Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum

Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa


Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI HAM DI INDONESIA

Irwan Sapta Putra1


1
Universitas Bina Bangsa
Email: irwansp.law@gmail.com1

Abstrak
Penelitian ini membahas permasalahan tindak pidana korupsi yang dikaitakan dengan
pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) saat ini gencar dilakukan oleh KPK hal tersebut dapat kita lihat dari beritaberita media elktoronik
baik cetak maupun online.
Dari berita tersebut dapat kita saksikan bersama bahwasanya KPK tidak perna berhenti
menjalankan tugasnya dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Walapun telah banyak
pelaku tindak pidana korupsi yang telah ditangkap oleh KPK hal tersebut tidak serta merta
menghilangkan kejahatan tindak pidana kouropsi bahkan setiap tahun ada saja pelaku tindak pidana yang
ditangkap oleh KPK.
Penangkapan pelaku tindak pidana korupsi oleh KPK mulai dari pejabat tinggi negara seperti
Menteri dan Ketua DPR RI sampai dengan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat) dan juga
pejabat daerah seperti Gubrnur, Wali Kota dan Bupati dan angota DPRD juga tidak luput dari pengkapan
oleh KPK.
Kejahatan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dapat dikata gorikan juga kejahatan
pelanggaran HAM Berat karena dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan tindak pidana tersebut dapat
menggangu perekonomian negara dan juga menghambat pembangunan negara dan bahkan kejahatan
tersebut juga dapat mengganggu Perekonomian Dunia.
Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Pelangaran HAM Berat

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 87


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Abstract
This study discusses the problem of corruption related to human rights violations that exist in
Indonesia, Human Rights are a set of rights that are inherent in the nature and existence of humans as
creatures of God Almighty and are His gift that must be respected, upheld and protected by state, law,
government, and everyone for the sake of honor and protection of human dignity.
Eradication of Corruption Crimes carried out by the Corruption Eradication Commission (KPK)
is currently being intensively carried out by the KPK, this can be seen from electronic media news, both
printed and online.
From this news, we can see together that the KPK has never stopped carrying out its duties in
eradicating corruption in Indonesia. Even though many perpetrators of corruption have been arrested by
the KPK, this does not necessarily eliminate the crime of corruption, even though every year there are
criminals who are arrested by the KPK.
The arrests of perpetrators of criminal acts of corruption by the Corruption Eradication
Commission, ranging from high-ranking state officials such as the Minister and Chairman of the DPR
RI to law enforcers (police, prosecutors, judges and advocates) as well as regional officials such as
governors, mayors and regents and DPRD members also did not escape the arrests. by the KPK.
The crime of corruption is a crime that can be categorized as a crime of gross human rights
violation because the impact caused by these criminal acts can disrupt the country's economy and also
hinder the development of the country and even these crimes can also disrupt the world economy.
Keywords: Corruption Crimes, Serious Human Rights Violations

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 88


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

PENDAHULUAN

Menurut Pasal 2 Undang-Undang No.31 tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dikatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)”.

Dari pengertian Tindak pidana korupsi diatas dapat dimaknai bahwasanya tindak pidana
korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ancaman
terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan
integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.

Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan
pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan
pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat
nasional maupun tingkat Internasional sehingga pelaku tindak pidana korupsi dapat juga
dikatagorikan pelanggaran HAM.

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien
dan efektif diperlukan dukungan manajemen pemerintahan yang baik dan kerja sama
Internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 89


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia


dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun
1957 dan telah diubah sebanyak 5 (tima) kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan
dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerjasama Internasional dalam
masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.

Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan


BangsaBangsa tentang Anti Korupsi yang di adopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui
Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003.

Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000 di mana


Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui Resolusi Nomor
55/61 pada tanggal 6 Desember 2000 mandang perlu dirumuskannya instrumen hukum
Internasional antikonrpsi secara global.

Instrumen hukum Internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem


hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
secara. efektif.

Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc


Committee (komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan draft Konvensi, Komite Ad Hoc
yang beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya
menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban


tanggungjawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
berbagai instrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh
negara Republik Indonesia.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 90


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Arti penting konvensi bagi Indonesia Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen
nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik Internasional.
Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah:
1. Untuk meningkatkan kerja sama Internasional khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi
yang ditempatkan di luar negeri;
2. Meningkatkan kerja sama Internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan
Yang baik;
3. Meningkatkan kerja sama Internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi,
bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana,
dan kerja sama penegakan hukum;
4. Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam
pencegahanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja
sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional,
dan multilateral; dan
5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.

