Anda di halaman 1dari 15

Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik oleh Humas

Pemerintah dan Kebebasan Masyarakat untuk Mendapatkan

Informasi

Brilliantine Yusfa Tri Ananda


18/428173/SP/28382

Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM

(email: brilliantineyusfa@mail.ugm.ac.id)

Absctract: Public’s freedom to access information from the government is obtained after
The Post-Soeharto era (Reformasi). To implement democracy and give the public their
right to access information, the government established Public Information Openness.
The government’s public relations have a role to provide information and transparency to
the public. This action is done to maintain the government’s positive image, to establish a
good relationship with the public, and to get support from the public. There are still many
who think that the government’s public relations are the government’s propaganda tool
and their performance in implementing Public Information Openness is still not optimal.

Keywords: Government; Public; Public Information Openness; The Government’s


Public Relations

Abstrak: Kebebasan masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah


didapatkan setelah era Reformasi. Untuk menjalankan demokrasi dan
memberikan hak masyarakat atas mendapatkan informasi, maka dibentuklah
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Humas pemerintahlah yang
memiliki peran untuk memberikan informasi dan transparansi kepada
masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga citra positif pemerintah, menjalin
hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat, dan untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun masih banyak yang
memandang bahwa humas adalah alat propaganda pemerintah dan kinerja
humas dalam melaksanakan amanat UU KIP masih belum optimal.

Kata Kunci: Humas Pemerintah; Masyarakat; Pemerintah; UU KIP


Pendahuluan
Pemerintah semakin sadar akan pentingnya relasi yang baik dengan masyarakat.

Pada dasarnya, masyarakat membutuhkan keterbukaan atau transparansi

tentang bagaimana kerja pemerintah dan apa yang pemerintah telah hasilkan

dari kerja mereka. Dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance),

ada prinsip transparansi yang bertanggung jawab. Menggunakan prinsip

transparansi, maka hubungan antara pemerintah dan masyarakat akan terjalin

dengan baik sebab ada komunikasi yang terjadi di antara pemerintah dan

masyarakat dan tidak ada kegiatan yang dirahasiakan dari masyarakat. Menurut

Tahir dalam Tahir (2012), prinsip transparansi juga membuka kemungkinan bagi

masyarakat untuk mengemukakan tanggapan, usul, maupun kritik terhadap

kebijakan pemerintah, tidak hanya pemerintah memberikan keterbukaan dari

proses dan kemajuan dari suatu program atau aktivitas mereka (p. 2).

Komunikasi yang dijalin oleh pemerintah untuk menjalankan prinsip

transparansi dapat menggunakan jasa dari Public Relation atau Hubungan

Masyarakat. Hubungan masyarakat menurut Howard Bonham dalam Prasetyo

(2010) adalah “sebagai suatu seni untuk menciptakan pengertian publik yang

lebih baik, sehingga dapat memperbesar kepercayaan publik terhadap seseorang

atau organisasi” (p. 2). Tidak hanya untuk menjalin komunikasi dengan

masyarakat dan memberikan keterbukaan dari kegiatan pemerintah, namun

humas juga memiliki tugas untuk membangun citra positif pemerintah. Jika citra

pemerintah sudah positif, maka untuk mempertahankan citra positif tersebut

juga merupakan tugas dari humas. Mempertahankan citra positif merupakan hal

yang tentunya tidak mudah, karena jika citra positif tersebut tercoreng sedikit

saja maka akan sulit untuk mengembalikan citra positif tersebut. Di sini lah

peran humas sebagai identitas perusahaan. Selain tugas tersebut, menurut

Lattimore (2010) dalam Herlina (2015), humas melaksanakan tiga peran:

Pertama sebagai pemberi penjelasan, yaitu orang yang bekerja sebagai

konsultan dalam mendefinisikan masalah, menyarankan pilihan dan


memantau implementasi kebijakan. Kedua sebagai fasilitator komunikasi,

yaitu orang yang biasanya bertugas dalam suatu organisasi yang

berkaitan langsung dengan lingkungan yang berperan untuk menjaga

hubungan dan komunikasi dua arah. Ketiga sebagai fasilitator pemecah

masalah, yaitu orang yang bermitra dengan senior untuk

mengidentifikasi dan memecahkan masalah (pp. 493-494).

