Anda di halaman 1dari 11

PENILAIANPSIKOMOTORDANPENILAIANAFEKTIFDALAMPEMBELAJARANP

ENDIDIKANAGAMAISLAM
Muhammad Reki, Rusdianto, Dinda Adena, Ririn Aulia Sari, Afriani
UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Mreki66@gmail.com, Antor7381@gmail.com , dindaadena03@gmail.com ,
ririn010305@gmail.com , aniafri953@gmail.com

ABSTRAK
Pemanfaatan informasi teknologi merupakan solusi utama agar pembelajaran tetap berjalan
dengan baik. Psikomotor dan afektif adalah komponen penting dalam pembelajaran
pendidikan agama islam penilaian ini dilakukan dengan tujuan mengasah tindakan apa yang
didapatkan oleh seseorang setelah menempuh sebuah pendidikan dan pembelajaran yang baru
ia pelajari dalam kurun waktu satu singkat ataupun lama, sedangkan afektif digunakan untuk
bagian evaluasi apakahpembelajaran tersebut dapat diterima dengan baik serta bagaimana
pengaplikasiannya pada kehidupan sehari-hari Metode penelitian yang digunakan kuantitatif
Karakteristik penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan korelasi, penelitian korelasi
adalah penelitian yang dilakukan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada,
berapa auratnya hubungan serta berarti atau tidak hubungan itu. Penelitian korelatif
mempelajari dua variabel atau lebih yakni sejauh mana variasi dalam satu variabel
berhubungan dengan variasi dalam variabel lainnya. Hasil dari penelitian ini adalah
mengetahui sebuah evaluasi dan tindakan kedepannya untuk lebih dekat dengan efektivitas
serta psikomotor yang baik dalam menerima proses pembelajaran.
Kata kunci: Psikomotor,Afektif, Evaluasi, Kuantitatif, Variabel, variasi

PENDAHULUAN
Sistem pendidikan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 nomor 10 berbunyi satuan pendidikan adalah
kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal,
nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Jenjang pendidikan terbagi
ke dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi. Berdirinya sebuah
pendidikan bukan tanpa adanya fungsi dan tujuan. Fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang
tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 (pasal 3), meyebutkan pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
Pendidikan menjadi ranah utama bagi suatu bangsa untuk mengembangkan atau
menjadikan masyarakatnya, khususnya generasi muda menjadi manusia yang berakal,
bermoral dan bersosial. Pendidikan menjadi pola atau cara perubahan tingkah laku yang
harus terjadi kepada peserta didik. Cara yang harus dilakukan agar perubahan tingkah laku
tersebut terwujud dengan melalui proses belajar mengajar. Belajar ialah proses timbal balik

