Anda di halaman 1dari 28

Tugas Akhir Lintas Minat Mata Kuliah Fertilitas dan Keluarga Berencana

Meningkatkannya Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) di Masa Pandemi


COVID-19

Disusun oleh Kelompok 5:

Diah Khrisma Putriana 101811133016


Ari Setiawan 101811133024
Salsabila Novianti 101811133032
Ahmad Andriansyah 101811133036
Lathiifah Amalia Rihtianti 101811133143
Mochammad Nur Ozim Ridho P 101811133211
Randy Ghifari 101811133222

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
Daftar Isi

BAB I.................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar belakang.............................................................................................4
1.2 Rumusan masalah........................................................................................5
1.3 Tujuan......................................................................................................... 5
1.4 Manfaat........................................................................................................6
BAB II.................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN....................................................................................................7
2.1 Definisi Pernikahan Dini...............................................................................7
2.2 Pernikahan dini dalam perspektif agama dan kontroversi pernikahan
dini..................................................................................................................10
2.2.1 Pernikahan dini dalam perspektif agama..............................................10
2.2.2 Kontroversi pernikahan dini.................................................................11
2.3 Batas Minimal Usia Pernikahan Menurut Peraturan...................................13
2.4 Kejadian Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) pada masa pandemi di
Indonesia.........................................................................................................15
2.5 Faktor Penyebab Tingginya Angka Pernikahan Dini di Masa Pandemi........19
Covid-19.......................................................................................................... 19
2.6 Pengaruh Pernikahan Dini terhadap tingginya angka perceraian................20
2.7 Pengaruh Pernikahan Dini terhadap fertilitas (Jumlah Kelahiran)..............23
2.8 Strategi Pencegahan Pernikahan Dini.........................................................26
BAB III............................................................................................................... 27
PENUTUP...........................................................................................................27
3.1 Kesimpulan................................................................................................27
3.2 Saran..........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................29

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perkawinan anak atau pernikahan usia dini masih menjadi fenomena
yang kerap ditemui di negara-negara berkembang terutama pada wilayah
yang terpencil dengan akses pendidikan yang kurang memadai. Namun hal
tersebut tidak menutup kemungkinan untuk pernikahan dini terjadi di wilayah
pedesaan dan perkotaan di Indonesia sendiri serta terjadi di berbagai tingkat
ekonomi masyarakat dengan berbagai macam latar belakang. Hukum di
Indonesia mengatur batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun,
sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 1 Tahun 1974. Seseorang yang menikah di bawah batas usia
tersebut tergolong ke dalam pernikahan dini. Berdasarkan Survei Data
Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah didapatkan
bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan
usia di bawah 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia
mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Di
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Jawa Barat, angka kejadian
pernikahan dini berturut-turut 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan 36%. Bahkan di
sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak
perempuan mendapat haid pertama.
Kejadian perkawinan dini ini berisiko untuk memberikan lebih banyak
efek negatif berjangka panjang. Hal tersebut dapat berdampak diantaranya
kepada, kesehatan (akibat komplikasi dari persalinan pada usia remaja), dan
pendidikan yang berlanjut berdampak pada kehidupan dan peluang kerja
kedepannya.Pendidikan yang rendah membuat mereka kesulitan mengakses
pekerjaan. Pada 2015, berdasarkan data BPS, rasio bekerja ke populasi (EPR)
perempuan berusia 20-24 tahun dan sudah kawin hanya 34,41%. Lebih
rendah dari EPR perempuan berusia di rentang sama yang belum kawin.
Kemudian kematian bayi serta berbagai masalah kesehatan bayi saat lahir
juga menjadi risiko pada persalinan pada usia dini. Selain itu risiko terjadinya
praktik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan lebih tinggi
dikarenakan pasangan usia dini masih kurang mampu mengelola emosi.
Pada masa pandemi ini, angka perkawinan dini akan meningkat
dengan pesat. Menurut Kemen PPN/Bappenas, 400–500 anak perempuan usia
10–17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Penyebab
meningkatnya angka perkawinan anak pada masa pandemi tidak jauh berbeda
dengan penyebab perkawinan anak pada kondisi normal. Perkawinan anak
tetap dilakukan oleh kelompok miskin dan kurang berpendidikan. Kondisi
kesejahteraan yang terus menurun memaksa orang tua membiarkan anaknya
menikah. Penutupan sekolah ketika situasi ekonomi memburuk juga membuat

3
banyak anak dianggap sebagai beban keluarga yang sedang menghadapi
kesulitan ekonomi. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan dispensasi
kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni
2020, yang 97%-nya dikabulkan.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang terkait pembahasan meningkatkannya
perkawinan anak (Pernikahan Dini) di masa pandemi, rumusan masalah yang
dapat diangkat diantaranya adalah :
1. Bagaimana konsep dari Perkawinan Anak (Pernikahan Dini)?
2. Bagaimana definisi Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) dalam perspektif
agama serta kontroversinya?
3. Bagaimana prinsip kepastian hukum mengenai batas minimal usia
perkawinan?
4. Bagaimana kejadian Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) pada masa
pandemi di Indonesia?
5. Bagaimana faktor penyebab tingginya angka Perkawinan Anak
(Pernikahan Dini) di masa pandemi?
6. Bagaimana Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) mempengaruhi tingginya
angka perceraian?
7. Bagaimana Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) mempengaruhi jumlah
tingkat kelahiran pada suatu wilayah?
8. Bagaimana upaya mengontrol atau meminimalisir terjadinya Perkawinan
Anak (Pernikahan Dini) di masa pandemi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan meningkatkannya pernikahan dini di masa
pandemi ini adalah :
1. Mengetahui konsep dari Perkawinan Anak (Pernikahan Dini)
2. Mengetahui definisi Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) dalam perspektif
agama serta kontroversinya
3. Mengetahui prinsip kepastian hukum mengenai batas minimal usia
perkawinan
4. Mengetahui kejadian Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) pada masa
pandemi di Indonesia
5. Mengetahui faktor penyebab tingginya angka Perkawinan Anak
(Pernikahan Dini) di masa pandemi
6. Mengetahui pengaruh Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) terhadap
tingginya angka perceraian
7. Mengetahui pengaruh Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) terhadap
jumlah tingkat kelahiran pada suatu wilayah

4
8. Mengetahui upaya mengontrol atau meminimalisir terjadinya Perkawinan
Anak (Pernikahan Dini) di masa pandemi

1.4 Manfaat
a. Dapat dijadikan sebagai sumber referensi pertimbangan kebijakan
pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan terkait kasus
Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) yang masih marak terjadi.
b. Dapat dijadikan sebagai referensi terhadap semua pihak yang hendak
melakukan Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) guna mengontrol
kejadian tersebut dan mengurangi risiko-risiko yang dapat ditimbulkan.
c. Dapat dijadikan referensi sumber dan juga untuk sekedar bahan
pertimbangan terhadap penulis lain dalam penelitian selanjutnya agar
dapat lebih dalam membahas terkait kasus Perkawinan Anak (Pernikahan
Dini) di Indonesia yang marak terjadi hingga saat ini.
d. Dapat meningkatkan pengetahuan pembaca terkait Perkawinan Anak
(Pernikahan Dini) pada masa pandemi di Indonesia, serta menjadi media
pembelajaran bagi penulis.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pernikahan Dini


