Anda di halaman 1dari 6

Kanon Alkitab

Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai


Firman Allah dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat.  Kata "kanon" sendiri
[1]

adalah kata Yunani yang secara harafiah berarti "tongkat pengukur," yaitu tongkat
yang dijadikan sebagai standar pengukuran. Dalam konteks Alkitab, "kanon" secara
umum dipahami sebagai "daftar" kitab-kitab yang menjadi "standar" atau "aturan"
yang bersifat normatif bagi umat. [1]

Proses penganonan Alkitab atau yang biasa dikenal dengan istilah "kanonisasi" adalah
sebuah proses yang berlangsung selama berabad-abad. Proses ini melibatkan diskusi
yang rumit mengenai kitab mana yang dianggap berwibawa dan kitab mana yang
tidak.  Kitab-kitab yang dianggap berwibawa ini kemudian dikenal dengan istilah
[2]

"kanonisitas."

Daftar isi
 1 Sejarah
 2 Kanonisasi
 2.1 Kanonisasi Perjanjian Lama
 2.2 Kanonisasi Perjanjian Baru
 2.2.1 Kanonisitas Perjanjian Baru
 3 Lihat pula
 4 Referensi
Sejarah
Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian
Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen
berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya
membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak.

Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk mengenal kanon (istilah Yunani yang


artinya "standar") adalah yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai
di gereja-gereja.

Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja menganggap Paulus sebagai salah


seorang rasul. Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus, Paulus
bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus.
Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para Rasul –
menjadikannya model seorang rasul.

Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian, Injil


Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan
dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah para rasul wafat, orang-orang
Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun Injil
tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.

Tentang penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja, petunjuknya ialah,


"Jika banyak gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-
menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut diilhami". Meskipun
standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga logikanya
di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para penyembah-Nya;
tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.

Namun, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab
sebagai kanon. Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul. Di samping itu,
ada gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.
Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus
sangat dihargai hampir di semua pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi",
gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki
otoritas spiritual. Para uskup yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens
dari Roma dan Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan
yang luas. Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus, 2
Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas serta Wahyu.

Daftar ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori


Gereja Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti yang kita
ketahui masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo.
Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan
membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip. Karya-karya seperti Gembala
Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang
enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang diiihami.

Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan berpengaruh itu,


menulis "Surat Paskah" yang beredar cukup luas. Di dalamnya ia menyebut kedua
puluh tujuh buku yang sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian Baru. Dengan
harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius menyatakan bahwa tiada
buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun ia longgarkan beberapa,
seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.

Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah. Pada tahun 397, Konsili
Kartago mensahkan daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak
lamban menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang
dipertanyakan, meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.

Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius mendapat pengakuan umum, dan
sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.
Kanonisasi
Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibrani qāneh, yang
secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran" atau "tali pengukur" dan
kemudian dalam bahasa Yunani berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang
lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah
untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti 'ukuran'
bagi iman Kristen. Ketika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai
sebagai 'ukuran' bagi Iman dan Hidup orang Kristen.

Kanonisasi Perjanjian Lama

Secara pasti tidak ada kriteria untuk kanonisitas Perjanjian Lama, meskipun terdapat
konsensus di kalangan para ahli yang menyebutkan ada empat hal yang dapat
dijadikan sebagai dasar kanonisitas Perjanjian Lama, yaitu:
[1]

 Kanonisitas dikaitkan dengan nubuat


 Kanonisitas dikaitkan dengan perjanjian (covenant)
 Kananositas Perjanjian Lama diteguhkan melalui rujukan-rujukan Perjanjian
Baru terhadapnya
 Kanonisitas Perjanjian Lama diteguhkan oleh pemakaiannya dalam ibadah
yang dilakukan oleh umat Israel.

Pada dasarnya kitab-kitab yang termasuk Perjanjian Lama adalah tepat sama isinya
dengan kitab-kitab dalam Alkitab Ibrani, meskipun ada perbedaan urutannya.
Origen

Kanonisasi Perjanjian Baru

Kanonisasi Perjanjian Baru dimulai sekitar tahun 200.  Pada saat itu mulai disusun
[3]

daftar-daftar kitab suci yang kurang lebih resmi. Misalnya pada tahun 190
di Roma muncul sebuah daftar yang disebut Kanon Muratori. Kanon Muratori
merupakan kanon tertua yang disimpan sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah
salinan dari abad VIII. Nama Muratori merupakan nama seorang pustakawan
Milano, L.A. Muratori yang menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada
tahun 1740.  Kanon ini berisi daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan
[4]

sejumlah karangan yang dianggap "palsu". Pada tahun


254, Origenes dari Alexandria juga menyusun sebuah daftar kitab. Tahun 303 Eusebius
dari Kaisarea juga membuat daftar kitab.
Tahun 367, Uskup Aleksandria Athanasius menyusun daftar Alkitab Perjanjian Baru
dengan jumlah 27 kitab. Daftar itu kemudian diterima oleh umat di bagian Timur.
Sedangkan di bagian barat, umat menerima daftar yang disusun oleh Athanasius. Paus
Innosensius I mengirim daftar itu ke Perancis pada tahun 419. Daftar ke 27 kitab itu
kembali diperteguh dalam konsili Florence (1441), konsili Trente (1546) dan Konsili
Vatikan I (1870).

Kanonisitas Perjanjian Baru


Seperti yang telah disebutkan, penentuan mengenai kitab-kitab mana yang layak dan
bisa dimasukkan ke dalam kanon Perjanjian Baru memakan waktu yang sangat lama,
akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi dasar kanonisitas Perjanjian Baru, yaitu: [1]

 Dekat dengan tradisi kerasulan


 Diterima secara umum di kalangan jemaat (katolisitas)
 Bergantung pada ortodoksi

Lihat pula
 Alkitab
 Perjanjian Lama
 Perjanjian Baru

Referensi
1. ^ a b c d Yonky Karman. 2005. Bunga Rampai Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 5-13.>
2. ^ Van den End. 2009. Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK
Gunungan Mulia. 40-42>
3. ^ (Indonesia)C. Groenen.2006. "Pengantar ke dalam Perjanjian Baru". Yogyakarta:
Kanisius.
4. ^ (Indonesia)Willi Marxsen.2006. "Pengantar Perjanjian Baru". Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
 A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang & Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting
dalam Sejarah Kristen, Immanuel, 1999. [1][2]

Anda mungkin juga menyukai