Jadi sangat jelas sekali arti dari ratifikasi Konvensi tersebut dapat memperbaiki citra
negara Indonesia dimata dunia Internasional terkait dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi.

Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) terhadap para koruptor sampai detik ini tidak pernah berhenti hal tersebut dapat dilihat
dari pemberitaan media cetak dan elektronik yang memberitakan keberhasilan KPK dalam
melakukan operasi penangkapan pelaku korupsi mulai dari aparatur sipil negara (ASN) dari
jabatan yang paling bawah hingga yang paling tinggi bahkan pejabat daerah seperti Bupati dan
Gubernur dan juga aparat penegak hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat bahkan
sampai pejabat tinggi negara mulai dari menteri hingga ketua DPR RI sekaligus ketua partai
golkar tidak luput dari penangkapan oleh KPK terkait dengan tindak pidana korupsi.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 91


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Penegakan hukum terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia saat
ini sangat gencar dilakukan olek KPK, hal tersebut dapat dilihat dari data penanganan serta
penindakan yang telah dilakukan oleh KPK terhadap tindak pidana korupsi, seperti yang
dikemukakan oleh Indonesia Corrupption Watch (ICW) melalui Peneliti Divisi Investigasi
Indonesia Corrupption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan terdapat 576 kasus korupsi
sepanjang 2017. Angka ini bertambah dibandingkan pada tahuan 2016 dengan total 482 kasus
sedangkan jumlah kerugian negara pun meningkat dengan angka sebesar Rp 6,5 triliun dan
suap Rp 211 miliar dibanding dengan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017
mengalami peningkatan signifikan terutama dalam aspek kerugian negara, kerugian negara
naik dari Rp 1,5 triliun pada 2016 menjadi Rp 6,5 triliun pada 2017.

Penyebabnya adalah salah satunya karena ada pengusutan terhadap kasus korupsi
pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP dengan jumlah kerugian negara yang
besar, yaitu sekitar Rp 2,3 triliun. Tidak hanya itu, kenaikan juga terjadi dalam aspek jumlah
tersangka. Selama satu tahun jumlah tersangka meningkat dari 1.101 orang menjadi 1.298
orang. Sedangkan padatahuan 2018 KPK telah melakukan oprasi tangkap tangan (OTT)
sebanyak 30 kali dan telah menetap Sebanyak 121 orang sebagai tersangka yang terdiri dari
Kepala Daerah sebanyak 21 orang dan pihak Swasta sebanyak 46 serta anggota DPR sebanyak
2 orang dan anggota DPRD sebanyak 5 orang unsur penegak hukum seperti Hakim sebanyak
4 dan advokat sebanyak 3 orang juga termasuk pejabatan Eselon 1 sebanyak 16 oarang, Eselon
2 sebanyak 2 orang, Eselon 3 sebanyak 1 orang dan dari OTT yang dilakukan oleh KPK telah
mengamankan barang bukti uang dalam bentuk pecahan rupiah sebesar Rp.24,47 Miliar dan
mata uang asing sebanyak USD 14.110 dan SGD 310.100.

Bahwa berdasarkan data yang telah disebutkan di atas maka teren penindakan yang di
lakukan oleh KPK cenderung meningkat jumlahnya. Sedangkan kondisi pemberantasan
korupsi dapat dilihat secara umum di dalam laporan Rule of Law Index tahun 2020. Secara
umum Indonesia berada pada peringkat 59 dari 128 negara dengan skor sebesar 0,53 poin
dengan skala 0-1.

Dari data di atas dapat dilihat dengan jelasa bahwasanya Indonesai mendapatkat
periangkat ke 59 dari 128 negara yang telah di lakukan penelitan oleh World Justice Project
Rule of Law Index 2020.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 92


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Semakin rendah nilainya maka indeks negara hukumnya makin buruk ataupun sebaliknya.
Sedangkan untuk Tahun 2019, Kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia berada pada
peringkat 62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin. Secara peringkat mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya. Sedangkan secara poin Indonesia hanya meningkat sebesar 0,01 poin.