Definisi pernikahan dini Menurut WHO, pernikahan dini (early
marriage) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu
pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah
usia 19 tahun. Menurut Kumalasari 2012, Pernikahan usia muda adalah
pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan remaja.
Faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan dini dapat terjadi diantaranya
adalah :
a. Faktor sosial budaya
Beberapa daerah di Indonesia masih menerapkan praktik kawin muda,
karena mereka menganggap anak perempuan yang terlambat menikah
merupakan aib bagi keluarga.
b. Desakan Ekonomi
Pernikahan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya, maka anak
perempuannya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
c. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang rendah makin mendorong cepatnya pernikahan
usia muda.
d. Kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan
Banyak dari remaja yang menganggap kalau mereka menikah muda, tidak
perlu lagi mencari pekerjaan atau mengalami kesulitan lagi dalam hal
keuangan karena keuangan sudah ditanggung suaminya.
e. Media Massa
Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern lebih
tertarik terhadap seks.
f. Agama
Dari sudut pandang agama menikah di usia muda tidak ada pelarangan
bahkan dianggap lebih baik daripada melakukan perzinaan.
g. Pandangan dan kepercayaan
Banyak di daerah ditemukan pandangan dan kepercayaan yang salah
misalnya kedewasaan dinilai dari status pernikahan, status janda dianggap
lebih baik daripada perawan tua
h. Faktor orang tua
Orang tua yang masih memegang erat adat istiadat dari kepercayaannya
akan merasa lebih senang jika melihat sang anak membangun hubungan
rumah tangga lebih cepat. Selain itu adat turun temurun juga menjadi
penyebab sang anak dinikahkan di usia muda. Orang tua memiliki

6
kekhawatiran jika anak perempuannya tidak mendapatkan jodoh dan
takut sang anak melakukanhal-hal yang tidak diinginkan dan bisa merusak
nama baik keluarganya.
i. Faktor Tempat Tinggal
Faktor lain yang ditemukan dalam kasus pernikahan usia dini adalah
faktor tempat tinggal. Perempuan yang tinggal di pedesaan cenderung
mudah dalam melakukan hal tersebut, dan perempuan yang tinggal di
perkotaan lebih memungkinkan untuk mendaptkan kesempatan hidup
lebih lama diluar pernikahan.
j. Faktor Kemauan Sendiri
Faktor kemauan sendiri ini disebabkan oleh rasa saling mencintai dan
menyayangi satu sama lain dari pihak laki-laki maupun perempuan. Jika
pasangan ini sudah dibutakan oleh cinta, mereka bisa melakukan apapun
yang mereka mau termasuk pernikahan tanpa memandang umur dan
masalah apa yang akan mereka hadapi setelah kehidupan pernikahan.
k. Faktor MBA (Marriged By Acident)
Di Indonesia banyak sekali kasus pernikahan dini disebabkan
oleh Hamil di luar nikah atau MBA. Menurut Sarwono (2003) pernikahan
usia dini banyak sekali terjadi pada saat anak-anak mengalami masa
pubertas, hal ini dikarenakan remaja sangat rentan kaitannya dengan
perilaku seksual yang mereka lakukan sebelum menikah. Pergaulan
bebas bisa menjadi penyebabnya, akibat terlalu bebas remaja dalam
berpacaran sampai-sampai mereka bisa melakukan sex pranikah dan
kehamilan. Jika masalah kehamilan sudah muncul dalam kondisi tersebut,
yang bisa dilakukan oleh keluarga hanyalah menikahkan kedua anaknya
agar sang anak bisa melanjutkan kehidupannya.
Selain itu dampak yang terjadi karena pernikahan usia muda menurut
(Kumalasari, 2012) diantaranya adalah :
1. Kesehatan perempuan :
a. Alat reproduksi belum siap menerima kehamilan sehingga dapat
menimbulkan berbagai komplikasi
b. Kehamilan dini dan kurang terpenuhinya gizi bagi dirinya sendiri
c. Resiko anemia dan meningkatnya angka kejadian depresi
d. Beresiko pada kematian usia dini
e. Meningkatkan angka kematian ibu (AKI)
f. Studi epidemiologi kanker serviks : resiko meningkat lebih dari 10
kali bila jumlah mitra seks 6/ lebih atau bila berhubungan seks
pertama di bawah usia 15 tahun
g. Semakin muda perempuan memiliki anak pertama, semakin rentan
terkena serviks
h. Resiko terkena penyakit menular seksual
i. Kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri

7
2. Kualitas Anak :
a. Bayi berat lahir rendah (BBLR) sangat tinggi, adanya kebutuhan
nutrisi yang harus lebih banyak untuk kehamilannya dan kebutuhan
pertumbuhan ibu sendiri
b. Bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia dibawah 18 tahun
rata-rata lebih kecil dan bayi dengan BBLR memiliki kemungkinan
5-30 kali lebih tinggi untuk meninggal.
3. Keharmonisan Keluarga dan perceraian :
Pernikahan usia muda rentan mengalami pertengkaran hingga nantinya
bisa berujung perceraian. Hal ini dikarenakan kedua pihak laki-laki
maupun wanita memiliki ego sendiri- sendiri ketika terjadi masalah.
Sehingga sifat tersebut membuat mereka berdua tidak ada yang mau
mengalah. Hal itu dikarenakan mental mereka belum siap untuk
menghadapi kehidupan
rumah tangga. Apalagi diusia mereka yang masih sangat muda.
4. Menghambat Agenda Pemerintah
Perkawinan anak menghambat agenda pemerintah, Perkawinan anak dapat
mengancam tidak tercapainya agenda pemerintah misalnya terkait
Keluarga
Berencana (KB) maupun Generasi Berencana hal ini dikarenakan
perkawinan anak menyebabkan ledakan penduduk karena tingginya angka
kesuburan remaja Indonesia, jika tidak terkendali maka dapat
menghambat pula program pengentasan kemiskinan dan wajib belajar 12
tahun.
5. Dampak Pendidikan
Seseorang yang melakukan perkawinan terutama pada usia yang masih di
bawah umur,. keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau
menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai atau
tidak akan terwujud. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar
yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan
kata lain, perkawinan di bawah umur merupakan faktor menghambat
terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
6. Dampak Ekonomi
Perkawinan anak belum mapan secara ekonomi, membawa kemiskinan
utamanya bagi mempelai yang masih sama-sama belia usianya belum
memiliki pekerjaan yang mapan atau layak dikarenakan tingkat
pendidikan mereka yang rendah.

8
2.2 Pernikahan dini dalam perspektif agama dan kontroversi pernikahan
dini

2.2.1 Pernikahan dini dalam perspektif agama


Pernikahan dini pada hakikatnya tergolong pernikahan juga, yang
dalam syariat Islam adalah sebagai penghormatan dan penghargaan yang
tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Allah khusus untuk manusia
diantara mahluk-mahluk lainnya. Dalam tinjauan fiqih, hukum asal menikah
adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT Q.S An Nisa: 3.
Perintah untuk menikah dalam ayat tersebut merupakan tuntutan
untuk melakukan nikah (thalab al fiil). Namun tuntutan itu tidak bersifat
pasti/ keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara
kawin dan pemilikan budak (miku al yamin). Maka tuntutan tersebut
merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan atau berhukum
sunah, tidak wajib.
Namun hukum asal ini dapat berubah menjadi hukum lain misal
wajib atau haram tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum
nikah. Jika seseorang tidak menjaga kesucian (iffah) maka menikah menjadi
wajib baginya. Sebab menjaga kesucian (iffah) dan akhlak adalah wajib atas
setiap muslim dan jika ini tidak bisa terwujud kecuali dengan menikah maka
menikah menjadi wajib baginya
sesuai kaidah syara’:

Dapat juga pernikahan berubah hukumnya sesuai dengan kondisi dan


keadaan dari masing - masing pasangan yang akan melakukan pernikahan.
Misal berubah menjadi haram, jika menjadi perantara kepada yang haram
atau akan menimbulkan madharat jika dilakukan seperti pernikahan akan
menyakiti istri atau pernikahan yang akan membahayakan agama. Kaidah
syara menyatakan:

Berdasarkan penjelasan diatas asal hukum pernikahan adalah


sunnah. Namun karena keadaan orang yang akan melaksanakan pernikahan
berbeda-beda maka hukumnya dapat berubah menjadi wajib atau haram.

