Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KETERAMPILAN DASAR KEPERAWATAN

INFEKSI NOSOKOMIAL

DI SUSUN OLEH :
1. Ayu Wandira (22100160)
2. Dea Amelia (22100163)
3. Desvina Khairunisa (22100159)
4. Herda (22100136)
5. Intan Dwi Lestari (22100142)
6. Jenni Tabila (22100143)
7. Noviani (22100158)
8. Safitri (22100125)
9. Sinta (22100131)
10. Siti Zubaidah (22100139)
11. Thalita Ega Salsabila (22100127)
12. Vivian Supriatna (22100164)
13. Vivi Oktaria Nurjanna (22100146)

DOSEN PENGAMPUH:
Ns. Nurwijaya Fitri, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalahyang berjudul
“INFEKSI NOSOKOMIAL”.
 Perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada: Ibu Ns. Nurwijaya Fitri,
M. Kep sebagai dosen mata kuliah Keterampilan Dasar Keperawatan atas tugas yang
diberikan sehingga menambah wawasan kami, demikian pula kepada teman-teman yang turut
memberi sumbang saran dalam penyelesaian makalah sebagaimana yang kami sajikan.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami yang memohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Pangkal Pinang, 23 Mei 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………2
1.2 Tujuan…………………………………………………………………..2
 BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………3
2.1 Definisi Infeksi Nosokomial.…………...……………………………...3
2.2 Faktor yang Memengaruhi Infeksi……………………………………..4
2.3 Proses Terjadinya Infeksi………………………………………………5
2.4 Pencegahan Infeksi Nosokomial ……………………………………....7
2.5 Kasus infeksi Nosokomial……………………………………………..11
BAB III PENUTUP………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit selain untuk rnencari kesembuhan juga merupakan sumber dari berbagai
penyakit, yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman
penyakit ini dapat hidup dan berkembang dilingkungan rumah sakit, seperti udara, air, lantai,
makanan dan benda-benda peralatan medis maupuu non medis (Nugraheni, dkk, 2012). Hal
ini akan mempermudah terjadinya infeksi silang karena kuman-kuman, virus, dan sebagainya
akan masuk ke dalam tubuh penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan dengan
mudah (Darmadi, 2008).
Penderita yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit, baik dengan penyakit
dasar tunggal maupun penderita dengan penyakit dasar lebih dari satu, secara umum keadaan
umumnya tentu tidak/kurang baik, sehingga daya tahan tubuhnya menurun. Infeksi adalah
masuk dan berkembangnya mikroorganisme dalam tubuh yang menyebabkan sakit yang
disertai dengan gejala klinis baik lokal maupun sistemik (Potter & Perry, 2005). Oleh karena
itu, di dalam makalah ini membahas tentang infeksi yang ada di rumah sakit atau biasa
disebut dengan infeksi nosokomial.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari infeksi nosokomial?
b. Apa saja faktor yang dapat memengaruhi proses infeksi?
c. Bagaimana proses terjadinya infeksi nosokomial?
d. Begaimana tindakan pencegahan terhadap infeksi nosokomial?

1.3 Tujuan
a. Tujuan UmumTujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
terstruktur mata kulia Konsep Dasar Keperawatan (KDK).
b. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui definisi dari infeksi nosocomial.
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memengaruhi prosesinfeksi.
3) Untuk mengetahui proses terjadinya infeksi nosocomial.
4) Untuk mengetahui tindakan pencegahan infeksi nosocomial.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Infeksi Nosokomial


