Anda di halaman 1dari 27

1

DAFTAR ISI

2
Petunjuk Penggunaan Materi Ajar

3
Mempelajari Teks Cerita Pendek

A. Identifikasi Nilai Moral dalam Teks Cerita Pendek


Kegiatan 1 Memahami Informasi mengenai nilai moral dalam cerita pendek

Wabah
Mula-mula tak ada seorang pun di rumah keluarga besar itu yang berterus terang.
Masing-masing memendam pengalaman aneh yang dirasakannya dan curiga kepada yang lain.
Masing-masing hanya bertanya dalam hati, "Bau apa ini?" Lalu keadaan itu meningkat menjadi
bisik-bisik antarkelompok dalam keluarga besar itu. Kakek berbisik- bisik dengan Nenek, "Kau
mencium sesuatu, Nek?"
"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab Nenek.
"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?"
"Mungkin anakmu."
"Belum tentu; boleh jadi cucumu!"
"Atau salah seorang pembantu kita."
Ayah berbisik-bisik dengan Ibu, "Kau mencium sesuatu, Bu?"
"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab Ibu.
"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?"
"Mungkin ibumu."
"Belum tentu; boleh jadi menantumu."
"Atau salah seorang pembantu kita."
Demikianlah para menantu pun berbisik-bisik dengan istri atau suami masing-masing. Anak-
anak berbisik antarmereka. Para pembantu berbisik-bisik antarmereka. Kemudian keadaan
berkembang menjadi bisik-bisik lintas kelompok. Kakek berbisik-bisik dengan Ayah atau
menantu laki-laki atau pembantu laki-laki. Nenek ber- bisik-bisik dengan Ibu atau menantu
perempuan atau pembantu perempuan. Para menantu berbisik-bisik dengan orang tua masing-
masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya atau menantu perempuannya atau
pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik dengan anak laki-lakinya atau menantu laki-lakinya
atau pembantu lakij laki. Akhirnya semuanya berbisik-bisik dengan semuanya.
Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira hanya ter- cium oleh masing-masing itu semakin
menjadi masalah ketika bisik-bisik berkembang menjadi saling curiga antara mereka. Apalagi
setiap hari selalu bertambah saja anggota keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya

4
apabila sedang berkumpul. Akhirnya setelah semuanya menutup hidung setiap kali berkumpul,
mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh tak sedap itu.
Mereka pun mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu
ketenangan keluarga besar itu.
Masing-masing tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh tak
sedap itu.
Masing- masing menuduh yang lainlah sumber baunya aneh tak sedap itu.
Untuk menghindari pertengkaran dan agar pembicaraan tidak mengalami deadlock, maka
untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan kepada menganalisa saja mengapa muncul bau
aneh tak sedap itu.
Alhasil, didapat kesimpulan yang disepakati bersama bahwa bau itu timbul karena kurangnya
perhatian terhadap kebersihan. Oleh karena itu diputuskan agar semua anggota keluarga
meningkatkan penjagaan kebersihan; baik kebersihan diri maupun lingkungan. Selain para
pembantu, semua anggota keluarga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan
halaman. Setiap hari, masing- masing mempunyai jadwal kerja bakti sendiri. Ada yang
bertanggung jawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar
mandi, WC, dst. Sampah tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Menumpuk atau merendam
pakaian kotor dilarang keras.
Juga disepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuannya agar tak ada
seorang pun anggota keluarga yang tidak mandi dengan alasan malas. Siapa tahu bau itu muncul
justru dari mereka yang malas mandi. Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan
memakai parfum dan menyemprot kamar masing-masing dengan penyedap ruangan. Semua
benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau, seperti terasi, ikan asin, jengkol, dsb.
dilarang dikonsumsi dan tidak boleh ada dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami,
ditanami bunga- bunga yang berbau wangi.
Ketika kemudian segala upaya itu ternyata tidak mem- buahkan hasil dan justru bau aneh tak
sedap itu semakin menyengat, maka mereka menyepakati untuk beramai- ramai memeriksakan
diri. Jangan-jangan ada seseorang atau bahkan beberapa orang di antara mereka yang mengidap
sesuatu penyakit. Mereka percaya ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan bau, misalnya
sakit gigi, sakit lambung, paru-paru, dsb. Pertama-tama, mereka datang ke puskesmas dan satu-
persatu mereka diperiksa. Ternyata semua dokter puskesmas yang memeriksa mereka
menyatakan bahwa mereka semua sehat. Tak ada seorang pun yang mengidap sesuatu penyakit.
Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis;
mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama saja. Semua
dokter yang memeriksa, tidak menemukan kelainan apa pun pada kesemuanya.
Mereka merasa gembira karena oleh semua dokter- mulai dari dokter puskesmas hingga
dokter-dokter spesialis di kota, mereka dinyatakan sehat. Setidak-tidak- nya bau aneh dan busuk
yang meruap di rumah mereka kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang mereka idap.

5
Namun, ini tidak memecahkan masalah. Sebab, bau aneh tak sedap itu semakin hari justru
semakin menyesak dada. Mereka pun berembuk kembali.
"Sebaiknya kita cari saja orang pintar;" usul Kakek sambil menutup hidung, "siapa tahu bisa
memecahkan masalah kita ini."
"Paranormal, maksud Kakek?" sahut salah seorang menantu sambil menutup hidung.
"Paranormal, kiai, dukun, atau apa sajalah istilahnya; pokoknya yang bisa melihat hal-hal
yang gaib."
"Ya, itu ide bagus;" kata Ayah sambil menutup hidung mendukung ide kakek, "jangan-jangan
bau aneh tak sedap ini memang bersumber dari makhluk atau benda halus tidak kasat mata."
yang
"Memang layak kita coba;" timpal Ibu sambil menutup hidung, "orang gede dan pejabat tinggi
saja datang ke "orang pintar" untuk kepentingan pribadi, apalagi kita yang mempunyai masalah
besar seperti ini."
Ringkas kata akhirnya mereka beramai-ramai men- datangi seorang yang terkenal "pintar".
"Orang pintar" itu mempunyai banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki
saja. Mereka kira mudah. Ternyata pasien "orang pintar" itu jauh melebihi pasien dokter- dokter
spesialis yang sudah mereka kunjungi. Mereka harus antre seminggu lamanya, baru bisa bertemu
"orang pintar" itu. Begitu masuk ruang praktik sang Eyang atau sang Kiai atau sang Ki, mereka
terkejut setengah mati. Tercium oleh mereka bau yang luar biasa busuk. Semakin dekat mereka
dengan si "orang pintar" itu, semakin dahsyat bau busuk menghantam hidung-hidung mereka,
padahal mereka sudah menutupnya dengan semacam masker khusus. Beberapa antara mereka
sudah ada yang benar-benar pingsan. Mereka di pun balik kanan. Mengurungkan niat mereka
berkonsultasi dengan dukun yang ternyata lebih busuk baunya daripada mereka itu.
Keluar dari ruang praktik, mereka baru menyadari bahwa semua pasien yang menunggu
giliran, ternyata memakai masker. Juga ketika mereka keluar dari rumah sang dukun mereka
baru ngah bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan, ternyata memakai masker.