Sementara itu, masyarakat juga memiliki peran dalam berpartisipasi

dalam politik dan sosial. Partisipasi sosial adalah hubungan interaksi

perseorangan atau organisasi dengan negara, dan seringkali dihubungkan

dengan demokrasi politik,perwakilan, dan partisipasi tak langsung. Partisipasi

sosial diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek

pembangunan. Model partisipasi sosial sering dipergunakan pada masa orde

baru, sehingga partisipasi sosial selalu melibatkan masyarakat dalam

pembangunan, meskipun dalam kenyataanya partisipasi diartikan sebagai

kewajiban masyarakat membantu pemerintah dan bukan hak masyarakat untuk

mendapat bantuan dari pemerintah (Lubis, 2007, p. 74). Untuk ini pemerintah,

humas pemerintah, dan masyarakat diharapkan dapat saling bekerja sama untuk

membawa negara ini menjadi lebih baik.

Artikel jurnal ini menawarkan pemahaman tentang pentingnya humas

pemerintah dalam menjalin relasi yang baik dengan masyarakat dan menjaga

citra positif dari pemerintah. Selain itu juga terdapat pembahasan tentang

transparansi, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan adanya

masalah yang terjadi dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Dari semua

hal di atas maka sepatutnya pemerintah menerapkan tata kelola pemerintahan

yang baik (good governance) dan memanfaatkan jasa humas yang ada. Hal

tersebut dilakukan untuk menjaga citra positif pemerintah dan untuk mejalin

hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat, sebab selain tugas-

tugas tersebut, humas juga merupakan pembentuk opini masyarakat.


Pembahasan
Pada era tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), peran humas

dalam pemerintahan tidak lagi dapat dianggap ringan. Setelah era Reformasi

tahun 1998, maka demokrasi dan kebebasan pers, media massa, dan masyarakat

sipil untuk mendapatkan informasi dari pemerintah semakin transparan. Untuk

melaksanakan demokrasi dan hak untuk mendapatkan informasi, pihak yang

bertugas untuk memberikan informasi dari pemerintah kepada masyarakat

adalah humas, yang mana menurut Idris (2014) humas memiliki kewajiban

untuk menyediakan informasi kepada masyarakat dan menjamin hak warga atas

informasi dan meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan

kebijakan, serta menjalankan tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan

efektif (p. 1147). Menurut Sedarmayanti (2007) dalam Sari (2012), “transparansi

adalah tata kelola pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap

rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun daerah” (p. 724). Selain menurut

Sedarmayanti, Lalolo (2003) dalam Sundari (2018) juga menyebutkan bahwa

“transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap

orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,

yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan serta hasil yang dicapai“

(p. 158). Dari kedua pengertian tersebut maka dapat diambil bahwa transparansi

adalah tata kelola pemerintahan yang baik yang memberi akses bagi setiap orang

untuk memperoleh informasi tentang pemerintahan.

Menjalankan tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan efektif

merupakan tantangan baru bagi humas pemerintah. Dahulu tugas humas

pemerintah adalah membentuk citra pemerintah dengan melaksanakan perintah

dari pemerintah untuk memberikan citra yang positif dari pemerintah ke

masyarakat, menyebarkan propaganda pemerintah, penyediaan informasi dari

pemerintah ke masyarakat tidak transparan. Masyarakat juga belum memiliki

kesempatan untuk ikut andil dalam pembuatan kebijakan, atau pun memberi
kritik, usul, atau tanggapan terhadap kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan

oleh pemerintah. Press release dari Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2008)

dalam Rifai (2008) menyebutkan bahwa sebelum adanya UU KIP dan belum ada

upaya untuk membentuk UU KIP, hak publik atas informasi di Indonesia sangat

minim dan terbatas malah cenderung tertutup (pp. 113-114). Tidak jarang

pengguna dan pencari informasi mendapat kesulitan dari pihak-pihak yang

seharusnya membuka dan memberi informasi secara bertanggung jawab, karena

meskipun sudah ada beberapa undang-undang sektoral yang mengakui hak

publik atas informasi, tetapi tidak mengatur mekanisme pelaksanaan hak

tersebut.