9
2.2.2 Kontroversi pernikahan dini
Hukum asal pernikahan yang termasuk pernikahan dini adalah
sunnah. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain,
seperti wajib ataupun haram tergantung pada keadaan orang yang
melaksanakannya. Oleh karena itu, hukum pernikahan dini masih menjadi
pro-kontra dikalangan para ulama, ada yang memperbolehkan dan ada yang
melarang.
a. Kebolehan Menikah Dini
Pernikahan dini hukumnya boleh (mubah) secara syar’i dan sah,
seorang laki-laki dewasa menikahi perempuan yang masih kecil (belum
haid). Dalil kebolehannya adalah Al-Quran dan As Sunah.-Firman Allah
Q.S An Nisa: 4
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”.
Menafsirkan ayat ini, “sampai mereka cukup umur untuk kawin”,
Mujahid berkata: artinya baligh. Jumhur ulama berkata: baligh pada anak
laki-laki terkadang oleh mimpi, yaitu di saat tidur; bermimpi sesuatu yang
menyebabkan keluarnya air mani yang memancar, yang darinya akan
menjadi anak.-Masa ‘aqil baligh seharusnya telah dialami oleh tiap-tiap
orang pada rentang usia 14-17 tahun. Salah satu tanda yang biasa dipakai
sebagai patokan apakah kita sudah ‘aqil baligh atau belum adalah datangnya
mimpi basah (ihtilam). Akan tetapi pada masa kita sekarang, datangnya
ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran sehingga
kita telah memiliki kedewasaan berpikir. Generasi yang lahir pada zaman ini
banyak yang telah memiliki kemasakan seksual, tetapi belum memiliki
kedewasaan berpikir.
Beberapa pendapat para mufassir tentang sampainya waktu menikah
bulugh al-nikah dalam QS. An Nisa’: 6 juga bervariasi. Ada yang
berpendapat bahwa ukuran sampainya waktu nikah ditandai dengan
kematangan fisik dan ada pula yang berpendapat bukan kematangan fisik
tetapi kematangan secara psikis. Karena seseorang yang telah dewasa secara
fisik belum dijamin dewasa secara psikis. Artinya, ia telah cakap dan
mampu memikul tanggung jawab.
Dalam Tafsîr Ibnu Katsîr surat an-Nisa:4 tersebut dijelaskan bahwa
ayat ini adalah sebuah perintah untuk menikah sebagaimana pendapat
sebagian dari ulama mewajibkan nikah bagi mereka yang mampu. Al-
Marâghy menafsirkan sebagaimana yang dikutip oleh Mustofa, kalimat
washâlihîn, para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikah dan
menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta
dan lain-lain. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut “washâlihîn”, yaitu
seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah

10
tangga, bukan berarti yang taat beragama, karena fungsi perkawinan
memerlukan persiapan bukan hanya materi, tetapi juga persiapan mental
maupun spiritual, baik bagi calon laki-laki maupun calon perempuan.
Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua
pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama
seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia
dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga
diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar
baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.
Jika melihat pemikiran ulama klasik (salaf) seperti Maliki, Syafi’I,
Hambali dan Hanafi, mereka tidak mensyaratkan mumayyiz ataupun
kedewasaan bagi calon mempelai. Bagi mereka, akil dan baligh saja cukup.
Kebijakan ini bukan tanpa alasan akan tetapi kenyataan bahwa memang
tidak adanya ayat Al Quran yang secara jelas mengatur tentang batas usia
nikah.
b. Larangan Menikah Dini
Pandangan jumhur ulama yang membolehkan nikah dini diatas
disangkal oleh At-Thahawy dan Ibnu Hazm, yang berpandangan persoalan
ini belum menjadi ijma’. Pijakannya adalah pendapat Ibnu Syubramah yang
mengatakan bahwa akad nikah dengan gadis yang belum baligh (sebelum
usia pubertas) tidak sah.-Menurutnya, nilai esensial perkawinan adalah
memenuhi kebutuhan biologis dan melanggengkan keturunan. Sementara
dua hal ini tidak terpenuhi pada diri anak yang belum baligh. Ibnu
Syubramah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Ia mendekati
persoalan tersebut secara historis, sosiologis, dan kultural. Sehingga dalam
menyikapi perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA, Ibnu
Syubramah memandangnya sebagai hak khusus (privilege) bagi Nabi
Muhammad SAW yang tidak bisa ditiru umatnya sama persis dengan
kebolehan beliau beristri-lebih dari 4 orang wanita.
Pendapat tersebut diikuti oleh undang-undang Negara Syiria pada pasal
15 UU perkawinan Syiria menyebutkan: “kecakapan bertindak dalam
perkawinan disyaratkan berakal dan baligh”.-Beberapa hal yang menjadi
dasar pertimbangan ketentuan ini adalah prinsip istislah (kemaslahatan),
realitas sosial, dengan memerhatikan beratnya tanggung jawab perkawinan.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi membolehkan taqyid al-mubah (pembatasan hal
yang boleh) untuk suatu kemaslahatan. Dalam hal ini, pembatasan usia
perkawinan boleh dilakukan selama untuk tujuan kemaslahatan umat.
Menurut Husein Muhammad, salah satu faktor yang menjadi perhatian
fuqaha menilai hukum perkawinan adalah ada atau tidaknya unsur
kemaslahatan atau kekhawatiran terjadinya hubungan seksual di luar nikah.
Jika kekhawatiran ini tidak dapat dibuktikan maka perkawinan tersebut

11
tidak dapat dibenarkan. Sebab, perkawinan pada usia belia dapat
menimbulkan kemudharatan seperti munculnya gangguan fungsi reproduksi
pada perempuan. International Islamic Center for Population Studies &
Research Al-Azhar menyatakan bahwa perkawinan anak usia dini tidak
memiliki dasar dan argumentasi keagamaan yang kuat dan shahih dalam
perspektif Islam.
Ditinjau dari aspek psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah antara
19 sampai dengan 25 tahun. Ciri-ciri psikologis yang paling mendasar
adalah adalah mengenai pola perasaan, pola pikir dan pola perilaku tampak
diantaranya: stabilitas mulai timbul dan meningkat; citra diri dan sikap
pandangan lebih realistis, menghadapi masalah secara lebih matang dan
perasaannya menjadi lebih tenang.

2.3 Batas Minimal Usia Pernikahan Menurut Peraturan


Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M.
Otto sebagaimana dikutib oleh Sidharta bahwa : Kepastian hukum dalam
situasi tertentu mensyaratkan antara lain tersedia aturan-aturan hukum yang
jelas, jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accessible) yang diterbitkan
oleh kekuasaan Negara. Sedangkan Gustav Radbruch memberi pendapat
bahwa kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu sebanyak-
banyaknya berupa undang-undang, dalam undang-undang tersebut tidak ada
ketentuan yang bertentangan (Undang-undang berdasarkan suatu sistem yang
logis dan praktis. Undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtsleer
kelijheid” (Keadilan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-
undang tersebut tidak terdapat istilahistilah yang dapat ditafsirkan secara
berlainan-lainan. Mengkondisikan tata nilai dalam hubungan antara orang-
orang dalam masyarakat yang dapat memberikan sebuah “kepastian hukum”,
menurut Satjipto Rahardjo terlebih dahulu harus menciptakan suatu kepastian
pula di dalam tubuhnya sendiri. Tuntutan yang terakhir ini mendatangkan
beban formal yang wajib dipenuhinya yaitu susunan tata aturan yang penuh
konsistensi. Pendapat yang senada disampaikan oleh M. Isnaeni, yang
mengungkapkan bahwa perangkat hukum yang sangat memperhatikan
konsistensi akan mampu melahirkan kepastian hukum seperti yang dicita
harapkan oleh khalayak luas. Sebaliknya kalau dalam diri aturan perundang-
undangan itu tidak dialiri arus konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak
pernah pasti, maka sulit sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian
hukum dari rahim aturan seperti itu. Pendapat mengenai kepastian hukum
dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutib oleh Sidharta bahwa
: Kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan antara lain tersedia
aturan-aturan hukum yang jelas, jernih, konsisten dan mudah diperoleh
(accessible) yang diterbitkan oleh kekuasaan Negara. Nurhasan Ismail
berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam peraturan

