Anda di halaman 1dari 22

PENILAIAN RANAH AFEKTIF

Mata Kuliah Penilaian Pembelajaran SD

Dosen Pengampu :

Hieronimus Sujati M.Pd.


Kurniawati S.Pd., M.Pd.

Oleh :

Dini Kamilia
(18108241047)

PGSD-3E

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
PENILAIAN RANAH AFEKTIF

A. Pendahuluan

Dalam Permendikbud no. 66 tahun 2013 tentang standar penilaian menjelaskan


bahwa teknik dan instrument penilaian yang digunakan dalam Kurikulum 2013
mencakup penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti
bahwa pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik
yang berhubungan dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan
psikomotorik (keterampilan).

Penilaian ranah kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir yang meliputi


kemampuan menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensistesis, dan
mengevaluasi. Penilaian ranah psikomotorik meliputi keterampilan yang berkaitan
dengan gerak atau otot seperti menulis, berbicara, dan sebagainya. Sedangkan
penilaian ranah afektif berhubungan dengan minat dan sikap seperti jujur, disiplin,
percaya diri, dan sebagainya. Secara eksplisit, ketiga ranah tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dalam paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih
ditekankan pada kemampuan aspek kognitif. Padahal semua kemampuan pada ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik harus seimbang untuk mencapai tujuan
pembelajaran.

Penilaian ranah afektif merupakan hal yang penting karena penilaian ranah
afektif harus dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Adapun Popham (1995) dalam
Djemari Mardapi (2004) mengemukakan bahwa ranah afektif menentukan
keberhasilan seseorang. Sehingga, pembelajaran perlu memperhatikan pelaksanaan
penilaian ranah afektif. Satuan pendidikan perlu merancang dan mengembangkan
penilaian ranah afektif yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat dicapai optimal.
Karena pengembangan penilaian ranah afektif sangat berpengaruh positif di sekolah
khususnya pembelajaran matematika.

Ada banyak penelitian ranah afektif yang telah dilakukan peneliti sebelumnya.
Sebagai contoh penelitian yang telah dilakukan oleh Fitria (2017) yaitu pelaksanaan

2
penilaian sikap siswa pada kurikulum 2013, penelitian pengembangan instrumen
penilaian sikap berbasis kurikulum 2013 oleh Sabrina, dkk (2017), serta penelitian
Umam, MZ (2017) yaitu pengembangan instrumen penilaian sikap dan karakter
siswa pada mata pelajaran matematika.

Penilaian ranah afektif dapat disusun dalam bentuk skala Likert atau skala
semantic differential. Pada penelitian ini, skala penilaian ranah afektif menggunakan
penilaian sikap menggunakan skala Likert karena dalam penelitian ini mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang dalam bentuk checklist. Instrumen penilaian
sikap tersebut dapat mengetahui sikap peserta didik terhadap materi integral.
Masalah pada artikel ini terbatas pada penilaian afektif, pengembangan penilaian
skala sikap, penggunaan skala Likert. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk
memberikan gambaran tentang pengembangan instrumen penilaian skala sikap yang
dapat digunakan untuk mengukur kemampuan ranah afektif peserta didik

B. Penilaian Afektif
Penilaian afektif berarti berkenaan dengan menilai sikap dan perubahan yang
terjadi pada tingkah laku peserta didik selama pembelajaran. Sikap berhubungan
dengan tindakan seseorang dalam merespon objek. Berarti objek yang direspon
peserta didik itu adalah materi pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru. Tindakan
seseorang atau respon tersebut dapat dibentuk, sehingga nantinya akan terjadi
perilaku yang diinginkan. Terutama setelah mengikuti pembelajaran, peserta didik
diharapkan memiliki perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik sesuai dengan
tujuan pembelajaran.

Menurut Sudjana (2009:30) para ahli berpendapat bahwa apabila seseorang


tingkat kognitifnya sudah pada tingkat tinggi, maka sikap seseorang tersebut
diramalka dapat berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta didik
seperti, perhatian siswa terhadap pembelajaran, disiplin, motivasi belajar,
menghargai guru dan teman-teman se kelasnya, kebiasaan belajar, dan hubungan
sosial. Jadi, ada kecerendungan antara penilaian kognitif dengan afektif saling
berkaitan. Misalnya, dalam menilai ranah kognitif peserta didik harus menguasai

3
materi kontroversional, guru dapat pula menilai peserta didik dalam ranah afektif
dengan cara menilai peserta didik yang aktif bertanya dan berani mengungkapkan
pendapatnya. Selain itu, hasil belajar afektif peserta didik tampak dalam berbagai
tingkah laku, seperti perhatian terhadap pembelajaran, sopan santun, disiplin,
motivasi belajar, dan mengahargai guru dan teman satu kelasnya.