Salah satu indikator di dalam ROLI yakni tidak adanya korupsi. Dari indikator tersebut
terdapat 4 (empat) variabel yakni:
1) Tidak adanya korupsi di cabang eksekutif;
2) Tidak adanya korupsi di yudisial;
3) Tidak adanya korupsi di polisi/militer; dan
4) Tidak adanya korupsi di legislatif.

Oleh karena itu Berdasarkan indikator ketiadaan korupsi dalam ROLI pada tahun 2020,
Indonesia berada pada peringkat 59 dari 128 negara dengan skor 0,39. Sedangkan pada tahun
2019 Indonesia berada peringkat 62 dari 126 negara dengan sekor 0,38. Baik secara peringkat
atau pun poin, Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Berdasarkan hal tersebut di atas bahwasanya tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
menyebar kesegala lini mulai dari penegak hukum ( Polisi, Jaksa ,Hakim, dan Advokat) dan
juga telah menyebar dikalangan Eksekutif dan Legiselatif serta yudikatif, hingga pihak swasta
dalam hal ini yang melibatkan pengusaha baik secara individu maupun secara korporasi,
bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ICW terdapat peningkatan sebanyak 94
kasus korupsi selama periode 2016-2017 dimana pada tahun 2016 terdapat 482 kasus korupsi
dan meningkat menjadi 576 kasus korupsi di tahun 2017 sedangkan di tahun 2018 KPK
melakukan ott sebanyak 30 kali dan telah menetapkan sebanyak 121 orang sebagai tersangka
yang terdiri dari Kepala Daerah sebanyak 21 orang dan pihak Swasta sebanyak 46 serta anggota
DPR sebanyak 2 orang dan anggota DPRD sebanyak 5 orang unsur penegak hukum seperti
Hakim sebanyak 4 orang dan advokat sebanyak 3 orang juga termasuk pejabatan Eselon 1
sebanyak 16 oarang, Eselon 2 sebanyak 2 orang, Eselon 3 sebanyak 1 orang dan dari OTT yang
dilakukan oleh KPK telah mengamankan barang bukti uang dalam bentuk pecahan rupiah
sebesar Rp.24,47 Miliar dan mata uang asing sebanyak USD 14.110 dan SGD 310.100.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 93


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Artinya tindak pidana korupsi saat ini mengalami trend peningkatan walaupun sudah
banyak kasus dan tersangka dalam tindak pidana korupsi yang telah dijatuhkan hukuman
namun hal tersebut tidak mengurangi kejahatan dalam tindak pidana korupsi yang ada saat ini.

Oleh karena itu KPK yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia selain kejaksaan Republik Indonesia tentu saat ini keberadaanya masih
sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi.

Metode Penelitian

Metode penelitian pada penelitian ini dengan menggunkan pendekatan


perundangundangan (statute approach), pendekatan historis (historical approceh), dan
pendekatan kasus (case approach).

Tipe Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatife, yaitu penulis
mengumpulkan bahan-bahan bacaan dari buku-buku, artikel majalah baik cetak dan online,
makalah seminar, mengenai tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM serta perturan
perundang-undangan dibidang hukum pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Sifat
Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, menganalisa dan mengkaji, menjelaskan mengenai
tindak pidana korupsi yang kaitannya dengan pelanggaran HAM.

Sumber data dalam penelitian ini mengunakan sumber data primer, sekunder dan Tersier.
Primer bahan hukum yang mengikat yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Sekuder bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu buku-buku tentang HAM hukum pidana,
artikel koran serta majalah seperti kompas dan media internet yang terkait dengan topik
penelitian ini. Tersier bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus
hukum.

Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumen/kepustakaan yaitu dengan cara
melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang berkaitan dengan HAM dan memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan
formal dan data yang ada.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 94


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Analisa data analisa data dilakukan dengan metode yuridis kualitatif, data yang diperoleh
kemudian disusun secara kualitatif untuk menjawab masalah yang dibahas dalam merumuskan
kesimpulan.

PEMBAHASAN

Penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK yang banyak menyita perhatian publik serta
perhatian negara asing terkait dengan terbongkarnya tindak pidana korupsi mega Proyek e-
KTP, yang terbesar di Indonesia dimana dalam tindak pidana tersebut banyak pihak yang
terlibat baik dari pejabat hingga pihak pengusaha/korporasi, bahkan melibatkan keluarga Setya
Novanto.