12
perundangundangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur
internal dari norma hukum sendiri. Persyaratan internal tersebut adalah:
kejelasan konsep yang digunakan, norma hukum berisi deskripsi mengenai
perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula,
kemudian kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah
atau tidaknya dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan
yang dibuatnya. Kepastian hukum dapat dimaknai adanya kejelasan hukum
itu sendiri, hukum itu tidak menimbulkan keraguan/ multitafsir. Hukum tidak
menimbulkan atau mengakibatkan kontradiktif, serta hukum itu dapat
dilaksanakan. Pendapat Herowati Poesoko terkait praktik hukum seringkali
ditemukan adanya kekosongan hukum (leemten in het recht), inskonsistensi
pada peraturan perundang-undangan, konflik norma (antinomi) dan norma
kabur (vage normen). Terkait pembatasan minimal usia perkawinan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan hanya diijinkan apabila pria
dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ketentuan pasal
ini terdapat konflik norma, norma yang kabur, dan inskonsistensi dengan
Pasal 7 ayat (2), pasal 7 ayat (3) pasal 7 ayat (4) undang-undang tersebut
dengan masih adanya kelonggaran untuk memberikan dispensasi usia
pernikahan tersebut. Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomer 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :” dalam hal terjadi
penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
orang tua pihak pria atau wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan
dengan alasan yang sangat mendesak dengan disertai bukti-bukti pendukung
yang cukup. Pada Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa pemberian dispensasi
oleh pengadilan sebagaimana disebutkan pada ayat (2) wajib mendengarkan
pendapat kedua belah calon mempelai. Berdasarkan ketentuan ini jelas
adanya ketidak konsistenan aturan hukum (konflik norma) dalam
perundangundangan, memberikan batasan usia minimal pernikahan 19 tahun
tetapi masih dimungkinkan kurang dari 19 tahun jika memiliki surat
dispensasi pernikahan dari pengadilan. Dispensasi pernikahan adalah
pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun belum mencapai
batas minimum usia perkawinan, artinya seseorang boleh menikah diluar
ketentuan tersebut jika ada keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilihan lain
(ultimum remedium). Dalam UU Perkawinan terbaru tersebut memberikan
peluang “penyimpangan” dengan mengajukan dispensasi pernikahan yang
diajukan ke pengadilan, Pengadilan Agama bagi pemeluk agama Islam dan
Pengadilan Negeri bagi yang beragama lain. Keadaan mendesak menjadi
suatu pertimbangan untuk tetap dilangsungkannya pernikahan akan tetapi

13
tidak ada batas ruang lingkup keadaan mendesak yang bagaimana yang
dimaksud tidak ada penjelasan dalam undangundang (norma yang kabur).
Tentu hal ini merupakan problematika tersendiri di satu sisi mewajibkan batas
usia minimal perkawinan 19 tahun disisi yang lain masih dimungkinkan
menyimpang dari ketentuan tersebut sepanjang memiliki dispensasi
pernikahan dari pengadilan. Berkaitan dengan dispensasi pernikahan ini
terdapat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin,
Hakim mengadili permohonan dispensasi kawin berdasarkan asas:
kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan hak tumbuh anak, penghargaan
atas pendapat anak, penghargaan atas harkat dan martabat manusia,
kesetaraan gender, non diskriminasi, keadilan, kemanfaatan, kepastian
hukum, dan persamaan didepan umum. Diantara alasan yang sering
dikemukakan untuk diberikannya dispensasi perkawinan adalah hubungan
antara calon mempelai pria dan wanita sudah sangat erat, sehingga orang tua
mengkhawatirkan semakin terjerumus ke dalam perbuatan yang bertentangan
dengan syariat Islam. Dalam mengadili perkara permohonan dispensasi
kawin, Pengadilan Agama seringkali mempertimbangkan antara 2
kemudharatan yaitu kemudharatan yang terjadi akibat perkawinan di usia
anak-anak (perkawinan dini) dan kemudharatan jika dispensasi perkawinan
tersebut ditolak. Memang pada kondisi tertentu sangat sulit untuk menolak
permohonan dispensasi pernikahan terutama jika calon mempelai wanita
sudah dalam kondisi hamil, pasti orang tua akan mengusahakan bagaimana
dapat memperoleh dispensasi pernikahan untuk anaknya. Dispensasi
pernikahan hanya dapat diminta kepengadilan jika terdapat alasan-alasan
yang dapat dibuktikan atau adanya bukti yang cukup, diantaranya adanya
surat keterangan usia kedua mempelai yang masih dibawah ketentuan
undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung
pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut mutlak untuk dilakukan.
Selain itu hakim juga wajib mendengar keterangan kedua mempelai yaitu
pemohon dan juga keterangan dari calon besan. Sehingga apabila ditinjau dari
nilai kepastian hukumnya terkait batasan minimum usia perkawinan tidak
bisa dilaksanakan secara sempurna (terbuka peluang inkonsistensi) karena
masih dimungkinkan adanya penyimpangan dari batasan tersebut dengan
dimungkinkannya dispensasi pernikahan bagi calon mempelai dibawah umur
yang telah ditentukan oleh undang-undang.

14
2.4 Kejadian Perkawinan Anak (Pernikahan Dini) pada masa pandemi di
Indonesia
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(Kementerian PPPA) melaporkan peningkatan angka pernikahan dini selama
pandemi Covid-19. Perkawinan anak menambah risiko yang harus dihadapi
anak selama pandemi. Beberapa penyebab perkawinan anak antara lain
minimnya aktivitas anak dan lemahnya pengawasan orang tua dalam
mengawasi anak sehingga terjadi pergaulan bebas dan menyebabkan
kehamilan.
Di tahun 2018, 11,21 % perempuan 20-24 tahun menikah sebelum
mereka berumur 18 tahun. Angka perkawinan anak di Indonesia ini masih
sangat memprihatinkan. Leny Rosalin Deputi Bidang Tumbuh Kembang
Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (KPPA)
mengatakan bahwa dari seluruh negara anggota ASEAN, Perkawinan anak di
Indonesia ada di peringkat dua setelah kamboja. Pusat Kajian dan Advokasi
Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan
Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Laporan yang dikeluarkan pada 2020 itu menyebut bahwa
berdasarkan populasi penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10
perkawinan anak tertinggi di dunia.
Bahkan di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, terjadi
lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia. Sejalan dengan itu UNFPA
memprediksi perkawinan anak akan bertambah sebanyak 13 juta kasus secara
global hingga 10 tahun ke depan akibat COVID-19.
a. Jumlah pernikahan dini di indonesia (sebelum pandemi)
Pada level regional, kasus pernikahan dini juga menjadi perhatian
di seluruh provinsi di Indonesia. pada data tahun 2018 pernikahan dini
ditemukan di seluruh bagian Indonesia dengan sebanyak 1.184.100
perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah di usia 18 tahun. Jumlah
terbanyak berada di Jawa dengan 668.900 perempuan. Kerentanan
perkawinan anak bahkan mengalami tend kenaikan di masa pandemi
jumlah tertinggi terletak di provinsi Jawa Barat, dan Jawa Timur. Dalam
laporan penelitian Puskapa-bersama UNICEF, dengan menghitung
berdasarkan populasi penduduk, dua wilayah tersebut merupakan provinsi
tertinggi yang melakukan praktik perkawinan anak. Data perkawinan anak
di indonesia ditunjukan pada gambar 1.

