Anda di halaman 1dari 20

PERAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK ANAK BERKARAKTER

Helmawati
Pascasarjana PAI/FAI Universitas Islam Nusantara
helmawati.dr@gmail.com

Abstrak
Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi pendidikan anak. Dalam keluarga lah nilai-
nilai, keyakinan, dan potensi anak tumbuh kembang. Untuk itu anak perlu pendidikan.
Pendidikan yang baik daan tepat membawa anak memiliki karakter yang seharusnya dimiliki.
Metode pembentukan karakter, khususnya pembiasaan, sangat penting dijalankan dalam
keluarga. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
data yang diperoleh dari kajian literatur, diskusi, dan seminar-seminar tentang pendidikan
keluarga. Selanjutnya, bahasan dalam artikel ini difokuskan pada peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak dalam hal pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Keluarga, Pendidikan, Karakter. Pembiasaan

Abstract
Family is the first dan primary place for children education. In the family values, faith, and
all children’s potencies grow. That is why children need education. Efective education helps
children build their character. Method of character building is directed to have inuring in
daily life. The method of this article is qualitative descriptive and the source of data is
collected from literature, discussion, and seminar about Islamic Education. The focus of this
article is how family runs the role to build children character.
Key Word: Family, Education, Character, Inuring

Pendahuluan
Hakikat dari pendidikan adalah pembentukan karakter. Pendidikan merupakan upaya
membantu anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya baik jasmani, rohani, maupun
akal sehingga tergali kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Untuk itu peran orangtua menjadi sangat penting bagi tumbuh kembang anak
terutama pembentukan karakter.
Tugas keluarga adalah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan anak, agar anak
dapat berkembang secara baik. Sebagaimana dipertegas dalam Dasar-Dasar Pendidikan,
keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan keluarga pertama-tama
anak mendapatkan pengaruh (Tim Pengembang PMDK IKIP Semarang, Dasar-Dasar
Pendidikan, Semarang: IKIP Semarang, 1991: 312).
Semua orangtua ingin memiliki anak yang sukses dan berakhlak mulia. Akhlak mulia
atau moral yang tinggi merupakan karakter yang diharapkan orangtua dari anak-anaknya.
Anak yang baik akhlaknya akan memberikan kebahagiaan pada orangtua di dunia dan
akhirat. Sementara anak yang buruk akhlaknya akan membuat orangtua sengsara di dunia dan
akhirat (Helmawati, 2014: 155).
Anak yang baik di dunia akan membantu orangtuanya. Mendoakan mereka setelah
meninggal. Sedangkan anak yang buruk akhlaknya akan menimbulkan berbagai macam
problem, seperti berkelahi, mencuri, melawan orangtua, dan lainnya. Hal-hal semacam itu
amat menyusahkan orangtua di dunia. Bagaimana anak yang berakhlak buruk akan
mendoakan orangtuanya ketika mereka meninggal, sedang untuk diri mereka sendiri saja
mereka berlaku aniaya.
Tidak heran apabila kebanyakan orangtua akan membanggakan anak-anaknya yang
baik dihadapan orangtua-orangtua lainnya. Orangtua akan merasa bahagia, cukup dengan
diperlakukan baik oleh anak-anaknya. Meskipun orangtua diberi harta yang berlimpah oleh
anak, namun bila anak tersebut berakhlak buruk, orangtua tidak merasa bahagia. Ternyata
bukan harta yang akan membuat seseorang bahagia atau menjadikan hati tenang. Akhlak
yang mulia ternyata menjadi lebih berharga dibanding harta.
Fenomena yang terjadi saat ini, umumnya di Indonesia para orangtua mendidik anak
berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari orangtuanya atau keluarga lain yang dilihatnya.
Bermodal pengalaman orangtua sebelumnya atau pengalaman dari melihat tetangga atau
orang-orang di sekitar saja tidaklah cukup. Cara orangtua atau tetangga dalam mendidik anak
mungkin ada yang tidak sesuai atau kurang tepat dengan ilmu pendidikan. Anak bukan
barang atau benda yang dalam pembentukannya hanya dipola dari pengalaman yang belum
tentu baik hasilnya.
Globalisasi pun turut berpengaruh terhadap penyebab kemerosotan akhlak. Memang
globalisasi telah membawa kemajuan filsafat, sains dan teknologi yang menghasilkan
kebudayaan yang semakin maju, namun ternyata berdampak terhadap aspek moral (Ahmad
Tafsir, 2017: 1). Hal senada dinyatakan Tilaar. Memang hasil dari pendidikan sekuler telah
membuahkan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin
telah meningkatkan kemakmuran manusia modern. Namun demikian, kemajuan ilmu
pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral. Menghadapi
kondisi ini, Tilaar (H.A.R. Tilaar, 1999: 21) melihat pentingnya pendekatan religius. Hakikat
pendidikan melalui pendekatan religius menekankan pada persiapan peserta didik untuk
mencapai kebahagiaan hidup di kemudian hari (di akhirat). Sebab itu, pendidikan agama
menjadi sentral dalam proses pendidikan. Pendekatan religius terhadap pendidikan abad 21
akan semakin relevan oleh karena kemajuan ilmu pengetahuan belum dapat dijadikan
jaminan untuk lahirnya kehidupan etis manusia untuk hidup bersama.
Pembentukan karakter anak-anak sebagai generasi muda sangatlah penting. Akhlak
adalah sumber segala-galanya. Semua dalam kehidupan tergantung pada akhlak, artinya tidak
ada kehidupan tanpa akhlak. Itulah sebabnya sejak zaman Yunani Kuno hingga kini karakter
menjadi perhatian dalam kehidupan umat manusia. Sehingga diprediksi bahwa suatu bangsa
akan tetap berdiri tegak selama masyarakatnya masih berakhlak mulia, namun jika akhlaknya
hilang maka bangsa itu pun akan lenyap.
Hal senada diperkuat pemerhati pendidikan seperti Thomas Lickona. Thomas Lickona
dalam Character Matters (2013: 8) menyatakan bahwa kesehatan bangsa kita dalam beberapa
abad mendatang bergantung pada bagaimana keseriusan semua pihak untuk berkomitmen
terhadap pendidikan karakter ini. Seorang filsuf Yunani, Heraclitus menyatakan bahwa
karakter membentuk takdir seseorang dan takdir tersebut menjadi takdir seluruh masyarakat.
Pada karakter warga negara pun terletak kesejahteraan bangsa.
Selain itu, Lance Morrow menyatakan bahwa karakter atau moral berpengaruh
terhadap peradaban; peradaban bisa naik dan jatuh. Peradaban jatuh ketika moral memburuk,
ketika masyarakat gagal dalam menyampaikan kebaikan atau kekuatan karakter kepada
generasi berikutnya. Berdasarkan pengamatan sejarawan Arnold Toynbee dinyatakan bahwa
dari 21 peradaban penting, 19 hancur bukan oleh penaklukan dari luar akan tetapi disebabkan
oleh pembusukan moral dari dalam.
Terjadinya krisis moral manusia banyak dipengaruhi akibat proses pembelajaran yang
masih sangat didominasi oleh peningkatan aspek kognitif belaka. Pendidikan di era
globalisasi lebih condong menekankan penguasaan aspek kognitif dan psikomotorik daripada
aspek emosional dan spiritual. Sehingga lulusan lembaga pendidikan mungkin memiliki
kecerdasan intelektual dan keterampilan, namun memiliki sikap mental yang buruk dan
rendah. Hal senada ditegaskan pula oleh Abuddin Nata (2003: 45-46) yang menyatakan,
antara penyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan lulusannya yang diharapkan
adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan,
dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel Goleman (1999) yang menyatakankan bahwa
pendidikan selama ini cenderung terlalu menekankan arti penting dari nilai akademik,
kecerdasan otaknya atau IQ saja. Hal ini cenderung menimbulkan krisis moral atau buta hati
akibat pendidikan yang hanya mengandalkan logika saja. Akibatnya anak-anak generasi
sekarang lebih sering mengalami masalah emosi, tumbuh dalam kesepian, lebih mudah
marah, lebih sulit di atur, cenderung cemas dan agresif.
Keluarga lah tempat di mana anak tumbuh dan terbentuk menjadi baik atau buruk.
