari perspektif kebijakan hukum negara. Makalah akan
mengajukan saran-saran yang dapat membantu pasangan suami-istri
menjaga keharmonisan dalam rumah tangga dan mengurangi tingkat
perceraian.
4
Dengan tujuan ini, makalah tersebut diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang meningkatnya perceraian selama
pandemi COVID-19 dari perspektif hukum Islam dan hukum positif
Indonesia, serta memberikan pandangan yang holistik tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi dan solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi
tingkat perceraian dalam situasi yang sulit seperti ini.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat Teoritis
1. Memperoleh penjelasan mengenai alasan atau faktor yang melatarbelakangi
meningkatnya kasus perceraian pada masa pandemi Covid-19.
2. Memperoleh penjelasan mengenai solusi atau pencegahan terkait perceraian
yang terus meningkat akibat pandemi Covid-19.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosen pengampu
mata kuliah hukum muamalah.
2. Diharapkan makalah ini dapat berguna untuk pengembangan ilmu dan dapat
bermanfaat sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya
3. Sebagai informasi untuk mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi
perceraian dan bagaimana solusi atau pencegahan terhadap perceraian yang
terus meningkat akibat dampak pandemi Covid-19.

5
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Penyebab Kasus Perceraian Meningkat Pada Masa Pandemi Covid-19


Covid-19 menyumbangkan angka perceraian dalam jumlah yang tinggi di
Indonesia. Saat awal penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada
April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus, namun pada
bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus.
Perceraian di Indonesia meningkat sebesar 5% sepanjang masa Covid-19, karena
sebagian keluarga mengalami kesulitan dalam ekonomi.1 Penerapan PSBB sebagai
aturan protokol kesehatan Covid-19 di Indonesia telah menurunkan aktivitas
ekonomi, sebagai akibatnya menurun pula pendapatan ekonomi keluarga, hal ini
membawa dampak terhadap meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dan pada akhirnya terjadi perceraian.
Berikut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian pada masa
pandemi Covid-19 di Provinsi Bengkulu (2020-2021):

Berdasarkan grafik diatas bahwa faktor penyebab perceraian pada masa


pandemi Covid-19 paling dominan adalah faktor perselisihan dan pertengkaran
terus menerus hingga mencapai 3,149 perkara, faktor meninggalkan salah satu
pihak mencapai 364 perkara, dan juga faktor ekonomi yang mencapai 237

1
Robiah Awaliyah dan Wahyudin Darmalaksana, Perceraian Akibat Dampak Covid-19 dalam

6
Perspektif Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia, Khazanah Hukum Vol. 3 No. 2,
2021: 88.

7
perkara.2 tetapi ada banyak faktor lain yang menyebabkan perceraian di masa
pandemi Covid-19 diantaranya sebagai berikut:
1. Zina
Zina adalah dosa besar bagi yang melakukannya. Agama islam sangat
melarang berbuat zina, apalagi hal tersebut dilakukan oleh salah satu suami
atau istri karena hal tersebut memicu terjadinya perceraian.
2. Mabuk, Madat, Judi
Mabuk, madat dan judi adalah perbuatan yang diharamkan dalam ajaran
Islam dan harus dijauhi termasuk pasangan suami istri. Seorang yang mabuk,
madat dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan, sedangkan penjudi dapat
menyebabkan pelaku bersikap tidak jujur. Maka dari itu pemabuk pemadat
dan penjudi dapat merusak keharmonisan rumah tangga dan dapat dijadikan
alasan perceraian. Menurut KHI pasal 116 poin a yang menyatakan bahwa
salah satu pihak 29 berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Pemabuk, pemadat dan penjudi
menjadi pemicu terjadinya perselisihan dalam rumah tangga. Seorang suami
yang sering mabuk menjadikan malas untuk bekerja dan selalu bersikap
tempramental.
3. Meninggalkan Salah Satu Pihak
Kepergian pasangan suami atau istri dalam waktu yang cukup lama dapat
mengakibatkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga. Kasus yang sering
terjadi adalah seorang istri ditinggal pergi oleh suaminya sehingga istri tidak
sanggup untuk menafkahi anak-anaknya, maka timbullah perceraian. Untuk
jumlah dari faktor meninggalkan salah satu pihak terbilang banyak yaitu 364
perkara karena faktor ini mendominasi terjadinya perceraian di masa pandemi
Covid-19.
Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Jo Pasal 19 huruf b yang
berbunyi perceraian dapat terjadi karena alasan: salah satu pihak
meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.