Sejak demokrasi semakin merebak setelah reformasi, maka pintu

demokrasi dan kebebasan memperoleh informasi pun juga semakin terbuka

lebar, di mana tidak tersedianya atau terbatasnya informasi dari pemerintah

pada pemerintahan sebelumnya sudah mulai berkurang. Menurut

Schwarzmantel (1994) dalam Retnowati (2012), terdapat tiga ide dasar untuk

menetapkan suatu sistem pemerintahan yang demokratis, yaitu:

Pertama, Ide Partisipasi yang mengandung pengertian bahwa rakyat ikut

serta dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang politik dan

bidang pemerintahan, baik melalui perwakilan maupun secara langsung,

dengan pernyataan pendapat baiklisan maupun tulisan yang harus

dilindungi secara konstitusi. Kedua, Ide Pertanggungjawaban

permerintah terhadap rakyat yang berarti bahwa pemerintah harus

mempertanggungjawabkan atas semua tindakannya kepada rakyat

(accountability) sebab pemerintah melaksakanan fungsinya berdasarkan

wewenang yang diberikan oleh rakyat. Ketiga, Ide Kesamaan, dalam hal

ini kesamaan dalam demokrasi, berarti kesamaan berpartisipasi dalam

proses pengambilan keputusan dalam hukum dan pemerintahan (p. 56).

Masyarakat yang sebelumnya tidak dapat berkontribusi dalam

pembuatan kebijakan dan memberi tanggapan kepada pemerintah mendapat


kebebasan mereka. Maka dari itu, maka lahir Undang-Undang No. 14 tentang

Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang disahkan pada 3 April 2008 oleh

DPR RI, yang berlaku efektif mulai tanggal 1 Mei 2010. UU KIP lahir sebab

dengan Indonesia sebagai negara yang demokratis, maka pemerintah harus

dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewajibannya serta

pembuatan kebijakan publik kepada masyarakat. Lahirnya UU KIP bertujuan “…

bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan

pribadi dan dan lingkungan sosialnya serta bagian penting dari ketahanan

nasional sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945” (Prabowo, Manar, & Adhi, 2014, p.

3).

Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan

segala jenis saluran yang tersedia. Melalui pasal ini, untuk memiliki andil dalam

pembentukan kebijakan publik. masyarakat dapat menyampaikan informasi

dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia kepada humas

pemerintah, dan diharapkan pemerintah mau menerima segala jenis masukan,

tanggapan, atau kritik dari masyarakat, karena kebijakan publik yang dibuat

oleh pemerintah akan berdampak bagi masyarakat dan pemerintah harus

bertanggung jawab atas dampak apa saja yang muncul dari kebijakan tersebut.

Menurut Saragih (2009) dalam Saddu (2016), UU KIP merupakan bentuk

pengakuan hak masyarakat atas informasi dan bagaimana hak tersebut harus

dipenuhi dan dilindungi oleh negara, bagi masyarakat (p. 10). Sedangkan bagi

pemerintah maupun badan publik lainnya, UU KIP merupakan pedoman hukum

untuk memenuhi dan melindungi hak atas informasi masyarakat, untuk

menghindari terjadinya pelanggaran hak mayarakat atas informasi. UU KIP juga

merupakan jaminan agar keterbukaan tidak merugikan kepentingan setiap orang

dan kepentingan negara yang dilindungi oleh hukum. setiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali.

Persamaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai

kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian

hari (Saddu, 2016, p. 10).

Dengan adanya UU KIP, maka humas pemerintah harus cepat tanggap

dalam menanggapi tanggapan masyarakat yang kemungkinan besar muncul

setalah mendapatkan informasi tentang pemerintah melalui humas pemerintah.

Pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewajiban

tugas dan kewenangannya pada masyarakat dengan cara memberikan informasi

yang sejelas-jelasnya melalui humas pemerintah. Hal ini dilakukan untuk

menghindari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang dapat

memperburuk citra pemerintah sehingga dengan tidak adanya kepercayaan dari

masyarakat maka humas pemerintah akan sulit untuk memperbaiki citra

pemerintah.

Maka dari itu, peran UU KIP adalah untuk membantu pemerintah untuk

membangun terjalinnya hubungan yang baik dengan masyarakat. Lahirnya UU

KIP mengarah pada terbangunnya masyarakat informasi serta penyelenggaraan

negara yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Peran yang pertama

adalah UU KIP merupakan undang-undang pertama yang secara jelas dan tegas

menjamin hak publik akan informasi. Kedua, UU KIP menjadi perangkat hukum

yang mengedepankan transparansi bagi penyelenggaraan pembangunan yang

dilakukan warga, masyarakat, dan bangsa. Ketiga, UU KIP memberikan batasan-

batasan informasi-informasi apa saja yang boleh diakses oleh publik. Keempat,

sesuai dengan tujuan UU KIP, ada suatu keharusan bagi lembaga dan pejabat

negara untuk membuka akses informasi bagi publik dalam melaksanakan

amanat negara yang menjadi kewajiban mereka. Kelima, UU KIP telah

menempatkan lembaga tertentu yang disebut Komisi Informasi sebagai lembaga

negara yang terstruktur dari pusat sampai daerah (Rifai, 2008, pp. 104-105).
Meskipun telah disebutkan bahwa menyebarkan propaganda pemerintah

adalah tugas humas pemerintah pada saat sebelum Reformasi, tapi hal tersebut

dirasa juga masih berlangsung pada saat ini. Dalam Idris (2014), Sunarto (2011)

menyatakan bahwa hingga saat ini humas pemerintah masih dominan

mengunakan strategi komunikasi satu arah, dalam artian enggan menerima

kritik dari media massa, dan sebagian besar kerjanya adalah mengelola event

pemerintah (p. 1148). Menurut Mariana (2015), yang terjadi selama ini protes dan

penolakan terhadap suatu kebijakan kerap muncul akibat ketiadaan wacana

tandingan yang memperkayapertarungan argumen selama proses kebijakan

berlangsung (p. 220). Sehingga yang terjadi adalah substansi kebijakan hanya

melihat dari perspektif suara mayoritas, padahal yang seharusnya terjadi adalah

kebijakan publik merupakan suatu bentuk konsensus dari seluruh pihak yang

akan terkena dampak dari pemberlakuan kebijakan tersebut. Idris (2014) juga

menyebutkan bahwa cara pandang lama yang memandang bahwa humas adalah

alat untuk menyebarkan propaganda pemerintah dan belum optimalnya kinerja

humas dalam menjalankan amanat UU KIP. Menanggapi hal tersebut, maka

perlu dipahami bahwa pemerintah harus melindungi kepentingan semua orang

secara individual, dan dalam menjalankan hak atau wewenangnya untuk

menjaga keutuhan negara tidak boleh mengabaikan dan/atau melanggar hak

warga negaranya sesuai hukum yang berlaku di negara (Muhshi dalam Muhshi,

2018, p. 63). Humas dalam memperlancar jalannya interaksi dan penyebaran

informasi mengenai publikasi pembangunan nasional dapat dilakukan melalui

kerja sama dengan pihak pers, media cetak atau elektronik (Wahyudi, 2016, p. 4).

Humas memiliki kewajiban untuk menjaga citra positif instansi di mana humas

itu berada, dan citra positif pemerintah terhadap masyarakat akan dapat terlihat

dengan terjalinnya hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat

(Wahyudi, 2016, p. 4). Meinanda (2008) dalam jurnal milik Herlina (2015)

menyebutkan tujuan humas adalah sebagai berikut:

1) Tujuan dari Internal Public Relation


Tujuan dari internal public relation adalah untuk mencapai karyawanyang

mempunyai kegairahan kerja. Hal ini diwujudkan melalui:

a. Seorang pemimpin harus memperhatikan kepentingan-

kepentingan para pegawai baik ditinjau dari ekonomi, sosial, maupun

psikologis.

b. Membina “mental attitude” agar anggota atau karyawannya dapat

memberikan kesan positif pada publik.

c. Memperlakkan tipe karyawannya dengan sikap yang sama, tanpa

membeda-bedakan tingkat, pendidikan, dan lain-lain.

d. Mengadakan upgrading atau memberi kesempatan untuk

mengikuti pendidikan lainnya, yang secara psikologis dapat menaikkan

martabat mereka.