1
antara pendidik dan peserta didik. Selain itu, belajar juga merupakan proses penyampaian
informasi atau transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik. Dalam pendidikan formal
biasanya dilakukan oleh lembaga yang disebut sekolah atau perguruan tinggi. Masing-masing
dari lembaga tersebut menarik siswa atau mahasiswa nya untuk belajar tatap muka di satu
titik yang disebut sekolah atau kampus.
Afektif adalah proses pembelajaran yang meliputi bagaimana individu bersikap dan
bertindak dalam lingkup sosialnya. Bisa juga penilaian afektif ini mencakup emosi individu,
perasaan, dan kestabilan emosi darinya. Untuk penilaian afektif biasanya dilakukan dengan
memberikan sebuah suatu tantangan yang memeras emosi dari individu. Jika ia berhasil
dalam hal yang bersangkutan maka akan dinilai baik. Namun sebaliknya ketika hasilnya
buruk maka akan diambil langkah yang paling tepat. Adi ini berkaitan dengan keterampilan
individu dalam suatu hal tertentu. Biasanya keterampilan ini juga berkaitan dengan
bagaimana minat seorang individu. Bisa jadi ketika seorang anak tidak begitu pandai dalam
hal pelajaran (kognitif) namun boleh jadi ia sangat kompeten di aspek psikomotoriknya. Oleh
karena itu kita tidak boleh menghakimi kekurangan seorang individu terutama dalam hal
kemampuan otak. Sebab setiap individu mempunyai kelebihan masing-masing. Kita tidak
bisa menilai hanya dari satu sisi saja sedangkan sisi lain disepelekan. Kepada para pendidik
maka harus mengetahui kecenderungan ketiga aspek ini pada murid muridnya. Sehingga
dengan begitu guru menjadi tidak mudah untuk melakukan judgement kepada muridnya.
Pada dasarnya tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah guru yang tidak tahu di mana
kemampuan murid yang bersangkutan.
Transisi pembelajaran dari tatap muka ke pembelajaran jarak jauh memang tidaklah
mudah. Transisi pembelajaran ini, memang terkesan memaksa berbagai pihak untuk
mengikuti alur yang dapat ditempuh agar pembelajaran tetap efektif meski melalui elearning.
Pemanfaatan informasi teknologi merupakan solusi utama agar pembelajaran tetap berjalan
dan salah satu upaya untuk meningkatkan aspek pendidikan meski dengan kondisi seperti ini.
Namun, hal tersebut masih perlu dipertanyakan apakah efektif atau tidak pemberlakuan
pembelajaran jarak jauh bagi siswa menengah atas. Penetapan pembelajaran jarak jauh
tentunya memiliki banyak kendala dan dampak yang dihadapi oleh siswa menengah atas
(SMA).
Salah satu kendala tersebut adalah sinyal di setiap daerah berbeda sehingga
menentukan kefektifan proses pembelajaran. Hal ini yang menjadi pro kontra adanya
aktivitas pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh selain untuk mencegah
penyebaran covid-19, menjadi momok yang sangat mengerikan bagi mereka yang berada di
garis kemiskinan dan tinggal jauh diluar perkotaan. Tidak semua peserta didik memiliki
penunjang pembelajaran jarak jauh ini, tidak semua juga wilayah menjangkau sinyal dengan
baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pembelajaran jarak jauh baik positif
maupun negatif terhadap aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dan tentunya untuk
mengetahui bagaimana pemahaman siswa menengah atas (SMA) setelah diterapkannya
pembelajaran jarak jauh.
Menurut Yaumi (dalam Rizkulloh, 2020) pembelajaran jarak jauh adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang pada pelaksanaannya tidak bertatap muka langsung di kelas.
E-learning bisa digunakan dalam kondisi seperti ini, karena berbasis internet yang berarti
tidak perlu datang ke kelas. Kemudian menurut Bloom (dalam Supriadi 2019) terdapat teori

2
perkembangan dari tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomor. Kognitif merupakan
perilaku yang menekankan pada intelektualnya, seperti pengetahuan dan keterampilan
berpikir. Afektif lebih menekankan pada aspek perasaan, seperti minat dan sikap. Sedangkan
psikomotor lebih menekankan pada keterampilan motorik.
Menurut Bloom (dalam Aunurrahman, 2019) ranah kognitif terdiri dari enam jenis
perilaku yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah
afektif terdiri dari lima jenis perilaku yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian dan penentuan
sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Ranah psikomotor menurut Simpon (dalam
Aunurrahman, 2019) terdiri dari tujuh perilaku yaitu persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing,
gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. Sedangkan
menurut Bloom (dalam Supriadi, 2019) domain psikomotor meliputi imitation, manipulation,
precision, articulation, naturalization. Ketiga aspek tersebut perlu dikaji karena untuk
mengetahui tingkat keberhasilan siswa maupun tenaga pendidik di dalam proses belajar
mengajar. Peserta didik atau siswa diharapkan mampu mencapai keberhasilan belajar sesuai
dengan jenjang kemampuan di dalam taksonomi tersebut. Keberhasilan siswa di dalam proses
pembelajaran merupakan keberhasilan tenaga pendidik di dalam mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Bloom, dkk (dalam Ruwaida, 2019) mengatakan bahwa tujuan pendidikan harus
mengacu kepada tiga ranah domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik..