15
gambar 1.
Laporan BPS dan UNICEF tentang data perkawinan anak di Indonesia
pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan
umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018
diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan juga perkawinan anak laki-laki.
Angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka perkawinan
anak tertinggi di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik, perkawinan anak
berusia 17 tahun ke bawah paling tinggi ditemukan di Kalimantan Selatan
yakni sebesar 27,82 persen. Berdasarkan Survai Data Kependudukan
Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah memperjalas bahwa sepertiga
dari jumlah pernikahan yang tercatat yang dilakukan oleh pasangan usia di
bawah usia 16 tahun. Data BPS menunjukkan Kalimantan Selatan menjadi
provinsi dengan angka perempuan menikah sebelum usia 18 tertinggi di
Indonesia yaitu 21.2 persen. Diikuti Kalimantan Tengah 20.2 persen.
Sulawesi Barat menduduki peringkat ketiga pernikahan dini dengan 19.2
persen, Kalimantan Barat 17.9 persen, Sulawesi Tenggara 16.6 persen,
Sulawesi Tengah 16.3 persen,Nusa Tenggara Barat 16.1 persen, Bangka
Belitung 15.5 persen, Jambi 14.8 persen, Maluku Utara 14.4 persen, Sulawesi
Utara 13.5 persen, Sumatera Selatan 13.5 persen, Bengkulu 13.2 persen,
Papua Barat 13.2 persen, Selanjutnya Gorontalo melaporkan 13.2 persen,
Kalimantan Utara 12.9 persen, Kalimantan Timur 12.4 persen, Jawa Barat
12.3 persen, Sulawesi Selatan 12.1 persen, Lampung 12.1 persen, Papua 11.2
persen, dan Jawa Timur 11.1 persen pernikahan dini.
b. Jumlah pernikahan dini di indonesia (disaat pandemi)
Pernikahan usia dini pada masa pandemi menurut data yang
dikutip katadata.id. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat selama pandemi Covid-19

16
ada 34.000 ribu permohonan dispensasi pernikahan anak yang diterima
pengadilan agama di Indonesia. Dalam catatan direktorat jenderal badan
peradilan agama, terdapat 34.000 permohonan dispensasi yang diajukan
pada januari hingga juni 2020. Angka pernikahan dini di indonesia
meningkat drastis selama pandemi covid-19. Angka ini meningkat dari
tahun 2019 yaitu sebanyak 23.126 perkara dispensasi kawin. Meski diatur
dalam UU No.16/2019 bahwa dispensasi pernikahan minimal berusia 19
tahun. Namun dalam pelaksanaanya masih ada celah sehingga orang tua
dapat mengajukan permohonan ke pengadilan dengan dalih mendesak.
Dalam catatan direktorat jenderal badan peradilan agama, terdapat 34.000
permohonan dispensasi yang diajukan pada januari hingga juni 2020.
Sebanyak 97% permohonan dikabulkan. Kendati usia pernikahan telah
dibatasi minimal 19 tahun, namun 60% yang mengajukan adalah anak
dibawah 18 tahun. Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak menyebutkan angka pernikahan dini atau perkawinan
anak pada usia dini meningkat menjadi 24 ribu saat pandemi. Jawa Barat
salah satunya menjadi provinsi penyumbang angka perkawinan bawah
umur tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional tahun 2020 di susul Jawa Timur dan Jawa tengah
itulah-3 provinsi yang paling tinggi.
Di Kabupaten Lombok Barat, Berdasarkan data dari DP3AP2KB
Kabupaten Lombok Barat tercatat 512 kasus pernikahan usia dini sejak
Januari – Oktober 2020. Data ini menunjukkan bahwa jumlah angka
pernikahan Anak di bawah umur 18 tahun sangat memprihatinkan. Urutan
tertnggi kasus ini terdapat di Kecamatan sekotong disusul lingsar dan
narmada. Di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa Timur
terjadinya perkawinan di bawah umur sudah dianggap sebagai hal yang
lumrah. Di Provinsi Jawa Timur,sepanjang tahun 2020 jumlah perkawinan
dibawah umur adalah sebanyak 9.453 kasus. Angka itu setara 4,97 persen
dari total 197.068 pernikahan yang tercatat di Pengadilan Agama
setempat. Secara persentase, mengalami peningkatan dibanding 2019 yang
hanya 3,6 persen. Sementara kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu
kabupaten dengan angka pernikahan usia dini yang melebihi angka
pernikahan usia dini di tingkat Provinsi Jawa Timur. (Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan
(DP3AK) Jawa Timur, 2020). Di Provinsi D.I. Yogyakarta, selama tahun
2020, dari 700 dispensasi kawin yang dikabulkan di pengadilan agama,
80%-nya disebabkan karena kehamilan di luar nikah (Kumparan, 13
Januari 2021),pengadilan agama mengabulkan karena jika tidak
dinikahkan dapat menimbulkan problema baru misalnya permusuhan
antar keluarga. Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur
mencatat 165 pernikahan dini sepanjang Januari-Agustus 2020. Angka ini

17
sekitar dua kali lipat dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang
sebanyak 78 pernikahan dini. Pernikahan dini di Sukoharjo melonjak
tajam akibat pandemi Covid-19. Hingga akhir 2020, ada 203 kasus
pernikahan dini yang disebabkan beragam faktor seperti kondisi ekonomi
hingga dampak negatif gadget. Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga
Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DPPKBP3A) Sukoharjo mencatat jumlah kasus pernikahan dini pada
2019 atau sebelum munculnya pandemi Covid-19 sebanyak 77 kasus. Di
kota blitar, sejak Januari sampai Agustus tahun ini, Humas Perlindungan
Anak menerima permohonan dispensasi kawin sebanyak 408. Naik hampir
100 persen dibandingkan tahun 2019 sebanyak 245.

Data Dispensasi Perkawinan di Beberapa Kota di Indonesia Periode


Januari Juni 2020

Kota Jumlah
Tasikmalaya. Jawa Barat 396
Semarang, Jawa Tengah 100
Kediri, Jawa Timur 82
Kapuas,Kalimantan Tengah 60
Banjar,Kalimantan Selatan 30
Sihli,Aceh 59
Muara Sabak,Jambi 45
Painan,Sumatera Barat 22
Medan,Sumatera Utara 20
Sumber: Aplikasi Sistem Informasi Penelurusan Perkara (SIPP),
Pengadilan Agama
Sejumlah faktor melatarbelakangi pernikahan dini, apalagi dimasa
pandemi covid-19 ini. Penutupan sekolah menyebabkan minimnya
aktivitas, aturan beragam norma di wilayah setempat, hingga persoalan
ekonomi keluarga. Himpitan ekonomi di tengah krisis mendorong orang
tua untuk menikahkan anaknya tersebut.

2.5 Faktor Penyebab Tingginya Angka Pernikahan Dini di Masa Pandemi


Covid-19
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 telah serta
merta mengubah pola hidup masyarakat. Untuk memperlambat penularan
virus, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berdampak
pada penurunan aktivitas masyarakat. Kondisi tersebut tidak hanya
mempengaruhi orang dewasa, tapi juga anak-anak, terutama karena
penutupan sekolah yang merupakan aktivitas utama mereka. Pandemi Covid-
19 telah memaksa perubahan sistem pembelajaran menjadi pembelajaran

18
jarak jauh (PJJ) dengan kurikulum darurat yang ternyata masih sulit
dilaksanakan secara optimal.
Di masa pandemi ini, angka perkawinan anak tetap meroket. Menurut
Kemen PPN/Bappenas, 400–500 anak perempuan usia 10–17 tahun berisiko
menikah dini akibat pandemi Covid-19. Penyebab meningkatnya angka
perkawinan anak pada masa pandemi tidak jauh berbeda dengan penyebab
perkawinan anak pada kondisi normal. Perkawinan anak tetap dilakukan oleh
kelompok miskin dan kurang berpendidikan. Kondisi kesejahteraan yang
terus menurun ini telah memaksa orang tua membiarkan anaknya menikah.
Penutupan sekolah ketika situasi ekonomi memburuk juga membuat banyak
anak dianggap sebagai beban keluarga yang sedang menghadapi kesulitan
ekonomi. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan dispensasi kawin yang
diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang
97%-nya dikabulkan (katadata. co.id, 16 September 2020)
Ternyata aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki
keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar (Kasih, 2020), termasuk
untuk pacaran. Keluarga takut jika anak-anak berpacaran melewati batas
maka memilih untuk segera menikahkan. Pada keluarga yang lemah
pengawasan orang tua terhadap anak berdampak terjadinya pergaulan bebas
yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Sekolah merupakan jaringan
pengaman bagi banyak orang, terutama anak perempuan (BBC.co.uk, 8
September 2020). Anak yang tidak sekolah dianggap menjadi beban ketika
dikombinasikan dengan penurunan penghasilan keluarga. Oleh karena itu,
orang tua menikahkan anaknya dengan tujuan memindahkan beban tersebut
kepada orang lain. Namun, pernikahan anak tidak hanya terjadi karena
keinginan orang tua tapi juga atas inisiatif anak. Faktor lainnya :
1. Faktor sosial budaya. Yaitu pandangan menikah dapat menghindari
perbuatan zina serta untuk menjaga nama baik keluarga
2. Faktor ekonomi. Orang tuanya kehilangan mata pencaharian melihat anak
sebagai beban ekonomi. Sehingga menikahkannya dapat menjadi solusi.
3. Adanya pembatasan sosial dan sistem pembelajaran dari rumah
mengurangi aktivitas anak dan terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi
bagi remaja.
4. Pemanfaatan internet untuk belajar dari rumah dapat meningkatkan risiko
kekerasan siber dan keterpaparan anak terhadap konten pornografi.
5. Kurangnya pengawasan orangtua terkait kebijakan penutupan sekolah dan
pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi salah satu pemicu maraknya
pernikahan dini.