2) Tujuan dari External Public Relation

a. Untuk mempererat hubungan dengan orang di luar

badan/instansi hingga terbentuklah opini publik yang favorable terhadap

badan tersebut.

b. Mengadakan komunikasi yang efektif, yang sifatnya informatif

dan persuasif, yang ditujukan kepada publik di luar badan tersebut (p.

496).

Dari tujuan kedua tersebut yaitu tujuan dari humas eksternal, maka

tujuan dari humas eksternal pemerintah juga untuk mempererat hubungan

dengan orang di luar instansi hingga terbentuk opini publik yang favorable.

Favorable memiliki maksud baik dan menguntungkan, yaitu baik dan

menguntungkan bagi pemerintah. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa

masyarakat setuju dan tidak terjadi masalah dalam pembuatan kebijakan oleh

pemerintah yang mana masyarakat sendiri memiliki kesempatan untuk

berkontribusi dan pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Jika terjadi masalah dan

muncul ketidaksetujuan dari masyarakat, maka tugas humas pemerintah

mengadakan komunikasi yang efektif dengan masyarakat, yang bersifat


informatif dan persuasif. Hal ini bertujuan untuk membangun kembali citra

positif pemerintah dan membentuk opini masyarakat yang positif pula tentang

pemerintah.

Dengan menjalin hubungan yang baik akan menguntungkan pihak

pemerintah dan pihak masyarakat. Pemerintahan yang baik terjadi ketika

terdapat kesesuaian yang tinggi atara apa yang diinginkan masyarakat dan apa

yang dilakukan oleh pemerintahnya. Masyarakat dapat memanfaatkan

kemungkinan yang seluas-luasnya untuk ikut menentukan jalannya

pemerintahan melalui pengembangan partisipasi.diperlukan penegakan hukum

agar interaksi pemerintah dan masyarakt berjalan tertib (Hikmawati, Partisipasi

Elemen-Elemen Good Governance, para. 3).

Belum optimalnya kinerja humas dalam menjalankan amanat UU KIP

meskipun tujuan dari UU KIP sudah tertulis dalam UU KIP masih meninggalkan

masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan humas pemerintah.

Mendel (2003) dalam Rifai (2008) menyebutkan ada tiga hal mendasar yang

masih terabaikan (pp. 106-107). Pertama, pemerintah dan pihak terkait belum

terbiasa menunjuk juru bicara yang sangat paham tentang suatu masalah yang

akan disampaikan. Juru bicara harus selalu siap menerima, mengecek, mencerna,

dan mengolah informasi sebelum kemudian disampaikan kepada publik melalui

media massa. Kedua, maraknya fenomena keisengan di tengah frustasi publik

dan menyebarkan berita yang tidak jelas. Ketiga, klarifikasi pejabat terkait atau

yang berwenang tidak lebih dari ritual dan rutinitas tanpa diikuti pengakuan

yang jujur akan buruknya manajemen komunikasi publik.

Selain masih adanya hal yang diabaikan dan belum dilaksanakan oleh

pemerintah dan humas pemerintah, masih sering ditemui masalah yaitu

kebijakan publik yang diambil dan ditetapkan oleh seorang pejabat ditanggapai

salah oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena informasi yang diterima masyarakat

terkait maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut masih kurang, sehingga

penyampaian pesan yang baik serta mudah dimengerti maksud dan tujuannya
oleh masyarakat dan humas harus mampu menghadapinya (Kasmirus, 2013, p.

193).