Keluarga yang memiliki ikatan yang baik berpengaruh terhadap perilaku anak, begitu pua
sebaliknya, keluarga yang ikatannya buruk berdampak pada buruknya perilaku anak. Anak
yang akhirnya berperilaku buruk, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak
mendapat kehangatan emosi dan kebajikan moral dan tercemar kebejatan, atau mereka itu
telah hidup dalam lingkungan sosial yang jorok. Keluarga dan faktor-faktor sosial lah yang
menyebabkan mereka memilih kejahatan dan keburukan ketimbang kebaikan dan kesucian
(Sayid Mujtaba Musawi Lari, 2001: 8).
Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat esensial dalam kehidupan manusia untuk
membentuk insan yang dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupannya. Sehingga
tidak dapat disangkal lagi, bahwa pendidikan anak-anak yang baik adalah kewajiban utama
Tapi juga memperlihatkan keberhasilan keluarga dalam memberikan anak-anak mereka
dalam keluarga. Kewajiban ini tidak akan dapat ditinggalkan karena keuzuran, juga tidak
akan membebaskan ia dari tanggung jawab ini sebab adanya institusi-institusi pendidikan
yang didirikan khusus untuk mendidik generasi muda. Sebab institusi-institusi ini tidak
sanggup menggantikan keluarga dalam menanamkan rasa cinta kasih sayang anak-anak
(Hasan Langgulung, 2004: 303).
Karakter atau akhlak merupakan perihal utama yang dibentuk melalui ajaran Islam.
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw dalam rangka memperbaiki akhlak (karakter)
manusia. Akal yang merupakan kelebihan yang diberikan Allah membantu manusia
menentukan apakah dirinya akan menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beradab atau
tidak (Helmawati, 2017: 1).
Pendidikan intinya adalah bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga anak
mampu mengeluarkan potensi yang berada dalam dirinya untuk keberlangsungan hidupnya di
kemudian hari. Potensi yang digali ini tentulah potensi yang positif agar manusia berhasil
mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya. Potensi negatif yang ada dalam diri
manusia melalui pendidikan ditekan agar tidak tumbuh berkembang. Melalui pendidikan
inilah karakter unggul manusia dapat terbentuk. Pendidikan karakter yang diciptakan dalam
lingkungan keluarga utamanya, bila secara konsisten dan terus menerus dilakukan mampu
membentuk anak memiliki karakter unggul atau akhlak mulia.
Metode penulisan artikel ini dengan menggunakan metode studi literatur, baik dengan
membaca buku-buku referensi yang terkait dengan pendidikan karakter dan hasil seminar
pendidikan dalam keluarga. Selanjutnya bahasan akan difokuskan pada peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Peran Keluarga
Kata keluarga dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary (2000: 154) berasal
dari kata family yang berarti: group consisting of one or two parents and their children
(kelompok yang terdiri dari satu atau dua orangtua dan anak-anak mereka); group consisting
of one or two parents, their children, and close relations (kelompok yang terdiri dari satu
atau dua orangtua, anak-anak mereka, dan kerabat-kerabat dekat); all the people descendend
from the same ancestor (semua keturunan dari nenek moyang yang sama).
Anak pertama kali berkenalan dengan ibu dan ayah serta saudara-saudaranya. Melalui
perkenalan itulah terjadi proses penerimaan pengetahuan dan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di lingkungan keluarga. Segala apa saja yang diterimanya pada proses awal itu
akan menjadi referensi kepribadian anak. Di sinilah keluarga dituntut agar dapat
merealisasikan nilai-nilai yang positif sehingga terbina anak yang baik. Mengingat keluarga
sebagai fase awal pendidikan, maka Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai
lembaga hidup manusia yang memberi peluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka
atau bahagia dunia-akhirat (Nur Ahid, 2010: 4).
Sikum Pribadi (1981: 87) menyatakan bahwa lingkungan keluarga sering disebut
lingkungan pertama di dalam pendidikan. Jika karena suatu hal anak terpaksa tidak tinggal di
lingkungan keluarga yang hidup bahagia, anak tersebut masa depannya akan mengalami
kesulitan-kesulitan baik di sekolah, masyarakat maupun kelak sebagai suami-istri di dalam
lingkungan kehidupan keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sangat
penting membentuk pola kepribadian anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali
berkenalan dengan nilai dan norma (Darma Susanto, 1994: 313).
Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama dan
kepercayaan, nilai-nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta
didik untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kepmendikbud RI No. 0186/P/1984), kedudukan ayah dalam keluarga
bukan semata-mata berkewajiban menyediakan nafkah (makan dan minum), tetapi bagaimana
mengendalikan rumah tangga sehingga setiap anggota keluarga dapat menikmati makna
keluarga dan agar setiap anggota keluarga dapat secara terus menerus meningkatkan kualitas
pribadinya dalam berbagai segi, baik segi hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia,
segi penguasaan pengetahuan dan sebagainya.
Setap anggota dalam keluarga terutama orangtua memiliki peran masing-masing.
Selain memiliki peran untuk menjalankan tugasnya sebagai suami atau isteri, orangtua juga
memiliki tugas memelihara anak. Anak sebagai amanah menjadi kewajiban untuk dibantu
menjadi manusia seutuhnya dengan karakter mulia.
Keluarga dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang
dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh
kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Inti
dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun terkadang ada juga anggota lainnya
yang umumnya tinggal bersama dalam satu rumah, diantaranya yaitu kakek dan nenek atau
juga asisten rumah tangga. Anggota dalam keluarga tentu memiliki peran yang berbeda-beda,
dan kemudian dari peran itulah akan muncul kewajiban dan hak masing-masing anggota.
Berawal dari keluarga pula semua anggota mempelajari sifat-keyakinan, sifat-sifat (akhlak)
mulia, komunikasi dan interaksi sosial, serta keterampilan hidup (Helmawati, 2014: 43).
Ayah atau bapak (sebagai seorang suami) adalah sosok tertinggi dalam keluarga. Ia
merupakan pemimpin atau kepala keluarga dan figur orang yang bertanggung jawab terhadap
keluarga. Dalam keluarga, sebagai suami bagi isterinya dan ayah bagi anak-anaknya ia
memiliki kewajiban yang harus dipikulnya. Peran ayah dalam keluarga berdasarkan Ngalim
Purwanto (1994: 71), yaitu: (a) sumber kekuasaan di dalam keluarga, (b) penghubung intern
keluarga dengan masyarakat atau dunia luar, (c) pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota
keluarga, (d) pelindung terhadap ancaman dari luar, (e) hakim atau yang mengadili jika
terjadi perselisihan, dan (f) sebagai pendidik dalam segi-segi rasional.
Dalam ajaran Islam, kewajiban yang harus dipikul seorang ayah sebagai pemimpin
dalam keluarga tidaklah ringan. Kewajiban yang dipikulnya itu tentulah sangat besar,
diantaranya: memelihara keluarga dari api neraka, mencari dan memberi nafkah yang halal,
bertanggung jawab atas ketenangan, keselamatan dan kesejahteraan keluarganya, memimpin
keluarga, mendidik anak dengan penuh rasa kasih sayang dan tanggung jawab, mencari isteri
yang shalehah dan pendidik, memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada isteri sesuai
dengan ajaran agama, mendoakan anak-anaknya, menciptakan kedamaian (ketenangan jiwa)
dalam keluarga, memilih lingkungan yang baik, berbuat adil (Helmawati, 2014: 72-79).
Selanjutnya Helmawati (2014: 81-83) menyatakan bahwa Ibu merupakan sosok
pendamping ayah. Ia membantu ayah sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan
meringankan beban atau kewajiban suami dalam keluarga. Walaupun tugasnya adalah
membantu kepala keluarga, tugasnya tidaklah lebih ringan dari tugas seorang ayah. Dengan
demikian, ketika ayah mencari sorang isteri selain shalehah juga haruslah pandai. Maka
fenomena bahwa untuk mencari seorang isteri tidaklah perlu yang pandai namun yang
penting adalah yang menurut kepada suami saja kuranglah tepat. Bagaimana seorang ibu
(isteri) akan menjalankan tugasnya membantu kepala keluarga yang memiliki tanggung
jawab yang besar dunia dan akhirat, sedangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Bagaimana ia akan menjaga dan mengatur rumah tangganya, bagaimana ia akan mengelola
keuangan atau harta suami, atau bagaimana ia akan merawat dan mendidik anak-anaknya
tanpa kepandaian atau ilmu. Oleh karena itu, seorang ibu dalam keluarga haruslah pandai
(berilmu) dan berakhlak baik sehingga ia dapat menjalankan tugasnya membantu kepala
keluarga secara optimal.
