Helmawati
Pascasarjana PAI/FAI Universitas Islam Nusantara
helmawati.dr@gmail.com
Abstrak
Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi pendidikan anak. Dalam keluarga lah nilai-
nilai, keyakinan, dan potensi anak tumbuh kembang. Untuk itu anak perlu pendidikan.
Pendidikan yang baik daan tepat membawa anak memiliki karakter yang seharusnya dimiliki.
Metode pembentukan karakter, khususnya pembiasaan, sangat penting dijalankan dalam
keluarga. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
data yang diperoleh dari kajian literatur, diskusi, dan seminar-seminar tentang pendidikan
keluarga. Selanjutnya, bahasan dalam artikel ini difokuskan pada peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak dalam hal pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Keluarga, Pendidikan, Karakter. Pembiasaan
Abstract
Family is the first dan primary place for children education. In the family values, faith, and
all children’s potencies grow. That is why children need education. Efective education helps
children build their character. Method of character building is directed to have inuring in
daily life. The method of this article is qualitative descriptive and the source of data is
collected from literature, discussion, and seminar about Islamic Education. The focus of this
article is how family runs the role to build children character.
Key Word: Family, Education, Character, Inuring
Pendahuluan
Hakikat dari pendidikan adalah pembentukan karakter. Pendidikan merupakan upaya
membantu anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya baik jasmani, rohani, maupun
akal sehingga tergali kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Untuk itu peran orangtua menjadi sangat penting bagi tumbuh kembang anak
terutama pembentukan karakter.
Tugas keluarga adalah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan anak, agar anak
dapat berkembang secara baik. Sebagaimana dipertegas dalam Dasar-Dasar Pendidikan,
keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan keluarga pertama-tama
anak mendapatkan pengaruh (Tim Pengembang PMDK IKIP Semarang, Dasar-Dasar
Pendidikan, Semarang: IKIP Semarang, 1991: 312).
Semua orangtua ingin memiliki anak yang sukses dan berakhlak mulia. Akhlak mulia
atau moral yang tinggi merupakan karakter yang diharapkan orangtua dari anak-anaknya.
Anak yang baik akhlaknya akan memberikan kebahagiaan pada orangtua di dunia dan
akhirat. Sementara anak yang buruk akhlaknya akan membuat orangtua sengsara di dunia dan
akhirat (Helmawati, 2014: 155).
Anak yang baik di dunia akan membantu orangtuanya. Mendoakan mereka setelah
meninggal. Sedangkan anak yang buruk akhlaknya akan menimbulkan berbagai macam
problem, seperti berkelahi, mencuri, melawan orangtua, dan lainnya. Hal-hal semacam itu
amat menyusahkan orangtua di dunia. Bagaimana anak yang berakhlak buruk akan
mendoakan orangtuanya ketika mereka meninggal, sedang untuk diri mereka sendiri saja
mereka berlaku aniaya.
Tidak heran apabila kebanyakan orangtua akan membanggakan anak-anaknya yang
baik dihadapan orangtua-orangtua lainnya. Orangtua akan merasa bahagia, cukup dengan
diperlakukan baik oleh anak-anaknya. Meskipun orangtua diberi harta yang berlimpah oleh
anak, namun bila anak tersebut berakhlak buruk, orangtua tidak merasa bahagia. Ternyata
bukan harta yang akan membuat seseorang bahagia atau menjadikan hati tenang. Akhlak
yang mulia ternyata menjadi lebih berharga dibanding harta.
Fenomena yang terjadi saat ini, umumnya di Indonesia para orangtua mendidik anak
berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari orangtuanya atau keluarga lain yang dilihatnya.
Bermodal pengalaman orangtua sebelumnya atau pengalaman dari melihat tetangga atau
orang-orang di sekitar saja tidaklah cukup. Cara orangtua atau tetangga dalam mendidik anak
mungkin ada yang tidak sesuai atau kurang tepat dengan ilmu pendidikan. Anak bukan
barang atau benda yang dalam pembentukannya hanya dipola dari pengalaman yang belum
tentu baik hasilnya.