Kesimpulan
Demokrasi dan kebebasan pers, media massa, dan masyarakat sipil untuk

mendapatkan informasi dari pemerintah semakin transparan setelah era

Reformasi tahun 1998. Pihak yang bertugas untuk memberikan informasi dari

pemerintah kepada masyarakat adalah humas yang kewajiban untuk

menyediakan informasi kepada masyarakat dan menjamin hak warga atas

informasi dan meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan

kebijakan, serta menjalankan tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan

efektif. Namun menjalankan tata pemerintahan yang seperti itu merupakan hal

yang baru dan tantangan baru bagi pemerintah. Sebelum adanya Undang-

Undang Keterbukaan Informasi Publik dan belum adanya upaya untuk

membentuk undang-undang ini, hak publik atas informasi di indonesia sangat

minim dan terbatas. Banyak pihak yang menjadi benturan bagi masyarakat

ketika ingin mendapatkan informasi, padahal pihak-pihak tersebut yang

seharusnya memberikan informasi dan transparansi bagi masyarakat yang

membutuhkan informasi tersebut. UU KIP merupakan bentuk pengakuan hak

masyarakat atas informasi dan bagaimana hak tersebut harus dipenuhi dan

dilindungi oleh negara, bagi masyarakat dan memiliki peran untuk membantu

pemerintah untuk membangun terjalinnya hubungan yang baik dengan

masyarakat.

Tidak tersedianya dan terbatasnya informasi dari pemerintah semakin

berkurang sejak demokrasi mulai merebak setelah Reformasi. Rakyat mulai

dapat berpartisipasi mengambil keputusan dalam bidang politik dan bidang

pemerintahan dan dilindungi secara konstitusi, dan semuanya memiliki

kesamaan berpartisipasi. Masyarakat yang sebelumnya tidak dapat berkontribusi

dalam pembuatan kebijakan dan memberi tanggapan kepada pemerintah


mendapat kebebasan mereka. Pemerintah juga harus dapat

mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada rakyat sebab kekuasaan

tertinggi suatu negara berada di tangan rakyat. Pasal 28 F UUD 1945

menegaskan bahwa bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan

sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis

saluran yang tersedia. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dari segala

jenis saluran yang tersedia dan pemerintah diharapkan mau menerima

tanggapan, kritik, atau usulan dari masyarakat sebab kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah akan berdampak pada masyarakat. Dengan adanya UU KIP, maka

humas pemerintah harus cepat tanggap dalam menanggapi tanggapan

masyarakat yang kemungkinan besar muncul setalah mendapatkan informasi

tentang pemerintah melalui humas pemerintah. Pemerintah harus dapat

mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewajiban tugas dan kewenangannya

pada masyarakat dengan cara memberikan informasi yang sejelas-jelasnya

melalui humas pemerintah.

Meskipun telah disebutkan bahwa menyebarkan propaganda pemerintah

adalah tugas humas pemerintah pada saat sebelum Reformasi, tapi hal tersebut

dirasa juga masih berlangsung pada saat ini. Saat ini humas pemerintah masih

dominan mengunakan strategi komunikasi satu arah, dalam artian enggan

menerima kritik dari media massa, dan sebagian besar kerjanya adalah

mengelola event pemerintah. Cara pandang lama yang memandang bahwa

humas adalah alat untuk menyebarkan propaganda pemerintah dan belum

optimalnya kinerja humas dalam menjalankan amanat UU KIP. Pemerintah

harus melindungi kepentingan semua orang secara individual, dan dalam

menjalankan hak atau wewenangnya untuk menjaga keutuhan negara tidak

boleh mengabaikan dan/atau melanggar hak warga negaranya sesuai hukum

yang berlaku di negara. Humas memiliki kewajiban untuk menjaga citra positif
instansi di mana humas itu berada, dan citra positif pemerintah terhadap

masyarakat akan dapat terlihat dengan terjalinnya hubungan yang baik antara

pemerintah dan masyarakat. Tujuan dari humas eksternal pemerintah juga

untuk mempererat hubungan dengan orang di luar instansi hingga terbentuk

opini publik yang baik dan menguntungkan, yaitu baik dan menguntungkan

bagi pemerintah. Masih sering ditemui masalah yaitu kebijakan publik yang

diambil dan ditetapkan oleh seorang pejabat ditanggapai salah oleh masyarakat.