Hasil belajar afektif berkaitan dengan minat, sikap, dan nilai-nilai sebagai
hasil dari pembelajaran yang telah dilakukan oleh peserta didik. Menurut Krathwohl
dalam Sukiman (2012:67-69) hasil belajar afektif terdiri dari beberapa tingkatan,
yaitu receiving, responding, valuing, organization, dan characterization by a value
or value complex. Receiving merupakan kemauan dan kepekaan untuk
memperhatikan suatu kegiatan atau objek dalam pembelajaran. Responding atau
menanggapi yaitu adanya partisipasi aktif untuk memberikan rekasi dari materi yang
diberikan oleh guru. Valuing artinya memberikan nilai terhadap suatu objek,
sehingga adanya tindakan yang dilaksanakan setelah pembelajaran. Organization
artinya membandingkan nilai-nilai dari materi pembelajaran yang kemudian akan
menghubungkannya dan mampu menyelesaikan suatu konflik. Characterization by
a value or value complex yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki
oleh peserta didik, yang memengaruh pola kepribadian dan tingkah lakunya.

Menurut Sudjana (2009:31) tipe hasil belajar afektif dapat dilihat dan diniliai
saat waktu proses pembelajaran dan setelah pembelajaran selesai dilakukan. Saat
waktu pembelajaran sikap peserta didik dapat dilihat dalam hal kemauan untuk
menerima materi dari guru, perhatian peserta didik terhadap materi pembelajaran,
keinginan mendengarkan dan mencatat materi, menghargai guru dan teman satu
kelas, dan keaktifan peserta didik dalam bertanya. Sementara itu, sikap yang dapat
dilihat setelah selesai pembelajaran pada peserta didik diantaranya, kemauan
mempelajari materi lanjut, kemauan mempraktikan nilai yang terkandung dalam
materi sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan adanya rasa senang terhadap materi
yang diajarkan oleh guru.

4
C. Proses Penilaian Afektif

Menurut Suwandi (2010:80) sikap dalam pembelajaran dapat dinilai dari beberaa
hal, yaitu sikap terhadap mata pelajaran, sikap terhadap guru atau pengajar, sikap
terhadap pembelajaran, dan sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang
berhubungan dengan mata pelajaran, untuk mata pelajara sejarah dapat berhubungan
dengan nilai kebangsaan dan nilai karakter. Untuk mengetahui hasil dari dimensi
afektif dapat menggunakan instrumen non-tes. Instrumen ini digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran sejarah dalam aspek afektif. Sementara
itu, perubahan sikap pada peserta didik hanya dapat diukur dengan menggunakan
teknik non-tes.

Untuk penialaian sikap atau afektif bisa menggunakan teknik non-tes. Menurut
Kochhar (2008:56-63) untuk menialai sikap atau afektif bisa menggunakan teknik
non-tes. Menurut Arifin (2012 : 180) teknik non-tes ini bisa dilakukan dengan
beberapa kegiatan diantaranya yaitu observasi, wawancara, skala sikap, daftar cek,
skala penilaian, angket, studi kasus, catatan insidental, sosiometri, inventori
kepribadian, dan teknik pemberian penghargaan kepada peserta.

a. Observasi merupakan kegiatan mengamati yang dilakukan oleh guru baik


langsung atau tidak langsung dengan mengacu pada pedoman observasi
untuk menilai perilaku kelas baik dari segi guru maupun peserta didik
yang akan didapatkan sebuah data atau informasi dari suatu fenomena
kelas.
b. Wawancara adalah kegiatan percakapan tanya jawab yang dilakukan oleh
guru dengan peserta didik, yang dilakukan secara langsung (bertatap
muka) atau tidak langsung (melalui perantara).
c. Skala sikap adalah teknik penilaian dengan memberikan pertanyaan-
pertanyan positif dan negatif yang akan dipilih oleh peserta didik.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dalam lima skala,
misalnya sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, tidak tahu.