Globalisasi pun turut berpengaruh terhadap penyebab kemerosotan akhlak. Memang
globalisasi telah membawa kemajuan filsafat, sains dan teknologi yang menghasilkan
kebudayaan yang semakin maju, namun ternyata berdampak terhadap aspek moral (Ahmad
Tafsir, 2017: 1). Hal senada dinyatakan Tilaar. Memang hasil dari pendidikan sekuler telah
membuahkan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin
telah meningkatkan kemakmuran manusia modern. Namun demikian, kemajuan ilmu
pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral. Menghadapi
kondisi ini, Tilaar (H.A.R. Tilaar, 1999: 21) melihat pentingnya pendekatan religius. Hakikat
pendidikan melalui pendekatan religius menekankan pada persiapan peserta didik untuk
mencapai kebahagiaan hidup di kemudian hari (di akhirat). Sebab itu, pendidikan agama
menjadi sentral dalam proses pendidikan. Pendekatan religius terhadap pendidikan abad 21
akan semakin relevan oleh karena kemajuan ilmu pengetahuan belum dapat dijadikan
jaminan untuk lahirnya kehidupan etis manusia untuk hidup bersama.
Pembentukan karakter anak-anak sebagai generasi muda sangatlah penting. Akhlak
adalah sumber segala-galanya. Semua dalam kehidupan tergantung pada akhlak, artinya tidak
ada kehidupan tanpa akhlak. Itulah sebabnya sejak zaman Yunani Kuno hingga kini karakter
menjadi perhatian dalam kehidupan umat manusia. Sehingga diprediksi bahwa suatu bangsa
akan tetap berdiri tegak selama masyarakatnya masih berakhlak mulia, namun jika akhlaknya
hilang maka bangsa itu pun akan lenyap.
Hal senada diperkuat pemerhati pendidikan seperti Thomas Lickona. Thomas Lickona
dalam Character Matters (2013: 8) menyatakan bahwa kesehatan bangsa kita dalam beberapa
abad mendatang bergantung pada bagaimana keseriusan semua pihak untuk berkomitmen
terhadap pendidikan karakter ini. Seorang filsuf Yunani, Heraclitus menyatakan bahwa
karakter membentuk takdir seseorang dan takdir tersebut menjadi takdir seluruh masyarakat.
Pada karakter warga negara pun terletak kesejahteraan bangsa.
Selain itu, Lance Morrow menyatakan bahwa karakter atau moral berpengaruh
terhadap peradaban; peradaban bisa naik dan jatuh. Peradaban jatuh ketika moral memburuk,
ketika masyarakat gagal dalam menyampaikan kebaikan atau kekuatan karakter kepada
generasi berikutnya. Berdasarkan pengamatan sejarawan Arnold Toynbee dinyatakan bahwa
dari 21 peradaban penting, 19 hancur bukan oleh penaklukan dari luar akan tetapi disebabkan
oleh pembusukan moral dari dalam.
Terjadinya krisis moral manusia banyak dipengaruhi akibat proses pembelajaran yang
masih sangat didominasi oleh peningkatan aspek kognitif belaka. Pendidikan di era
globalisasi lebih condong menekankan penguasaan aspek kognitif dan psikomotorik daripada
aspek emosional dan spiritual. Sehingga lulusan lembaga pendidikan mungkin memiliki
kecerdasan intelektual dan keterampilan, namun memiliki sikap mental yang buruk dan
rendah. Hal senada ditegaskan pula oleh Abuddin Nata (2003: 45-46) yang menyatakan,
antara penyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan lulusannya yang diharapkan
adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan,
dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel Goleman (1999) yang menyatakankan bahwa
pendidikan selama ini cenderung terlalu menekankan arti penting dari nilai akademik,
kecerdasan otaknya atau IQ saja. Hal ini cenderung menimbulkan krisis moral atau buta hati
akibat pendidikan yang hanya mengandalkan logika saja. Akibatnya anak-anak generasi
sekarang lebih sering mengalami masalah emosi, tumbuh dalam kesepian, lebih mudah
marah, lebih sulit di atur, cenderung cemas dan agresif.
Keluarga lah tempat di mana anak tumbuh dan terbentuk menjadi baik atau buruk.
Keluarga yang memiliki ikatan yang baik berpengaruh terhadap perilaku anak, begitu pua
sebaliknya, keluarga yang ikatannya buruk berdampak pada buruknya perilaku anak. Anak
yang akhirnya berperilaku buruk, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak
mendapat kehangatan emosi dan kebajikan moral dan tercemar kebejatan, atau mereka itu
telah hidup dalam lingkungan sosial yang jorok. Keluarga dan faktor-faktor sosial lah yang
menyebabkan mereka memilih kejahatan dan keburukan ketimbang kebaikan dan kesucian
(Sayid Mujtaba Musawi Lari, 2001: 8).
Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat esensial dalam kehidupan manusia untuk
membentuk insan yang dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupannya. Sehingga
tidak dapat disangkal lagi, bahwa pendidikan anak-anak yang baik adalah kewajiban utama
Tapi juga memperlihatkan keberhasilan keluarga dalam memberikan anak-anak mereka
dalam keluarga. Kewajiban ini tidak akan dapat ditinggalkan karena keuzuran, juga tidak
akan membebaskan ia dari tanggung jawab ini sebab adanya institusi-institusi pendidikan
yang didirikan khusus untuk mendidik generasi muda. Sebab institusi-institusi ini tidak
sanggup menggantikan keluarga dalam menanamkan rasa cinta kasih sayang anak-anak
(Hasan Langgulung, 2004: 303).
Karakter atau akhlak merupakan perihal utama yang dibentuk melalui ajaran Islam.
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw dalam rangka memperbaiki akhlak (karakter)
manusia. Akal yang merupakan kelebihan yang diberikan Allah membantu manusia
menentukan apakah dirinya akan menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beradab atau
tidak (Helmawati, 2017: 1).
Pendidikan intinya adalah bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga anak
mampu mengeluarkan potensi yang berada dalam dirinya untuk keberlangsungan hidupnya di
kemudian hari. Potensi yang digali ini tentulah potensi yang positif agar manusia berhasil
mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya. Potensi negatif yang ada dalam diri
manusia melalui pendidikan ditekan agar tidak tumbuh berkembang. Melalui pendidikan
inilah karakter unggul manusia dapat terbentuk. Pendidikan karakter yang diciptakan dalam
lingkungan keluarga utamanya, bila secara konsisten dan terus menerus dilakukan mampu
membentuk anak memiliki karakter unggul atau akhlak mulia.
Metode penulisan artikel ini dengan menggunakan metode studi literatur, baik dengan
membaca buku-buku referensi yang terkait dengan pendidikan karakter dan hasil seminar
pendidikan dalam keluarga. Selanjutnya bahasan akan difokuskan pada peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Peran Keluarga
Kata keluarga dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary (2000: 154) berasal
dari kata family yang berarti: group consisting of one or two parents and their children
(kelompok yang terdiri dari satu atau dua orangtua dan anak-anak mereka); group consisting
of one or two parents, their children, and close relations (kelompok yang terdiri dari satu
atau dua orangtua, anak-anak mereka, dan kerabat-kerabat dekat); all the people descendend
from the same ancestor (semua keturunan dari nenek moyang yang sama).
Anak pertama kali berkenalan dengan ibu dan ayah serta saudara-saudaranya. Melalui
perkenalan itulah terjadi proses penerimaan pengetahuan dan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di lingkungan keluarga. Segala apa saja yang diterimanya pada proses awal itu
akan menjadi referensi kepribadian anak. Di sinilah keluarga dituntut agar dapat
merealisasikan nilai-nilai yang positif sehingga terbina anak yang baik. Mengingat keluarga
sebagai fase awal pendidikan, maka Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai
lembaga hidup manusia yang memberi peluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka
atau bahagia dunia-akhirat (Nur Ahid, 2010: 4).
Sikum Pribadi (1981: 87) menyatakan bahwa lingkungan keluarga sering disebut
lingkungan pertama di dalam pendidikan. Jika karena suatu hal anak terpaksa tidak tinggal di
lingkungan keluarga yang hidup bahagia, anak tersebut masa depannya akan mengalami
kesulitan-kesulitan baik di sekolah, masyarakat maupun kelak sebagai suami-istri di dalam
lingkungan kehidupan keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sangat
penting membentuk pola kepribadian anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali
berkenalan dengan nilai dan norma (Darma Susanto, 1994: 313).
Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama dan
kepercayaan, nilai-nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta
didik untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kepmendikbud RI No. 0186/P/1984), kedudukan ayah dalam keluarga
bukan semata-mata berkewajiban menyediakan nafkah (makan dan minum), tetapi bagaimana
mengendalikan rumah tangga sehingga setiap anggota keluarga dapat menikmati makna
keluarga dan agar setiap anggota keluarga dapat secara terus menerus meningkatkan kualitas
pribadinya dalam berbagai segi, baik segi hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia,
segi penguasaan pengetahuan dan sebagainya.