Mungkin karena beberapa hari ini seluruh perhatian mereka tersita oleh problem bau di rumah
tangga mereka sendiri, mereka tidak sempat memperhatikan dunia di luar mereka. Maka ketika
mereka sudah hampir putus asa dalam usaha mencari pemecahan problem tersebut, baru mereka
kembali membaca koran, melihat TV, dan mendengarkan radio seperti kebiasaan mereka yang
sudah-sudah. Dan mereka pun terguncang. Dari siaran TV yang mereka saksikan, koran-koran
yang mereka baca, dan radio yang mereka dengarkan kemudian, mereka menjadi tahu bahwa bau
aneh tak sedap yang semakin hari semakin menyengat itu ternyata sudah mewabah di negerinya.
Wabah bau yang tak jelas sumber asalnya itu menjadi pembicaraan nasional. Apalagi setelah
korban berjatuhan setiap hari dan jumlahnya terus meningkat. Ulasan-ulasan cerdik pandai dari
berbagai kalangan ditayangkan di semua saluran TV, diudarakan melalui radio-radio, dan
memenuhi kolom- kolom koran serta majalah. Bau aneh tak sedap itu disoroti dari berbagai

6
sudut oleh berbagai pakar berbagai disiplin. Para ahli kedokteran, ulama, aktivis LSM, pembela
HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi, menyampaikan pendapatnya dari sudut pandang
masing-masing. Mereka semua-seperti halnya keluarga besar kita- mencurigai banyak pihak
sebagai sumber bau aneh tak sedap itu. Tapi seperti keluarga besar kita-tak ada seorang pun di
antara mereka yang mencurigai dirinya sendiri.
Hingga cerita ini ditulis, misteri wabah bau aneh tak sedap itu belum terpecahkan. Namun,
tampaknya sudah tidak merisaukan warga negeri lagi. Karena mereka semua sudah menjadi
kebal. Bahkan masker penutup hidung pun mereka tak memerlukannya lagi.

Sumber : Jawa Pos, 19 September 2004

Dalam cerita pendek diatas kita mampu memahami informasi yang dapat menambah nilai
moral yang terdapat cerita pendek diatas, dalam membuat cerita pendek mampu menerima
informasi yang disampaikan oleh pembuat cerita pendek tersebut, cerita pendek banyak makna
yang dapat diambil oleh pembaca.
Memahami informasi mengenai nilai moral dalam cerita pendek melibatkan kemampuan
untuk mengidentifikasi pesan-pesan moral yang terkandung dalam cerita serta memahami
implikasi dan pengaruhnya terhadap pembaca.
Cerita pendek adalah karya sastra fiksi yang umumnya memiliki panjang yang singkat
dan berkisah tentang suatu peristiwa atau konflik dalam jangka waktu yang pendek. Cerita
pendek biasanya memiliki struktur yang padat dan fokus pada pengembangan karakter, tema,
atau pesan tertentu.
Nilai moral merujuk pada prinsip atau norma-nilai yang berkaitan dengan kebaikan,
kebenaran, dan etika. Dalam konteks cerita pendek, nilai moral mencerminkan pesan-pesan
moral yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui cerita tersebut.
Untuk memahami informasi mengenai nilai moral dalam cerita pendek, Anda perlu
membaca cerita secara cermat dan menganalisis elemen-elemen cerita yang berkaitan dengan
nilai-nilai moral. Hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi perkembangan karakter, tindakan dan
keputusan yang diambil, konflik yang dihadapi, dan akhir cerita.
Dalam cerita pendek, pesan moral dapat disampaikan melalui peristiwa atau tindakan
karakter, dialog, atau penokohan. Biasanya, pesan moral akan mengandung pengajaran atau
pelajaran mengenai tindakan yang baik, akibat dari tindakan yang salah, pentingnya nilai-nilai
seperti kejujuran, kerja keras, keberanian, persahabatan, dan lain sebagainya.
Implikasi dan pengaruh: Memahami nilai moral dalam cerita pendek juga melibatkan
pemahaman terhadap implikasi dan pengaruhnya terhadap pembaca. Cerita pendek dapat
menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan menginspirasi pembaca untuk
mengambil pelajaran yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral yang

7
terkandung dalam cerita pendek dapat membentuk pandangan dan sikap pembaca terhadap
situasi dan interaksi sosial.
Dengan memahami informasi mengenai nilai moral dalam cerita pendek, kita dapat
mengembangkan kemampuan kritis dan moral kita serta mendapatkan wawasan yang berharga
dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari.
Kegiatan 2 Menemukan nilai moral dalam cerita pendek

Nasihat Kiai Luqni


Berbeda dengan acara pengajian yang lain, pengajian dalam rangka haul, pengunjungnya
jauh lebih banyak. Haul-berbeda dengan mauludan yang merupakan peringatan hari lahir Nabi
Muhammad-adalah peringatan hari wafat. Biasanya yang di-haul-i adalah kiai besar. Tapi
sekarang setiap orang bisa dihauli, tergantung keluarganya.
Apabila keluarga seseorang yang sudah meninggal menghendaki dan mempunyai cukup
biaya untuk mengadakan peringatan haul, sekarang ini bisa-bisa saja mengadakannya. Bedanya
dengan haul kiai besar, haul keluarga ini segala sesuatunya hanya ditanggung dan ditangani oleh
keluarga yang bersangkutan itu sendiri. Sementara haul kiai besar lazimnya diselenggarakan oleh
masyarakat. Panitianya juga dibentuk oleh dan dari masyarakat. Keluarga kiai yang dihauli
biasanya hanya didudukkan sebagai penasihat panitia.
Tradisi haul dengan pengajian besar-besaran semula dimaksudkan sebagaimana
mauludan-untuk mengenang jasa dan menuturkan sejarah kiai yang dihauli dengan tujuan agar
diteladani oleh masyarakat.
Malam itu saya diundang pengajian haul kiai besar di daerah P. Saya datang tidak hanya
karena saya mengenal Kiai Akrom yang dihauli sebagai tokoh yang dicintai masyarakat pada
masa hidupnya, tapi juga ingin mendengarkan ceramah Kiai Luqni, seorang mubalig kondang
yang berbeda dengan kebanyakan mubalig lain.
Kiai Luqni suaranya empuk, bicaranya sejuk. Tidak ber- kobar-kobar. Bila membaca
ayat-ayat Quran selalu dilagukan dengan merdu. Ceramahnya mudah dicerna oleh berbagai
lapisan masyarakat, baik yang terpelajar maupun yang awam. Kadang-kadang bicaranya
diselingi dengan humor- humor segar yang tidak vulgar. Lebih dari itu; Kiai Luqni dalam
ceramahnya, tidak pernah mengecam, menuding, atau apalagi mencaci orang. Tidak pernah
menggurui, apalagi bersikap seolah-olah penguasa agama yang paling tahu kehendak Tuhan.
Di majelis haul, ribuan hadirin mengelu-elukan kedatangan da'i kecintaan mereka, Kiai
Luqni. Mereka yang dekat dari tempat Kiai Luqni berjalan menuju ke rumah keluarga Kiai
Akrom yang dihauli, berhamburan menyambut dan menciumi tangannya. Sementara yang jauh
pada melambaikan tangan. Dengan tersenyum, Kiai Luqni membalas sambutan itu dengan wajah
berseri-seri tanpa kesan bangga.