5
Pertanyaan tersebut mengenai sikap peserta didik terhadap pembelajaran
atau lingkungan sekolah.
d. Daftar cek merupakan suatu daftar yang digunakan oleh guru untuk
mencatat dan memberi tanda tiap kejadian-kejadian yang terjadi di diri
peserta didik baik kejadian kecil maupun besar dalam segala aspek, teknik
seperti ini membantu guru dalam mengingat apa saja yang harus dinilai
oleh guru.
e. Skala penilaian merupakan daftar cek akan dikembangan dalam bagian
yang lebih luas dan terperinci yang disusun secara tingkatan yang telah
ditentukan.
g. Angket yaitu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dan
informasi yang berisi pendapat, paham dari peserta didik yang
dilaksanakan secara tertulis yang dipengaruhi oleh pemikiran diri sendiri.
Studi kasus adalah kegiatan untuk memahami sebuah masalah yang
dialami peserta didik dengan mencari informasi terkait dengan masalah
tersebut yang natinya kemudian akan disimpulkan dan dicari
penyelesaiannya, hal yang bisa dipahami dalam masalah-maslaah peserta
didik misalnya dalam masalah lamban dalam memahami materi.
h. Catatan insedental yaitu cacatan yang berisi tentang kejadian singkat yang
dialami atau yang telah dilakukan peserta didik dalam pembelajaran,
kejadian tersebut biasanya tingkah laku peserta didik.
i. Sosiometri adalah suatu prosedur yang digunakan untuk merangkum,
menyusun dan mengkualifikasikan pendapat-pendapat peserta didik
dalam menanggapi teman sebaya mereka bagaimana hubungan mereka
dengan para teman-temannya.
j. Inventori kepribadian merupakan tes kepribadian yang jawaban dari
peserta didik tersebut benar semua, namun jawaban tersebut tetap akan
dikualifikasikan sehingga dapat dibandingkan dengan kelompok lain.
k. Teknik pemberian penghargaan kepada peserta didik bertujuan untuk
memberikan semangat, motivasi dan meningkatkan perhatian peserta

6
didik dalam pembelajaran, serta memodifikasi tingkah laku peserta didik
dari yang kurang positif menjadi lebih produktif lagi dengan adanya
hadiah kepada peserta didik yang terbaik.
Sementara itu, menurut Fadillah (211-212) dalam Kurikulum 2013 penilaian
sikap dilakukan melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan
jurnal. Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan berkelanjutan baik
dilakukan langsung maupun tidak langsung. Penilaian diri merupakan teknik
penilaian dengan meminta peserta didik untuk menilai dirinya sendiri dalam hal
kekurangan dan kelebihannya dalam konteks pecapaian kompetensi. Penilaian antar
teman hampir sama dengan penilaian diri akan tetapi penilaian ini dilakukan oleh
antar peserta didik menilai peserta didik lain, sedangkan jurnal merupakan catatan
dari guru mengenai kejadian atau tingkah laku peserta didik.

Selain itu, menurut Suwandi (2010:114) teknik penilaian diri adalah teknik
penilaian dengan cara peserta didik diminta untuk menilaia dirinya sendiri yang
berkaitan dengan proses belajar mengajar, tingkat pecapaian kompetensi dalam mata
pelajaran tertentu. Penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur 3 ranah
kompetensi yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah afektif dalam
pelaksanaannya guru dapat memberikan tugas kepada peserta didik untuk membuat
tulisan berkaitan dengan refleksi dirinya selama mengikuti pembelajaran. Kemudian
refleksi dirinya akan dinilai sendiri berdasarkan indikator yang sudah ditetapkan
oleh guru. Banyak keuntungan dari penilaian diri ini, salah satunya yaitu peserta
didik mengetahui kelemahan dan kekuatannya dalam pembelajaran, sehingga ia
akan terus meningkatkan potensi yang ia punya agar dalam proses pembelajaran bisa
lebih baik.

Pelaksanaan penilaian diri biasanya dilakukan beberapa kali, hal ini dikarenakan
hasil penilaian diri awal atau yang baru tidak dapat langsung dipercaya. Menurut
Suwandi (2010:142) terdapat dua kemungkinan data hasil penilaian diri tidak dapat
langsung dipercaya, pertama karena peserta didik belum terbiasa sehingga akan
banyak melakukan kesalahan dalam melakukan penilaian. Kedua karena penilaian

7
ini dilakukan sendiri oleh peserta didik, maka sifat subjektifitas itu kemungkinan
terjadi. Demi mendapatkan nilai yang bagus maka peserta didik kemungkinan akan
menilai dirinya tidak sesuai dengan kenyataan dalam dirinya, bisa dikatakan untuk
mengejar nilai baik. Oleh karena itu, guru sebaiknya tidak hanya sekali melakukan
penilaian diri. Apabila hasil penilaian pertama sudah didapat, maka guru harus
menelaah dan mengkoreksi lagi hasil penilaian peserta didik. Jika peserta didik
masih menunjukan kesalahan, maka guru mengembalikannya kepada peserta didik
dan dilakukan penilaian diri untuk yang kedua kalinya, begitu seterusnya sampai
hasilnya maksimal.