Infeksi yang terjadi pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan ini disebut infeksi nosokomial. Nosokomial berasal dari Bahasa Yunani, dari
kata
Nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat
untuk untuk merawat/rumah sakit. Jadi, infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortility) di rumah sakit sehingga dapat menjadi
masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Infeksi ini
dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Semmelweis dan saat ini tetap menjadi masalah
yang cukup menyita perhatian (Nasution, 2012). Di Indonesia, RSUP dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr. Soetomo Surabaya, pada tahun 1983-1984 mulai aktif
meneliti dan menangani infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial tidak hanya merugikan
penderita, tetapi juga merugikan pihak rumah sakit serta perusahaan atau pemerintah dimana
penderita bekerja (Darmadi, 2008).
Penelitian yang dilakukan National Nosokomial Infections Surveillance(NNIS) dan
Centers of Disease Control and Prevention’s (CDCP’s) pada tahun 2002 melaporkan bahwa 5
sampai 6 kasus infeksi nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2
juta kasus infeksi nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Penelitian di berbagai
universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pasien yang dirawat diIntensive Care
Unit (ICU) mempunyai kecenderungan terkena infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi dari
pada pasien yang dirawat diruang rawat biasa. Infeksi nosokomial banyak terjadi di ICU pada
kasus pasca bedah dan kasus dengan pemasangan infus dan kateter yang tidak sesuai dengan
prosedur standar pencegahan dan pengendalian infeksi yang diterapkan di rumah sakit
(Salawati, 2012).
Menurut Darmadi (2008), rumah sakit sebagai institusi pelayanan medis tidak
mungkin lepas dari keberadaan sejumlah mikroba pathogen. Hal inidimungkinkan karena:
a. Rumah sakit merupakan tempat perawatan segala macam penyakit
b. Rumah sakit merupakan “gudangnya” mikroba pathogen.
c. Mikroba pathogen yang ada umumnya sudah kebal terhadap antibotik.
3
2.2 Faktor Memengaruhi Proses Infeksi
a) Berikut faktor yang mempengaruhi proses infeksi menurut Hidayat (2006), yaitu:
1) Sumber Penyakit
Sumber penyakit dapat mempengaruhi apakah infeksi berjalan dengan cepat atau
lambat.
2) Kuman Penyebab
Kuman penyebab dapat menentukan jumlah mikroorganisme, kemampuan
mikroorganisme masuk ke dalam tubuh, dan virulensinya.
3) Cara membebaskan sumber dari kuman
Cara membebaskan kuman dapat menentukan apakah proses infeksi cepat teratasi
atau diperlambat, seperti tingkat keasaman (pH), suhu, penyinaran (cahaya), dan
lain-lain.
4) Cara penularan
Cara penularan seperti kontak langsung, melalui makanan atau udara, dapat
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam tubuh.
5) Cara masuknya kuman
Proses penyebaran kuman berbeda, tergantung dari sifatnya. Kuman dapat masuk
melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, kulit, dan lain-lain.
6) Daya tahan tubuh
Daya tahan tubuh yang baik dapat memperlambat proses infeksi atau mempercepat
proses penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya tahan tubuh yang buruk
dapat memperburuk proses infeksi.Selain faktor-faktor diatas, terdapat faktor lain
seperti status gizi atau nutrisi, tingkat stres pada tubuh, faktor usia, dan kebiasaan
yang tidak sehat
b) Menurut Darmadi dalam bukunya Infeksi Nosokomial Problematika dan
Pengendaliannya (2008), ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh dalam terjadinya
infeksi nosokomial, yang menggambarkan faktor-faktor yang datang dari luar (extrinsic
factors). Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1) Faktor-faktor yang ada dari diri penderita (instrinsic factors) sepertiumur, jenis
kelamin, kondisi umum penderita, resiko terapi atau adanya penyakit lain yang
menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor-faktor ini
merupakan factor presdisposisi.
4
2) Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurutnya
standart pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.
3) Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya pemaparan (length ofexposure) antara sumber penularan
(reservoir) dengan penderita.