Setya Novanto pada saat ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh
KPK yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua DPR RI dan juga sebagai Ketua Umum
Partai Golkar 2016-2017.

Bahwa hal tersebut diatas menggambarkan bahwasanya penegakan hukum oleh KPK tidak
tebang pilih, KPK saat ini dapat membuktikan pada masyarakat bahwasanya hukum dapat
diterapkan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan tindak pidana korupsi, seperti yang
tertuang dalam UUD 45 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum
artinya setiap tindakan penegakan hukum harus dilandasi oleh hukum dan apabila terjadi
pelanggaran maka hukum harus ditegakkan dan tidak tebang pilih sehingga hukum tidak
tumpul keatas dan tajam kebawah artinya KPK dalam hal ini jangan hanya melakukan
penindakan terhadap perkara yang kecil saja melainkan KPK juga dapat melakukan penindakan
terhadap perkara yang besar juga agar hukum dapat ditegakan sebagai panglima dan bukan
sebagai alat penguasa.

Dalam kasus tindak pidana korupsi E-KTP dimana tersangkanya adalah Setya
Novanto KPK telah melimpahkan perkara tersebut pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah melalui proses pemeriksaan sidang
yang panjang serta pemeriksaan saksi-saksi maka Hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah membacakan putusan terhadap berkas Tipikor atas nama terdakwa
Setya Novanto yang telah dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan Tindak Pidana

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 95


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Korupsi dan menjatuhkan hukuman selam 15 tahun penjara serta denda sebesar
Rp.500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah) dan mencabut hak politik selam 5 tahun serta juga
dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar US$ 7,3 juta dikurangi Rp.5 miliar yang
sudah dititipkan kepada penyidik KPK yang telah dibacakan dan diputus pada hari dan
tanggal, selasa, 24 April 2018.

Sebelum KPK membongkar tindak pidana korupsi e-KTP, KPK sebelumnya telah terlebih
dahulu melakukan pembongkaran terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Nazarudin, dimana pada saat itu Nazarudin adalah sebagai anggota DPR RI Periode 2009-
20014 dan sekaligus menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat, yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi dalam Proyek Pembangunan wisma atlet, yang mana pemenang dari
tender proyek pembangunan wisma atlit tersebut dimengakan oleh badan hukum atau korporasi
yang bernama PT Duta Graha Indah (DGI), dimana saat itu Nazarudin menerima uang
suap/gratifikasi sebesar Rp4,6 miliar dalam bentuk lima lembar cek yang diserahkan Manajer
Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris kepada dua pejabat bagian
keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury. Cek tersebut disimpan didalam brankas
perusahaan. Nazarudin menerima uang tersebut dikarenakan Nazarudin memiliki andil dalam
membuat PT. Duta Graha Indah (DGI) memenangi lelang proyek senilai Rp 191 miliar di
Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk pembangunan wisma atlet.

Dalam kasus tindak pidana korupsi wisma atlet Nazarudin di jatuhkan vonis hukum oleh
hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan vonis penjara selama 4 tahun 10 bulan
penjara serta denda Rp. 200 juta rupiah namun ditingkat kasasi Mahkamah Agung (MA), MA
kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan penjara menjadi 7 tahun
penjara. MA RI juga menambah hukuman denda untuk Nazaruddin dari Rp 200 juta menjadi
Rp 300 juta. MA RI membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan
Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menyatakan Nazaruddin terbukti melanggar Pasal
11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MA RI menilai Nazaruddin
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 12 b Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sesuai dakwaan pertama. Jika di pengadilan tingkat
pertama Nazaruddin hanya terbukt menerima suap saja, menurut MA RI, dia secara aktif
melakukan pertemuan-pertemuan.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 96


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

Terbongkarnya kasus korupsi Nazarudin membawa dampak terhadap penegakan hukum


terkait pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK, bahkan KPK
mendapatkan banyak tersangka dari keterlibatan kasus korupsi tersebut seperti mantan Menteri
Pemuda Dan Olah raga pada waktu itu yang dijabat oleh Andi Malarangeng juga ikut ditangkap
oleh KPK sebagai tersangka. Dalam tindak pidana korupsi hambalang, diman Andi
Malarangeng telah dijatuhkan hukuman oleh pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat selam 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah)
sebsider 2 bulan penjara.