D. Pengolahan Hasil Penilaian Afektif

Menurut Sudjana (2009:106) skor hasil pengukuran disebut dengan skor


mentah, agar skor mentah ini menjadi nilai yang lebih bermakna dan dapat
dijadikan untuk menentukan prestasi dan kemampuan peserta didik, maka harus
diolah menjadi skor masak. Proses pengubahan skor mentah menjadi skor masak
inilah yang dinamakan pengolahan data. Setelah semua data penilaian terkumpul,
maka langkah selanjutnya yaitu pengolahan data. Karena penialian afektif biasanya
dihasilkan dari penilaian non tes, maka hasil dari penilaian afektif adalah dalam
bentuk data kualitatif, yang kemudian akan dideskripsikan sebagai penjelasan nilai
afektif.

Menurut Suwandi (2010:135-136) data hasil penilaian afektif didapat dari


pengamatan guru yang dilengkapi dengan catatan-catatan guru dan pertanyaan
langsung. Catatan dari guru ini berkaitan dengan kejadian-kejadian di dalam kelas,
baik yang positif maupun yang negatif. Kejadian-kejadian yang diambil adalah
kejadian yang menonjol pada peserta didik, oleh karena itu biasanya peserta didik
yang pintar dan berperilaku tidak baik di kelas akan mudah dikenali karena
mendapat perhatian dari guru. Dari catatan itu guru dapat menggolongkan peserta
didik masuk dalam kategori yang sudah guru buat. Kemudian guru dapat
berkonsultasi dengan guru Bimbingan Konseling untuk berdiskusi tentang peserta
didik dan mencocokan hasil penilaian afektif dari kedua belah pihak.

8
Ada beberapa cara dalam mengolah data dari nilai non tes, Sudjana (2009:128)
mengemukakan cara mengola data dari hasil wawancara, kuesioner, observasi,
skala.

a. Pengolahan data hasil wawancara dan kuesioner

Data hasil wawancara dan kuesioner biasanya dicari frekuensinya


dalam setiap jawaban. Frekuensi terbanyak cenderung mendekati
jawaban yang sebenarnya. Sebaliknya, frekuensi yang paling rendah
cenderung merupakan jawaban yang tidak mendekati dengan
kenyataan objek yang dinilai. Dari hasil wawancara dan kuesioner ini
guru dituntut untuk benar-benar teliti, dan mampu membandingkan
jawaban dari peserta didik dengan hasil penilaian lain misalnya
observasi. Nantinya hasil dari pengolahan data bisa maksimal dan
mendapatkan jawaban yang benar dan mendekati kenyataan dalam
situasi pembelajaran.

b. Pengolahan data hasil obeservasi

Hasil observasi bersifat subjektif, karena hasilnya sesuai dengan


pengamatan yang dilakukan seorang individu. Data hasil observasi
bergantung pada pedoman observasi tersebut, terutama dalam
mencatat dan mendokumentasikan setiap objek pengamatan. Bentuk
dari hasil observasi adalah pernyataan-pernyataan yang dilihat si
pengamat. Pengolahan pernyataan-pernyataan tersebut agar menjadi
nilai afektif yang masak, caranya dengan menganalisis dan
menginterpretasikan hasil amatan tersebut. Selain menggunakan cara
tersebut, dapat pula menggunakan pengamatan yang sudah diberi
skor atau skala nilai. Pada setiap aspek yang akan dinilai sudah
tersedia kolom skor yang nantinya akan diisi oleh pengamat,
misalnya nilaianya A, B, C, dan D, atau dapat pula menggunakan
angka yaitu 4, 3, 2, dan 1. Dari skor yang sudah diisi oleh guru atau

9
pengamat, maka akan dijumlahkan dan dicari rata-ratanya, yang
kemudain dapat dikonveksikan kedalam standar ratusan atau
puluhan.

c. Pengolahan data hasil skala penilaian dan skala sikap

Pengolahan data baik dari skala penilaian dan skala sikap tak jauh
beda dengan pengolahan data hasil observasi yang menggunakan
skor atau nilai. Caranya yaitu dengan menentukan skor dari seluruh
butir soal, kemudian akan dirata-rata dengan cara membagi jumlah
skor dengan jumlah pertanyaan, yang terakhir meninterpertasikan
jawaban yang baik dan jawaban yang tidak baik. Misalnya peserta
didik sangat bagus dalam menanggapai materi, tetapi kurang dalam
mengahargai pendapat peserta didik lainnya.