Setap anggota dalam keluarga terutama orangtua memiliki peran masing-masing.
Selain memiliki peran untuk menjalankan tugasnya sebagai suami atau isteri, orangtua juga
memiliki tugas memelihara anak. Anak sebagai amanah menjadi kewajiban untuk dibantu
menjadi manusia seutuhnya dengan karakter mulia.
Keluarga dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang
dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh
kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Inti
dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun terkadang ada juga anggota lainnya
yang umumnya tinggal bersama dalam satu rumah, diantaranya yaitu kakek dan nenek atau
juga asisten rumah tangga. Anggota dalam keluarga tentu memiliki peran yang berbeda-beda,
dan kemudian dari peran itulah akan muncul kewajiban dan hak masing-masing anggota.
Berawal dari keluarga pula semua anggota mempelajari sifat-keyakinan, sifat-sifat (akhlak)
mulia, komunikasi dan interaksi sosial, serta keterampilan hidup (Helmawati, 2014: 43).
Ayah atau bapak (sebagai seorang suami) adalah sosok tertinggi dalam keluarga. Ia
merupakan pemimpin atau kepala keluarga dan figur orang yang bertanggung jawab terhadap
keluarga. Dalam keluarga, sebagai suami bagi isterinya dan ayah bagi anak-anaknya ia
memiliki kewajiban yang harus dipikulnya. Peran ayah dalam keluarga berdasarkan Ngalim
Purwanto (1994: 71), yaitu: (a) sumber kekuasaan di dalam keluarga, (b) penghubung intern
keluarga dengan masyarakat atau dunia luar, (c) pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota
keluarga, (d) pelindung terhadap ancaman dari luar, (e) hakim atau yang mengadili jika
terjadi perselisihan, dan (f) sebagai pendidik dalam segi-segi rasional.
Dalam ajaran Islam, kewajiban yang harus dipikul seorang ayah sebagai pemimpin
dalam keluarga tidaklah ringan. Kewajiban yang dipikulnya itu tentulah sangat besar,
diantaranya: memelihara keluarga dari api neraka, mencari dan memberi nafkah yang halal,
bertanggung jawab atas ketenangan, keselamatan dan kesejahteraan keluarganya, memimpin
keluarga, mendidik anak dengan penuh rasa kasih sayang dan tanggung jawab, mencari isteri
yang shalehah dan pendidik, memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada isteri sesuai
dengan ajaran agama, mendoakan anak-anaknya, menciptakan kedamaian (ketenangan jiwa)
dalam keluarga, memilih lingkungan yang baik, berbuat adil (Helmawati, 2014: 72-79).
Selanjutnya Helmawati (2014: 81-83) menyatakan bahwa Ibu merupakan sosok
pendamping ayah. Ia membantu ayah sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan
meringankan beban atau kewajiban suami dalam keluarga. Walaupun tugasnya adalah
membantu kepala keluarga, tugasnya tidaklah lebih ringan dari tugas seorang ayah. Dengan
demikian, ketika ayah mencari sorang isteri selain shalehah juga haruslah pandai. Maka
fenomena bahwa untuk mencari seorang isteri tidaklah perlu yang pandai namun yang
penting adalah yang menurut kepada suami saja kuranglah tepat. Bagaimana seorang ibu
(isteri) akan menjalankan tugasnya membantu kepala keluarga yang memiliki tanggung
jawab yang besar dunia dan akhirat, sedangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Bagaimana ia akan menjaga dan mengatur rumah tangganya, bagaimana ia akan mengelola
keuangan atau harta suami, atau bagaimana ia akan merawat dan mendidik anak-anaknya
tanpa kepandaian atau ilmu. Oleh karena itu, seorang ibu dalam keluarga haruslah pandai
(berilmu) dan berakhlak baik sehingga ia dapat menjalankan tugasnya membantu kepala
keluarga secara optimal.
Uraian di atas tersebut didukung oleh Ngalim Purwanto (1994: 70) atas peran ibu
dalam keluarga, diantaranya: (a) sebagai sumber dan pemberi rasa kasih sayang, (b) pengasuh
dan pemelihara, (c) tempat mencurahkan isi hati, (d) pengatur kehidupan dalam rumah
tangga, (e) pembimbing hubungan pribadi, dan (f) pendidik dalam segi-segi emosional.