Hal ini terjadi karena informasi yang diterima masyarakat terkait maksud dan

tujuan dari kebijakan tersebut masih kurang, sehingga penyampaian pesan yang

baik serta mudah dimengerti maksud dan tujuannya oleh masyarakat dan humas

harus mampu menghadapinya.

Daftar Pustaka
Herlina, S. (2015). Strategi komunikasi humas dalam membentuk citra

pemerintahan di kota malang. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

4(3), 493-500. Diakses dari https://publikasi.unitri.ac.id

Hikmawati. (2013). Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.

Jurnal Politik Profetik, 1(1). doi.org/10.24252/jpp.v1i1.1620

Idris, K. I. (2014). Peran humas pemerintah di era keterbukaan iniformasi

(Analisis isi permenpan-rb no. 6 tahun 2014 tentang jabatan fungsional

pranata humas dan angka kreditnya). Jurnal Universitas Paramadina, 11(3),

1147-1163. Diakses dari journal.paramadina.ac.id

Kasmirus, W. (2013). Peran kehumasan dalam membangun citra pemerintah di

kabupaten kutai barat. Jurnal Administrasi Reform, 1(1), 190-208. Diakses

dari http://e-journals.unmul.ac.id

Lubis, S. (2007). Partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik. Jurnal Demokrasi,

6(1), 73-78. Diakses dari http://ejournal.unp.ac.id


Mariana, D. (2015). Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. CosmoGov,

Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2), 216-229. Diakses dari

https://media.neliti.com

Muhshi, A. (2018). Pemenuhan hak atas informasi publik sebagai tanggung

jawab negara dalam mewujudkan good governance. Lentera Hukum, 5(1),

59-70. doi.org/10.19184/ejlh.v5i1.7284

Prabowo, R. D., Manar, D. G., & Adhi, S. (2014). Implementasi undang-undang

keterbukaan informasi publik dalam upaya mewujudkan good

governance (Kajian tiga badan publik: Bappeda, dpkad dan dinas

pendidikan kota semarang). Journal of Politic and Government Studies, 3(3),

1-33. Diakses dari https://ejournal3.undip.ac.id

Prasetyo, B. (2010). Strategi media relations dalam pemerintahan daerah. (Skripsi,

Univertas Sebelas Maret, Surakarta). Diakses dari https://digilib.uns.ac.id

Retnowati, E. (2012). Keterbukaan informasi publik dan good governance

(Antara das sein dan das sollen). Perspektif, 17(1), 54-61. Diakses dari

jurnal-perspektif.org

Rifai, A. (2008). Kemerdekaan informasi: Catatan atas undang-undang

keterbukaan informasi publik. Jurnal Dakwah, 9(2), 101-116. Diakses dari

https://media.neliti.com

Saddu, C. (2016). Hak masyarakat dan badan publik atas keterbukaan informasi

publik. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 4(1), 1-11. Diakses dari

http://jurnal.untad.ac.id

Sari, D. (2012). Pengaruh pengendalian internal terhadap transparansi laporan

keuangan pemerintah daerah. Seminar Nasional Akuntansi dan Bisnis 2012,

718-727, diakses dari repository.widyatama.ac.id


Sundari, I. P. (2018). Transparansi layanan penyampaian aspirasi masyarakat

pada dewan perwakilan rakyat daerah. Socio-Politica, 8(2), 155-164.

Diakses dari http://journal.uinsgd.ac.id

Tahir, A. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

transparansi penyelenggaraan pemerintahan di kota gorontalo. Jurnal

Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, 1-21. Diakses dari

http://repository.ung.ac.id

Wahyudi, W. (2016). Strategi humas sekretariat daerah kabupaten sambas dalam

memberikan informasi kepada masyarakat. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, 5(2), 1-7. Diakses dari https://publikasi.unitri.ac.id

Anda mungkin juga menyukai