2.3 Proses Terjadinya Infeksi Nosokomial


A. Mekanisme penularan menurut Darmadi (2008)
Penyebab mikroba patogen ketubuh manusia melalui mekanisme tertentu,yaitu
mekanisme penularan (Mode Of Transmission). Dalam garis besarnya, mekanisme
transmisi mikroba patogen ke pejamu yang rentang (Susceptable Host) melalui dua cara:
1. Transmisi Langsung (Direct Transmission)
Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuaidari pejamu.
Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman, batuk, berbicara, atau saat
transfusi darah yang terkontaminasi mikroba patogen.
2. Transmisi tidak langsung (indirect transmision)
Penularan mikroba patogen yang penularanya “media perantara” baik berupa barang-
barang air, udara, makanan/minuman, maupun vektor.
a. Vencle borne. Sebagai media perantara penularan adalah barang/bahan yang
kontaminasi seperti peralatan makan dan minum, peratalan laboratorium, peralatan
infus atau transfuse.
b. Vector-borne. Sebagai media prantara penularan adalah vector (serangga), yang
memindakan mikroba pathogen ke pejamu dengan cara berikut:
1) Cara mekanis Pada kaki serangga melekat kotoran/sputum (mikroba patogen),
lalu hinggap pada makanan atau minuman, di manaakan masuk seluruh cerna
penjamu.
2) Cara biologis Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami siklus
perkembangbiakan dalam tubuh vector/serangga, selanjutnya mikroba di
pindahkan kedalam tubuh pejamu melalui gigitan.
c. Food-borne. Makanan dan miniman adalah media perantara yang cukup evektif
untuk menyebarkan mikroba pathogen ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk (port
d’entree) saluran cerna
5
d. Water-borne. Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif-
terutama untuk kebutuhan rumah sakit.
B. Tahapan transmisi mikroba patoghen menurut Darmadi (2008)
Dalam riwayat penyakit, pejamu yang peka (susceptable host) akan berinteraksi dengan
mikroba patogen, yang secara alamiah akan melewati 4 tahap, yaitu:
1. Tahap rentan
Pada tahap ini pejamu masih dalam kondisi relatif sehat, namun peka atau labil,
disertai faktor presdisposisi yang mempermudah terkena penyakit seperti umur,
keadaan fisik, perilaku/ kebiasaan hidup, sosial ekonomi, dan lain-lain. Faktor-faktor
presdisposisi tersebut mempercepat masuknya agen penyebab penyakit (mikroba
patogen) untuk berinteraksi dengan pejamu.
2. Tahap inkubasi
Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba patogen mulai beraksi, namun tanda dan
gejala penyakit belum tampak (subklinis). Saat mulai masuknya mikroba patogen ke
tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda dan gejala penyakit lainnya, ada yang
hanya beberapa jam, dan ada yang bertahun- tahun.
3. Tahap klinis
Merupakan tahap terganggunya fungsi organ yang dapat memunculkan tanda dan
gejala (sign and symptoms) penyakit. Dalam perkembangannya, penyakit
akan berjalan secara bertahap. Pada tahap awal, tanda dan gejala penyakit masih
ringan. Penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari dan masih dapat
diatasi dengan
berobat jalan. Pada tahap selanjutnya, penyakit tidak dapat diatasi dengan berobat
jalan, karena penyakit bertambah parah, baik secara objektif maupun subjektif. Pada
tahap ini penderita sudah tidak mampu lagimelakukan aktivitas sehari hari dan jika
berobat, umumnya harus memerlukan perawatan.
4. Tahap akhir penyakit Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir pula.
Perjalanan penyakit tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif, yaitu:
a) Sembuh sempurna: Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan fungsi
sel/jaringan/organ/organ tubuh kembali seperti sedia kala.
b) Sembuh dengan obat: Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai adanya
kecacatan. Cacat dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental, maupun cacat social.
6
c) Pembawa (carrier): Perjalanan penyakit seolah-olah berhenti, ditandai dengan
menghilangnya tanda dan gejala penyakit. Pada kondisi ini agen penyebab
penyakit masih ada, dan masih potensial sebagai sumber penularan.
d) Kronis: Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda dan gajala yang tetap
atau tidak berubah (stagna).
e)  Meninggal dunia: Akhir perjalanan penyakit dengan adanya kegagalan fungsi-
fungsi organ.