Mengingat pentingnya posisi keluarga dalam kerangka pembinaan generasi, masyarakat dan
umat, maka kiranya mendesak dilakukan penelaahan mengenai pendidikan keluarga dalam
perspektif Islam. Melalui penelaahan tersebut, akan memberikan arahan dan memerankan
keluarga sebagai pusat pendidikan Islam (Nur Ahid, 2010: viii). Dilihat dari hubungan dan
tanggung jawab orangtua terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya
tidak bisa dipikulkan kepada orang lain.
Karakter
Kata karakter dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tabiat;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain
(Indrawan, tt: 277). Secara terminologi D. Yahya Khan (2010: 1) menyatakan bahwa karakter
adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis,
integrasi antara pernyataan dan tindakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah usaha membantu mengembangkan potensi manusia agar
terbentuk akhlak, watak, dan kepribadian sebagai manusia.
Berdasarkan ajaran Islam (Ahmad Tafsir dalam Kata Pengantar Buku Pendidikan
Karakter Helmawati (2017: iii), akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk dan dalam
Bahasa Indonesia berarti perangai, karakter atau moral. Sebab karakter itu adalah akhlak,
maka berbicara persoalan karakter berarti sedang berbicara tentang akhlak. Dengan demikian,
karakter berarti akhlak; dan baru dapat dikatakan akhlak apabila perilaku yang ditampakkan
dilakukan secara otomatis (hati, perkataan, dan perbuatannya sama serta tidak dibuat-buat).
Karakter dapat dibentuk melalui proses pendidikan. Pendidikan karakter berarti
pendidikan akhlak. Pendidikan adalah usaha membantu manusia untuk menjadi manusia.
Sebab pendidikan adalah suatu proses membantu tumbuh kembangnya seluruh potensi yang
dimiliki manusia, tentu dalam usahanya tersebut ada yang berhasil dan belum berhasil. Oleh
sebab itu, perlu usaha yang terus menerus dari para pendidik dalam membiasakan proses
pendidikan agar berhasil sesuai tujuan. Agar berhasil proses pendidikan mencapai tujuannya,
penting untuk bersinergi antar pendidik di tiga lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat).
Merujuk fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 3),
yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Maka tujuan pendidikan katakter pada intinya ialah untuk membentuk karakter peserta didik.
Karakter (akhlak) yang mulia dapat mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat (UU
No 19 Tahun 2005, Pasal 4). Membentuk anak agar memiliki akhlak atau karakter yang baik
tidaklah semudah membalik telapak tangan atau semudah orang yang melakukan sulap.
Pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin. Mulailah dari keluarga dan kemudian
dapat dibantu dikembangkan oleh pendidik di lembaga pendidikan formal yang dimulai dari
jenjang pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar merupakan tingkatan pendidikan yang
sangat krusial bagi seorang anak didik. Keberhasilan dalam pendidikan dasar merupakan
tonggak keberhasilan pada pendidikan selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan dalam pendidikan
dasar akan berakibat terhadap penurunan kualitas pada pendidikan selanjutnya. Hasil studi
Howard Gardner menemukan bahwa kesalahan sistem pendidikan pada masa kecil dapat
menurunkan kreativitas seseorang. Bahkan, penurunan ini terus berlanjut sampai mereka
mencapai usia 40 tahun (Megawangi, 2007: 26).
Jika diklasifikasikan, jenis pendidikan karakter dari tujuan pendidikan nasional terdiri
dari jenis pendidikan nilai-nilai agama, yaitu karakter beriman, bertakwa dan berakhlak
mulia, dan jenis pendidikan budaya yaitu karakter sehat, berilmu dan terampil, mandiri,
kreatif, demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan karakter berbasis nilai religius
merupakan pendidikan yang didasarkan kepada kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral).
Tujuan utama dari pendidikan ini adalah untuk menghasilkan orang yang baik dan beradab
Karakter yang akan ditanamkan hendaknya disampaikan dengan metode yang tepat
sehingga tujuan pembentukan karakter dapat tercapai. Dalam membentuk karakter anak
diperlukan berbagai macam metode karena ada banyak karakter yang perlu dimiliki oleh anak
dalam mengarungi kehidupannya sehingga akan selamat dunia dan akhirat. Metode, cara atau
strategi yang dapat membentuk anak berkarakter diantaranya adalah: 1) sedikit pengajaran
atau teori, 2) banyak peneladanan, 3) banyak pembiasaan atau praktek, 4) banyak motivasi,
dan 5) pengawasan dan penegakan aturan yang konsisten (Helmawati, 2017: 23).