8
Acara berikutnya ialah acara inti, terdengar suara pembawa acara di pengeras suara, acara
yang kita nanti-nantikan: mau'izhah hasanah dan tausiah dari almukarram Bapak Kiai Haji
Luqni. Waktu dan tempat kami persilakan secukupnya.
Kiai Luqni pun dengan tenang dan anggun naik ke panggung diiringi salawat hadirin dan
hadirat. Kiai Luqni sendiri ikut membaca salawat sebelum kemudian duduk di kursi yang sudah
disiapkan. Lalu menyampaikan salam. Sekalian hadirin seketika menyambut salam dengan gegap
gempita; kemudian diam dan dengan tenang menyimak.
Dengan gamblang, Kiai Luqni menerangkan hikmahnya diadakan peringatan haul.
"Para hadirin, haul itu kebalikan dari peringatan maulid. Kalau peringatan maulid adalah
peringatan kelahiran Maulid Nabi adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan haul merupakan peringatan kematian biasanya memperingati wafatnya kiai yang
meneruskan perjuangan Kanjeng Nabi seperti haul Kiai Akrom sekarang ini.
"Ini adalah haul Kiai Akrom yang ke-13. Berarti sudah 13 tahun Kiai Akrom wafat.
Sudah 13 tahun kita ditinggalkannya. Tapi, lihatlah, selama itu kita yang sekian banyak ini masih
terus mengenang dan mendoakan beliau. Mengapa? Karena kita semua merasa telah menerima
jasa dan kebaikan beliau. Beliau telah mengajarkan dan memberi teladan kepada kita hidup yang
baik. Menunjukkan kepada kita mana yang baik dan mana yang buruk. Yang mestinya menjadi
pertanyaan kita saat ini: apakah apabila kita meninggal akan dihauli dan dikenang orang banyak
seperti Kiai Akrom ini; ataukah akan segera dilupakan oleh orang.
"Haul juga mengingatkan kepada kita akan kematian. Bahwa kita semua, tak pandang
bulu, bila sudah sampai saatnya pasti dipanggil ke hadirat-Nya. Kita tak tahu kapan ajal kita tiba,
tapi kita tahu bahwa itu pasti tiba.
"Ada dawuh yang mengatakan, Kafaa bilmauti waa'izhan. Cukuplah kematian sebagai
pemberi nasihat. Orang yang tidak mempan dinasihati oleh kematian, jangan harapkan mempan
dinasihati oleh lainnya.
"Orang yang selalu ingat bahwa dia akan mati, akan bersikap hati-hati. Sebaliknya
mereka yang sembrono, yang sombong, yang jahat kepada sesama, biasanya adalah orang-orang
yang lupa bahwa mereka akan mati.
"Tak ada seorang pun yang tahu kapan dan di mana akan mati. Seandainya kita tahu
kapan dan di mana kita akan mati, maka kita bisa mempersiapkan diri. Tapi kita tidak tahu. Jadi,
mestinya setiap saat kita harus bersiap- siap."
Kiai Luqni kemudian menguraikan pentingnya mem- persiapkan diri menyongsong
kematian. "Mempersiapkan diri menyongsong kematian yang pasti itu, bisa kita lakukan dengan
membiasakan perilaku yang baik. Sehingga kapan saja kita dipanggil Tuhan, kita dalam keadaan
berperilaku baik. Jangan sampai kita membiasakan perilaku buruk, sehingga dikhawatirkan mati
dalam keadaan buruk pula."
Kiai Luqni pun memberikan contoh-contoh beberapa tokoh yang dikenal dan diketahui
hadirin. "Anda sekalian kenal, bukan, dengan Mbah Asnawi dari K? Kiai yang suka sembahyang

9
itu? Beliau meninggal saat sujud. Alangkah beruntungnya dipanggil Tuhan dalam keadaan
sedang bersujud kepada-Nya. Kiai Zaini dari D yang pekerjaannya mengajar para santri, wafat
saat sedang mengajar para santrinya.
"Sebaliknya, di antara kalian pasti ada yang pernah membaca berita tentang seorang
tokoh yang meninggal di sebuah kamar hotel dan maaf berada di atas seorang wanita nakal.
Masya Allah!
"Memang, biasanya orang meninggal sesuai kesukaan atau kebiasaan hidupnya. Di
tempat saya, ada orang yang suka judi dan mati pada saat berjudi. Ada yang suka minum, mati
pada saat minum. Naudzu billah. Anda sekalian mungkin sudah mendengar berita tentang
seorang dosen yang meninggal saat memberi kuliah. Atau tentang penyair yang meninggal pada
saat membaca puisi..."
Kiai Luqni berhenti sebentar, memperbaiki duduknya. Menarik napas panjang, kemudian,
dengan suara melirih, mendesiskan Astaghfirullah. Dan tak ada lagi kata-kata yang terdengar
dari mubalig kondang ini.
Hadirin hanya melihat sosok Kiai Luqni yang duduk lunglai di tempat duduknya di atas
panggung. Kepalanya tunduk hingga dagunya menyentuh dada. Suasana menjadi hening. Sampai
beberapa orang panitia naik panggung setelah beberapa lama Kiai Luqni tak bersuara dan tak
bergerak. Orang-orang pun kemudian melihat mubalig kesayangan mereka itu digotong turun.
Suasana pun berubah gempar. Kiai Luqni wafat. Sesuai ceramahnya, Kiai Luqni wafat
pada saat sedang memberi nasihat. Kewafatannya meneguhkan nasihatnya.
Cukuplah kematian sebagai nasihat.

Sumber : Jawa Pos, 12 November 2006

Menemukan nilai moral dalam cerita pendek melibatkan analisis mendalam terhadap elemen-
elemen cerita, karakter, dan pesan yang disampaikan dalam cerita pendek diatas. Nilai moral
adalah pesan etis atau filosofis yang terkandung dalam cerita, yang mengajarkan pelajaran atau
memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya berperilaku atau memahami dunia di
sekitar. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat membantu dalam menemukan nilai moral
dalam cerita pendek:
1. Analisis nilai dan tindakan karakter, amati nilai-nilai yang dipegang oleh karakter utama.
Bagaimana mereka bertindak atau bereaksi terhadap situasi yang dihadapi dan Apakah
tindakan mereka konsisten dengan nilai-nilai tersebut atau apakah ada konflik internal
yang harus dihadapi.
2. Identifikasi perubahan atau pembelajaran, karakter utama mengalami perubahan atau
pembelajaran selama cerita dan ataukah mungkin belajar sebuah pelajaran penting,

10
mengubah sikap atau keyakinan, atau tumbuh sebagai individu. Identifikasi perubahan ini
dan hubungkan dengan nilai moral yang mungkin ada di baliknya.
3. Temukan pesan atau tema yang mendasari, perhatikan pesan umum atau tema yang
diungkapkan melalui cerita. Apakah ada nilai-nilai seperti kejujuran, kesetiaan,
pengorbanan, atau pengampunan yang ditonjolkan atau apakah ada peringatan tentang
akibat dari tindakan yang buruk atau mengajarkan nilai-nilai penting dalam kehidupan.
4. Jalin hubungan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat, tinjau nilai moral yang
terungkap dalam cerita dan pikirkan bagaimana nilai-nilai tersebut berlaku dalam
kehidupan nyata. Apakah ada pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari atau apakah ada relevansi dengan isu-isu moral atau sosial yang ada dalam
masyarakat.