2.6 Pengaruh Pernikahan Dini terhadap tingginya angka perceraian


Perceraian adalah peristiwa dari penyesuaian perkawinan yang buruk
apabila antara suami dan istri sudah tidak bisa lagi mencari solusi

19
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak,sehingga
putusnya suatu hubungan pernikahan. Menikah di usia muda dan belum ada
kesiapan mental yang kuat untuk menghadapi kehidupan setelah menikah
berpotensi menimbulkan perceraian. Batas usia dalam melangsungkan
pernikahan begitu penting karena di dalam pernikahan menghendaki
kematangan psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat
mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian. Beragam kasus dispensasi
nikah di Pengadilan Agama salah satunya pengadilan agama Surakarta
mengalami peningkatan akibat Pandemi Covid-19. Hal ini sangat berdampak
terhadap perubahan sosial yang terjadi terutama konstruksi keharmonisan
rumah tangga di Indonesia. Perkawinan anak sebisa mungkin semestinya
harus dihindari, sebab dampak dari pernikahan tersebut sering menimbulkan
persoalan terutama meningkatnya kasus perceraian. Jika dilihat dari
tingginya angka pernikahan dini di Indonesia, maka hal tersebut tentu
menjadi pengaruh adanya perceraian pasangan muda. Penelitian Mies Grinjis
dan Hoko Horii menunjukan terdapat 50% pernikahan usia dini yang
berakhir pada perceraian, perceraian dilakukan saat usia pernikahan baru satu
hingga dua tahun. Hal ini bisa terjadi dikarenakan banyakketidakcocokan
antara suami dan istri dan ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Pasangan muda yang masih berusia dini (anak)
rentang mengalami konflik dan akhirnya menambah kasus perceraian di
Pengadilan Agama juga semakin meningkat.
Tercatat 800 lebih kasus cerai yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Aceh terhitung sejak 2013 hingga april 2015. Di kabupaten Aceh
Tengah Pada tahun 2014 terdapat 12 (37,5%) kasus perceraian pada pasangan
di bawah umur, kemudian tahun 2015 naik menjadi 16 (42,10%), dan pada
tahun 2016 berjumlah 14 (36,84%). Total kasus perceraian anak di bawah
umur dari tahun 2014-2016 adalah 42 kasus dan total pasangan menikah di
bawah umur sebanyak 108 pasang. Jika hal ini dipersentasekan, maka jumlah
perkawinan di bawah umur yang mengalami perceraian selama tahun 2014,
2015 dan 2016 adalah sebesar 38,88% angka perceraian pasangan di bawah
umur. Jumlah ini hampir mendekati angka setengah kasus perceraian dari
total keseluruhan pasangan menikah di bawah umur. Kepala KUA Aceh
Tengah mengatakan bahwa tingkat keberhasilan pasangan menikah di bawah
umur dalam membina keluarga bisa dikatakan kurang berhasil. Indikasinya
adalah hampir setengah dari pasangan yang menikah dibawah umur akan
bercerai.. Artinya pasangan di bawah umur sangat rentan dengan perceraian.
Perselisihan terus menerus merupakan akumulasi dari emosi yang belum
stabil pasangan di bawah umur. Umumnya peran keluarga juga ikut andil
untuk memperbaiki namun kebanyakan tidak berhasil. Kedua pasangan lebih
mengedepankan ego masing-masing sehingga sulit sekali mendapatkan jalan
tengah dari setiap permasalahan. Utamanya sifat kekanak-kanakan yang

20
masih kuat melekat membuat setiap permasalahan yang muncul dihadapi
dengan emosi.
Mengenai pernikahan yang menyebabkan perceraian bagi pasangan
dini jelas sangat rentan karena dari segi fisik dan ekonomi belum siap dalam
membangun rumah tangga untuk kedepannya. Sebagai contoh perceraian
yang terjadi di beberapa wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga,
maraknya kasus perceraian yang diakibatkan oleh pernikahan di usia dini dan
sangat sulit untuk mencegah terjadinya fenomena perceraian tersebut.
Perceraian pada masyarakat yang melakukan pernikahan dini tersebut
dikarenakan banyaknya remaja usia muda yang didorong oleh orang tuanya
untuk menikah. Perceraian di daerah salatiga bisa dikatakan berbanding lurus
dengan pernikahan dini. Kecenderungan yang memicu pasangan pernikahan
dini yang melakukan perceraian dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor
internal yang berasal dari dalam diri pasangan dan faktor eksternal yang
berasal dari luar pasangan tersebut.
1. Faktor internal
a. Psikologis
Masalah kondisi psikologis dan mental pasangan muda yang belum
stabil dapat memicu terjadinya perceraian. Karena kondisi emosi dan
sifat egois yang masih tinggi, sehingga belum bisa menyikapi
permasalahan dalam rumah tangga secara bijak dan dewasa.
Pernikahan dini tidak baik untuk dilakukan karena akan mempengaruhi
pola pikir serta tingkah laku pasangan. Kondisi emosional pasangan
muda yang dinilai masih labil akan berdampak pada pertengkaran dan
berujung dengan perceraian dalam rumah tangga.
b. Ekonomi
Berdasarkan penelitian yng dilakukan oleh Halimatul Sabrina dalam
skripsiya yang berjudul “Perceraian Pasangan Pernikahan Dini”
mengatakan bahwa ekonomi adalah alasan yang paling banyak dari
jawaban narasumber. Istri tidak diberikan nafkah yang layak dan
tidak tercukupi karena suami tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan
bahkan ada yang menjadi pengangguran.
c. Pendidikan Rendah
Pasangan pernikahan dini rata-rata berpendidikan menengah ke bawah
kebanyakan lulusan SD dan SMP sehingga kurang memahami arti
penting dan sakralnya sebuah perkawinan dan pemahaman tentang
perceraian juga rendah, mereka jarang memikirkan dampak yang
ditimbulkan perceraian. Rendahnya tingkat pendidikan tidak jarang
memicu sebagian besar pasangan nikah dini bercerai.
d. Kekerasan dalam rumah tangga
Pasangan muda rentan terhadap sifat yang masih kekanak-kanakan
dan mudah terpengaruh dengan perkembangan yang ada dalam