PEMBAHASAN
A. Penilaian Psikomotor
Hasil belajar peserta didik dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara
eksplisit. Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk
didalamnya kemampuan menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis,
mensintesis, dan mengevaluasi. Aspek afektif mencakup watak perilaku seperti
perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Aspek psikomotor adalah aspek yang
berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari,
memukul, dan lain sebagainya. 1
Perkataan psikomotor berkaitan dengan kata motor, sensory-motor atau perceptual-
motor. Jadi, ranah psikomotor berkaitan erat dengan kerja otot sehingga menyebabkan
geraknya tubuh atau bagian bagiannya. 2
Pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan menjelaskan baha kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. 3 Dapat di artikan bahwa pembelajaran dan penilaian harus
mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan ranah afektif
(sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan).

1
W.S. Wingkel, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi, 2009, h.273
2
Suharsimi Arikunto, Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Revisi, 2008, h. 122
3
Tim Pustaka Yustisia, Panduan Lengkap KTSP, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008, h.10

3
Menurut Ryan sebagaimana dikutip Akhmad Sudarjat menjelaskan bahwa hasil belajar
keterampilan dapat diukur melalui:
1. Pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses
pembelajaran praktik berlangsung.
2. Setelah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan cara memberikan tes kepada peserta
didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
3. Beberapa waktu setelah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.

B. Pengembangan Perangkat Penilaian Psikomotor

Pengembangan penilaian piskomotor dilakukan untuk memperbaiki metode dan teknik


yang digunakan dalam mengukur kemampuan motorik dan keterampilan fisik
seseorang. Tujuan utama dari pengembangan penilaian piskomotor adalah untuk
meningkatkan akurasi, validitas, dan reliabilitas hasil evaluasi.

Langkah-langkah dalam pengembangan penilaian piskomotor meliputi:


1. Identifikasi tujuan penilaian: Penentuan tujuan penilaian piskomotor sangat penting
karena akan menentukan jenis tes atau uji yang akan digunakan dan indikator yang
akan dievaluasi
2. Identifikasi indikator: Identifikasi indikator atau kemampuan yang akan diukur
dalam penilaian piskomotor sangat penting. Indikator yang dipilih harus relevan
dengan tujuan penilaian dan mampu memberikan informasi yang akurat tentang
kemampuan motorik dan keterampilan fisik.
3. Desain instrumen penilaian: Desain instrumen penilaian harus mencakup jenis tes,
jumlah soal atau item, dan format yang akan digunakan dalam mengukur
kemampuan motorik dan keterampilan fisik.
4. Uji coba instrumen: Setelah desain instrumen selesai, instrumen tersebut harus diuji
coba untuk mengevaluasi akurasi, validitas, dan reliabilitasnya.
5. Analisis data: Data yang dikumpulkan dari pengujian instrumen harus dianalisis
untuk mengevaluasi efektivitas instrumen dan mengidentifikasi kemungkinan
masalah dalam pengukuran.
6. Revisi instrumen: Setelah hasil analisis diperoleh, instrumen harus direvisi untuk
memperbaiki masalah yang ditemukan.
7. Implementasi instrumen: Setelah instrumen penilaian piskomotor selesai
dikembangkan, instrumen tersebut dapat diterapkan dalam pengukuran kemampuan
motorik dan keterampilan fisik pada individu atau kelompok.

Pengembangan penilaian piskomotor dapat membantu meningkatkan kualitas penilaian


dan memperbaiki program intervensi atau rehabilitasi untuk individu yang
membutuhkan bantuan dalam meningkatkan kemampuan motorik dan keterampilan fisik
mereka. 4

4
Sri Mukminati Nur, Pengembangan Perangkat Penilaian Psikomotorik Pada Peserta Didik, Jurnal Biotek, Vol
03 No 01, 2015), hal 156-157.