B. Demonstrasi Nilai Moral yang Dipelajari dalam Teks Cerita Pendek


Kegiatan 1 Menetapkan nilai moral yang dipelajari dalam cerita pendek

Kang Maksum
Masya Allah! Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun!
Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah....
Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar meng- guncang kotaku. Di mana-mana-
di pasar, di warung warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah-berita itu mendominasi
pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis.
Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu
terjadi sekarang, pastlah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi
perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan
ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari
pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak
mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi
pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat?
Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi
rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima
kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Kang Maksum meninggal. Itu saja sudah mengejutkan. Selama di pondok pesantren, aku
belum pernah mendengar Kang Maksum sakit meskipun sekadar pilek. Dia tipe orang yang
begitu perhatian menjaga kesegaran badannya. Setiap pagi dan sore, pada saat mandi, Kang
Maksum tidak hanya menimba-dengan timba model senggot yang beratnya masya Allah-untuk
dirinya sendiri. Dia sengaja juga mengisi kulah-kulah untuk kawan-kawan lain, terutama santri-

11
santri kecil yang tak kuat menimba seperti aku. Dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya
itu tidak untuk kepentingannya sendiri. "Ini membuat badanku sehat," katanya.
Ah, Kang Maksum!
Terbayang olehku wajah Kang Maksum yang ganteng, yang selalu bersih seperti baru
saja mandi. Masih terngiang- ngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang merdu bila
membaca ayat-ayat Al-Quran atau membaca kasidah Al Barzanji. Tidak mungkin, tidak
mungkin! Kang Maksum? Ah....
Kang Maksumlah yang mengajariku qiraah; mengenal- kanku kepada nada-nada bayati,
sika, dan hijazi di pesantren. Kang Maksum juga yang sering memberiku ijazah doa- doa dan
berbagai wirid; mulai doa dan wirid agar mudah menghafal, agar tenang menghadapi setiap
orang, agar hati tenteram, hingga doa aneh agar dapat melihat jin.
Di pesantren kami, Kang Maksum memang dikenal sebagai santri senior yang memiliki
suara merdu setiap malam Jumat saat berjanjenan, acara bersama-sama ber- shalawat nabi
dengan membaca karya madah Syekh Jakfar Al Barzanji, santri-santri selalu menunggu-nunggu
giliran Kang Maksum membaca kasidah-kasidahnya. Terutama, saat melantunkan kasidah yang
dimulai dengan "Ya Rabbi shalli 'alaa Muhammad, ya Rabbi shalli 'alaihi wa sallim.” atau "Ya
Rasulullah salaamun 'alaik, ya Rafi'asyaani wad- darajati." Santri-santri lain yang kemudian
bersemangat menyahuti lantunan itu berusaha ngepas-ngepaskan suara mereka dengan irama
lantunan Kang Maksum. Tapi mana mungkin. Di samping merdu, cengkok lagu Kang Maksum
memang sulit ditiru.
Di samping seni suara, Kang Maksum juga dikenal sebagai pendekar silat yang lihai dan
digdaya. Konon, dia punya aji lembu sekilan yang membuatnya terbentengi dari pukulan dan aji
welut putih yang membuatnya sulit ditangkap. Setiap pesantren mengadakan perayaan, seperti
mauludan dan khataman, dan ada atraksi pencak silat, Kang Maksum yang mandegani, yang
mengatur siapa- siapa yang tampil. Siapa-siapa yang tampil dan untuk silat keseimbangan; siapa
yang tampil melawan siapa.
Biasanya, di akhir pertunjukan, Kang Maksum sendiri yang tampil mendemonstrasikan
kepiawaiannya. Itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton. Dengan gerakan tubuhnya yang
ringan, Kang Maksum meloncat ke arena panggung. Pertama-tama, diperagakan kejadukannya
de- ngan menghantamkan batu kali sebesar gentong atau pedang tajam ke punggungnya yang
sedikit pun tidak membuat goyah kuda-kudanya. Kemudian, dengan gagah dan lincah, Kang
Maksum tidak hanya memamerkan jurus- jurus istimewanya, tapi juga memainkan berbagai
senjata tajam, seperti pedang, tombak, dan trisula.
Sebenarnya banyak santri yang ingin belajar silat dan kejadukan Kang Maksum. Tapi,
kebanyakan tidak kuat melakukan tirakatnya. Kalau, misalnya, hanya puasa seperti biasa, pasti
banyak yang mampu. Ini tidak. Ada puasa mutih, puasa dengan berbuka nasi saja, tidak pakai
lauk apa pun, selama tujuh hari atau 40 hari. Ada puasa ngebleng, puasa sehari semalam tanpa
buka. Ada puasa pati geni, tidak hanya puasa sehari semalam tanpa buka, tapi juga tanpa tidur.
Bayangkan!

12
Kang Maksum sendiri memang ahli tirakat. Sejak entah umur berapa, konon sejak kecil
dia ngrowod. Bukan hanya puasa ndaud, sehari puasa sehari buka, tapi ndaud dengan berbuka
hanya umbi-umbian atau bulgur. Sudah ngrowod begitu, setiap buka-kadang-kadang juga setiap
sahur- Kang Maksum makannya tidak lebih dari selapik cangkir.
Kelihatan sekali Kang Sofwan-seniorku dan kawan akrab Kang Maksum di pondok
pesantren terburu-buru Dengan singkat dia menyampaikan berita itu. "Cepat sampean
berpakaian," katanya memerintah. "Kita ke sana sekarang." Aku masih terguncang. Laa hawla
walaa quwwat illa billah. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kang Maksum? Ah, rasanya tidak
masuk akal.
"Cepat!" hardik Kang Sofwan tidak sabar.
Sampai di rumah Kang Maksum, kami lihat sudah banyak orang yang datang. Beberapa
di antaranya duduk duduk di halaman dan sebagian lain, yang kebanyakan kaum perempuan,
berada di dalam rumah. Semuanya diam atau berbisik-bisik. Sesekali isak tangis terdengar
meningkahi bagai irama gaib. Mbah Ghazali, modin paling tua di tempat kami, baru selesai
melakukan tugasnya.
Siapa yang pernah membayangkan? Kang Maksum meninggal terlindas kereta api!
Tubuhnya menjadi tiga bagian! La hawla wala quwwata illa billah!
Hanya karena kelihaian Mbah Modin Ghazali, jenazah itu dapat dipertautrapikan. Tapi,
kebuncahan hati ini? Ah.
Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana-di
pasar, diwarung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah-berita itu mendominasi
pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis. Waktu itu
media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang,
pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di
media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan
narasumber yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang Jadi, aku masih bisa menghindar dari
pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak
mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi
pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat?
Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi
rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima
kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Melihat Melihat tubuh Kang Maksum yang demikian, orang sulit mengatakan bahwa
peristiwa tragis yang menimpanya itu merupakan kecelakaan.
Lalu? Pasti bunuh diri. Begitu kesimpulan orang-orang yang tidak mengenal Kang
Maksum memastikan. Namun, bagi yang mengenalnya, seperti aku dan Kang Sofwan, bunuh diri