Dari kasus tindak pidana korupsi yang telah diungkap oleh KPK diatas, yang menarik
adalah keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi yang mana pada saat itu Nazarudin
menerima uang suap sebesar Rp.4.500.000.000 (Empat miliar lima ratus juta rupiah) yang
diberikan oleh korporasi bernama PT. DUTA GRAHA INDAH (DGI), terkait dengan fee
proyek yang dimenangi oleh Korporasi PT. DGI dalam tender proyek pembangunan wisma
atlet yang mana proyek tersebut didapat oleh korporasi PT.DGI di Kementerian Pemuda dan
olahraga atas peran serta dan bantuan dari Nazarudi sehingga proyek tesebut dapat
dimenangkan oleh PT DGI.

Keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi juga terjadi pada kasus pengadaan
proyek E–KTP, dimana Setya Novanto juga mendapatkan fee dalam proyek E-KTP tersebut.
KPK mengungkapkan bahwasanya Setya Novanto memiliki peran dalam Proyek pengadaan e-
KTP dari penetapan anggaran hingga penetapan pemenang tender, yang mana tender e-KTP
tersebut dimenangkan oleh konsorsium Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik
Indonesia (Perum PNRI). Konsorsium itu terdiri atas Perum PNRI, PT Superintending
Company of Indonesia (Sucofindo persero), PT LEN Industri (persero), PT Quadra Solution,
dan PT Sandipala Arthaputra.

Fenomena korporasi yang menjadi alat dalam tindak pidana korupsi bukanlah hal yang
baru terjadi di negara Indonesia, bahkan baru-baru ini keterlibatan korporasi dalam melakukan
tindak pidana juga terjadi pada PT. AGUNG SEDAYU GRUP dimana Presiden Direktur PT.
AGUNG SEDAYU GRUP ditangkap oleh KPK terkait dengan pemberian uang suap terhadap

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 97


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

M SANUSI selaku anggota DPRD DKI terkait dengan ijin reklamasi di pulai G kawasan
reklamasi pantai utara Jakarta.

Dimana dalam kasus tersebut mengantarkan politisi Gerindra sekaligus anggota DPRD
DKI M SANUSI ditangkap olah KPK terkait penerimaan uang suap dari PT Agung Sedayu
Grup sedangkan dari pihak PT.Agung Sedayu Grup KPK telah menetapkan Direktur Utama
PT.APL sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi pemberian uang suap.

Penegakan hukum terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh KPK saat ini sudah banyak sekali kemajuan salah satu kemajuan yang dilakukan oleh
KPK adalah terkait dengan pentepan korporasi sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi,
dimana dalam kasus penetapan korporasi sebagai tersangka KPK untuk pertama kalinya telah
menetapkan korporasi menjadi tersangka pada PT. DGI dalam kasus tindak pidana korupsi.

Penetapan korporasi PT.DGI sebagai tersangka dalam Tindak Pidana Korupsi tidak
terlepas dari keluarnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma RI No.13 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi) dimana dalam Perma tersebut
telah diatur terkait penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi sehingga
hal tersebut dapat menjadi landasan para hakim yang menangani perkara tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi sehingga memudahkan penegakan hukum terhadap tindak pidana
yang dilakukan korporasi.

Selain itu organisasi penggiat anti korupsi ICW telah melaporkan I Gde Pantja Astawa
yang diketahui memberikan keterangan ahli pada persidangan dengan terdakwa Syafruddin
Arsyad Tumenggung dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Surat
Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas (SKL) tanggal 26 April
2004 kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara
Indonesia (BDNI) sehubungan pemenuhan kewajiban penyerahan aset Obligor BLBI. Pidana
dua atau tiga tahun dianggap terlalu ringan terutama bagi orang yang yang dipandeng koruptor.