Uraian di atas tersebut didukung oleh Ngalim Purwanto (1994: 70) atas peran ibu
dalam keluarga, diantaranya: (a) sebagai sumber dan pemberi rasa kasih sayang, (b) pengasuh
dan pemelihara, (c) tempat mencurahkan isi hati, (d) pengatur kehidupan dalam rumah
tangga, (e) pembimbing hubungan pribadi, dan (f) pendidik dalam segi-segi emosional.
Mengingat pentingnya posisi keluarga dalam kerangka pembinaan generasi, masyarakat dan
umat, maka kiranya mendesak dilakukan penelaahan mengenai pendidikan keluarga dalam
perspektif Islam. Melalui penelaahan tersebut, akan memberikan arahan dan memerankan
keluarga sebagai pusat pendidikan Islam (Nur Ahid, 2010: viii). Dilihat dari hubungan dan
tanggung jawab orangtua terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya
tidak bisa dipikulkan kepada orang lain.
Karakter
Kata karakter dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tabiat;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain
(Indrawan, tt: 277). Secara terminologi D. Yahya Khan (2010: 1) menyatakan bahwa karakter
adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis,
integrasi antara pernyataan dan tindakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah usaha membantu mengembangkan potensi manusia agar
terbentuk akhlak, watak, dan kepribadian sebagai manusia.
Berdasarkan ajaran Islam (Ahmad Tafsir dalam Kata Pengantar Buku Pendidikan
Karakter Helmawati (2017: iii), akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk dan dalam
Bahasa Indonesia berarti perangai, karakter atau moral. Sebab karakter itu adalah akhlak,
maka berbicara persoalan karakter berarti sedang berbicara tentang akhlak. Dengan demikian,
karakter berarti akhlak; dan baru dapat dikatakan akhlak apabila perilaku yang ditampakkan
dilakukan secara otomatis (hati, perkataan, dan perbuatannya sama serta tidak dibuat-buat).
Karakter dapat dibentuk melalui proses pendidikan. Pendidikan karakter berarti
pendidikan akhlak. Pendidikan adalah usaha membantu manusia untuk menjadi manusia.
Sebab pendidikan adalah suatu proses membantu tumbuh kembangnya seluruh potensi yang
dimiliki manusia, tentu dalam usahanya tersebut ada yang berhasil dan belum berhasil. Oleh
sebab itu, perlu usaha yang terus menerus dari para pendidik dalam membiasakan proses
pendidikan agar berhasil sesuai tujuan. Agar berhasil proses pendidikan mencapai tujuannya,
penting untuk bersinergi antar pendidik di tiga lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat).
Merujuk fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 3),
yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Maka tujuan pendidikan katakter pada intinya ialah untuk membentuk karakter peserta didik.
Karakter (akhlak) yang mulia dapat mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat (UU
No 19 Tahun 2005, Pasal 4). Membentuk anak agar memiliki akhlak atau karakter yang baik
tidaklah semudah membalik telapak tangan atau semudah orang yang melakukan sulap.
Pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin. Mulailah dari keluarga dan kemudian
dapat dibantu dikembangkan oleh pendidik di lembaga pendidikan formal yang dimulai dari
jenjang pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar merupakan tingkatan pendidikan yang
sangat krusial bagi seorang anak didik. Keberhasilan dalam pendidikan dasar merupakan
tonggak keberhasilan pada pendidikan selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan dalam pendidikan
dasar akan berakibat terhadap penurunan kualitas pada pendidikan selanjutnya. Hasil studi
Howard Gardner menemukan bahwa kesalahan sistem pendidikan pada masa kecil dapat
menurunkan kreativitas seseorang. Bahkan, penurunan ini terus berlanjut sampai mereka
mencapai usia 40 tahun (Megawangi, 2007: 26).
Jika diklasifikasikan, jenis pendidikan karakter dari tujuan pendidikan nasional terdiri
dari jenis pendidikan nilai-nilai agama, yaitu karakter beriman, bertakwa dan berakhlak
mulia, dan jenis pendidikan budaya yaitu karakter sehat, berilmu dan terampil, mandiri,
kreatif, demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan karakter berbasis nilai religius
merupakan pendidikan yang didasarkan kepada kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral).
Tujuan utama dari pendidikan ini adalah untuk menghasilkan orang yang baik dan beradab
Karakter yang akan ditanamkan hendaknya disampaikan dengan metode yang tepat
sehingga tujuan pembentukan karakter dapat tercapai. Dalam membentuk karakter anak
diperlukan berbagai macam metode karena ada banyak karakter yang perlu dimiliki oleh anak
dalam mengarungi kehidupannya sehingga akan selamat dunia dan akhirat. Metode, cara atau
strategi yang dapat membentuk anak berkarakter diantaranya adalah: 1) sedikit pengajaran
atau teori, 2) banyak peneladanan, 3) banyak pembiasaan atau praktek, 4) banyak motivasi,
dan 5) pengawasan dan penegakan aturan yang konsisten (Helmawati, 2017: 23).
Membentuk anak berkarakter tidak hanya dapat dilakukan melalui kata-kata atau
perintah saja. Membentuk anak berkarater sesuai harapan orangtua tentu harus diiringi
dengan contoh-contoh atau keteladanan. Seperti yang dinyatakan para ahli pendidikan dan
ahli psikologi bahwa anak akan berperilaku seperti orangtuanya berperilaku. Ini menandakan
bahwa anak mencontoh (imitate) apa-apa yang diucapkan dan dilakukan para orangtuanya.
Dan peran orangtua dalam memberikan contoh dengan melalui pembiasaan disinyalir mampu
membantu pembentukan karakter anak dalam keluarga. Metode pembentukan karakter yang
disarankan kepada orangtua dalam keluarga diantaranya melalui banyak pembiasaan (Ahmad
Tasir, 2017: 6).

Pembiasaan Karakter dalam Keluarga


Pembiasaan merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengaplikasikan perilaku-
perilaku yang belum pernah atau jarang dilaksanakan menjadi sering dilaksanakan hingga
pada akhirnya menjadi kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti beribadah kepada
Allah yang selalu dilaksanakan dalam keluarga akan menjadi kebiasaan pula bagi anak.
Dengan pembiasaan beribadah dalam keluarga, anak akan rajin menjalankan ibadah shalat,
mengaji, juga shaum (puasa). Orangtua yang terbiasa menjalankan shalat, mengaji, shaum,
mengucapkan salam dan membiasakan pada anaknya tentu akan membentuk anak beriman
dan bertakwa.
Begitu juga orangtua yang hobi membaca dan mengajarkan anaknya untuk membaca,
anak akan menjadi gemar membaca. Orangtua yang membiasakan bergotong royong dalam
menjaga kebersihkan rumah akan menularkan kebiasaan tersebut pada anaknya. Anak yang
tidak dibiasakan untuk makan dengan menggunakan tangan kanan, tentu akan makan dengan
tangan kanan atau bahkan tangan kirinya. Orangtua yang biasa melakukan kekerasan kepada
anak akan menjadikan anaknya berperilaku kasar kepada orang lain. Kebiasaan baik yang
dilakukan dalam keluarga yang dicontohkan orangtua lama-kelamaan akan menjadi
kebiasaan yang baik pula bagi anak-anaknya, sedangkan kebiasaan buruk yang dilakukan
orangtua akan menjadi kebiasaan buruk pula bagi anak-anaknya.
Hakikat dari pendidikan karakter adalah menerapkan disiplin dalam setiap perbuatan
dalam kehidupan sehari-hari. Karakter disiplin pertama-tama dan utamanya harus dibiasakan
dalam kehidupan di lingkungan keluarga. Disiplin artinya taat pada aturan yang ditetapkan.