13
adalah hal yang paling mustahil dilakukan oleh Kang Maksum. Di samping cukup memiliki
pengetahuan agama, Kang Maksum orang yang mencintai kehidupan.
Kang Zuhdi, alumnus pesantren kami yang lebih senior daripada Kang Maksum dan
Kang Sofwan, mencoba meyakinkan bahwa almarhum Kang Maksum memang sengaja
membiarkan dirinya dilindas kereta api untuk menjajal "ilmu".
"Aku dengar, sebelumnya Kang Maksum pernah mem- biarkan dirinya ditabrak sepeda,
motor, dokar, dan truk. Dan, sejauh itu, dia selamat-selamat saja, tak kurang suatu apa.
"Jadi," lanjut Kang Zuhdi, "kemungkinan besar itu merupakan kelanjutan dari uji coba
tataran ilmu kekebalan Kang Maksum. Sayang, rupanya kali ini tidak berhasil."
Mungkin banyak yang menerima kesimpulan Kang Zuhdi itu. Tapi, aku dan Kang
Sofwan, yang sedaerah dan kenal baik dengan Kang Maksum serta keluarganya, tetap tak bisa
menerima. Tak ingin menerima. Tapi.....

Sumber : Jawa Pos, 27 Januari 2012

Cerita pendek diatas memiliki beberapa makna pesan moral yang bisa diambil, adapun
beberapa pesan moral yang dapat diambil dari sebuah cerita pendek diantaranya :
1. Kejujuran adalah keutamaan dalam pesan moral ini menekankan pentingnya kejujuran
dalam hubungan manusia. Cerita pendek dapat menggambarkan bahwa kejujuran adalah
landasan yang kokoh untuk membangun hubungan yang baik dan saling percaya antara
individu.
2. Kebajikan yang akan berbuah manis, pesan moral ini mengajarkan bahwa tindakan baik
dan sikap yang baik kepada orang lain pada akhirnya akan membawa kebahagiaan dan
kesuksesan. Cerita pendek dapat mengilustrasikan bahwa kebaikan yang ditunjukkan
kepada orang lain akan mendatangkan balasan yang baik pula.
3. Jangan menilai orang dari penampilan, pesan moral ini mengajarkan pentingnya melihat
di balik penampilan fisik seseorang dan memberikan kesempatan. Cerita pendek dapat
menyoroti bahwa penilaian berdasarkan penampilan seringkali keliru dan dapat
mengabaikan kualitas sebenarnya yang dimiliki oleh seseorang.
4. Kekuatan persahabatan, pesan moral ini menekankan pentingnya persahabatan dalam
menghadapi tantangan hidup. Cerita pendek dapat menggambarkan bagaimana
persahabatan yang kuat dan saling mendukung dapat membantu seseorang mengatasi
rintangan dan menjalani kehidupan dengan lebih baik.
5. Menghargai apa yang dimiliki, pesan moral ini mengajarkan pentingnya bersyukur dan
menghargai apa yang dimiliki. Cerita pendek dapat menggambarkan betapa pentingnya
bersyukur atas hal-hal sederhana dalam hidup, serta menghindari sikap serakah dan selalu
ingin lebih.

14
6. Pembelajaran dari kesalahan, pesan moral ini menyoroti bahwa kesalahan adalah bagian
alami dari kehidupan dan merupakan peluang untuk belajar dan berkembang. Cerita
pendek dapat menunjukkan seseorang dapat menghadapi kegagalan atau kesalahan
dengan sikap positif dan menggunakan pengalaman tersebut untuk menjadi lebih baik di
masa depan.
7. Perbedaan, pesan moral ini mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan antara
individu. Cerita pendek dapat menekankan nilai-nilai seperti keragaman, toleransi, dan
pengertian terhadap orang-orang yang berbeda dari kita, baik dalam budaya, latar
belakang, atau pendapat.

Kegiatan 2 Mempresentasikan nilai moral dalam cerita pendek

Sang Primadona
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar benar pusing. Apabila
masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan
berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih
terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal. Aku lahir dan tumbuh dalam
keluarga yang- katakanlah-kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan
perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang
tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun Alhamdulillah-juga disayangi guru-
guru dan kawan-
kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak
jarang aku menjadi juara.
Ketika di SD aku pernah menjadi juara satu lomba menari. Waktu SMP aku mendapat
piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi
tingkat provinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya menjadi artis di ibu kota seperti
sekarang ini. Cita- citaku dari kecil ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi
bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester
kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya
keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis populer di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran
perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara
seremonial; menjadi host di beberapa TV; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam
seminar- seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya
dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

15
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada
diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung- ujungnya
kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa;
bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."
Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan
kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri
yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek
kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua.
Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung.
Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang- lantung mencari
pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari
kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasihatiku
ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya
demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri.
Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.
"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimanapun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!
"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak
hilang. "Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin
dan anak yatim.”
Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula
memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan
semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin
lalu saja.
Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang
mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar
mengidolakanku. Dia mencintaiku habis- habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir
selalu hadir dalam event-event di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shooting film dan
mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau
mengirim SMS yang sering kali hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan.
Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek
kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil
dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers
memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah
kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku
yang menurut mereka mengkhawatirkan.

16
Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan
madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak
keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-
gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak
terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah
sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini
terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar
dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali
kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan.
Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang
terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya
apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku.
Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran
hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka
bertengkar. Tapi, lama- kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering
mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut- mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang
selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap
terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua
mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan
yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu
secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik
bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar
pelarian ataukah-mudah-mudahan-memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa
mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah- tengah majelis pengajian. Ada sesuatu
yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan
hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai
bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan
kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak
mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang
diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan
di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai
artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz
memercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi
pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan.