2
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.

8
4. Dihukum Penjara
Faktor ini yang membuat kasus perceraian terjadi karena suami di penjara.
Karena selama di penjara istri tidak mendapatkan nafkah lahir dan batin
selebih lagi jika suami di penjara sampai 5 tahun, akan membuat istri menjadi
putus asa dan mencari nafkah sendirian. Bahkan bisa menimbulkan cerai
gugat yaitu sang istri mengajukan cerai ke Pengadilan Agama atas dasar
suami di penjara.
5. Poligami
Tingkat perceraian karena poligami mengalami peningkatan selama masa
Covid-19. Perempuan yang mandiri lebih memilih bercerai daripada dimadu
oleh suami. Seorang istri yang menolak di poligami maka harus ikhlas
melepaskan ikatan perkawinannya dan membiarkan suaminya menikah lagi
dengan perempuan lain. Poligami memang diperbolehkan dalam Islam tetapi
poligami bukanlah solusi yang menyenangkan jika istri tidak mengizinkan
suami untuk berpoligami. Untuk faktor poligami ini sangat sedikit yaitu 5
perkara di tahun 2021 maka faktor ini tidak mendominasi penyebab
terjadinya perceraian di masa pandemi Covid-19
6. KDRT
Faktor ini disebabkan oleh salah satu pihak yang keras kepala dan tidak ada
yang mau mengalah mengakibatkan bertengkar hingga menyebabkan luka di
badan salah satu pihak. Kejadian KDRT dapat terwujud dalam bentuk yang
ringan sampai berat, bahkan dapat menimbulkan korban kematian. Artinya
tidak sampai luka saja, tetapi dapat menimbulkan kehilangan salah satu
anggota badan hingga cacat dan dapat menimbulkan trauma dan tekanan batin
yang berkepanjangan sehingga memilih untuk bercerai agar terlepas dari
semua penderitaan yang membahayakan dirinya. Pada intinya tindakan
KDRT adalah suatu akibat dari perselisihan dan perdebatan yang
berkepanjangan dan terus menerus terjadi dalam rumah tangga.
7. Cacat Badan
Jika salah satu pihak mendapat cacat badan atau sakit ini menjadi pemicu
terjadinya perceraian dikarenakan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami atau istri. Berdasarkan Pasal 116 KHI huruf e yang

9
menyatakan bahwa salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau
istri.3
8. Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus
Faktor ini menjadi salah satu faktor penyebab perceraian yang paling banyak
terjadi pada masa pandemi Covid-19. Faktor ini bisa dikatakan bahaya karena
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus di dalam rumah
tangga menyebabkan pasangan merasa lelah dan memilih untuk bercerai.
9. Kawin Paksa
Faktor kawin paksa seperti yang dilakukan orang tua zaman dahulu. Orang
tua akan melakukan kawin paksa apabila sang anak tidak mau dinikahi
dengan pilihan orang tua nya. Bagaimanapun pernikahan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai hal tersebut sesuai dengan Undang-
Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat 1.4
10. Murtad
Jika suami atau istri murtad maka putuslah hubungan perkawinan mereka.
Karena murtad adalah penyebab pisahnya hubungan mereka, dan jika suami
istri itu murtad dan bertaubat kembali lagi dalam agama islam maka untuk
mengadakan hubungan seperti semula harus memperbarui lagi akad nikah dan
mahar. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
11. Ekonomi
Faktor ini menjadi salah satu faktor penyebab perceraian karena faktor ini
sangat penting di dalam rumah tangga. Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman
sekarang ini memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam
pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih. Apabila keadaan
ekonomi mengalami kemacetan yang membuat semua kebutuhan menjadi
sulit tentu saja dapat menimbulkan pertengkaran antara suami dan istri.
Penyebab masalah ekonomi ini disebabkan karena dua hal yaitu pertama istri
3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) hlm. 357
4
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 hlm. 3