 2.4 Pencegahan Infeksi Nosokomial


A. Pengertian Pencegahan Infeksi
Pencegahan infeksi adalah mencegah dan mendeteksi infeksi pada pasienyang
beresiko infeksi. Pencegahan infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatu usaha
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko penularan infeksi mikroorganisme
dari lingkungan rumah sakit (Maryunani, 2011).
Berikut adalah pengertian-pengertian yang perlu diketahui dalampencegahan infeksi
menurut Hidayat (2006), yaitu:
1. Aseptik, yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Istilah ini
dipakai untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk mencegah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar akan
mengakibatkan infeksi. Tujuan akhirnya adalah mengurangi atau menghilangkan
jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati
agar alat-alat kesehatan dapat dengan aman digunakan.
2. Antiseptik yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya.
3. Dekontaminasi, tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh
petugas kesehatan secara aman,terutama petugas pembersihan medis sebelum
pencucian dilakukan contohnya adalah meja pemeriksaan,alat-alat kesehatan, dan
sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh di saat prosedur
bedah/tindakan dilakukan.
4. Pencucian, yaitu tindakan menghilangkan semua darah, cairan tubuh, atau setiap
benda asing seperti debu dan kotoran.
7
5. Sterilisasi, yaitu tindakan menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, jamur,
parasite, dan virus) termasuk bakteri endospore dari benda mati.
6. Desinfeksi, yaitu tindakan menghilangkan sebagian besar (tidak semua)
mikroorganisme penyebab penyakit dari benda mati .Desinfeksi tingkat tinggi
dilakukan dengan merebus atau menggunakan larutan kimia.Tindakan ini dapat
menghilangkan semua mikroorganisme, kecuali beberapa bakteri endospore.
B. Cara pencegahan infeksi (Kewaspadaan Isolasi)
Berikut cara pencegahan infeksi menurut Salawati (2012), yaitu:
1. Mencuci tangan
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan dengan sabun
yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Mencuci tangan dengan sabun biasa
dan air bersih adalah sama efektifnya mencuci tangan dengan sabun antimikroba.
Ada beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun
antiseptik ini, yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum kontak dengan
pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang barulahir dan
pasien yang dirawat di ICU).
2. Penggunaan alat pelindung diri
Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan yang telah
diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan.
a) Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit
dan dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di tangan
petugas kesehatan.
b) Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh memasuki
hidung atau mulut petugas kesehatan, juga menahan cipratan yang keluar
sewaktu petugas kesehatan berbicara, bersindan batuk.
c) Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang memiliki
kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh. Pelindung mata harus
jernih, tidak mudah berembun, tidak menyebabkan distorsi, dan terdapat
penutup disampingnya.
d) Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit petugas
kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga harus dipakai saat ada
kemungkinan terkena darah, cairan tubuh.

8
e) Apron terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air
sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Apron harus dikenakan
dibawah gaun pelindung ketika melakukan perawatan langsung pada pasien,
membersihkan pasien atau melakukan prosedur saat terdapat risiko terkena
tumpahan darah dan cairan tubuh.
3. Praktik keselamatan kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaianinstrumen tajam seperti
jarum suntik, dll.
4. Perawatan pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan: pemakaian kateter
urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah, pemasangan selang
nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan luka bekas operasi. Kateterisasi
kandung kemih membawa risiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih (ISK).
Penggunaan alat intravascular untuk memasukkan cairan steril, obat atau makanan
serta untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi hemodinamik meningkat
tajam pada dekade terakhir.
Transfusi darah memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan penggunaan
pemberian pengobatan melalui pembuluh darah. Terdapat risiko serius bagi pasien
yang menerima transfusi darah. Prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial dan komplikasi transfusi meliputi:
a) Transfusi dilakukan jika dibutuhkan, seleksi donorpotensial secara penuh untuk
menghindari penularan infeksi serius,
b) Donor darah diambil secara aseptik dan dengan sistem tertutup,
c) Simpan darah pada suhu yang tepat,
d) Pastikan darah cocok agar tidak membahayakan penerima donor,
e) Terapkan teknik aseptik saat melakukan transfusi,
f) Pantau tanda vital dan reaksi pasien serta hentikan transfusi jika reaksi
berlawanan.
9
5. Penggunaan antiseptic
Larutan antiseptik dapat digunakan untuk mencuci tangan terutama pada tindakan
bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.
Instrumen yang kotor, sarung tangan bedah dan barang-barang lain yang
digunakan kembali dapat diproses dengan dekontaminasi, pembersihan dan
sterilisasi atau disinfeksi tingkattinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi.
6. Dekontaminasi
Dekontaminasi dan pembersihan merupakan dua tindakan pencegahan dan
pengendalian yang sangat efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Proses
pembersihan penting dilakukan karena tidak ada prosedur sterilisasi dan DTT
yang efektif tanpa melakukan pembersihan terlebih dahulu. Pembersihan dapat
dilakukan dengan menggunakan sabun cair dan air untuk membunuh
mikroorganisme. Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung
dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe), pemanasan
kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik.
C. Tujuan pencegahan infeksi
Tujuan pencegahan infeksi dalam pelayanan kesehatan menurut Maryunani (2011):
1. Meminimalkan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme (misalnya bakteri,
virus, jamur).
2. Menurunkan resiko penularan infeksi.
3. Memberikan perlindungan terhadap klien dan tenaga kesehatan daripenularan
penyakit yang mengancam jiwa, misalnya hepatitis danHIV/AIDS.