4
C. Penilaian Afektif

Karakteristik dari ranah afektif, yaitu melibatkan perasaan dan emosi seseorang, bersifat
khas dan memiliki intensitas, arah serta sasaran. 5 Penilaian afektif seringkali diartikan
sebagai pengukuran kemampuan yang lebih mengutamakan emosi, perasaan serta
respon-respon yang berbeda dengan penalaran. Penilaian ranah afektif ini juga erat
kaitannya dengan sikap dan minat yang dimiliki peserta didik, misalnya sikap percaya
diri, tanggung jawab, sopan santun, kedisiplinan, jujur, kerjasama dan lain sebagainya.
Jadi, dapat dipahami bahwa penilaian afektif terfokus pada pengukuran hasil belajar
yang berkaitan dengan penanaman karakter sehingga hasil penilaiannya bisa dijadikan
acuan oleh guru untuk memperbaiki sistem pembelajaran maupun memaksimalkansitem
pembelajaran yang sudah baik. Bloom dan Krathwohl sebagaimana yang dikutip oleh
Anggarwati Riscaputranti dan Sri Wening mengemukakan bahwa ranah afektif dibagi
dalam lima jenjang, yaitu:
1. Menerima, yaitu kesadaran dan kemauan untuk menerima perhatian terseleksi. Pada
tahap ininpeserta didik peka terhadap keberadaan fenomena atau stimulus.
2. Merespon, yaitu berpartisipasi aktif sebagai bagian dari peserta didik. Menyimak
dan bereaksi terhadap suatu fenomena tertentu. Pada tahap ini, peserta didik cukup
termotivasi untuk berperan serta dan menghadapi rangsangan yang datang berupa
gagasan, benda atau sistem nilai.
3. Menilai, yaitu terdiri atas menerima suatu nilai, memilih nilai dan berkomitmen.
Pada tahap ini peserta didik memahami bahwa benda- benda, gejala atau suatu
perilaku mempunyai nilai.
4. Mengorganisasi, yaitu adanya prioritas untuk membandingkan perbedaan nilai dan
menciptakan suatu sistem nilai yang unik.
5. Karakterisasi, yaitu memiliki sistem nilai yang mengontrol perilakunya, konsisten
dapat diramalkan dan merupakan karakteristik dari peserta didik, sehingga tahap ini
disebut juga karakterisasi nilai serta gambaran afektif peserta didik. 6

Dari tahapan-tahapan tersebut, Krathwohl mengemukakan bahwa pendidikan afektif


merupakan proses membantu siswa meningkatkan kualitas afektifnya dari tingkat yang
paling rendah pada tingkat yang paling tinggi yaitu mulai dari menerima, merespon,
menilai, mengorganisir hinggamengkarakterisasi dengan sebuah nilai atau nilai yang
kompleks. 7
Terkait dengan instrumen yang dapat digunakan untuk penilaian afektif, Mardapi
sebagaimana yang dikutip oleh Anggarwati dalam jurnalnya mengemukakan bahwa
guru bisa menyajikan kasus dalam bentuk kuesioner yang selanjutnya peserta didik
diminta untuk memberi respon. Kuesioner yang baik tentu dalam proses pembuatannya
harus melalui suatu prosedur. Mc Coach, Gable dan Madura menjelaskan bahwa dalam

5
Saepul Anwar & Agus Fakhruddin, Pelaksanaan Standar Penilaian oleh Guru Pendidikan Agama Islam di
Sekolah. Ta’lim, Vol. 14 No. 2. (2016). Hal. 140
6
Anggarwati Riscaputranti& Sri Wengi, Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Siswa Kelas IV Sekolah
Dasar di Kabupaten Klaten. Himpunan Evaluasi Pendidikan Islam, Vol. 22 No. 2. (2018). Hal. 235
7
Laudria Nanda rameswati, Analisis Kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an Siswa MTs dalam Perspektif
Taksonomi Bloom. Edudeena, Vol. 3 No. 2. (2019). Hal. 73