Sementara dalam ajaran Islam, disiplin berisi aturan-aturan yang harus ditaati. Disiplin dalam
menjalankan ajaran Islam mampu membentuk dan menumbuhkan karakter mulia pada anak.
Disiplin atau taat aturan dalam pembentukan karakter dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti disiplin dalam beribadah (berdoa), disiplin dalam
mempergunakan waktu, disiplin dalam bekerja, dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa pembiasanaan karakter prakis yang dapat dilaksanakan
dalam keluarga oleh seluruh anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari (Helmawati,
2017: 35).
1. Biasakan Beriman dan Bertakwa
Ahmad Tasir (2017: 6-7) menegaskan bahwa orangtua adalah pendidik utama dan
pertama dalam hal penanaman keimanan bagi anak. Keimanan sangat diperlukan oleh anak-
anak untuk menjadi landasan bagi akhlak mulia. Keimanan diperlukan agar akhlak anak
remaja tidak merosot, sedangkan keberimanan diperlukan agar anak mampu hidup tenteram
serta konstruktif pada zaman global ini. Melalukan pendidikan agama dalam keluarga berarti
ilut berusaha menyelamatkan generasi muda. Itulah mengapa orangtua (ayah dan ibu)
hendaknya memiliki keyakinan (keimanan) yang sama. Keimanan yang dimiliki orangtua
tentu akan turun pada anaknya (Helmawati, 2014: 107).
Orangtua di dalam keluarga harus membiasakan dirinya untuk taat beribadah kepada
Allah Swt dengan rajin shalat, mengaji, dan shaum (puasa). Ia harus senang menuntut ilmu,
menjaga kesehatan, menambah kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi dirinya,
beramal shaleh, bermusyawarah, dan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang
dilakukannya. Orang yang memiliki karakter beriman dan bertakwa ini akan berhati-hati dan
memikirkan dengan matang dalam melakukan suatu kegiatan. Karena ia tidak hanya
bertanggung jawab di hadapan manusia, namun juga akan mempertanggung-jawabkan segala
amal perbuatannya di hadapan Allah, Tuhan Pencipta seluruh sekalian alam.
Kadar M. Yusuf (2010: 165) menyatakan bahwa suatu perbuatan baik tidak dapat
disebut dengan keshalehan jika tidak dibangun di atas akidah tauhid. Suatu perbuatan baik
tidak dapat dikatakan sebagai amal shaleh jika tidak dibangun di atas keimanan. Amal baik
yang dijalankan tidak berlandaskan pada keimanan kepada Allah Swt, sebanyak apapun
seseorang melakukannya, amalannya hanyalah sia-sia. Abdullah Nashih Ulwan (2012: 111)
menyatakan bahwa seorang pendidik wajib untuk mengajarkan kepada anak akan pedoman-
pedoman berupa pendidikan keimanan semenjak pertumbuhannya. Ketika orangtua
menjalankan amalan dengan landasan keimanan kepada Allah secara tidak langsung
sebenarnya ia tengah mengajarkan kepada anak perihal keimanan dan takwa.
Lebih lanjut Kadar M. Yusuf (2010: 166) menguraikan bahwa akidah tauhid dibangun
atas penalaran, karena suatu kepercayaan yang tidak dibangun atas penalaran yang benar
akan menjadi rapuh, terutama keimanan terhadap Keesaan Allah dan Kemahabesaran-Nya.
Untuk itulah al-Qur’an selalu mengajak manusia agar berpikir atau melakukan penalaran
terhadap fenomen alam yang ada di sekitarnya. Contoh, ayat pertama kali turun,
memerintahkan manusia untuk membaca dan meneliti. Membaca dan meneliti merupakan
syarat utama dalam melakukan penalaran. Itulah sebabnya orang berpikir (mulai menerima
informasi, menganalisis hingga melakukan pengambilan keputusan) didasarkan atas apa yang
dilihat, didengar, dibaca, dan dipelajarinya.
Karakter yang dapat dibiasakan agar seluruh anggota keluarga beriman dan bertakwa,
diantaranya: Percaya bahwa hanya ada satu Tuhan seluruh alam, Allah Swt, Percaya kepada
adanya malaikat, percaya dan berpegang teguh kepada al-Qur’an (kitab Allah), percaya
kepada rasulullah, percaya akan hal-hal ghaib termasuk hari akhir, percaya kepada qadha dan
qadar, melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah (melaksanakan amalan shaleh,
seperti: shalat, membaca al-qur’an, puasa, berzakat, bersedekah, dan lain sebagainya).
Kebiasaan lainnya yaitu menjauhi apa-apa yang dilarang Allah, biasakan berdiskusi atau
berdialog sesama anggota keluarga dalam rangka menambah keyakinan dan keimanan serta
ikatan seluruh anggota keluarga, dan mengadakan kegiatan di alam bersama seluruh anggota
keluarga agar lebih menghayati akan kemahabesaran ciptaan Allah.
2. Biasakan Mengasih dan Menyayangi
Sebagaimana Allah Yang Maha Pengasih, manusia hendaknya memiliki sifat
pengasih terhadap sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan. Berikan apa yang diperlukan
orang lain karena Allah. Sebab mungkin suatu saat nanti kita pun akan membutuhkan uluran
tangan dari orang lain. Tidak cukup hanya memberi, sesama manusia dan makhluk lainnya
juga harus saling menyayangi. Dengan saling menyayangi akan muncul sifat melindungi,
tenang, tenteram, dan bahagia.
Dengan sifat-sifat tersebutlah manusia dapat bertahan hidup. Manusia memiliki kodrat
untuk menyayangi dan disayangi. Rasa sayang dapat memberikan motivasi untuk bertahan
dan berkembang lebih baik lagi. Rasa sayang dapat mengakibatkan keberlangsungan hidup
seseorang. Sifat sayang terhadap seseorang membuat ia memberikan apa yang terbaik bagi
yang disayangnya itu.
Karakter yang dapat dibiasakan di rumah dalam hal kasih sayang, diantaranya:
memberi atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang, pangan, papan), merancang waktu
untuk berkumpul dengan keluarga (berkasih sayang: memberi perhatian, arahan dan didikan).
Pembiasaan dalam mengasih-sayangi anggota keluarga lainnya dapat ditujukan kepada
kakek, nenek, dan asisten rumah tangga juga memberi kebutuhan dan menyayangi makhluk
Allah lainnya seperti binatang dan tumbuhan.
3. Biasakan Saling Melindungi
Manusia diberi naluri untuk menjaga atau melindungi diri. Bahkan bukan saja hanya
dirinya sendiri, dengan kekuatan yang dimilikinya manusia juga diberi tanggung jawab untuk
melindungi (mengasih-sayangi) makhluk lainnya yang lemah. Itulah mengapa Allah Swt
memberikan kekuatan lebih kepada seorang ayah sebagai kepala keluarga dan memberinya
perintah (berkewajiban) untuk melindungi seluruh anggota keluarganya. Untuk dapat
menjaga dan melindungi diri dan keluarganya, setiap manusia hendaknya menata dirinya agar
memiliki kekuatan sehingga mampu menjadi pelindung seluruh anggota keluarga dari
berbagai ancaman serta mampu membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karakter yang dapat dibiasakan di rumah dalam hal melindungi, diantaranya yaitu
bagi anak yang telah dewasa dan bekerja, khususnya anak laki-laki wajib melindungi
orangtua dengan memberikan nafkah kepada mereka. Melindungi anggota keluarga lainnya
(isteri dan anak) bagi yang sudah menikah dengan memenuhi sandang, pangan, dan papan.
Memberi sandang berarti melindungi mereka dari terbukanya aurat. Memberi pangan berarti
melindungi mereka dari kelaparan. Dan memberi papan berarti melindungi mereka dari
kepanasan dan kehujanan. Melindungi anggota keluarga dari orang-orang yang jahat.
Melindungi keluarga atas bencana alam atau musibah yang terjadi. Seorang isteri melindungi
anak-anak dengan memberi pendidikan yang benar dan baik. Kakak membantu ibu menjaga,
melindungi, dan memberikan contoh yang baik bagi adiknya. Seorang isteri menjaga harta
suami, ketika suami pergi bekerja.