17
O, ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya
yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku
dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang
menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku ber- kembang dan meningkat menjadi
"tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan
kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam
biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun
harus memenuhi undangan-undangan-bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-
sebagai narasumber dalam diskusi- diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-
kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja
menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan
hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu, dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang
sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan,
tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalaupun di rumah, perhatianku
semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja
kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di
rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku
menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok
ganja. Semula aku diam saja, tapi hari- hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku
pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya
dan berjanji akan menghentikannya.
Namun, beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan
pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata, "Ini milik siapa, Bu?"
"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir. "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini
sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil
menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu.
Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya.
Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya
mengonsumsi barang berbahaya itu Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap
anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta
cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun, seiring
maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang

18
menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana
mereka ini bila tiba-tiba mendengar- dan pasti akan mendengar-idolanya yang konsultan
keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-
anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak dari orang
tua yang bercerai.
Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah
tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan
kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku
benar-benar pusing!
Sumber : Jawa Pos, 27 November 2005
Dalam mempresentasikan nilai moral dalam cerita pendek, dapat lakukan menggunakan
plot dan karakter untuk menggambarkan pesan moral yang ingin disampaikan. Berikut adalah
contoh pendekatan yang dapat digunakan:
1. Memilih tema yang relevan: Pilih tema yang berhubungan dengan nilai moral yang ingin
disampaikan, seperti kejujuran, kerja keras, kebaikan hati, atau kesetiaan.
2. Menghadirkan karakter yang menghadapi konflik moral: Ciptakan karakter yang
menghadapi situasi atau konflik di mana mereka harus membuat pilihan moral penting.
Ini dapat mencakup pertentangan antara benar dan salah, menghadapi godaan, atau
menghadapi dilema etis.
3. Menunjukkan konsekuensi dari tindakan: Gambarkan bagaimana tindakan yang diambil
oleh karakter berdampak pada mereka sendiri dan orang lain. Jelaskan bagaimana
keputusan yang tepat dapat membawa kebahagiaan, pertumbuhan pribadi, atau
pemulihan, sementara keputusan yang salah dapat menghasilkan konsekuensi negatif.
4. Membangun perubahan karakter: Gambarkan bagaimana karakter mengalami
pertumbuhan atau perubahan moral sebagai akibat dari konflik yang dihadapi. Ini dapat
berupa perubahan perilaku, sikap, atau nilai-nilai yang dipelajari.
5. Memberikan pesan moral dengan cara yang tidak terlalu didaktis: Sampaikan pesan
moral secara halus melalui dialog, tindakan, dan deskripsi dalam cerita. Hindari
menggurui pembaca secara langsung, tetapi biarkan mereka menarik kesimpulan sendiri
dari cerita yang dibaca.
6. Menghadirkan resolusi yang memperkuat nilai moral: Akhiri cerita dengan resolusi yang
memperkuat nilai moral yang ingin disampaikan. Pastikan bahwa pembaca merasa
terinspirasi atau menerima pesan moral yang ingin disampaikan.
Selain itu, penting juga untuk mengembangkan karakter yang kuat, plot yang menarik,
dan gaya penulisan yang mengundang minat pembaca. Dengan menggabungkan elemen-elemen
ini dengan cerita pendek yang baik dan efektif dalam mempresentasikan nilai moral secara
meyakinkan.

19
Kegiatan 3 Menyimpulkan pesan moral dalam cerita pendek

Di Jakarta
Begitu sampai Jakarta, seperti setiap kali sampai Jakarta, seolah-olah ada yang selalu
meyakinkan aku: inilah dunia! Sibuk berputar dan bising bagai gasing. Kapan gasing ini berhenti
berputar? Sibuk apa saja gerangan orang-orang ini yang hilir-mudik ke sana kemari seperti
terburu-buru? Bukankah Nabi Muhammad konon bersabda: bekerjalah untuk duniamu seolah-
olah kamu akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah- olah kamu akan
mati besok pagi? Bukankah mayoritas mereka ini umat Nabi Muhammad; mengapa mereka
begitu tergesa-gesa seolah-olah akan mati besok pagi? Apakah mereka memang sedang mengejar
keuntungan akhirat?
Manusia di dunia ini memang aneh. Meski mengaku hamba Tuhan, terus saja berperilaku
seperti tuan. Mereka bilang menirukan firman Allah, Tuhan menciptakan kita semata-mata hanya
untuk menyembah-Nya, sementara untuk urusan rezeki, Dialah yang menjamin. Namun rezeki
yang sudah dijamin Tuhan diburu, penyembahan yang dituntut oleh-Nya diabaikan.
Settt...ciuut. Tiba-tiba taksi yang aku tumpangi direm mendadak diikuti sumpah serapah
sopirnya; membuyarkan lamunan aku. "Busyet tu orang!" Sopir t
aksiku masih terus ngomel gara-gara jalannya dipotong mendadak. "Emangnya jalan
milik nenek-moyangnya!"
"Sabar, Bang;" aku mencoba menyabarkannya,
"mungkin mereka memang terburu-terburu dikejar waktu."
"Memangnya mereka sendiri yang terburu-buru dikejar waktu?" Si abang sopir masih
tampak sewotnya meski sudah agak merendah nada bicaranya; "Dasar...."
Untunglah kemarahan sopir taksi tidak mempengaruhi kerjanya. Dia tetap mengemudi
dengan hati-hati, penuh perhitungan. Dalam hati, aku berjanji akan menambahkan sedikit bonus
nanti waktu membayarnya.
Tak lama kemudian kami sampai dengan selamat di rumah sepupu aku di kawasan
perumahan pejabat tinggi. Alamatnya memang tidak terlalu sulit. Wah, rumahnya luar biasa,
bagai istana! "Dibel saja, pak!" teriak abang sopir sambil memutar taksinya, meninggalkanku
sendirian di depan pintu gerbang yang menjulang. Aku melambainya, berterima kasih.
Seorang pembantu perempuan keluar menenteng serenteng kunci dan membuka pintu
setelah aku beri tahu siapa diriku dan akan menemui siapa. Belum sampai melewati pintu
gerbang, aku lihat saudara sepupuku sudah berdiri di teras, menyambut kedatanganku. Dia
kelihatan bersih semringah. Rupanya benar-benar makmur hidupnya.
Kami berpelukan laiknya dua saudara yang bertahun- tahun tidak berjumpa. "Kau kurus
sekali," katanya iba.