1
0
yang selalu merasa kurang dengan apa yang telah suami berikan, dan istri
selalu menuntut lebih kepada suami karena menganggap kebutuhan semakin
banyak. Dan yang kedua suami kurang mengemban amanah yang sudah
menjadi kewajibannya untuk mencari nafkah, yang mana nafkah hanya
digunakan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan istrinya dan atau suami
tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami yaitu menafkahi istrinya.
Dari keterangan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi faktor
penyebab perceraian di masa pandemi paling banyak karena perselisihan dan
pertengkaran terus menerus serta faktor ekonomi pada tahun 2020-2021 yang
mana di masa pandemi banyak masyarakat yang terkena PHK lalu kehilangan
pekerjaan tetap hingga timbullah perceraian.
Dengan melihat kembali keadaan penduduk, kenyataan yang ada
menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia umumnya berpenghasilan
rendah bahkan acapkali penghasilan yang diperoleh tidak tercukupinya kebutuhan
hidup merupakan penyebab utama terjadinya pertentangan dan ketidakbahagiaan
dalam keluarga. Demikian juga dengan cara penggunaan dan pengelolaan uang
dan susunan anggaran belanja merupakan tugas yang penting dalam keluarga.
Dengan penghasilan yang ada keluarga bertahan hidup dan berusaha menghadapi
pertengkaran-pertengkaran yang mungkin timbul jika uang tidak cukup sampai
akhir bulan. Oleh karena itu harus membuat keputusan yang tepat menangani
anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dan pengeluaran lainnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Agoes (1996:12), bahwa: “Banyak
pasangan dari kalangan keluarga yang kurang mampu sering kali perceraian
terjadi karena suami kurang berhasil memenuhi kebutuhan materi dan kebutuhan
lainnya dari keluarga. 5
Dari pendapat diatas bahwa percekcokan sering terjadi di dalam keluarga
karena sang suami tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, secara berlarut-
larut disebabkan sang istri merasa kecewa dan merasa menderita atau tersiksa,
sehingga dengan keadaan seperti ini acapkali berlanjut kepada perceraian.