4. Biasakan Berdoa
Inti dari ibadah adalah doa. Doa dipengaruhi oleh otak dan hati. Hatilah yang
menggerakkan niat seseorang sedangkan otak mengarahkan jasmani (organ tubuh) dan akal
menjalankan strategi apa yang akan dilakukan untuk mencapai maksud hati tersebut. Doa
adalah harapan. Doa adalah kebutuhan, karena hanya Allah lah yang Maha Memiliki segala
apa yang ada di langit dan di bumi. Dengan demikian hanya kepada-Nya lah manusia
meminta dan memohon pertolongan. Allah mengabulkan doa seorang hamba pada waktu
yang ditentukan oleh-Nya, bukan pada saat hamba itu yang menentukan dan bukan pula pada
waktu yang diharapkan seorang hamba (Salim Bahreisy, 1984). Oleh karena itu, manusia
harus selalu berharap, berdoa, dan berusaha.
Banyak manfaat berdoa. Beberapa manfaat doa diantaranya: mengakui kehambaan,
mengakui Kemahabesaran Allah atas segala sesuatu, melatih kesabaran, melatih semangat
pantang menyerah (terus berusaha/berjuang), memberikan harapan, pasrah pada ketetapan
Allah Swt. Oleh karena itu, biasakan selalu mengucapkan doa baik sebelum maupun setelah
melakukan suatu kegiatan sehingga kegiatan akan lebih baik hasilnya dan hati selalu tenang.
Minimal bacalah basmalah sebelum melaksanakan suatu kegiatan dan akhirilah dengan
hamdallah.
5. Biasakan Mengucapkan Salam dan Mengetuk Pintu
Ajaran Islam mengabarkan bahwa di akhirat kelak (surga), kata yang banyak
diucapkan adalah salam. Salam memiliki arti menyampaikan doa kepada orang lain atau
makhluk lain. Doa yang ditujukan kepada orang lain hakikatnya adalah doa untuk diri sendiri.
Seperti yang telah diuraikan bahwa apa yang dilakukan sejatinya akan kembali kepada diri
sendiri.
Bukan hanya memberi salam yang perlu dibiasakan. Mengetuk pintu pun harus
dibiasakan saat berkunjung ke rumah, kamar, atau tempat orang lain. Untuk membiasakan
karakter ini perlu contoh dari para pendidik, terutama orangtua. Orangtua yang terbiasa
mengucapkan salam dan/atau mengetuk pintu saat masuk maupun keluar rumah akan
dicontoh anaknya. Maksudnya, anaknya pun akan melakukan hal sama ketika masuk dan/atau
saat keluar rumah, yakni tebiasa memberi salam dan mengetuk pintu. Semua perlu diajarkan
oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Pembiasaan memberi salam dan mengetuk pintu
saat masuk rumah atau ke kamar orang lain menumbuhkan karakter yang baik bagi anak.
Anak yang memiliki karakter baik tentu akan diterima baik di manapun. Sebab sebebas-
bebasnya manusia, mereka tetap memiliki naluri untuk mencari kebaikan dan kebenaran
(nilai-nilai, norma, dan etika).
6. Biasakan Izin atau Pamit Saat Akan Beraktivitas
Etika meminta izin bukan hanya untuk anak kecil tetapi juga untuk semua usia. Sedari
kecil anak sudah harus diajarkan untuk meminta izin ketika akan melakukan suatu kegiatan,
seperti masuk ke rumah atau kamar orang lain. Tidak hanya itu anak juga harus dibiasakan
untuk izin jika ingin pergi ke luar rumah. Anak pun hendaknya diajarkan untuk minta izin
ketika akan menggunakan barang yang bukan miliknya.
Etika meminta izin ini mengajarkan banyak hal kepada anak. Ketika anak meminta
izin, anak diajarkan menghargai hak orang lain. Selain itu, anak yang minta izin ketika akan
pergi ke luar rumah atau ruangan berarti menginformasikan kepada orangtua tentang apa
yang akan dilakukan dan di mana posisinya. Hal ini penting sekali karena banyak anak yang
tidak diajarkan meminta izin, sehingga ketika mereka pergi ke luar rumah dengan tidak izin
banyak hal yang tidak diharapkan terjadi. Sebab orangtua tidak mengetahui di mana anaknya
berada dan apa yang sedang dilakukannya akhirnya anak terjerumus dalam hal-hal yang
negatif, banyak juga kasus anak hilang, dan sebagainya.
Dengan meminta dan mendapat izin, akan ada banyak berkah dan manfaat. Berkahnya
adalah mendapatkan doa dan bekal lainnya. Seperti yang disampaikan dalam sebuah hadits,
dari Anas ra. Ia berkata: ”Ada seseorang datang kepada Nabi Saw da berkata: ”Wahai
Rasulullah sesungguhnya saya akan bepergian. Oleh karena itu berilah saya bekal!” Beliau
bersabda: ”Semoga Allah membekalimu dengan takwa”. Ia berkata lagi: ”Tambahlah bekal
itu!” Rasulullah bersabda: ”Semoga Allah mengampuni dosamu.” Ia berkata lagi:
”Tambahlah bekal itu!” Beliau bersabda: ”Semoga Allah memudahkan kebaikan kepadamu di
manapun kamu berada.” (HR. At-Tirmidzi).
7. Biasakan Beretika Saat Makan dan Minum
Makan dan minum sebaiknya tidak berlebihan. Pendidik hendaknya mengajarkan
sejak dini bagaimana etika makan dan minum yang baik dan benar. Selain membina etika
makan dan minum dengan baik dan benar, utamanya pendidik harus memberikan anak
makanan dan minuman yang halal dan bergizi. Ajarkan dan biasakan anak untuk makan dan
minum dengan tangan kanan. Bacalah doa sebelum makan atau minum. Tidak berbicara saat
mulut penuh dengan makanan atau minuman.
Ajarkan anak untuk mengetahui mana makanan yang sehat dan bergizi. Beritahukan
bahwa minuman yang baik bagi tubuh adalah air putih bukan minuman bersoda. Ajarkan
untuk makan dan minum secukupnya dan tidak dengan tergesa-gesa. Ajarkan bahwa
mengambil makanan harus dengan tangan kanan dan ambillah makanan yang paling dekat
dengan dia duduk. Jangan dibiasakan atau membiarkan anak usia dini makan dan minum
sambil jalan.
8. Biasakan Menutup Mulut Saat Menguap, Bersin, dan Batuk
Dalam keseharian tentu setiap orang pernah bahkan sering menguap karena ngantuk,
bersin, dan batuk. Ada etika atau adab atau perilaku yang hendaknya dilakukan ketika
menguap, bersin, dan batuk. Adab ini jika tidak dibiasakan maka anak ketika besar akan
seenaknya saja pada saat menguap, bersin, dan batuk.
Etika pada saat menguap, bersin, atau batuk yang dapat diajarkan dan dibiasakan
dalam keluarga, diantaranya: pada saat menguap hendaklah menutup mulut. Setelah menutup
mulut saat menguap, bagi yang beragama Islam hendaknya juga membaca doa (a’ȗdzubillȃhi
minassyaithȃnir-rajiim, artinya: ”Aku berlindung kepada Allah dari Syaitan yang terkutuk”).
Pada saat bersin juga hendaknya menutup mulut. Dalam ajaran Islam, bersin adalah
berkah. Tanda Nabi Adam sebagai manusia pertama hidup adalah setelah ia bersin. Setelah
diteliti, dalam ilmu kesehatan, ketika bersin juga ternyata sambil mengeluarkan virus yang
ada di tubuh melalui mulut. Oleh karena itu pada saat bersin hendaknya menutup mulut dan
mengucapkan doa (alhamdulillȃh, artinya segala puji bagi Allah). Orang yang mendengarkan
juga hendaknya mengucapkan doa (yarḫamukallȃh, artinya semoga Allah mengasihimu) dan
kemudian dibalas lagi dengan doa lagi oleh orang yang bersin itu sendiri (yahdīkumullȃh
wayushliḫubȃlakum, artinya semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan memperbaiki
urusanmu). Dan pada saat batuk hendaknya juga menutup mulut karena melalui batuk dapat
menularkan penyakit. Pembiasaan lain yang penting adalah tidak meludah sembarangan
karena di dalam air liur pun dapat membawa virus atau bibit penyakit.