E. Pengembangan Instrumen Skala Sikap

Djaali dan Muljono (2008:28) menuliskan bahwa skala Likert adalah skala
yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang
atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Bentuk
pertanyaan yang menggunakan skala Likert adalah pertanyaan positif dan
pertanyaan negatif. Djaali dan Muljono melanjutkan penskoran pada skala Likert
terdiri dari :

1) Untuk pertanyaan positif diberi skor 5, 4, 3, 2, 1, dan untuk pertanyaan


negatif diberi skor 1, 2, 3, 4, 5.
Langkah-langkah pengembangan skala Likert dalam Zakaria (2006:
antara lain :
1. Menentukan objek sikap yang akan dikembangkan skalanya,
2. Menyusun kisi-kisi instrumen,
3. Menulis butir-butir pertanyaan dengan memperhatikan kaedah
sebagai berikut :
a. Hindari kalimat yang mengandung banyak interpretasi;

10
b. Rumusan pernyataan hendaknya singkat;
c. Satu pernyataan hendaknya mengandung satu pikiran yang
lengkap;
d. Sedapat mungkin, pernyataan hendaknya dirumuskan dalam
kalimat yang sederhana;
e. Hindari penggunaan kata-kata: semua, selalu, tidak pernah,
dan sejenisnya;
f. Hindari penyataan tentang fakta atau dapat diinterpretasikan
sebagai fakta.

4) Antara pernyataan positif dan pernyataan negatif hendaknya relative


berimbang, dan

5) Setiap pernyataan diikuti dengan skala sikap (bisa genap, misalnya


5 atau 6 dan bisa ganjil, misalnya 5 atau 7.

F. Penilaian Sikap Berdasarkan Kurikulum 2013

Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi


faktor subjektivitas penilai.
2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana,
menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan.
3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4. Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar
pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
5. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur,
dan hasilnya.

11
6. Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.
Pendekatan penilaian yang digunakan adalah Penilaian Acuan Kriteria
(PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang
didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM
merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh
satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik
Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik
peserta didik.

Berdasarkan Permendikbud no. 66 tahun 2013, teknik dan instrument


penilaian yang digunakan dalam Kurikulum 2013 mencakup penilaian kompetensi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Adapun cakupan penilaian kompetensi sikap pada kurikulum 2013 yaitu


observasi, penilaian diri, penilaian antar teman, dan jurnal. Instrumen yang
digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarteman adalah daftar
cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal
berupa catatan pendidik diantaranya :

1. Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara


berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang
berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati.
2. Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta
didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam
konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa
lembar penilaian diri.
3. Penilaian antar peserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara
meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian
kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian antar
peserta didik.

12
Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi
informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang
berkaitan dengan sikap dan perilaku.

Ranah afektif mencakup penilaian watak perilaku seperti sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral. (Andersen, 1981) Kemampuan afektif berhubungan erat
dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin,
komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan
mengendalikan diri. Popham (1995) dalam Djemari Mardapi (2004) menambahkan
ranah afektif dapat menentukan keberhasilan belajar seseorang. Sehingga satuan
pendidikan perlu membuat program penilaian yang mengoptimalkan ranah afektif.
Penilaian tersebut memperhatikan sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral
peserta didik saat pembelajaran.

Hal yang perlu dinilai dalam penilaian ranah afektif menurut Zaenal (2009)
adalah pertama, kompetensi afektif yang ingin dicapai dalam pembelajaran
meliputi tingkatan pemberian respon, apresiasi, penilaian dan internalisasi.

Kedua, sikap dan minat peserta didik terhadap mata pelajaran dan proses
pembelajaran. Dalam Andersen (1981:5) ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang
penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.

Sikap merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau


tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan
menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran,
tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian
sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.

Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus,
aktivitas,

13
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Penilaian
minat dapat digunakan untuk mengetahui minat peserta didik sehingga mudah
untuk pengarahan dalam pembelajaran, mengetahui bakat dan minat peserta didik
yang sebenarnya, pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas, mengelompokkan peserta
didik yang memiliki minat sama, acuan dalam menilai kemampuan peserta didik
secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
bahan pertimbangan menentukan program sekolah, meningkatkan motivasi belajar
peserta didik.

Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan


dan kelemahan yang dimiliki. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang
karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri,
dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi
konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik
dengan tepat. Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebiha
dari penilaian diri adalah sebagai pendidik mampu mengenal kelebihan dan
kekurangan peserta didik, peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang
sudah dicapai, pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya,
memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik, peserta didik
lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran, dapat digunakan untuk
acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.

Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti


pembelajaran, peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya, melatih
kejujuran dan kemandirian peserta didik, peserta didik mengetahui bagian yang
harus diperbaiki, peserta didik memahami kemampuan dirinya, pendidik
memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik, mempermudah
pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi
pembelajaran yang dilakukan, peserta didik belajar terbuka dengan orang lain,

14
peserta didik mampu menilai dirinya, peserta didik dapat mencari materi sendiri,
peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

Tyler (1973:7) endefinisikan nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang
dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan
ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh
karena itu satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan
menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk
memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap
masyarakat.

Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang
lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Moral berkaitan
dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

Penilaian adalah rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan


menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan
secara sistematis, akurat, dan berkesinambungan dengan menggunakan alat peraga
tertentu seperti soal, lembar pengamatan, sehingga menjadi informasi yang
bermakna dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pencapaian kompetensi.
(Kunandar 2014: 66). Penilaian sikap merupakan aplikasi suatu standar atau sistem
pengambilan keputusan terhadap sikap. Kegunaan utama penilaian sikap sebagai
bagian dari pembelajaran adalah refleksi (cerminan) pemahaman dan kemajuan
sikap peserta didik secara individual. Sikap bermula dari perasaan yang terkait
dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga
sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh
seseorang. Sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perilaku atau tindakan yang
diinginkan. Zakaria (2006: 4-7) tentang teori perubahan sikap yaitu teori
pembelajaran (learning theory), teori ini melihat perubahan sikap sebagai suatu
proses pembelajaran. Teori ini menjelaskan ciri-ciri dan hubungan antara stimulus
dan respon.

15
Teori fungsional (functional theory), teori ini menjelaskan bahwa sikap
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Sebagai alat dengan perubahan sikap
diharapkan akan memperoleh. Teori pertimbangan sosial (social judment theory),
teori ini memberikan penekanan pada persepsi dan pertimbangan individu tentang
objek, orang, atau ide yang dievaluasinya. Teori konsistensi (consistency theory),
teori konsistensi dikembangkan dari asumsi umum bahwa manusia akan berusaha
untuk mewujudkan keadaan yang serasi dalam dirinya. Jika terjadi suatu keadaan
yang tidak serasi, misalnya terjadi pertentangan antara sikap dan tingkah laku,
maka manusia akan berusaha untuk menghilangkan realita tersebut dengan
mengubah salah satu sikap atau tingkah laku.

Zakaria (2006:11) menyebutkan bahwa pengukuran sikap dapat dilakukan


dengan beberapa cara. Cara tersebut antara lain: observasi perilaku, pertanyaan
langsung, laporan pribadi, penggunaan skala sikap. Artikel ini mengkhususkan
pengukuran sikap menggunakan skala sikap. Zakaria (2006:13) melanjutkan
bahwa model yang dikembangkan oleh pakar untuk mengukur sikap diuraikan
menjadi dua yaitu Skala Diferensiasi Semantik dan Skala Likert. Dua skala ini
dipilih karena mudah dan bermanfaat untuk diimplementasikan oleh pengajar
dalam proses pembelajaran di kelas. Penelitian ini mengkhususkan pengukuran
sikap menggunakan skala Likert. Karena instrumen yang dikembangkan dalam
bentuk checklist. Berdasarkan langkah-langkah pengembangan dijelaskan Zakaria
(2006: 17) di buat angket skala sikap yang terdiri dari 22 butir pertanyaan dengan
jawaban pertanyaan antara lain: Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (K),
Jarang (JR), Tidak Pernah (JTP) yang didasarkan pada kisi-kisi instrumen skala
sikap. Gambar di bawah ini menunjukkan kisi-kisi instrumen dan angket yang telah
dikembangkan.