Membentuk anak berkarakter tidak hanya dapat dilakukan melalui kata-kata atau
perintah saja. Membentuk anak berkarater sesuai harapan orangtua tentu harus diiringi
dengan contoh-contoh atau keteladanan. Seperti yang dinyatakan para ahli pendidikan dan
ahli psikologi bahwa anak akan berperilaku seperti orangtuanya berperilaku. Ini menandakan
bahwa anak mencontoh (imitate) apa-apa yang diucapkan dan dilakukan para orangtuanya.
Dan peran orangtua dalam memberikan contoh dengan melalui pembiasaan disinyalir mampu
membantu pembentukan karakter anak dalam keluarga. Metode pembentukan karakter yang
disarankan kepada orangtua dalam keluarga diantaranya melalui banyak pembiasaan (Ahmad
Tasir, 2017: 6).
Simpulan
Pembiasaan merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengaplikasikan perilaku-
perilaku yang belum pernah atau jarang dilaksanakan menjadi sering dilaksanakan hingga
pada akhirnya menjadi kebiasaan. Hakikat dari pendidikan karakter adalah menerapkan
disiplin dalam setiap perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Karakter disiplin pertama-tama
dan utamanya harus dibiasakan dalam kehidupan di lingkungan keluarga. Beberapa
pembiasanaan karakter prakis yang dapat dilaksanakan dalam keluarga oleh seluruh anggota
keluarga dalam kehidupan sehari-hari diantaranya pembiasaan iman dan takwa, mengasih-
sayangi, saling melindungi, berdoa, mengucapkan salam dan mengetuk pintu, izin atau pamit
saat akan beraktivitas, beretika saat makan dan minum, menutup mulut saat menguap, bersin,
dan batuk, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, berpakaian rapi dan menutup aurat,
saling menghormati dan menghargai, berbahasa santun, sportif dan kreatif, bersyukur, jujur,
adil dan bijaksana, saling memaafkan, bersabar, lemah lembut, menepati janji, bergotong
royong, selalu bersemangat dan pantang menyerah, mandiri dan bertanggung jawab, serta
terampil.
Daftar Pustaka
Ahid, Nur. (2010). Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
An-Nawawi, Imam. (2013). Terjemah Riyadhus Shalihin. Semarang: Pustaka Nuun.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kepmendikbud RI No. 0186/P/1984.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Departemen, Pendidikan Nasional. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Djaali. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Helmawati. (2014). Pendidikan Keluarga ”Teoretis dan Praktis”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Helmawati. (2017). Pendidikan Karakter Sehari-Hari”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Khan, D. Yahya. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri “Mendongkrak Kualitas
Pendidikan”. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Langgulung, Hasan. (2004). Manusia dan Pendidikan “Suatu Analisa Psikologis, Filsafat
dan Pendidikan”. Jakarta Pustaka Al Husna Baru.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. (2001). Etika dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta: Al Ishlahy
Press.
Lickona, Thomas. (2013). Character Matters ”Persoalan Karakter Bagaimana Membantu
Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting
Lainnya”. Jakarta: Bumi Aksara.
Megawangi, Ratna. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Nata, Abuddin. (2003). Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Bogor: Kencana.
Oxford Learner’s Pocket Dictionary New Edition. (2000). Oxford University Press.
Pitamic, Maja. (2012). Teach Me To Do It Myself ”Aktivitas-Aktivitas Mentassori untuk Anda
dan Anak Anda”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pribadi, Harlina. (2011). Peduli Lingkungan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pribadi, Sikum. (1981). Menuju Keluarga Bijaksana. Bandung: Yayasan Sekolah Istri
Bijaksana.
Purwanto, M. Ngalim. (1994). Ilmu Pendidikan “Teoretis dan Praktis”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Santoso, Slamet Imam. (1981). Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: UI
Press.
Susanto, Darma. (1994). Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Tafsir, Ahmad. (2017). Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang PMDK IKIP Semarang. (1991). Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: IKIP
Semarang.
Ulwan, Abdullah Nashih. (2012). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: Asy-
Syifa.
Yamin, Martinis dan Jamilah Sabri Sanan. (2013). Panduan PAUD. Ciputat: Referensi.
Yusuf, Kadar M. (2010). Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amsah.