5
A.Y. Agoes, Masalah-Masalah dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa dan Bagaimana
Mengatasi Problema Keluarga, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), hal. 12
9
B. Solusi Pencegahan Perceraian Yang Terus Meningkat Akibat Dampak
Pandemi Covid-19
Tidak semua kehidupan berumah tangga berjalan langgeng dan mulus.
Hal tersebut disebabkan karena setiap pasangan suami istri menempati tahapan
perkembangan psikologi yang beragam, dan tentunya dengan masalah rumah
tangga yang beragam. Bagi pasangan yang tidak dapat menyelesaikan masalah
tersebut pada akhirnya percerai menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh. Oleh
sebab itu perlu adanya pola pencegahan agar tidak terjadinya perceraian dan
mengatasi masalah perkawinan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mencegah Perceraian yaitu
dengan menerapkan Peran Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4) yang menyatakan bahwa setiap suami istri yang akan
mengajukan perceraian pada Pengadilan Agama harus terlebih dahulu datang ke
kantor penasihat perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan
perselisihannya. Lembaga penasihat perkawinan ketika itu mengambil peranan
sebagai mediasi, yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan
Agama. Upaya tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara
signifikan. Tujuan dibentuknya BP4 adalah untuk mempertinggi mutu perkawinan
dan mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam. Untuk mencapai
masyarakat dan bangsa indonesia yang maju, mandiri, sejathera, materil dan
spritual.6 Peran BP4 dalam upaya untuk mencegah sebuah kasus perceraian adalah
hendaknya memberi nasehat dari pada keluarga dan memberikan pemahaman-
pemahaman sebelum melakukan perceraian, yaitu berupa :
1) Bahwa perceraian yang hendak dilakukan itu sebenarnya adalah perbuatan
sah, dengan ketentuan apabila isteri menghadapi iddahnya (yang wajar) atau
telah melakukan atau mengerjakan perbuatan keji yang terang sangat dibenci
oleh Allah swt sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Ath-Thalaq/65:1.
Yang berarti : Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah tuhanmu janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka
6
Badan Penasihatan, Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas BP4 XIV/2009,
Jakarta, 1– 3 Juni 2009.
10
dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka melakukan
perbuatan keji yang terang itulah hukumhukum Allah dan barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Berdasarkan ayat tersebut
diatas, bahwa isteri tidak boleh diceraiakan ataupun dikeluarkan dari rumah
kecuali melakukan perbuatan yang keji Allah memberikan batasan bahwa
perbuatan tersebut adalah perbuatan yang halal tapi juga dibenci Allah Swt.
2) Berusaha untuk membujuk kedua bela pihak, agar rujuk dalam membina
mahligai rumah tangga yang harmonis.
3) Berusaha untuk mendamaikan terhadap perselisihan diantara keduanya
sehingga tidak terjadi perceraian oleh karena itu hanya disebabkan persoalan
yang sangat mendesak. Dan hal ini juga dapat diupayakan agar tidak terburu-
buru dalam mengambil suatu keputusan yang fainal tanpa melalui penasehat-
penasehat.7
Selain itu, langkah-langah yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya peningkatan kasus perceraian antara lain :
1. Penghayatan bahwa perkawinan merupakan suatu kesepakatan atau perjanjian
antara suami istri dengan Tuhan. Perkawinan merupakan suatu kesepakatan
atau perjanjian yang tidak hanya melibatkan suami istri itu sendiri, melainkan
suatu perjanjian yang dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu sahnya perkawinan di Indonesia didasarkan pada hukum agama atau
kepercayaannya masing-masing (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Diperlukan
pendalaman pemahaman dan penghayatan bahwa kesepakatan atau perjanjian
dalam bentuk perkawinan yang telah dilakukan oleh suami istri, bukanlah
sebagai kesepakatan biasa yang dapat dengan mudahnya diputuskan, akan
tetapi perkawinan adalah kesepakatan yang melibatkan Tuhan. Hal ini menjadi
awal benteng pencegah suatu perceraian.8

7
BP4 Pusat, BP4 Pertumbuhan Dan Perkembangan, (Jakarta: BP4 Pusat, 1977), H. 13
8
Vincensia Esti, “Upaya Pencegahan Perceraian Di Masa Pandemi Covid-19 Perspektif Teori
Keadilan Bermartabat”, Jurnal Ketahanan Nasional Republik Indonesia Vol.9 No.1, Hal.145

11
2. Komitmen
a) Komitmen Internal
Komitmen suami istri sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan
perkawinan. Pasal 33 UU Perkawinan telah mengatur bahwa: “Suami istri wajib
saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang lain.” Negara dalam hal ini telah turut andil dalam
menjaga keutuhan rumah tangga dengan mengatur tidak hanya hal-hal yang
bersifat lahiriah tetapi juga batiniah. Apabila saling mencintai, menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin merupakan suatu kewajiban maka harus
diwujudnyatakan oleh suami/istri. Oleh karena itu sebaiknya tidak terburu-buru
untuk melakukan gugatan cerai.