20
"Kau tambah gagah dan ganteng saja," sahutku.
"O, Dik Mus ya," sambut istri sepupuku yang menyusul menyambut dengan ramah,
"selamat datang, Dik." Lalu kepada pembantunya, "Bik, bawa tasnya Bapak ke kamar beliau!"
Kami duduk-duduk sebentar di ruang tamu, minum- minum minuman segar, sebelum aku
dipersilakan ber- istirahat di "kamarku".
"Kamu istirahat saja dulu," kata sepupuku, "kau pasti capek sekali. Nanti malam kita
sambung obrolannya. Atau," tiba-tiba dia seperti ingat sesuatu dan beralih ke istrinya, coba,
Mam, ambilkan kartu nama Mr. Qoney!
"Kalau kamu mau, nanti aku panggilkan seorang tukang pijat istimewa yang sanggup
memijitmu semalaman. Kujamin tenagamu akan kembali bugar. Esok harinya kamu bisa ke
mana-mana."
"Wah, pijat apa saja; pijat biasa atau pakai telor, aku suka!" sorakku, "Kau tahu dari dulu
aku suka pijat."
Istri sepupuku sudah datang lagi membawa kartu nama dan disodorkan ke suaminya.
"Biar aku pesan sekarang, kata sepupuku sambil mengangkat gagang telepon, "kadang-kadang
kalau mendadak, dia tidak bisa." Setelah tersambung, dia sodorkan kartu nama yang
dipegangnya kepadaku. Aku amat-amati kartu nama yang tampak begitu mewah. Kertasnya luks
dengan logo dan tulisan timbul warna emas: Mr. Z. Qoney; di bawahnya: Traditional Massage;
di bawah sekali: phone number+628xxxxxxxxx. Wah, aku semakin tertarik ingin tahu dan
mencoba pijatannya Mr. Qoney ini. Sepertinya kok orang asing. Bagaimana pula pijat tradisonal
asing itu gerangan?
"Alhamdulillah, bisa," tiba-tiba sepupuku berkata gembira sambil meletakkan gagang
telepon, “sekarang silakan kamu istirahat dulu!"
Malam hari, tamu yang kami terutama aku-tunggu- tunggu datang. Mr. Z. Qoney.
Ternyata aku kecele. Aku membayangkan akan bertemu seorang bule. Ternyata dia tidak berbau
atau berwarna asing sama sekali. Bahkan tubuhnya pendek dengan raut muka Jawa. Yang
menarik, orangnya bersih dalam setelan baju putih-putih dan menenteng tas seperti laiknya
seorang dokter
Setelah duduk minum sebentar, dengan sigap Mr. Qoney langsung menunjukkan
keprofesionalannya, "Bisa kita mulai sekarang?" Dan dengan menunjukku, "Bapak yang akan
dipijat?" Aku mengangguk. Istri sepupuku yang langsung menunjukkan "kamarku". "Silakan,
Mester!" kata- nya.
Di kamar, Mr. Qoney memberi beberapa arahan singkat dengan suara tegas: aku harus
mencopot semua pakaian, membujur ke arah mana, mengendorkan otot-otot, dsb.
"Kalau nanti saya tertidur," kataku sambil melepas pakaian, "tidak usah dibangunkan ya,
Pak. Saya suka ter- tidur bila merasa keenakan dipijat."

21
"Oke, no problem!" tukasnya. Mr. Qoney membuka tas jinjingnya, mengeluarkan
beberapa botol minyak dan entah apa lagi. Aku pun segera mengambil posisi tiduran tengkurap
dan Mr. Qoney langsung "Bismillahirrahmanirrahiim" mulai memijat kakiku.
Seperti umumnya tukang pijat, sambil memijat, dia terus nyerocos menceritakan
pengalaman-pengamalannya memijat dan macam-macamnya langganan yang sering meminta
pijat padanya. Mulai dari orang biasa hingga
pejabat tinggi bahkan langganan-langganan orang bule, dia ceritakan dengan penuh semangat.
"Hampir semua warga negara asing yang singgah di sini, sudah merasakan pijatan saya.
Amerika, Jerman, Jepang, Korea...."
"Beberapa menteri malah sering mengajak saya kunjungan-kunjungan kerja mereka.
Kalau sedang begitu, kadang-kadang saya kasihan kepada para langganan yang menunggu di
sini...." dalam
Demikianlah; ketika sudah berjalan sekitar seperempat jam dia memijat dan aku sudah
yakin mengenali model pijatannya, dia pun aku kejutkan dengan pertanyaan: "Sampean dulu
mondok di pesantren mana?"
Pijatannya langsung berhenti seketika. Ternyata dia benar-benar terkejut. "Lho, Bapak
tahu dari mana saya pernah mondok?"
Merasa tebakanku mengena, aku pun ganti berlagak, "Kalau sampean ahli pijat, saya ini
ahli dipijat. Saya sudah merasakan mulai pijat urut, pijat Saolin, pijat saraf, hingga pijat refleksi.
Di samping itu saya lama mondok di pesantren. Jadi tahu persis model pijatan pesantren seperti
pijatan sampean ini. Kecuali di pesantren, saya belum pernah dipijat seperti ini."
Dia terdiam agak lama, baru kemudian dengan nada tidak lagi membual, berkata, "Jujur
saja, memang saya ini orang pesantren, Pak. Hampir semua pesantren di Jawa sudah pernah saya
singgahi. Saya pernah ke Tebuireng Jombang; ke Lirboyo Kediri, Tegalrejo Magelang, Buntet
Cirebon, dan pesantren-pesantren lain."
Dia mulai memijat lagi, tapi rasanya sudah tidak begitu sungguh-sungguh, baru kemudian
melanjutkan: "Saya katakan pesantren-pesantren itu hanya saya singgahi, karena memang saya
tidak pernah lama tinggal di satu pesantren. Maka bukan ilmu yang saya dapat, tapi ya keahlian
memijat ini saja. Ini pun saya syukuri sebagai barakahnya saya mondok di pesantren.
"Mungkin Allah memang menentukan rezeki saya melalui memijat ini. Keahlian yang
saya dapat dari kebiasaan gantian mijat waktu di pesantren."
"Tapi sebagai ahli pijat, kartu nama sampean sungguh meyakinkan," selaku tanpa niat
menggoda atau menyindir.
Mr. Qoney tertawa pahit, "Wah, itu akal-akalan saya saja," katanya, "mengikuti mode
Jakarta." Dia ketawa pahit lagi. "Juga nama yang tercantum dalam kartu nama itu pelesetan dari
nama asli saya Markum Zarqoni."