5
memilih karakteristik pada pengembangan instrumen ranah afektif perlu berhati-hati
dalam mempertimbangkan pemilihan teori secara konstruk. Dengan pemahaman yang
baik dapat menghasilkan definisi operasional yang valid untuk masing-masing karakter
pada ranah afektif. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam membuat definisi
operasional yang akan dikembangkan menjadi indikator-indikator sikap tidak boleh
sembarangan. Seorang guru harus memahami hal tersebut dalam upaya membantu
mengenali sikap yang tercermin dalam diri siswa. Selain itu, pada penyusunan butir-
butir perlu dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas. Validitas dilakukan untuk
memastikan bahwa lembar kuesioner layak digunakan untuk mengukur apa yang
seharusnya diukur. Sedangkan reliabilitas bertujuan untuk memastikan bahwa instrumen
telah memiliki konsistensi dalam mengukur kemampuan afektif siswa. Instrumen yang
tidak melalui proses validitas maupun reliabilitas tidak layak digunakan karena
menyebabkan tidak tergambarkannya kemampuan siswa secara detail. 8
Hasil penilaian afektif diperoleh melalui observasi secara sistematif dan
berkesinambungan. Artinya penilaian pada ranah afektif tidak bisa dilaksanakan melalui
tes.

D. Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif


Ranah afektif meliputi segala dorongan buat berperan yang berhubungan dengan
perasaan serta emosi, tercantum di dalamnya perilaku, atensi, pemahaman hendak harga
diri, nilai serta seluruh aspek karakter serta kesehatan mental. Perihal ini berbeda
dengan kedua ranah yang lain, di mana ranah kognitif berhubungan dengan pengetahuan
serta keahlian intelektual, ranah psikomotor berhubungan dengan anggapan serta
k•eatifitas seorang. Ketiga ranah tersebut hendak sangat nampak perbedaannya dalam
proses pendidikan seorang yang diperolehnya lewat sekolah.
spesial bagi Ringness( 1975) pendidikan afektif merupakan pendidikan yang meliputi
aspek- aspek emosional tingkah laku seseorangtermaksud pengaruh- pengaruh terhadap
pemilihan tujuan serta fasilitas yang kita seleksi buat menggapai tujuan tersebut. Sebab
itu, aspek- aspek yang tercantum di dalamnya meliputi emosi, perasaan, perilaku, nilai-
nilai, moral serta kepribadian, filosofi hidup serta prinsip hidup kita sendiri.
Saifuddin Azwar( 1998: 26) mengemukakan kalau konsep afektif menyangkut
permasalahan emosional subjektif seorang terhadap sesuatu objek perilaku secara tmum.
Komponen ini disamahn dengan perasaan yang dipunyai terhadap suatu. Respon
emosional ialah komponen afektif yang dipengaruhi oleh keperæyaan ataupun apa yang
dipermya selaku suatu yang benar serta berlaku untuk objek termaksud.
Respon emosional seorang terhadap suatu yang benar ataupun suatu yang salah hadapi
prosB pematangan yang tidak bisa terlewathn begitu saja. Sadar ataupun tidak, seorang
hadapi proses pematangan aspek emosionalnya. Proses tersebut bisa terjalin sebab
timbul lewat kßadaran dirinya maupun lewat proses pendidikan dari pengalan% an yang
sudah kemudian.