Dalam persidangan tersebut ia berkedudukan sebagai ahli yang diajukan oleh terdakwa,
Syafruddin Arsyad Tumenggung. Sementara di waktu yang sama I Gde Pantja Astawa masih
berstatus sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK RI.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 98


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Situasi ini menimbulkan potensi konflik kepentingan, mengingat dalam persidangan ia


turut berkomentar tentang audit investigatif kerugian negara yang dilakukan oleh BPK dalam
perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban
Pemegang Saham/ Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang
saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Namun menurut ICW, laporan ini tidak jelas prosesnya di tingkat MK Kode Etik BPK RI.
ICW juga telah melaporan juga Dugaan Pelanggaran Kode Etik terhadap Hakim Syamsul
Rakan Chaniago ke Komisi Yudisial Pada 23 Juli 2019 ICW bersama dengan LBH Jakarta,
Tangerang Public Transparency Watch, dan YLBHI melaporkan Hakim Agung Syamsul
Rakan Chaniago ke Komisi Yudisial (KY) atas dugaan pelanggaran kode etik.

Syamsul Rakan Chaniago merupakan salah satu majelis hakim kasasi yang menyidangkan
Syafruddin Arsyad Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), dalam kasus korupsi BLBI. Saat itu Syafruddin Arsyad Tumenggung divonis lepas di
tingkat kasasi yang sebelumnya pada tingkat pertama dan banding yang bersangkutan sudah
divonis penjara selama 10 tahun.

Hal yang menjadi objek pelaporan dugaan pelanggaran kode etik adalah dikarenakan
Syamsul Rakan Chaniago diduga masih membuka kantor advokat selagi yang bersangkutan
masih aktif sebagai Hakim Agung yang berada pada salah satu bangunan di Komplek
Perkantoran Sudirman Point Blok A-4 Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru ditemukan sebuah
kantor hukum yang bertuliskan “Syamsul Rakan Chaniago & Associates” Advocate & Legal
Consultant.

Hal itu diduga melanggar ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mana menyebutkan bahwa seorang hakim dilarang merangkap
jabatan menjadi advokat. Hasil dari pelaporan tersebut,yang bersangkutan terbukti melanggar
kode etik sebagaimana disampaikan putusannya oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung RI.

Bahwa baru-baru ini juga yang lagi ramai menjadi perbincangan di kalangan praktisi
hukum terkait dengan putusan PK terhadap Syafruddin Arsyad Tumenggung yang telah
diajukan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh KPK ke Mahkamah Agung RI diman saat

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 99


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

ini MA RI telah mengelurkan putusan terkait dengan permohonan peninjauan kembali (PK)
tersebut dengan putusan menolak permohonan PK yang dimohonkan oleh pihak KPK.

Permohonan peninjauan kembali yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam


perkara Syafruddin Arsyad Temenggung. MA RI menilai permohonan peninjauan kembali
(PK) oleh KPK di kasus BLBI tidak memenuhi syarat formal.

"Setelah diteliti oleh hakim penelaah dan berdasarkan memorandum Kasubdit perkara PK
dan grasi pidana khusus pada MA RI ternyata permohonan PK tersebut tidak memenuhi
persyaratan formil," kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, Senin, 3 Agustus 2020.

Menurut juru bicara MA RI mengatakan pengajuan PK itu tak sesuai dengan Pasal 263
ayat (1) KUHAP. Pasal itu menyebutkan bahwa PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya.

Selanjutnya Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 yang menegaskan ketentuan PK


merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan jaksa dan Surat Edaran MA RI Nomor:
04/2014.

Bahwa berdasarkan pertimbangan itu, berkas perkara permohonan PK terhadap


Syafruddin Arsyad Temenggung dikirim kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat." Surat
pengantar pengiriman berkas permohonan PK tersebut bertanggal 16 Juli 2020.

KPK mengajukan PK atas putusan kasasi yang melepaskan Syafruddin Arsyad


Temenggung dalam kasus BLBI. Majelis hakim kasasi menyatakan terbukti menerbitkan Surat
Keterangan Lunas BLBI untuk pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia Sjamsul
Nursalim yang membuat negara rugi Rp 4,58 triliun. Namun tiga hakim memberikan
pendapatberbeda.

Ketua Majelis Hakim, Salman Luthan berpendapat perbuatan Syafruddin Arsyad


Temenggung adalah pidana. Hakim Anggota I, Syamsul Rakan Chaniago menyebut jika
perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan perdata. Sementara Hakim Anggota II Mohamad
Asikin berpandangan perbuatan Syafruddin perbuatan administrasi.