22
Aku tak dapat menahan tawaku. "Itu ide dan kreasi yang jenius!" kataku memuji.
"Alhamdulillah; ternyata ya ada manfaatnya," katanya bersyukur. "Kartu nama itu saya
sebar-titipkan ke hotel-hotel yang sudi menerima. Dan nyatanya, banyak pengunjung hotel yang
kemudian nelepon minta saya pijat. Meski saya tidak pasang tarif...."
"Lho, kok tidak pasang tarif?" potongku. "Melihat kartu nama yang mengesankan
keprofesionalan itu, saya pikir pasti bertarif. Mubalig saja banyak yang pasang tarif lho."
"Ah, rasanya saya kok masih belum mentolo. Tanpa memasang tarif pun, sering kali
orang memberi lebih dari cukup. Apalagi niat saya kan hanya untuk menutup kebutuhan dan
sekadar dapat menafkahi anak-istri. Alhamdulillah, keluarga saya juga menerima apa adanya.
Tidak menuntut ini itu."
Dia diam sebentar dan pijatannya mulai mengeras kembali; baru kemudian melanjutkan,
"Apa sih yang dalam hidup yang singkat ini? Makan kan cukup sepiring dicari dua. Pakaian asal
menutup aurat. Rumah sekadar menjaga tidak kehujanan dan kepanasan. Saya bersyukur, dengan
anugerah bisa memijat yang cuma begini ini, saya dan anak- istri tidak telanjang, tidak
kelaparan, punya rumah tempat kembali berkumpul keluarga. Mau apa lagi? Yang penting kan
kehidupan kekal kita kelak. Bukan begitu, Pak?"
Wah, rupanya kesantrian Mr. Qoney masih cukup tebal, pikirku; meskipun sudah tinggal
di kota metropolitan, gaya sederhana dan orientasi akhiratnya masih belum luntur. "Tampaknya
kehidupan Mr. Qoney, eh, Mas Zarqoni baik- baik saja tanpa masalah ya?!"
Tiba-tiba dia diam agak lama. Tangannya kurasakan kembali mengendor. Dan dengan
suara bergetar dan dengan nada sendu, dia berkata, "Secara lahir, memang saya dan keluarga
tidak mempunyai masalah. Namun, terus terang saja, secara batin, masalah saya cukup besar."
"Lho?"
"Tadi Bapak bilang, Bapak lama juga di pesantren; barangkali Bapak bisa membantu
saya mencarikan solusi." Aku mulai tertarik dan Mr. Qoney alias Markum Zarqoni semakin
serius nada bicaranya. Aku biarkan dia terus mengutarakan isi hatinya, "Sungguh batin saya
selalu ter- usik. Dari pesantren-pesantren yang pernah saya singgahi, saya mendapat pelajaran
yang saya yakini dan saya jadikan pedoman hidup, yaitu hidup ini hanya untuk beribadah
mencari ridha Allah. Mencari rezeki pun saya tidak ngotot. Saya hanya melakukan pekerjaan
yang saya bisa. Allah memberi kebisaan memijat dan itu yang saya manfaatkan untuk mencari
nafkah halal dan sekaligus menolong orang."
Dia kembali berhenti sejenak, menarik napas panjang, kemudian baru melanjutkan,
"Namun dalam perjalanan, kemudian ada hal-hal yang mengganggu pikiran dan mengusik batin
saya. Sebagai pemijat yang sudah lama bekerja sama dengan beberapa hotel, kadang-kadang
saya diajak mengawani pelanggan saya untuk minum minuman haram. Di samping itu, tidak
jarang saya mendapat panggilan untuk memijat perempuan-perempuan. Kadang- kadang saya
harus memijat perempuan-umumnya orang bule-yang tinggal sendirian di hotel.

23
"Kalau hanya memijat perempuan saja, saya masih bisa berkilah: mungkin ini dimaafkan
Tuhan, karena hal ini merupakan tuntutan kebutuhan bagi saya sebagai orangyang bertanggung
jawab menafkahi keluarga. Tapi bersendirian dengan seorang perempuan lain; ini kan berbahaya.
Saya pernah dengar katanya Nabi pernah bersabda apabila dua orang berlainan jenis khalwat,
berduaan saja, maka akan ada pihak ketiga yang menyertai, yaitu setan.
"Itu belum seberapa; acap kali ada saja perempuan iseng yang menggoda dan meminta
lebih dari sekadar pijat. Alhamdulillah, selama ini saya masih bisa mempertahankan
profesionalitas dan iman saya. Tapi sampai kapan? Coba Bapak bayangkan; saya ini lelaki
normal, berduaan dengan perempuan di tempat tertutup seperti kamar hotel itu! Lama-lama
benteng iman saya bisa jebol."
Lagi-lagi dia diam sejenak, karena aku diam saja tidak menyela, dia pun melanjutkan,
"Namun yang mengusik batin saya sampai saat ini justru rezeki yang saya peroleh dengan cara
seperti ini. Mula-mula saya berpikir rezeki ini halal, karena saya menggunakan tenaga dan
keringat saya sendiri. Tidak nyolong atau mengambil hak orang lain. Tapi dengan adanya hal-hal
seperti yang saya ceritakan tadi, saya jadi ragu dan bahkan resah. Menurut yang saya tahu dari
pesantren, itu minimal sudah syubhat dan konon rezeki yang mengandung syubhat-apalagi
haram-tidak berkah."
"Lha sampean kok tidak berusaha mencari pekerjaan yang lain?" sela saya asal menyela.
"Bukannya saya tidak pernah berpikir ke arah itu. Bahkan sebelum saya memijat pun
berbagai pekerjaan sudah saya lakukan. Kecuali tentu saja pekerjaan yang memerlukan ijazah.
Karena saya tidak pernah punya ijazah apa pun. Mulai dari buruh tani, dagang kecil-kecilan,
hingga makelaran sudah pernah saya lakukan. Semua itu tidak ada yang berhasil. Ya baru
memijat di Jakarta inilah dikatakan benar-benar sukses. yang bisa
"Tapi, justru karena kesuksesan inilah yang membuat saya tidak bisa mengambil
keputusan untuk kembali mencari pekerjaan yang lain. Nah, menurut Bapak saya harus
bagaimana?"
Dalam buaian nikmat pijatannya, pertanyaannya itu hanya kudengar lamat-lamat,
sebelum kemudian aku ter tidur.
Paginya, sepupuku menyampaikan salam Mr. Z. Qoney alias Markum Zarqoni dengan
pesan kapan-kapan dia akan ke rumah untuk melanjutkan pembicaraan yang belum tuntas.
"Kalian membicarakan apa sih?" tanya sepupuku sambil lalu.
"Apa lagi, kalau bukan tentang Jakarta," jawabku juga sambil lalu.

Sumber : Rembang, 2006

24
Dari cerita pendek diatas, untuk menyimpulkan cerita pendek dengan baik, berikut adalah
beberapa langkah yang dapat diikuti:
1. Ringkas alur cerita: Ringkas alur cerita secara singkat, mulai dari pengenalan karakter
dan konflik, hingga puncak konflik dan resolusi.
2. Fokus pada pesan atau tema utama: Identifikasi pesan atau tema utama yang ingin
disampaikan dalam cerita. Pikirkan tentang apa yang pembaca harus mengerti atau
pelajari setelah membaca cerita pendek tersebut.
3. Gunakan kata-kata yang kuat: Gunakan kata-kata yang kuat dan padat dalam
menyimpulkan cerita. Singkat, namun tetap memberikan kesan yang kuat dan
mengingatkan pembaca pada pesan atau perubahan penting yang terjadi dalam cerita.
4. Jangan ungkapkan terlalu banyak: Hindari memberikan terlalu banyak detail atau merinci
setiap aspek cerita. Tetapkan fokus pada inti cerita dan pesan yang ingin disampaikan.
5. Buat kesan akhir yang kuat: Akhiri cerita dengan kalimat atau adegan yang memberikan
kesan yang kuat. Hal ini dapat menciptakan efek emosional atau membuat pembaca
merenungkan pesan yang disampaikan dalam cerita.
6. Pertimbangkan kembali pengenalan cerita: Jika memungkinkan, pertimbangkan untuk
merujuk kembali ke pengenalan cerita atau karakter-karakternya dalam penyimpulan. Ini
dapat memberikan rasa kesatuan dan penutupan yang baik untuk cerita.
7. Revisi dan edit: Setelah menulis simpulan, revisi dan edit cerita secara keseluruhan.
Pastikan simpulan menyampaikan pesan yang diinginkan dengan jelas dan efektif.
Ingatlah bahwa sebuah simpulan cerita pendek harus memberikan rasa penutupan yang
memuaskan dan menguatkan pesan atau tema utama cerita. Dengan mengikuti langkah-langkah
ini.

25
GLOSARIUM

26
DAFTAR PUSTAKA

27

Anda mungkin juga menyukai