2.5 Kasus infeksi Nosokomial


A. Kejadian Infeksi Nosokomial
Kejadian infeksi nosokomial yang banyak terjadi di RSUD Setjonegoro
kabupaten Wonosobo adalah infeksi Plebitis, Infeksi Luka Operasi (ILO) dan
Dekubitus.
10
Prevalensi kejadian infeksi nosokomial di RSUD Setjonegoro dari bulan Juli
2009-Desember 2011:
1. Kejadian ISK sebesar 0,33 per 1000 pasien rawat inap
2. ILO sebesar l,21 per 1000 pasien rawat inap
3. Pneumonia sebesar 0 per1000 pasien rawat inap
4. Sepsis sebesar 0,12 per 1000 pasien rawat inap
5. Dekubitus sebesar 1,12 per 1000 pasien rawat inap
6. Phlebitis sebesar 5, 02 per 1000 pasien rawat inap.
Prevalensi jenis infeksi nosokomial yang terjadi di RSUD Setjonegoro dari
bulan Juli 2009 sampai 2011 yang tertinggi adalah phlebitis yaitu 5,02 per 1000 pasien
rawat inap. Proporsi kejadian infeksi nosokomial berdasarkan distribusi ruang rawat
inap pada tahun 2010 sampai 2011, pada tahun 2010 tertinggi terjadi di ruang
Bougenville (bedah) yaitlu 65,3%, dan tahun 2011 tertinggi terjadi di ruang Anggrek
(VIP I) yaitu 19,47%.
Proporsi kejadian infeksi nosokomial berdasarkan distribusi ruang rawat inap
semester II tahun 2009 yang terbanyak adalah di ruang Edelweis (kebidanan) yaitu
47, 36%. Pada semester I tahun 2010 yang terbanyak adalah diruang Bougenville
(bedah) yaitu 66, 67%. Pada semester II tahun 2010 yang terbanyak adalah diruang
Bougenville (bedah) yaitu 64, 28%. Pada semester I tahun 2011 yang terbanyak adalah
diruang Flarnboyan (syaraf) yaitu 3l, 67%. Dan pada semester II tahun 2011 yang
terbanyak adalah diruang Anggrek (VIP I) yaitu 24, 61%.
Proporsi kejadian infeksi nosokomial berdasarkan distibusi waktu rawat inap
(bulan) dari tahun 2010 sampai 2011, tahun 2010 tertinggi dibulan Maret dan Agustus
yaitu 16,32% dan tahun2011 tertinggi di bulan November yaitu 19,47%.
Proporsi kejadian infeksi nosokomial berdasarkan distribusi waktu rawat inap
pada semester II tahun 2009 yang tertinggi adalah pada bulan Juli yaitu 36, 84%. Pada
semester I tahun 2010 yang tertinggi adalah pada bulan Maret yaitu 38, 09%. Pada
semester II tahun 2010 yang tertinggi adalah pada bulan Agustus yaitu 28, 57%. Pada
semester I tahun 2011 yang tertinggi adalah pada bulan Mei yaitu 30%. Dan pada
semester II tahun 2011 yang tertinggi adalah pada bulan November yaitu 28, 46%.
Proporsi kejadian infeksi nosokomial berdasarkan distribusi jenis kelamin
pasien rawat inap, pada tahun 2010 tertinggi adalah perempuan yaitu 63,26% dan
pada tahun 2011 tertinggi adalah laki-laki yaitu 51,05%.

11
Proporsi kejadian infeksi nosokomial berdasarkan disfibusi jenis kelamin
orang yang rawat inap pada semester II tahun 2009 sampai semester II tahun 2011:
1. Semester II tahun 2009 proporsi perempuan lebih banyak yaitu 78,94%
2. Semester I tahun 2010 yang lebih banyak adalah perempuan yaitu 66,67%
3. Semester II tahun 2010 yang lebih banyak perempuan yaitu 66,71
4. Sernester I tahun 2011 yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 51,67%
5. Semester II tahun 2011 yang lebih banyak adalah laki-laki yaitu 50,77%.