Hal tersebut dapat kita lihat dari konsep yang dikemukakan oleh Krathwohl (1974) yang
menekankan aspek afektif pada perasaan, emosi dan penerimaan atau penolakan atas
suatu kesepakatan yang diklasifikasikan dalam 5 tahapan, yaitu :

8
Anggarwati Riscaputranti& Sri Wengi, Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Siswa Kelas IV Sekolah
Dasar di Kabupaten Klaten. Himpunan Evaluasi Pendidikan Islam, Vol. 22 No. 2. (2018). Hal. 234

6
1. Receiving (penerimaan)
a. wareness (kesadaran)
b. Willingness to receive (keinginan untuk menerima)
c. Controlled or seleaed attention (perhatian yang terkontrol)
2. Responding (tanggapan)
a. Acquiscence in responding (enggan memberi tangapan)
b. Willingness to response ( keinginan untuk memberi tanggapan)
c. Saction in respong ( kepuasan dalam memberi tanggapan)
3. Valuing (penilaian)
a. Acceptance ofa value ( penerimaan atas sebuah nilai)
b. Preferencefor a value (preferensi suatu nilai atas nilai lain)
c. Commitment (komitmen terhadap nilai)
4. Organization (organisasi)
a. Conceptualization ofa value ( pembentuhn konsep sebuah nilai)
b. Organization ofa value system (organisas sebuah system nilai)
5. Characterization by a value or value complex (karakterisasi melalui sebuah nilai)
a. Generalized set (generalisasi)
b. Characterization (karakterisasi)
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Johnson (Danniyati, 1998:7), jika sekolah ingin
berhasil dalam mempengaruhi subjek didik sampai dengan sesudah mereka mengakhiri
masa sekolahnya maka pengembangan tanggapan afektif mereka harus diberi
penekanan.
Pada mata pelajaran PAI, penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai religius adalah
bagian terpenting dari serangkaian tujuan dalam rangka menjadikan mereka sebagai
manusia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti
luhur, berkepribadian mantap serta tumbuh rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Apabila pihak sekolah mengabaikan penekanan hal ini, maka yang akan
terjadi adalah peserta didik memiliki kepribadian yang labil, mudah terpengaruh oleh
faktor-faktor negatif yang dihadapi dalam kehidupannya.
Pengukuran Karakteristik Afektif
Pengukuran ranah afektif menitik beratkan pada pengungkapan kebiasaan sehari-hari
yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini berbeda dengan pengukuran ranah kognitif yang
mengarah pada pengungkapan kemampuan maksimal yang dimiliki peserta didik
(Zamroni, 1993:19). Oleh karena itu, pengukuran ranah afektif tidak dapat diukur secara
langsung. Namun kita dapat menafsirkan ada tidaknya afek positif atau afek negatif
yang muncul dan arah afektif itu dari tindakan peserta didik ( Darmiyati, 1998).
Menurut Anderson (1981: 4) tindalan seseorang harus memenuhi dua kriteria agar dapat
digolongkan kedalam karakteristik afektif :
1. karakteristik afektif melibatkan perasaan
2. karakteristik afeküf berupa pendapat atau tingkah laku yang khas.
Di samping itu, afektif harus memiliki tubian (intensitas), arah dan sasaran. Sejalan
dengan Anderson, Gable & Wolf (1993) berpendapat bahwa karakteristik afekff terdiri
dari sikap, minat, nilai self-effcacy dan self-esteem. Berbeda dengan mereka, Sax (1974:
443) secara spesifik menunjukkan beberapa karakteristik sikap, yaitu intensitas,
keluasan, konsistensi dan spontanitas.