Karena perbedaan pendapat itu, Syafruddin Arsyad Temenggung lantas dilepaskan dari
segala tuntutan hukum. Hakim juga membatalkan putusan pengadilan tingkat banding yang

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 100


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

memvonis Syafruddin Arsyad Temenggung 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider
3 bulan kurungan.

Dan peristiwa ini adalah kejadian yang untuk pertama kalinya KPK kalah dalam perkara
kasasi di MA RI terkait dengan perkara korupsi di tingkat kasasi (Mahkamah Agung/MA).
Rekor semua perkara diputus bersama oleh hakim (100 percent conviction rate) patah saat MA
RI membebaskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN), Syafruddin Arsyad
Temenggung yang sebelumnya divonis bersalah di tingkat pengadilan pertama danbanding.

Namun demikian menurut ICW Vonis ini diwarnai pelanggaran etik yang dilakukan
anggota majelis hakim, Syamsul Rakan Chaniago karena bertemu dengan pengacara
Syafruddin Arsyad Temenggung sebelum vonis. Saat merumuskan putusan, Hakim Agung
RI Salman mengaku dirayu dua anggota hakim lainnya untuk mengubah putusannya.

HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi manusia merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan.
Mengingat hak dasar merupakan anugerah dan Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian hak
asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia,
bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

Setiap manusia diakui dan usia memiliki hak asasi yang sama tanpa membedakan, warna
kulit, kebangsaan, agama, pandargan politik, status sosial, dan bahasa serta status
lain.Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan pengangkatan harkat dan martabat
sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.

Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang
pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

SEJARAH HAK ASASI MANUSIA

Asal-usul historis konsepsi HAM dapat memanfaatkan hingga masa Yunani dan Roma,
dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modem dari Greek
Stoicism (Stoisisme Yunani), sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno di Citium," yang antara
lain berpendapat Bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 101


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

laku manusia, oleh karenanya harus dinilai berdasarkan dan sejalan dengan hukum alam.
Sebagai aliran Hellenistik kedua yang besar, Stoisisme diartikan sebagai perakan tunggal yang
paling berhasil dan berlangsung paling lama dalam Filsafat Romawi. Beberapa Stois muncul
sebelum Aristoteles, yakni Zeno sang Stois (kira-kira 335 - 263 SM namun jangan dikacaukan
dengan Zeno dari Elea, yang merupakan murid Pamenides), dan kemudian Chrysippus (280 -
206 SM). puncak dan Kaisar Romawi. Tema mereka tentang "hidup yang sulit" mempenganuhi
bukan hanya mereka yang melarat, seperti si budak Epiktetus (kira-kira 55 - 135 M), tetapi juga
mereka yang berada di puncak kekuasaan. Salah satu Stois, Marcus Aurelius (121 - 180),
adalah Kaisar Roma.29 Jika disadari sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak
kemanusian sudah seumur manusia itu sendiri.

KONVENSI PBB MELAWAN KORUPSI (UNCAC)

Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) adalah satu-satunya perjanjian Multilateral


anti-korupsi Internasional yang mengikat secara hukum. Di rundingkan oleh negara-negara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perjanjian tersebut telah diadopsi oleh Majelis
Umum PBB pada bulan Oktober 2003 dan mulai berlaku pada bulan Desember 2005.
Perjanjian tersebut mengakui pentingnya tindakan pencegahan dan hukuman, membahas sifat
lintas-batas dari korupsi dengan ketentuan kerjasama Internasional dan pengembalian hasil
korupsi.

Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) Di Wina berfungsi sebagai
Sekretariat UNCAC. Tujuan UNCAC adalah untuk mengurangi berbagai jenis korupsi yang
dapat terjadi lintas batas negara, seperti perdagangan pengaruh dan penyalah gunaan
kekuasaan, serta korupsi di sektor swasta, seperti penggelapan dan pencucian uang. Tujuan lain
dari UNCAC adalah memperkuat internasional. Penegakan hukum dan kerja sama yudisial
antar negara dengan menyediakan mekanisme hukum yang efektif untuk pemulihan aset
Internasional.