b) Komitmen Eksternal
Komitmen ekstern adalah komitmen suami istri untuk menjaga keutuhan
rumah tangga sebagai bagian terkecil dalam sebuah masyarakat. Hal ini telah
dinyatakan dalam Pasal 30 UU Perkawinan 1974: “Suami istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.” Dimana sebagai pasangan suami istri, dituntut untuk
saling memperlakukan satu dan yang lain sesuai dengan harkat dan martabat
sebagai makhluk Tuhan. Disisi lain, pasangan suami istri yang telah masuk dalam
bahtera rumah tangga juga dituntut untuk mengakui adanya persamaan derajat,
persamaan hak dan kewajibannya.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Bahwa terjadinya angka perceraian mulai meningkat ini dikarenakan pada


akhir tahun 2019 terjadi nya virus covid 19 yang berasal dari salah satu kota di
cina tepatnya di wuhan, sehingga di Indonesia menerapkan sistem PSBB atau
pembatasan sosial berskala besar tersebut menyebabkan jumlah angka perceraian
naik pada bulan april dan mei tahun 2020 jumlah angka perceraian mencapai
dibawah 20.000 kasus namun naik drastis pada bulan juni dan juli tahun 2020
mencapai 57.000 kasus. Perceraian di indonesia meningkat 5% selama terjadinya
virus covid 19 tersebut dikarenakan terhambat pendapatan ekonomi yang
berkurang disebabkan oleh protokol yang dijalankan pemerintah yaitu PSBB ini
telah menghambat aktivitas ekonomi yang berpengaruh pada pendapatan ekonomi
di setiap Keluarga dan hal ini juga membawa dampak kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) sehingga menyebabkan terjadinya perceraian.
Selain faktor ekonomi yang menjadi faktor tertinggi terjadinya kasus
perceraian yang meningkat di Indonesia, ada juga beberapa faktor lain :
1. Zina
2. Mabuk
3. Meninggalkan salah satu pihak
4. Dihukum penjara
5. Poligami
6. KDRT
7. Cacat badan
8. Perselisihan dan pertengkaran terus menerus
9. Kawin paksa
10. Murtad
Namun yang paling mendasar penyebab terjadinya terjadinya perceraian
adalah tidak adanya komitmen antar masing masing pasangan dalam mencapai
tujuan perkawinan yang ada pada Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan tujuan
hukum islam itu sendiri.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdi, M. N. (2020). Krisis Ekonomi Global Dari Dampak Penyebaran Virus


Corona (Covid-19). Akmen Jurnal Ilmiah, 17(1), 90–98.
Agoes, A.Y. (1996). Masalah-Masalah Dalam Perkawinan Dan Keluarga Dalam
Apa Dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka
Antara.
Awaliyah, Robiah Dan Wahyudin Darmalaksana. “Perceraian Akibat Dampak
Covid-19 Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-Undangan Di
Indonesia.” Khazanah Hukum Vol. 3 No. 2, 2021: 87-97.
Badan Penasihatan. (2009). Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Hasil
Munas BP4 XIV/2009. Jakarta
Burlian, F. (2019). Eksistensi Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum Islam
Dan Pasca Berlakunya UU NO. 1 Tahun 1974. MIZAN, Jurnal Ilmu
Hukum, 8(2). Https://Doi.Org/10.32503/Mizan.V8i2.669
BP4 Pusat. (1977). BP4 Pertumbuhan Dan Perkembangan. Jakarta: BP4 Pusat.
Esti, Vincensia. (2020). Upaya Pencegahan Perceraian Di Masa Pandemi Covid-
19 Perspektif Teori Keadilan Bermartabat”. Jurnal Ketahanan Nasional
Republik Indonesia Vol.9 No.1
Fauziah, A. S. N., Fauzi, A. N., & Ainayah, U. (2020). Analisis Maraknya
Perceraian Pada Masa Covid 19. Mizan: Journal Of Islamic Law, 4(2),
181–192.
Hasrul, M. (2020). Aspek Hukum Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Jurnal Legislatif, 385–398.
Hidayati, L. (2021). Fenomena Tingginya Angka Perceraian Di Indonesia Antara
Pandemi Dan Solusi. Khuluqiyya, 3(1), 71–87.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam (KHI)

16

Anda mungkin juga menyukai