7
Terlepas dari itu semua, secara umum kita mengetahui adanya sikap apatis dari para
guru dalam mengukur aspek afektif para peserta didiknya. Sikap yang ditunjukkan oleh
para guru ini lebih dikarenakan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan ini
memunculkan keraguan pada diri guru untuk mencunakan pengukuran afektif, seperti
yang dikemukakan Krathwohl (1974) bahwa alasan yang banyak muncul atas keraguan
tersebut adalah adanya pertanyaan seberapa jauh nilai budaya dan filosofi yang
menyertainya.
Adapun cara pengukuran afektif dapat melalui metode equal appearing interval (skala
Thurstone;1931), skala likert (1032), metode latent trait dari Wright and Masters dan
metode diferensi semantik dari Osgood (Gable & Wolf, 1993:40).
Pengukuran tersebut dapat dikembangkan melalui langkah-langkah pengembangan
instrumen ranah afektif seperti yang dikemukakan oleh Gable & Paaditian ñuluasi, Wof
(1993) yaitu meliputi:
1. tahap pengembangan imstrumen evaluasi afektif yang terdiri dari beberapa kegiatan
yaitu,
a. merumuskan definisi konseptual,
b. mengembangkan definisi operasional,
c. menyeleksi metode penskalaan,
d. penilaian atas item instrumen,
e. seleksi format respon,
2. tahap uji coba
3. tahap revisi instrumen
4. tahap pengumpulan data
5. tahap analisis validitas dan reliabilitas
6. tahap pelaporan.
Pendidikan Agama Islam di Madrasah Aliyah
Mata pelajaran PAI di Madrasah Aliyah Negeri maupun Swasta tidak ada perbedaan.
Komponen mata pelajaran yang terdapat dalam PAI yaitu meliputi Al-Qur'an Hadits,
Fiqh, Aqidah Akhlak, Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Namun, untuk
peserta didik MA kelas I dan II, mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) belum
diajarkan. Dengan demikian mata pelajaran SKI ini mulai diajarkan pada waktu kelas III
Aliyah.
Materi-materi dalam setiap mata pelajaran PAI tersebut dapat disederhanakan menjadi
empat komponen, yaitu keimanan, ibadah, muamalah dan akhlak. Pembagian empat
komponen tersebut tidak lepas dari 7 dimensi dasar-dasar agama Islam yaitu: fisik, akal,
iman, akhlak, kejiwaan, keindahan dan sosial kemasyarakatan (Zakiah Daradjat, 1995).

8
SIMPULAN

Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan


menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Aspek
afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Aspek
psikomotor adalah aspek yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat,
melukis, menari, memukul, dan lain sebagainya.
Pengembangan penilaian piskomotor dilakukan untuk memperbaiki metode dan teknik yang
digunakan dalam mengukur kemampuan motorik dan keterampilan fisik seseorang. Tujuan
utama dari pengembangan penilaian piskomotor adalah untuk meningkatkan akurasi,
validitas, dan reliabilitas hasil evaluasi.
Penilaian afektif seringkali diartikan sebagai pengukuran kemampuan yang lebih
mengutamakan emosi, perasaan serta respon-respon yang berbeda dengan penalaran.
Penilaian ranah afektif ini juga erat kaitannya dengan sikap dan minat yang dimiliki peserta
didik, misalnya sikap percaya diri, tanggung jawab, sopan santun, kedisiplinan, jujur,
kerjasama dan lain sebagainya.
pengukuran ranah afektif tidak dapat diukur secara langsung. Namun kita dapat menafsirkan
ada tidaknya afek positif atau afek negatif yang muncul dan arah afektif itu dari tindakan
peserta didik

9
DAFTAR PUSTAKA

Wingkel, W. (2009). Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi.

Arikunto, S. (2008). Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Revisi.

Tim Pustaka Yustisia. (2008). Panduan Lengkap KTSP, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Nur, S. (2015). Pengembangan Perangkat Penilaian Psikomotorik Pada Peserta Didik, Jurnal
Biotek, Vol 03 No 01.

Anwar, S. (2016). Pelaksanaan Standar Penilaian oleh Guru Pendidikan Agama Islam di
Sekolah. Ta’lim, Vol. 14 No. 2.

Riscaputranti, A. (2018). Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Siswa Kelas IV


Sekolah Dasar di Kabupaten Klaten. Himpunan Evaluasi Pendidikan Islam, Vol. 22 No. 2.

Rameswati, L. (2019). Analisis Kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an Siswa MTs dalam
Perspektif Taksonomi Bloom. Edudeena, Vol. 3 No. 2.

10
11

Anda mungkin juga menyukai