9. Biasakan Jaga Kebersihan Diri dan Lingkungan
Menjaga kebersihan sangatlah penting, baik kebersihan diri sendiri maupun
kebersihan lingkungan. Menjaga kebersihan berarti menjaga keimanan. Dalam ajaran Islam
dikenal bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Menjaga kebersihan berarti menjaga
kesehatan baik diri sendiri maupun lingkungan, dalam fisik yang sehat itulah tempat iman
bersemayam.
Oleh karena itu, penting sekali untuk selalu menjaga kebersihan. Untuk selalu bersih
itu bukan hanya badan saja, tetapi juga hati harus bersih begitu juga dengan pikiran. Perlu
disadari bahwa bersih hati dan pikiran dapat berdampak pada kesehatan diri. Bersih hati dan
pikiran dapat berpengaruh terhadap kesehatan badan (jasad). Jika hati dan pikiran tidak
bersih, badan akan terkena dampaknya, yaitu menjadi sakit. Itulah mengapa menjaga
kebersihan merupakan sebagian dari iman.
Kebiasaan yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan diri diantaranya: menjaga
kebersihan badan, menjaga kebersihan mata, menjaga kebersihan tangan dan kaki, menjaga
kebersihan gigi, menjaga kebersihan setelah buang air kecil/besar. Sedangkan, kebiasaan
yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan lingkungan, diantaranya: biasakan sering
menyapu dan mengepel lantai seluruh bagian rumah, biasakan menyapu halaman atau
pekarangan rumah, bersihkan halaman dari tanaman yang terlalu rimbun atau rumput yang
sudah tinggi, jangan biarkan ada air yang menggenang di sekitar pekarangan atau lingkungan,
biasakan membuang (menyimpan) sampah pada tempat yang telah disediakan, dan bila
memiliki binatang peliharaan, bersihkanlah kadangnya secara teratur (Harlina Pribadi, 2011).
10. Biasakan Berpakaian Rapi dan Menutup Aurat
Terbukanya askes ke seluruh dunia (global), mempermudah diperolehnya informasi-
informasi yang sedang terjadi. Mode berupa gaya berpakaian, aksesories, hingga tatoo pun
tidak terlepas dari pengaruh globalisasi ini. Gaya hidup yang ditandai dengan menggunakan
pakaian dengan mode terbaru membuat orang yang memakainya merasa menjadi orang yang
memiliki kelas tersendiri dibanding dengan orang yang tidak mengikuti gaya mode terbaru.
Dalam pandangan mereka (orang Barat), mode merupakan bagian dari ekspresi diri dan seni.
Ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menutup aurat dan melarang untuk
menggunakan perhiasan yang berlebihan. Secara logis larangan tersebut tentu benar dan baik.
Sikap menyeleksi terhadap gaya hidup di masa sekarang ini mungkin lebih bijak daripada
selalu mengikuti perkembangan zaman yang berubah dengan sangat cepat dan belum tentu
memberi kebaikan. Penyeleksian mana yang sesuai dengan adat kebiasaan dan ajaran agama
lebih menyelamatkan dibanding selalu mengikuti apa-apa yang terbaru yang belum tentu
cocok dan membawa manfaat.
11. Biasakan Saling Menghormati dan Menghargai
Adab, etika, budi pekerti atau akhlak tidak hanya ditunjukkan kepada diri sendiri saja,
tetapi juga hendaknya ditujukan kepada orang lain. Jika ingin dihormati dan dihargai, maka
harus belajar menghormati dan menghargai orang lain. Begitu juga jika ingin dicintai, maka
harus belajar mencintai orang lain.
Adab menghargai tidak hanya ditujukan kepada orangtua atau orang yang lebih tua
saja, tetapi juga ditujukan kepada orang lain, misalnya teman sebaya dan orang yang usianya
lebih muda. Pembinaan adab saling menghargai ini tentu harus diberikan dan diajarkan
orangtua kepada anak sejak usia dini. Karena pembiasaan baik sejak dini, jika melekat pada
diri anak maka ia akan menjadi watak hingga dewasa. Pembiasaan menghargai orang lain
yang dicontohkan dan dibiasakan sejak kecil juga dapat mengurangi kasus bullying.
Kebiasaan-kebiasaan yang dapat dilakukan untuk saling menghargai dalam keluarga,
diantaranya: biasakan memanggil nama anggota lain dengan panggilan yang baik, biasakan
menggunakan bahasa yang lemah lembut, biasakan untuk belajar saling menerima
kekurangan dan kelebihan dari anggota lainnya. Dan biasakan menjalankan hak dan
kewajiban masing-masing.
12. Biasakan Berbahasa Santun
Kemampuan pertama anak dalam berbahasa adalah dengan mendengarkan. Sejak lahir
anak tidak memiliki pengetahuan apa-apa, maka ia harus dibantu untuk mendapatkan
pengetahuan melalui indera yang dimilikinya. Oleh karena itu, pendidik, utamanya orangtua
harus rajin menggunakan kata-kata yang baik atau berbahasa santun dalam berkomunikasi
terhadap sesama anggota keluarga, termasuk dengan anak.
Komunikasi yang disertai dengan kata-kata akan dapat didengar dan ditiru oleh anak.
Inilah awal pembelajaran anak dalam berbahasa santun. Jika orangtua sejak anak kecil sering
menggunakan bahasa yang kasar, maka anak akan terbiasa juga menggunakan bahasa
tersebut. Namun sebaliknya, apabila orangtua sejak anak kecil menggunakan bahasa santun
pada saat berkomunikasi, maka anak pun akan terbiasa menggunakan bahasa yang santun.
Walaupun kemudian perlu diingat bahwa lingkungan di mana anak tumbuh dan berkembang
berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter (berbahasa) anak.
Orangtua yang tidak membina anaknya dengan adab atau sopan santun sebenarnya
telah menjerumuskan anaknya tersebut ke dalam jurang kebinasaan. Dan sesungguhnya
pembinaan budi pekerti adalah hak anak atas orangtuanya. Dengan demikian, para orangtua
termasuk guru dan pendidik lainnya perlu menjaga setiap gerak atau perbuatan dan
perkataannya.
13. Biasakan Sportif, dan Kreatif
Sejatinya, orang yang memiliki pengetahuan yang luas dan menggunakan akalnya
dengan baik akan lebih paham bahwa perbedaan adalah sunatullah. Memahami bahwa
perbedaan akan selalu ada dapat menghindari pertikaian. Tentunya akal akan berfungsi
optimal apabila diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan. Namun bukan berarti manusia itu
merupakan makhluk yang sempurna. Manusia adalah makhluk yang terkadang hilaf atau
lupa; manusia terkadang menuruti hawa nafsu daripada akal sehat, sehingga terkadang juga
membuat kesalahan-kesalahan.
Menghadapi perbedaan atau kesalahan orang lain tentu harus dengan berlapang dada.
Karakter lain yang harus di kedepankan adalah saling memaafkan dan mengakui bahwa
manusia tidak luput dari salah dan khilaf. Sifat saling memafkan merupakan salah satu sikap
yang sportif dan dapat membantu manusia untuk menjadi orang yang berlapang dada.
Mengucapkan terima kasih juga merupakan hal yang sangat baik dalam hidup bersosial.
Manusia diberi akal untuk dapat dipergunakan, salah satunya untuk dapat menggali
dan mengelola alam. Banyak dari hasil alam yang dikelola sehingga lahirnya kreativitas dari
para penemu (ahli) yang bermanfaat bagi orang banyak. Karakter menemukan sesuatu yang
belum ada menjadi ada atau sesuatu yang sebelumnya tidak berguna menjadi berguna dan
memiliki nilai tinggi akhirnya membawa manusia pada kesejahteraan, peradaban yang tinggi,
dan bermartabat.
14. Biasakan Bersyukur
Bersyukur adalah obat jiwa. Sifat syukur yang dimiliki oleh manusia dapat membuat
hidup tenang, tenteram, dan bahagia. Sifat ini membuat manusia menikmati apa yang
dimiliki, baik sedikit maupun banyak. Allah Swt berfirman: ”Bersyukurlah, maka Allah akan
menambahkan nikmat-Nya”.