21
menyikapi permasalahan kehidupan berumah tangga serta kurangnya
komunikasi membuat salah satu pihak menjadi ringan tangan dan
mudah melakukan kekerasan karena sifat yang mudah emosi dengan
umur yang masih sangat muda.
e. Tidak mengerti hak, kewajiban dan tanggung jawab
Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan
meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk
bertanggung jawab dalam membina kehidupan rumah tangga bagi
suami istri. Seringnya pihak laki-laki mengabaikan tanggung jawab
merupakan akar dari keretakan rumah tangga pasangan di bawah umur
ataupun istri belum mampu menjadi pendamping yang baik. Adanya
kelalaian dalam menunaikan kewajiban rumah tangga dan
ketidakfahaman akan hak dan kewajiban masing-masing menjadi
sebab terjadinya percekcokan yang berakhir dengan perceraian.
f. Gangguan pihak ketiga atau perselingkuhan yang dilakukan oleh
salah satu pihak ataupun keduanya.
2. Faktor Eksternal
a. Sosial Budaya
Menurut Bapak Drs.H.Salim, M.H., (hakim Pengadilan Agama Salatiga),
pasangan yang menikah dini bercerai karena kebiasan masyarakat di desa
bahwa ketika terjadi perselisihan yang tidak ada jalan keluarnya mereka
lebih membawa masalah tersebut di hadapan hakim untuk disidangkan
dan akhirnya putusan perceraian yang akan muncul. Kebiasan tersebut
membuat pasangan yang menikah usia dini menyepelekan rumah tangga
dan ketika terjadi masalah lebih memilih pengadilan yang akan
menyelesaikannya.
b. Media Massa
Gencarnya media elektronik dalam mengekspos perceraian kalangan para
artis menyebabkan pasangan muda yang menikah terpengaruh hal tersebut
karena usia yang sangat dini sangat mudah terpengaruh dengan hal yang
ada di depannya, contohnya Pengadilan Agama Salatiga banyak kasus
perceraian bagi pasangan muda padahal dulu mereka juga melakukan
dispensasi untuk melakukan pernikahan tetapi tidak lama juga mereka
melakukan perceraian di pengadilan.

2.7 Pengaruh Pernikahan Dini terhadap fertilitas (Jumlah Kelahiran)


Fertilitas merupakan kemampuan berproduksi yang sebenarnya dari
penduduk (actual reproduction performance) atau jumlah kelahiran hidup
yang dimiliki oleh seorang atau sekelompok perempuan. Kelahiran hidup
adalah bayi yang dilahirkan menunjukan tanda-tanda hidup meskipun hanya
sebentar dan terlepas dari lamanya bayi itu dikandung. Tingkat fertilitas
seorang wanita dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu tingkat

22
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, persepsi nilai anak, kematian bayi/balita,
unmeet need, dan umur kawin pertama (Yuniarti, dkk, 2013). Adanya
pernikahan dini dapat menyumbang tingkat fertilitas semakin tinggi. Karena
pasangan yang menikah pada usia dini ini telah mempunyai anak sebelum
waktunya, mereka dapat lebih lama memiliki waktu usia produktif. Dilihat
dari umur wanita yang melakukan perkawinan dini umumnya kurang dari 17
tahun sehingga turut mendorong laju pertumbuhan penduduk, karena pada
masa tersebut wanita sedang mengalami masa subur sehingga memungkinkan
untuk mempunyai anak lebih banyak. Sehingga angka kelahiran bayi setiap
tahunnya terus meningkat. Secara garis besar, umur kawin pertama memiliki
pengaruh yang cukup kuat terhadap tingkat fertilitas seorang wanita di
berbagai penjuru dunia, terutama di negara-negara berkembang. Umur kawin
pertama dapat menjadi indikator saat dimulainya resiko kehamilan dan
melahirkan. Perempuan yang kawin pertama pada usia muda mempunyai
resiko terhadap kehamilan yang lebih lama daripada perempuan yang umur
kawin pertamanya lebih tua.
Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk di dalam kelompok
negara berkembang, juga mencatatkan fenomena rendahnya rata-rata umur
kawin pertama dan tingginya tingkat fertilitas. Pengaruh umur kawin pertama
telah dijelaskan melalui berbagai macam teori fertilitas, di antaranya teori
milik Davis dan Blake, teori milik Ronald Freedman, teori milik Bongaarts,
dan teori milik Moni Nag. Di dalam empat teori tersebut, umur kawin
pertama menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat fertilitas.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa umur kawin
pertama yang muda akan memperpanjang kesempatan reproduksi, sehingga
dapat dinyatakan bahwa hubungan antara umur kawin pertama dengan tingkat
fertilitas adalah negatif, yang berarti semakin tinggi umur kawin pertama
seseorang, semakin kecil tingkat fertilitasnya. Hasil penelitian oleh Yurisdita
Putri Pratiwi dalam jurnalnya “Pengaruh Umur Kawin Pertama Terhadap
Tingkat Fertilitas Wanita Usia Subur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012”
membuktikan bahwa ada hubungan antara umur kawin pertama dengan
tingkat fertilitas wanita usia subur di Jawa Barat tahun 2012. Wanita usia
subur yang menikah pertama kali di usia ≤ 18 tahun lebih banyak melahirkan
anak > 2 orang (46,8%), sementara hanya ada sebanyak 26% wanita usia
subur yang menikah pertama kali di usia > 18 melahirkan anak > 2 orang.
Wanita yang menikah pertama kali di usia ≤ 18 tahun risikonya cenderung
2,503 kali lebih tinggi untuk melahirkan anak > 2 dibandingkan yang
menikah pertama kali di usia > 18 tahun. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa umur kawin pertama memang memiliki hubungan dengan tingkat
fertilitas pada wanita usia subur yang pernah menikah di Jawa Barat. Hasil
penelitian yang dilakukan di Desa Sidodadi, Kabupaten Kendal yang
dilaksanakan pada tahun 1964 menyatakan bahwa seorang wanita yang usia

23
kawin pertamanya 17 tahun, dapat menghasilkan rata-rata 7,6 anak selama
perkawinannya. Apabila usia kawin pertamanya meningkat menjadi 27 tahun
jumlah anaknya rata-rata menjadi 4,8 anak. Hasil penelitian oleh Yoni
Malinda dalam jurnalnya yang berjudul “Hubungan Umur Kawin Pertama
Dan Penggunaan Kontrasepsi Dengan Fertilitas Remaja Berstatus Kawin”
menunjukkan bahwa umur kawin pertama berhubungan secara signifikan
dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan OR 2,38. Remaja yang menikah
pada usia 10-14 tahun meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih
sebesar 2,38 kali dibandingkan remaja yang menikah pada usia 15-19 tahun.
Di Indonesia, perempuan pernah menikah berusia 15-24 tahun pada tahun
2000 berkontribusi hampir 2,1 juta kelahiran pada fertilitas total Indonesia,
dan jumlah ini terus meningkat sampai tahun 2020. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wirosuhadjo (2000) Semakin muda seseorang melakukan
perkawinan makin panjang masa reproduksinya, maka dapat disimpulkan
semakin muda seseorang untuk melangsungkan perkawinannya makin banyak
pula anak yang dilahirkan.
Kehamilan di usia muda berpengaruh terhadap perilaku demografi
terutama tentang jumlah dan pertambahan penduduk melalui fertilitas.
Pernikahan dini yang terjadi pada perempuan usia 15 tahun mempunyai masa
reproduksi jauh lebih panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25
tahun dimana masa reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk
melahirkan semakin besar sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua
bahkan lebih dari lima. Jika pernikahan diadakan pada umur lanjut, maka
fertilitas potensil yang telah dilalui tidak akan diperoleh kembali, sebaliknya
apabila perkawinan diadakan pada umur muda setidak orang muda tersebut
mempunyai keturunan sebelum mereka menutup usia. Maka dari itu sudah
jelas bahwa pernikahan dini dapat memacu tingkat fertilitas yang tinggi.
Angka fertilitas yang tinggi di dalam suatu negara akan menimbulkan banyak
dampak bersifat negatif, salah satunya adalah terjadinya ledakan penduduk.
Penelitian yang dilakukan oleh Gebremedhin dan Betre (2009) menemukan
bahwa ibu dengan usia kawin pertama yang lebih besar atau sama dengan 18
tahun memiliki kecenderungan yang kurang untuk memiliki 5 atau lebih anak
yang dilahirkan dibandingkan dengan ibu yang usia perkawinan kurang dari
18 tahun. Pernikahan dini yang dilakukan hanya menambah kuantitas dari
penduduk usia produktif dan siap kerja, namun tidak meningkatkan kualitas
dari adanya pertambahan SDM itu sendiri. Biaya yang dikeluarkan
pemerintah juga akan lebih banyak untuk mengadakan pelatihan- pelatihan
terkait peningkatan skill bagi penduduk yang tingkat pendidikannya masih
rendah sehingga membuat negara justru merugi.