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rurnah Sakit Umum Daerah
Setjonegoro Kabupaten Wonosobo pada tanggal 10-21 April 2012, dapat
diketahui bahwa kejadian infeksi nosokomial di sana mengalami kenaikan dari
bulan Juli tahun 2009 sampai akhir tahun 2011, yaitu tahun 2009 sebesar 19 kasus
atau 0,26%, tahun 2010 sebesar 49 atau 0,37%, dan tahun 2011 sebesar 190 atau
1,48%. Jumlah pasien yang menjalani rawat inap di RSUD Setjoegoro yaitu pada
bulan Juli sampai Desember tahun 2009 jumlahnya adalah 7106 pasien, tahun
2010 jumlahnya 13124 pasien serta tahun 2011 jumlahnya 12789 pasien.
Prevalensi kejadian infeksi nosokomial di RSUD Setjonegoro:
1. Semester II tahun 2009 sebesar 2,67 per 1000 pasien rawat inap
2. Semester I tahun 2010 sebesar 3,13 per 1000 pasien rawat inap
3. Semester II tahun 2010 sebesar 4,36 per 1000 pasien rawat inap
4. Semester I tahun 2011 sebesar 9,68 per 1000 pasien rawat inap
5. Semester II tahun 2011 sebesar 19,71 per 1000 pasien rawat inap.
Prevalensi kejadian infeksi nosokomial dari semester 11 tahun 2009
sampai semester 11 tahun 2011 selalu mengalami peningkatan. Di tahun 2011
terjadi peningkatan yang cukup tinggi prevalensi kejadian infeksi nosokomialnya,
padahal jumlah pasien rawat inapnya menurun dari tahun 2010, ini dikarenakan
banyak hal antara lain dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh
bagian Sanitarian RSUD Sedjonegoro banyak yang belum memenuhi baku mutu
di tahun 2011 dari pada tahun 2010, serta dari hasil wawancara dan observasi
praktik teknik aseptik petugas kesehatan dan pengunjung masih kurang seperti
kebiasaan mencuci tangan sebelum mengobati, merawat ataupun memegang
pasien, penggunaan APD

12
seperti masker, jas khusus, alas kaki dan sarung tangan bagi pengunjung untuk
masuk ruangan khusus seperti HCU masih kurang, pembatasan pengunjung dan
jam besuk juga masih sering diabaikan.
Kejadian Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro pada tahun 2009 dari
bulan Juli sampai Desember sebanyak 19 kasus, prevalensinya adalah 2,67 per
1000 pasien rawat inap. Proporsi kejadian infeksi nosokomial yang paling banyak
terjadi di Ruangan Edelweis (kebidanan) sebanyak 47, 36%.
Edelweis adalah ruang kebidanan, infeksi yang paling banyak terjadi di
ruangan ini adalah Infeksi Luka Operasi (ILO). Jumlah pasien yang rawat inap di
ruangan ini adalah yang terbanyak kedua setelah cempaka dari ruangan lain, yaitu
1212 pasien. Di ruangan ini infeksi yang terbanyak adalah ILO, karena memang
banyak dilakukan operasi pembedahan proses melahirkan. Menurut Penelitian
yang dilakukan oleh Dharshini Jeyamohan tahun 2010 Infeksi nosokomial yang
paling umum terjadi adalah infeksi luka operasi (ILO). Hasil penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa angka kejadian ILO pada rumah sakit di Indonesia bervariasi
antara 2-18% dari keseluruhan prosedur pembedahan.
Kejadian infeksi nosokomial di RSUD Setjonegoro pada semester I tahun
2010 sebanyak 21 pasien atau prevalensinya sebesar 3, 13 per 1000 pasien rawat
inap. Proporsi kejadian infeksi nosokomial terbanyak adalah di ruangan
Bougenville (bedah) yaitu 66, 67%. Pada semester II tahun 2010 sebanyak 28
pasien, prevalensiny 4,36 per 1000 pasien rawat inap. Proporsi kejadian infeksi
nosokomialnya yang tertinggt juga terjadi di ruang Bougenville (bedah) yaitu 64,
28%.
Ruang Bougenville adalah ruang perawatan bedah. Jumlah tempat tidumya
ada 33 tempat tidur (TT), yang terdiri dari 4 TT kelas I, 6 TT kelas II, 17 TT kelas
III, 4 TT HCU,2 TT isolasi, dan 1 ruang tindakan. Di ruangan ini diberlakukan
jam besuk yaitu jam 10.00-12.00 dan jam 16.00-18.00, tetapi dalam praktiknya
masih banyak yang tidak menghiraukan peraturan tersebut, pengunjung/keluarga
boleh tidur dalam ruang perawatan. Hal ini dapat menjadi penyebab kejadian
infeksi nosokomial, karena kuman yang dibawa oleh pengunjung dapat menyebar
ke pasien, apalagi kalau pengunjung sedang terinfeksi suatu penyakit tertentu.