Sebaliknya, sebanyak apapun harta kekayaan atau kekuasaan yang dimiliki, jika tidak
bersyukur maka seseorang tidak akan pernah merasa bahagia. Seseorang akan selalu merasa
kurang dengan apa-apa yang telah dimilikinya. Jiwa tidak tenang dan hidup merasa selalu
tidak bahagia.
Menyatakan bersyukur dapat dengan cara berdoa, menjaga dengan baik apa-apa yang
telah diberikan, seperti menjaga kesehatan diri, membagikan rezeki kepada yang
memerlukan. Menyatakan bersyukur juga dapat dengan cara mengucapkan terima kasih, baik
kepada Allah maupun kepada makhluk Allah lainnya, menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya.
15. Biasakan Jujur
Bersikap jujur merupakan dasar pembinaan akhlak yang sangat penting bagi anak
sejak usia dini. Pembinaan untuk memiliki sifat ini tentu tidak lah mudah. Menanamkan sifat
jujur pada anak perlu perjuangan sejak mereka usia dini. Yang paling penting adalah orangtua
sebagai pendidik itu sendiri harus memiliki sifat jujur yang kemudian akan dicontohkan dan
diajarkan kepada anaknya. Bagaimana akan berhasil mendidik anak untuk memiliki sifat
yang jujur sedangkan orangtua sendiri belum memiliki sifat yang jujur.
Orang yang jujur akan dipercaya orang lain. Selain itu, karakter jujur ternyata dapat
membawa pada kondisi kejiwaan yang tenang. Sedangkan orang yang pembohong hidupnya
tidak akan tenang dan sulit dipercaya orang. Orang yang jujur tidak akan mengambil hak
orang lain, karena ia tahu bahwa mengambil hak orang lain berarti mencuri dan orang yang
mengambil hak orang lain biasanya akan berbohong untuk menutupi perbuatannya.
Perlu ditegaskan kembali bahwa orang yang berbohong (tidak jujur) akan membuat
dirinya berada dalam kegelisahan dan tidak akan dipercaya orang lagi. Sungguh tidak tepat
ketika ada orang yang mengakatan bahwa rugi menjadi orang yang jujur karena orang yang
jujur tidak akan mendapatkan apa-apa. Pemikiran seperti ini tentu saja tidak benar. Allah-lah
yang memberikan rezeki kepada setiap hamba yang diinginkan-Nya. Sedangkan sifat jujur itu
dianjurkan sebagai bagian dari akhlak mulia.
Dalam terjemahan Riyadhus Shalihin (2013: 34) dinyatakan bahwa kebenaran dan
kejujuran adalah kebaikan dan jalan selamat. Dan suatu perbuatan akan dinilai hanya karena
kesungguhan dan kejujurannya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda:
”Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun ke surga.
Silahkan seseorang selalu berlaku jujur supaya ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang
jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa
ke neraka. Silahkan seseorang selalu berdusta sampai ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.” (Muttafaq alaih).
16. Biasakan Adil dan Bijaksana
Adil berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya atau porsinya;
memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya. Adil berarti menegakkan kebenaran dalam
memutuskan suatu perkara tanpa pandang bulu (pilih kasih). Dan tentu saja, karakter adil ini
harus ditanamkan dan dipraktikan dalam keluarga dari sejak dini.
Setiap manusia memiliki karakter yang unik dan berbeda satu sama lain. Dalam
menyikapi perbedaan tersebut sepatutnya setiap orang belajar untuk bijak. Menghargai
perbedaan pendapat, mencoba menyelami sampai sejauh mana maksud dan tujuan dari setiap
orang sehingga akan diperoleh pemahaman yang proporsional dan menjauhkan diri dari
perselisihan. Sifat dan bersikap bijaksana tentu saja dapat diperoleh melalui pengalaman dan
pembelajaran dari waktu ke waktu. Karakter bijaksana merupakan proses perjalanan dari
kematangan pemikiran dan tindakan seseorang.
Bijaksana dalam kamus Bahasa Indonesia berarti selalu menggunakan akal. Sebab itu
orangtua (ayah dan ibu) sebagai pendidik pertama dan utama harus selalu menggunakan akal
ketika akan bertindak atau menyampaikan suatu nasehat, larangan, dan lainnya. Sesuatu yang
diputuskan kemudian disampaikan berdasarkan akal sehat akan dipahami dan diterima oleh
orang lain saat berkomunikasi dan berinteraksi, terutama anggota keluarga.
17. Biasakan Saling Memaafkan
Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia memiliki kelemahan dan
kekhilafan. Ketika orang lain melakukan kesalahan alangkah mulianya bila memberikan maaf
dan memberikan kesempatan kedua pada orang tersebut untuk memperbaiki kesalahannya.
Karena mungkin suatu saat kita pun dengan tidak sengaja melakukan suatu kesalahan dan
tentu saja kita berharap orang lain pun memaafkan dan mau memberikan kesempatan kedua
untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Seringkah berpikir bahwa Allah adalah Sang Maha Pemberi Maaf bagi hamba-hamba-
Nya. Berkali-kali manusia membuat kesalahan, namun ampunan dan rahmat Allah lebih
besar daripada murka-Nya. Dengan demikian, bukankah merupakan suatu keharusan bagi
setiap manusia untuk memiliki sifat pemaaf, karena setiap manusia tentu ingin selalu
mendapat ampunan dan berkah serta rahmat Allah dibanding murka dan siksa-Nya. Allah
Swt berfirman, ”Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nuur [24]: 22).
Memaafkan orang lain merupakan sifat terpuji. Oleh karena itu, sifat ini dalam
menjalin hubungan atau berkomunikasi sosial sangat dianjurkan. Dalam surah lain pun Allah
berfirman: ”Dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan” (QS. Ali Imran [3]: 134). ”Tetapi barangsiapa yang bersabar dan memaafkan,
sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia” (QS. Asy-
Syura [42]: 43).
18. Biasakan Bersabar
Bagi orang yang beriman, memiliki karakter sabar merupakan suatu keharusan.
Manusia hidup di dunia penuh dengan cobaan dan ujian. Cobaan dan ujian selalu datang silih
berganti, sehingga manusia dianjurkan untuk selalu memiliki sifat sabar. Allah Maha Adil
dan Bijaksana, sehingga dalam memberikan ujian kepada manusia tentunya tidak akan
melebihi kemampuan atau kesanggupan hamba-Nya dalam menghadapi ujian tersebut.
Sabar bukanlah pasrah (berdiam diri) tanpa usaha. Ujian kesabaran ada tingkatannya.
Sehingga pernyataan bahwa sabar ada batasnya tidaklah sepenuhnya tepat, karena ujian
datang silih berganti. Jika Allah mengetahui bahwa manusia tersebut memiliki kekuatan
yang jauh lebih besar yang tidak disadarinya, maka ia akan diberi ujian bertubi-tubi. Pada
saat manusia itu sadar bahwa Allah memberikan ujian tidak akan melebihi kemampuannya
maka dengan kesabarannya ia akan menjadi pemenang. Namun sebaliknya, jika ia hanya
mengandalkan kemampuannya tanpa beriman dan bertawakal kepada Allah, maka ia akan
mudah putus asa. Sifat bersabar yang dibarengi usaha dan keyakinan pada Allah sebagai
penolong membuat manusia akan mendapatkan banyak hikmah serta derajat kemuliaan.
19. Biasakan Sifat Lemah Lembut
Orangtua hendaknya bersikap lemah lembut dalam memperlakukan anaknya. Sifat
dan perilaku orangtua tentu akan dicontoh anak sehingga anak pun akan memiliki sifat dan
perilaku lemah lembut. Sifat lemah lembut dewasa ini sepertinya sudah mulai memudar.
Banyak fenomena yang terjadi, orangtua yang berperilaku kasar atau menyakiti anaknya.
Lebih celakanya lagi, karena contoh yang dilihatkan orangtua, banyak pula anak yang
tega menyakiti orangtuanya. Sifat lemah lembut pada hakikatnya dapat menyenangkan jiwa.