16
Skala Sikap

Gambar 1. Instrumen Skala Sikap

Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur


tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang meliputi ranah
menerima (receiving), merespon (responding), menilai (valuing), mengorganisasi
(organization), dan mengkarakterisasi (characterization)” (Kunandar, 2014: 104).
Kunandar (2014) menegaskan bahwa ranah afektif merupakan ranah yang
berkaitan dengan sikap.

a Receiving
Receiving merupakan tingkatan berpikir terendah dari ranah afektif. Level
receiving berkonsentrasi pada kepekaan siswa terhadap fenomena dan stimulus
(Krathwohl, Bloom dan Masia, 1964: 98). Receiving ditandai dengan
kemampuan seseorang untuk belajar dari orang lain. Dalam ranah ini termasuk
juga kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala
atau rangsangan dari luar (Sudjana, 2009: 30).

b.Responding
Responding ditandai dengan kemampuan seseorang untuk berpartisipasi
dengan baik sesuai dengan konteks. Pada tingkatan ini, siswa termotivasi untuk
terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang berlangsung (Krathwohl, Bloom dan
Masia, 1964: 118). Aktifitas menanggapi dan menjawab terjadi pada level ini

17
dan memberi kesan bahwa level minat dan motivasi telah muncul (Davies, 1979:
155).

c. Valuing
Valuing berhubungan dengan tingkah laku yang mengindikasikan
ketertarikan (preference) siswa terhadap sains (Trowbridge dan Bybee, 1986:
131). Prilaku yang menandai pencapaian valuing adalah keinginannya sendiri
untuk patuh dan memiliki komitmen untuk menjaga nilai yang ia patuhi
(Krathwohl, Bloom dan Masia, 1964: 140). Uno dan Koni (2012)
menambahkan bahwa pada level valuing siswa mau menerima sistem nilai
tertentu pada diri individu, seperti menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu,
mengapresiasi sesuatu dan kesungguhan untuk melakukan suatu kehidupan
sosial (Uno dan Koni, 2013: 64).
d.Organization
Organizing berarti siswa membawa bersama nilai sains yang berbeda dan
membangun sistem nilai yang konsisten. Hasil pembelajaran organizing adalah
konseptualisasi nilai sains dan pengorganisasian sistem nilai berdasarkan sains.
Siswa mengorganisasikan filosofi kehidupan berdasarkan nilai sains
(Trowbridge dan Bybee, 1986: 131). Uno dan Koni (2012) menambahkan
bahwa dalam organizing siswa menerima berbagai sistem nilai yang berbeda-
beda berdasarkan sistem nilai yang lebih tinggi, seperti menyadari pentingnya
keselarasan antara hak dan tanggung jawab, bertanggung jawab terhadap hal
yang telah dilakukan, memahami dan menerima kelebihan dan kekurangan diri
sendiri, atau menyadari peranan perencanaan dalam memecahkan suatu
permasalahan (Uno dan Koni, 2012: 64).
c. Characterization
Characterizing berarti, sebagai akibat, individu telah menbangun gaya
hidup berdasarkan sistem nilai sains yang lebih disukai. Prilaku individu
konsisten dan dapat diprediksi berkaitan dengan nilai sains. Hasil pembelajaran
yang berhubungan dengan pola general prilaku yang selaras dengan level ini
(Trowbridge dan Bybee, 1986: 131). Menurut Uno dan Koni (2012) level

18
characterization merupakan level tertinggi dari ranah afektif, pada level ini
siswa sudah memiliki sistem nilai dan selalu menyelaraskan prilakunya sesuai
dengan sistem nilai yang dipegang, seperti bersikap objektif terhadap segala hal
(Uno dan Koni, 2012: 64).

Berdasarkan uraian tersebut, maka penilaian pada kompetensi sikap atau ranah
afektif dilakukan dengan cara mengukur 5 tingkatan berpikir afektif menurut
Krathwohl (1964) yang meliputi receiving, responding, valuing, organization dan
characterization.

Dari uraian di atas, teknik penilaian teman sejawat dan wawacara


membutuhkan manajemen waktu khusus sehingga dikhawatirkan mengurangi
waktu belajar siswa, sedangkan jurnal akan menambah beban guru karena harus
mecatat kelebihan dan kekurangan siswa secara tertulis serta memerlukan
kecermatan dari guru agar catatan yang dihasilakn akurat. Berdasarkan wawancara,
pelaksanaan penilaian ranah afektif dilakukan dengan cara pengamatan secara
umum karena keterbatasan guru dalam melakukan pengamatan siswa yang
jumlahnya cukup banyak. Hal ini senada dengan penelitian Amelia (2011) yang
mengemukakan bahwa penilaian ranah afektif dilakukan secara subjektif dengan
pengamatan secara umum (Amelia,2011:1). Oleh karena itu teknik penilaian pada
ranah afektif yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah teknik penilaian diri
(self assessment). Hal ini dikarenakan teknik penilaian diri tidak perlu manajemen
waktu khusus dan guru memperoleh masukan objektif mengenai daya serap siswa
(Kunandar, 2014: 135).