Pihak negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi - diharapkan untuk bekerja sama
dalam masalah-masalah final dan mempertimbangkan untuk saling membantu dalam
penyelidikan dan penuntutan dalam masalah-masalah perdata dan administrasi yang berkaitan
dengan korupsi.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 102


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Konvensi selanjutnya menyerukan partisipasi masyarakat sipil dan organisasi


nonpemerintah dalam proses akuntabilitas dan menggaris bawahi pentingnya akses warga
negara ke informasi Karaena dalam Konvensi-konvensi korupsi Internasional yang akhirnya
diikuti oleh United Nations Convention Against Corruption 2003, yang dikenal dengan
UNCAC 2003 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui pengesahan Udang-Udang Nomor:
7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,2003),

Maka dengan di sah kannya Undang-Undang Nomor: 7 tahun 2006 tersebut telah
memperjelas kedudukan Negara Indonesia sebagai Negara hukum dan yang jelas menolak
dengan tegasa tindakan kejahatan korupsi di Indonesia oleh karena itu Indonesia dapat bekerja
sama dengan Negara-negar lain dalam rangak melakukan pemberntasan tindak pidana korupsi
dan dapa mengambil kembali asset yang telah di bawa kabur kelur negeri oleh para koruptor
yang melarikan diri keluar negeri atau yang menyimpan asset hasil korupsi tersebut di luar
negeri.

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip- prinsip demokrasi, yang
menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas
bangsa Indonesia.

Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan
pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan
pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat
nasional maupun tingkat Internasional.

Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien
dan efektif diperlukan dukungan manajemen pemerintahan yang baik dan kerja sama
Internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang undangan khusus yang berlaku sejak tahun
1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan
dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama Internasional dalam

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 103


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi yang disimpan atau yang dibawa keluar
negeri.

Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar


Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan BangsaBangsa
tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor:
58/4 pada tanggal 31 Oktober2003.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemebahasan yang telah dikemukan diatas dapat ditarik kesimpulan


bahwasanya tindak pidana korupsi yang di lakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang ada
di Indonersia telah menyebar kesegalah lini mulai dari pejabat tinggi negara seperti ketua DPR
RI (SETYA NOVANTO). Menteri dan juga pejabat daerah mulai dari Gubrnur, Wali Kota,
Bupati juga DPRD serta pihak pengusaha dan tidak luput dari penangkapan yang dilakukan
oleh KPK bahkan KPK juga menangkap penegak hukum mulai dari Polisi, Jakasa, Hakim, dan
Advokat.

Kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana tersebut
juga dapat dikategorikan perbuatan tindak pidana pelanggaran HAM Berat karena hal tersebut
berdampak menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dan
menghambat pembangunan nasional bahkan dapat mengganggu perekonomian dunia.

Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan
pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan
pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat
nasional maupun tingkat Internasional.

REFERENSI
--------------------, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana
Perbadingan Dengan Beberapa Negara, Universitas Trisakti: Jakarta. 2010
AGAINST CORRUPTION, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Andi Hamzah, Delik-Delik Terentu (Special Delicten) Di Dalam KUHP, Jakarta: Universitas
Trisakti, 2011
eraturan Mahkamah Aguang RI No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 104


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43876177
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2018/03/23/kasus-korupsi-setya-novanto-
undangperhatian-media-luar-negeri-421732.
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nazaruddin
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/17/19242531/kpk--novanto-
mengondisikananggaran-dan-pemenang-lelang-e-ktp
https://nasional.tempo.co/read/1062534/kasus-korupsi-tahun-2017-icw-kerugian-negara-
rp65-triliun.
https://nasional.tempo.co/read/894051/kpk-tetapkan-pt-dgi-tersangka-korporasi-dalam-
kasusrumah-sakit
https://news.detik.com/berita/3240470/bos-agung-podomoro-land-didakwa-suap-m-sanusi-
rp2-m-untuk-muluskan-raperda
https://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html
Internet:
Korupsi,2003,
Laporan Akhir Tahun 2019 ICW
Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun I KPK 2020 Yang Di
Susun Oleh Indonesia Corruption Watch Dan Transparency Indonesia
Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016
Putusan PN Nomor: 130/Pid.sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusi Dalam Transisi Politik Di Indoneisa, Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2018
Sorerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Uviersitas Indonesia, 2008
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang –Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang–Undang No 07 tahun 2006 tentang Pengesahan UNITED NATIONS CONVENTION
Undang–Undang No 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM
Undang–Undang:
United Nations Convention Against Corruption, United Nations New York, 2004
World Justice Project Rule of Law Index 2020

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.27 105

Anda mungkin juga menyukai