2.8 Strategi Pencegahan Pernikahan Dini


Strategi atau upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
pernikahan dini antara lain sebagai berikut :
1. Pembangunan Moral dan Mental

24
Adapun pembangunan moral dan mental dilakukan dengan melaksanakan
kegiatan suscatin (Kursus Calon Pengantin) oleh Kantor Urusan Agama
(KUA) yang bekerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN). Kursus calon pengantin adalah upaya
untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan
rumah tangga/keluarga serta dapat mengurangi angka perselisihan,
perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pembangunan
moral dan mental anak remaja sangat perlu dilakukan oleh pemerintah
untuk meminimalisir terjadinya pernikahan dini. Dilihat dari kenyataan
sekarang melonjaknya angka pernikahan dini di masa pandemi COVID-
19. Melalui kegiatan-kegiatan pembinaan moral, anak remaja diarahkan
untuk menghindari narkoba serta seks bebas. Karena fenomena pernikahan
dini sebagian besar dilatar belakangi oleh seks bebas. BKKBN
menggunakan strategi kampanye bervariatif yaitu dengan pembentukan
kelompok PIK R/M (Pusat Informasi dan Konseling Remaja/Mahasiswa) ,
pembentukan BKR (Bina Keluarga Remaja), serta kegiatan sosialisasi ke
sekolah-sekolah.
2. Mengadakan Sosialisasi Generasi Berencana (Genre)
sosialisasi ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai anak remaja.
Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk menyadarkan masyarakat
mempertimbangkan usia pernikahan generasi muda. Generasi muda
merupakan salah satu faktor penentu kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
Karena itu generasi muda harus lebih semangat dan benar-benar
dipersiapkan dengan baik. Untuk itu perlu diadakannya sosialisasi Genre
yang diperuntukkan bagi generasi muda dan orang tua yang memiliki anak
remaja, agar mengetahui sejauh mana perencanaan kehidupan yang harus
dipersiapkan kedepannya.
3. Meningkatkan Peranan Pemerintah atau Lembaga
Beberapa pihak yang dapat membantu atau berperan aktif dalam
masyarakat untuk dapat memberi arahan terkait permasalahan pernikahan
usia dini yaitu Pemerintah pusat, pemerintah daerah, kepala puskesmas,
kepala kantor urusan agama (KUA), serta BKKBN. Pemerintah atau
lembaga terkait mempunyai pengaruh terhadap kualitas dan kepuasan
masyarakat, terhadap pelayanan yang diberikan, selain itu juga dapat
membantu masyarakat dalam memahami dampak dari pernikahan dini
serta cara mencegah pernikahan dini.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau
salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia
dibawah usia 19 tahun. Di masa pandemi ini, angka perkawinan anak menjadi
meningkat. Menurut Kemen PPN/Bappenas, 400–500 anak perempuan usia 10–17
tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Adapun faktor yang
melatar belakangi pernikahan dini, saat masa pandemi covid-19 ini di antara
adalah penutupan sekolah menyebabkan minimnya aktivitas, penggunaan media
massa, aturan beragam norma di wilayah setempat, hingga persoalan ekonomi
keluarga, dan himpitan ekonomi di tengah krisis mendorong orang tua untuk
menihkahkan anaknya tersebut. Perceraian bagi pasangan dini jelas sangat rentan
karena dari segi fisik dan ekonomi belum siap dalam membangun rumah tangga
untuk kedepannya. hingga tak dapat dipungkiri maraknya kasus perceraian yang
diakibatkan oleh pernikahan di usia dini juga tinggi.

3.2 Saran
1. Bagi Masyarakat khususnya orang tua
Orang tua hendaknya terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
tentang pernikahan usia dini, sehingga mereka dapat mengetahui tentang
pernikahan usia dini dengan harapan orang tua mampu mengarahkan
anaknya bahwa pernikahan usia dini itu berdampak negatif.
2. Bagi Calon Pengantin
Calon pengantin hendaknya memahami dan mempelajari akibat yang
ditimbulkan dari pernikahan dini, terutama dalam bidang kesehatan
reproduksi bagi calon pengantin perempuan, sehingga dapat mengerti
manfaat dan dampak dalam pernikahan usia dini dan mau menangguhkan
keinginannya untuk menikah.
3. Bagi Pemerintah
a. Pemerintah perlu mendorong Kemendikbud ikut berkontribusi
dengan memformalkan pendidikan kesehatan reproduksi dan
meningkatkan peran guru BK dalam proses belajar mengajar
selama PJJ untuk meningkatkan pengetahuan tentang bahaya
perkawinan anak. 
b. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu segera menerbitkan
payung hukum wajib belajar 12 tahun dan memastikan akses
kepada anak untuk mendapatkan pendidikan. 
c. Pemerintah juga perlu mendorong Kementerian PPPA untuk segera
mengeluarkan peraturan pemerintah untuk dispensasi kawin dan
terus memperkuat pengawasan pelaksanaan UU perkawinan.
4. Bagi Institusi Pendidikan 

26
Institusi pendidikan hendaknya menambah referensi yang menunjang ilmu
pengetahuan dan memperluas wawasan siswa tentang pernikahan usia dini
serta melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan bahaya
seks bebas.

27
DAFTAR PUSTAKA

Asrori, A. (2015). Batas usia perkawinan menurut fukaha dan penerapannya


dalam undang-undang perkawinan di dunia islam. Al-Adalah, XII(4),
807–826.
https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/807/87

Compas.com:https://nasional.okezone.com/read/2021/03/18/337/2379901/m
enkes-beberkan-faktor-meningkatnya-pernikahan-dini-saat-pandemi-
covid-19 di akses 16.03

Dahriah, D., Jabbar, A., & Rusdi, M. (2020). Strategi Pemerintah Dalam
Meminimalisir Pernikahan Dini Di Kecamatan Maritengngae Kabupaten
Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 8(3), 163–172.
https://doi.org/10.51817/prj.v8i3.291

Hatta, M. (2016). Batasan Usia Perkahwinan dalam Perspektif Ulama Klasik


dan Kontemporer. Al-Qanun, 19(1), 67–88.

Ichrom, M., & Bashori, A. (2020). Jurnal Al Wasith: Jurnal Studi Hukum
Islam || vol. 5 no. 2 (2020) . 5(2), 93–106.

Indrianingsih, I., Nurafifah, F., & Januarti, L. (2020). Analisis Dampak


Pernikahan Usia Dini Dan Upaya Pencegahan Di Desa Janapria. Jurnal
Warta Desa (JWD), 2(1), 16–26. https://doi.org/10.29303/jwd.v2i1.88

KASIYATI, S., WAHYUDI, A. T., JULIJANTO, M., KUSTIAWAN, M. T.,


KHAKIM, A. Z., SHOLIKIN, N., & PRASTIYO, T. Y. (2021).
DAMPAK PERKAWINAN ANAK TERHADAP TINGGINYA
ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
SEKARISIDENAN SURAKARTA DI MASA COVID-19.

Malinda, Y. (2012). Hubungan umur kawin pertama dan penggunaan


kontrasepsi Dengan fertilitas remaja berstatus kawin (analisis Riskesdas
2010). Indonesian Journal of Reproductive Health, 3(2), 69-81.

Pratiwi, Y. P., & Herdayati, M. (2014). Pengaruh Umur Kawin Pertama


Terhadap Tingkat Fertilitas Wanita Usia Subur Di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012. Jurnal Paradigma Ekonomika.

Rifiani, D. (2011). Pernikahan dini dalam perspektif hukum islam. Journal de


Jure, 3(2).

28

Anda mungkin juga menyukai