19
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang didapat dari penulisan ini sebagai berikut :

1) Skala Likert adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang.
2) Bentuk pertanyaan yang menggunakan skala Likert adalah pertanyaan
positif dan pertanyaan negatif dalam bentuk checklist.
3) Pengembangan instrumen yang dibuat berupa angket skala sikap yang
terdiri dari 22 butir pertanyaan dengan jawaban pertanyaan antara lain :
Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (K), Jarang (JR), Tidak Pernah
(JTP) yang didasarkan pada kisi-kisi instrumen skala sikap.
4) Teknik dan instrumen penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013
mencakup penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Saran penulis adalah perlu ada penelitian lanjutan tentang pengembangan
instrumen penilaian sikap agar lebih berdayaguna dalam penilaian
kemampuan peserta didik.

Dapat ditarik suatu pengertian bahwa dalam pembelajaran sejarah tidak


hanya menilai peserta didik dalam segi pengetahuan saja, akan tetapi penilaian
dalam ranah afektif dan psikomotorik juga perlu dilakukan. Hal tersebut
membuat tujuan dari pembelajaran sejarah dan nilai-nilai yang terkandung
dalam materi-materi sejarah dapat memberikan hasil yang maksimal dan efektir
dan tersampaikan dengan baik kepada peserta didik. Hasil belajar afektif dan
psikomotorik sangat luas sifatnya, sehingga lebih sulit dipantau namun
mempunyai nilai yang sangat berarti untuk peserta didik dalam menjalani
kehidupan sehari-hari dilingkungannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Alma. 2011. “Pengembangan Instrumen Penilaian afektif Siswa SMA


Kelas XII Pada Materi Kenaikan Titik Didih.

Andersen, Lorin. W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools.


Boston: Allyn and Bacon.

Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Djaali, H., Pudji Muljono. (2008). Pengukuran dalam Bidang Pendidikan.


Jakarta: Grasindo.

Djemari Mardapi. (2004). Penyusunan Tes Hasil Belajar. Yogyakarta:


Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah Teaching of History.


Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Krathwohl, Bloom dan Masia. 1964.Taxonomy of Educational Objectives Book 2


Affective Domain. New York: Longman Inc.

Kunandar. (2014). Penilaian Autentik Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Fitria, MZ. (2017). Pelaksanaan Penilaian Sikap Siswa pada Kurikulum 2013 Kelas
1 di SD Negeri 1 Tanjung Boyolali. Univeritas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/54218/. Di akses tanggal 13 Agustus 2019.

Getzels. (1966). Perspectives in Creativity. Amerika: Aldine Transaction.

Permendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia Nomor 66 tahun 2013 Tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.

Sabrina HN, dkk. (2017). Pengembangan Instrumen Penilaian Sikap Berbasis


Kurikulum 2013 pada Pembelajaran Kimia SMA. Jurnal Pendidikan Sains
Indonesia. Vol. 05, No.01. Aceh : Universitas Syiah Kuala.

21
Sudjana, Nana. (2009) . Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Sukiman. 2012. Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogjakarta: Insan Madani.

Suwandi, Sarwiji. 2010. Model Assesmen Dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma


Pustaka.

Trowbridge, Leslie W dan Rodger W. Bybee. 1986. Becoming a Secondary School


Science Teacher Fourth Edition. Ohio: Merril Publishing Company.

Tyler, Ralph W. (1973). Basic Principles Of Curriculum And Instruction,


London: The University of Chicago Press.

Umam, MZ. (2017). Pengembangan Instrumen Penilaian Sikap dan


Karakter Siswa pada Mata Pelajaran Matematika SMK. Tesis. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.

Uno dan Koni. 2012. Assessmen Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Zaenal, A., (2009). Evaluasi Pembelajaran Prinsip Teknik. Prosedur. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Zakaria, Ramli. (2006). Pedoman Penilaian Sikap dalam (Classroom based


assessment). Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan.

22

Anda mungkin juga menyukai