13
Dari hasil observasi di salah satu ruangan diruang Bougenville, kegiatan
pemasangan infuse pada pasien sudah sesuai dengan prosedur tetap pemasangan
infuse, hanya saja para medis tidak mencuci tangan terlebih dahulu, dan langsung
mernakai sarung tangan. Hal ini sebagai salah satu penyebab infeksi phebitis
cukup tinggi terjadi diruangan ini, karena kuman yang ada ditangan bisa saja
keluar dari sarung tangan yang dipakai ataupun menembus sarung tangan tersebut
sehingga rnenyebar ke daerah bagian tubuh pasien yang akan di infus.
Kejadian infeksi nosokomial di RSUD Setjonegoro pada semester I tahun
2011 sebanyak 60 pasien atau prevalensi sebesar 9, 68 per 1000 pasien rawat inap.
Proporsi kejadian infeksi nosokomial terbanyak adalah di ruangan Flamboyan
(syaraf) yaitu 31, 67%. Pada semester II tahun 2011 sebanyak 130 pasien atau
prevalensi sebesar 4,36 per 1000 pasien rawat inap. Proporsi kejadian infeksi
nosokomial terbanyak adalah di ruangan Anggrek (VIP I) yaitu 24, 61%.
Secara keseluruhan tahun 2011, proporsi kejadian infeksi nosokomial
berdasarkan distibusi ruang rawat inap, tertinggi terjadi di ruang Anggrek (VIP I)
yaitu 19, 41%. Jenis infeksi nosokomial yang banyak terjadi di ruangan ini adalah
phlebitis.
Dalam kegiatan pemasangan infus di ruangan ini hampir sama dengan di
ruangan bougenville, para medis tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum
menangani pasien. Ini salah satu penyebab tingginya kejadian infeksi nosokomial
phlebitis di ruang Anggrek ini, selain itu para medis juga tidak menggunakan
masker dan sambil berbicara pada saat melakukan infus, ini dapat menyebabkan
kuman yang ada di mulut keluar dan menyebar ke daerah bagian yang di infus.
Kejadian infeksi nosokomial di RSUD Setjonegoro kabupaten Wonosobo pada
semester II tahun 2009 paling banyak trjadi pada bulan Juli yaitu 7 pasien atau
proporsinya sebesar 36,84%. Pada semester I tahun 2010 yang paling banyak
terjadi pada bulan Maret yaitu 8 pasien atau proporsinya sebesar 38, 09%. Pada
semester II tahun 2010 yang paling banyak terjadi pada bulan Agustus yaitu 8
pasien atau proporsinya sebesar 28,57%. Pada semester I tahun 2011 paling
banyak terjadi pada bulan Mei yaitu 18 pasien atau proporsinya sebesar 30%. Dan
pada semester II tahun 2011 yang paling banyak terjadi pada bulan November
yaitu 37 pasien atau proporsinya sebesar 28,46%.

14
Jenis infeksi nosokomial yang banyak terdapatdi RSUD Setjonegoro
Kabupaten Wonosobo adalah Phlebitis, Infeksi Luka Operasi (ILO), dan
dekubitus. Karena jenis infeksi nosokomial yang terdapat di RSUD Setjonegoro
bukan merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh musim, jadi tidak berpengaruh
terhadap karakteristik bulan pasien dirawat inap.
Proporsi kejadian infeksi nosokornial berdasarkan distribusi jenis kelamin
orang yang rawat inap dari semester II tahun 2009 sampai semester II tahun
2011,dengan rincian sebagai berikut:
1. Semester II tahun 2009 proporsi perempuan lebih banyak yaitu 78,94%
2. Semester I tahun 2010 yang lebih banyak adalah perempuan yaitu 66,67%
3. Semester II tahun 2010 yang lebih banyak perempuan yaitu 66,71%
4. Semester I tahun 2011 yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 51,67 %
5. Semester II tahun 2011 yang lebih banyak adalah laki-laki yaitu 50,77%.
Kejadian infeksi nosokomial yang terjadi di RSUD Setjonegoro dari bulan Juli
2009 sampai Desernber 2011 yang terbanyak adalah phlebitis, ILO, dan
dekubitus. Beberapa jenis infeksi nosokomial tersebut tidak ada hubungannya
dengan jenis kelamin pasien yang menderita, sehingga tidak berpengaruh terhadap
karakteristik jenis kalemin pasien rawat inap.
15
BAB III
PENUTUP

1. Nosokomial berasal dari Bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya


penyakitdankomeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
untukmerawat/rumah sakit. Jadi, infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksiyang
diperoleh atau terjadi di rumah sakit. Infeksi nosokomial saat inimerupakan salah satu
penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortility)
di rumah sakit sehingga dapat menjadi masalahkesehatan baru, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Infeksiini dikenal pertama kali pada tahun 1847
oleh Semmelweis dan saat ini tetapmenjadi masalah yang cukup menyita perhatian
2. Faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi nosokomial menurut Hidayat (2006) antara
lain, sumber penyakit, kuman penyebab, cara pembebasansumber dari kuman, cara
masuknya kuman dan daya tahan tubuh. Sedangkanfaktor yang memengaruhi terjadinya
infeksi nosokomial menurut Darmadi (2008), yaitu factor instrinsik, factor keperawatan,
dan factor mikroba.
3. Proses terjadinya infeksi nosokomial terjadi karena transmisi langsung dantidak langsung.
Sedangkan tahapan terjadinya infeksi yaitu tahap rentan, tahapinkubasi, tahap klinis dan
tahap akhir penyakit. Tahap akhir penyakit inimenentukan keadaan penderita karena
penderita dapat sembuh sempurna, sembuh dengan obat, menjadi pembawa sehingga
masih memiliki potensisumber penularan atau kematian.
4. Pencegahan infeksi adalah mencegah dan mendeteksi infeksi pada pasien yangberesiko
infeksi. Pencegahan infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatuusaha yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko penularan infeksimikroorganisme dari
lingkungan rumah sakit. Cara mencegahnya yaitumencuci tangan, penggunaan alat
pelindung diri, praktik keselamatan kerja, perawatan pasien, dan penggunaan antiseptic
serta dekontaminasi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sisiliay, Feby “Makalah Infeksi Nosokomial, 2016”


https://www.academia.edu/31878303/MAKALAH_INFEKSI_NOSOKOMIAL, di akses
pada 22 Mei 2023 pikul 19.45
Darmadi, 2008” Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:
Salemba Medika.Hidayat, A. 2006”.
Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 1.
Penerjemah Yasmin Asih, dkk.Jakarta: Salemba Medika.Maryunani, Anik. 2011.
Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan (KDPK). Jakarta: Trans Info Media
(TIM).Nasution, L. 2012.
Salawati, Liza 2012 “Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 11 / No.1, April 2012”
Nugraheni, dkk. 2012 ”Infeksi Nosokomial. Medan: Jurnal Fakultas
KedokteranUniversitas Sumatera Utara Vol. 39. No.1 Tahun 2012: 36-41”.
Ratna N, Suhartono, Sri W “Jurnal Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro
Kabupaten Wonosobo, 2012”
https://media.neliti.com/media/puplications/4737-ID-INFEKSI-NOSOMKOMIAL-DI-
RSUD-setjonegoro-kabupaten-wonosobo.pdf, di akses pada 23 Mei 2023 pukul 08.25
17

Anda mungkin juga menyukai