Sangat disesalkan, karena hati manusia zaman sekarang sudah dibutakan oleh kesenangan
dan kecintaan pada materi dunia, perasaan mereka sudah tidak begitu peka (keras lagi kasar)
terhadap sesama manusia dan makhluk Allah lainnya. Gunakan bibir untuk kebaikan, seperti
tersenyum atau mendoakan. Jangan menggunakan bibir untuk mencibir, jangan pula gunakan
mulut untuk meludahi atau memaki orang lain. Dan bila tertawa janganlah mulut dibuka
terlalu lebar. Andai saat tertawa kelihatan gigi, maka tutuplah mulut dengan tangan.
20. Biasakan Menepati Janji
Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga atau dijalankan. Menjaga
amanah berarti menjaga kepercayaan orang lain. Amanah dapat saja diberikan atau diterima
dari siapa saja. Oleh karena itu, menjaga amanah hakikatnya adalah menjaga hubungan sosial
baik dalam lingkungan keluarga maupun di masyarakat sehingga orang akan percaya dan
memberikan kepercayaannya.
Menjaga amanah tidaklah mudah, namun juga merupakan suatu keniscayaan jika
dibiasakan berperilaku amanah. Manfaat orang yang mampu menjaga amanah atau rahasia
ialah ia akan selalu dipercaya oleh orang lain. Kepercayaan yang didapat dari orang lain
dapat menjadi salah satu kriteria kesuksesan seseorang. Agar anak menjadi orang yang dapat
dipercaya hendaknya ditanamkan sifat amanah oleh para pendidik kepada anak sejak usia
dini.
Menanamkan anak untuk mampu menjaga amanah (tidak mengambil yang bukan
haknya atau tidak menyampaikan suatu hal yang mesti dirahasiakan) memang harus dilatih.
Orangtua harus melatihnya dengan sabar dan terus-menerus. Ujian untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan anak menjaga amanah atau kepercayaan pun perlu diperhatikan dan
dilakukan evaluasi untuk perbaikan dan pembinaan selanjutnya.
21. Biasakan Selalu Menuntut Ilmu (Belajar)
Agar bisa disebut pandai manusia harus menuntut ilmu, agar dapat memperoleh
pekerjaan yang layak manusia harus berilmu. Begitu juga ketika ingin bahagia dan masuk
surga, manusia harus berilmu. Tanpa ilmu manusia akan kehilangan pegangan, bahkan
banyak orang yang tidak berilmu dibodohi (dianiaya) dan diperbudak orang-orang yang
kurang bertanggung jawab.
Ilmu dapat membawa manusia dari yang tidak tahu pada sesuatu yang akhirnya ia
ketahui. Itulah mengapa ada peribahasa yang menyatakan bahwa ilmu adalah jendela dunia.
Dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, ditambah dengan akhlak mulia manusia jadi
lebih alim dan bijak. Manusia seperti ini (berilmu dan berakhlak) akan mampu menjaga dan
mengelola apa-apa yang diamanahkan kepadanya. Dia akan mampu menjadi manusia yang
paripurna, khalifah (pemimpin) di muka bumi.
22. Biasakan Bergotong Royong
Sebab kemampuan manusia terbatas atau berbeda antara satu dengan yang lain,
manusia perlu saling membantu. Manusia perlu bergotong royong sehingga tujuan dapat
tercapai. Dengan bergotong royong pekerjaan atau tanggung jawab berat akan terasa lebih
ringan. Selain bergotong royong dapat meringankan beban kerja, perilaku bergotong royong
juga dapat memupuk persatuan dan kesatuan. Istilah lainnya adalah menjalin ukuwah atau tali
persaudaraan.
23. Biasakan Selalu Bersemangat dan Pantang Menyerah
Hidup itu tumbuh berkembang. Tumbuh ditandai dari segi fisik, berkembang dari segi
psikis dan intelektual. Manusia dalam menghadapi kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai masalah dan tantangan yang amat besar dan rumit yang tidak seluruhnya mudah
dipecahkan (Djaali, 2009: 65). Oleh sebab itu, dalam kehidupan manusia tidak boleh berputus
asa, sebab putus asa akan menyebabkan kehancuran bahkan kematian. Sebab hidup penuh
tantangan dan persoalan, manusia harus semangat dan pantang menyerah. Kesusah-payahan
dalam berjuang akan memberikan makna dalam hidup. Dari perjuangan dan semangat dalam
menghadapi berbagai persoalan akan membuat seseorang menemukan hikmah kehidupan.
Semakin bertambah usia kehidupan dan semakin berjuang serta menyadari banyak hikmah
yang ada di dalamnya, maka akan semakin membuat diri menjadi orang yang bijak.
24. Biasakan Mandiri dan Bertanggung Jawab
Untuk memperoleh status menjadi anggota masyarakat terhormat (mandiri), Slamet
Imam Santoso (1981), menawarkan agar setiap jenis pendidikan harus mengembangkan
semua bakat pada anak didik. Pemupukan bakat tentu saja paling awal berlangsung di
lingkungan keluarga. Tujuan pemupukan bakat ini yaitu agar anak tidak selalu
menggantungkan segala keperluannya kepada orang lain.
Mengutip Nur Ahid (2010: 126), Umar Faruq mengutarakan bahwa pada mulanya
anak selalu saja memohon bantuan kepada orangtuanya dalam setiap kesukaran yang
dihadapinya, akan tetapi hal itu tidak harus terus-menerus. Keluarga hendaknya secara sadar
membiarkan anak untuk belajar mandiri.
Manusia tidak akan selamanya menggantungkan hidupnya pada orangtua atau orang
lain. Tidak ada yang hidup abadi, demikian pula orangtua. Oleh sebab itu, anak hendaknya
dididik untuk memiliki karakter mandiri sejak usia dini. Sedari kecil anak dibiasakan untuk
mengerjakan sesuatu yang sudah dapat dilakukannya sendiri. Dan ketika beranjak remaja
anak diajarkan kecakapan hidup atau keterampilan yang dapat membuatnya hidup mandiri
(dapat menghidupi diri bahkan keluarganya dengan keterampilan yang dimilikinya). Dengan
kata lain, anak sejak usia dini harus dilatih untuk belajar mandiri.
Mengutip Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 60) Diane Trister Dogde
(2008) mengemukakan bahwa kemandirian anak usia dini dapat dilihat dari pembiasaan
perilaku dan kemampuan anak dalam kemampuan fisik, percaya diri, tanggung jawab,
disiplin, pandai bergaul, mau berbagi, dan mengendalikan emosi. Dalam memperoleh
kemandirian baik secara sosial, emosi, maupun intelektual, anak harus diberikan kesempatan
untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Perkembangan kemandirian anak usia dini dapat dideskripsikan dalam bentuk
perilaku dan pembiasaan anak. Berdasarkan Martinis dan Jamilah (2013: 58) mandiri dalam
arti lain bagi anak usia dini adalah bagaimana membiasakan anak belajar untuk mencuci
tangan, makan, memakai pakaian, mandi, atau buang air besar/kecil sendiri. Demikian juga
anak yang senang bermain dan mainannya berserakan di mana-mana. Setelah selesai
bermain, ajarkanlah oleh pendidik kepada anak untuk membiasakan membereskan kembali
mainan yang digunakan ke tempat mainan. Sementara itu faktor kemandirian seseorang dapat
dilihat dari indikator-indikator, diantaranya yaitu kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung
jawab, disiplin, pandai bergaul, saling berbagi, dan mengendalikan emosi.
Maja Pitamic (2012: 6) menguraikan beberapa aktivitas yang dapat mengajarkan anak
untuk mandiri. Ide yang disampaikannya berdasarkan filosofi mengajar Montessori. Pendidik
dibawa untuk mampu mengajarkan kepada anak-anak agar mereka mampu melakukan hal-hal
untuk dirinya sendiri sehingga menempatkannya menuju pada kemandirian.
Ngalim Purwanto (1994: 19) mengutarakan bahwa pendidikan ialah pimpinan orang
dewasa terhadap anak dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Jadi di sini terang
bahwa tujuan umum dari pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang
berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Anak
harus dididik menjadi orang yang sanggup mengenal dan berbuat menurut kesusilaan.
Orang dewasa adalah orang yang sudah mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup,
norma-norma kesusilaan, keindahan, keagamaan, kebenaran, dan hidup sesuai dengan nilai-
nilai dan norma-norma tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perbuatan harus
dipertimbangkan terlebih dahulu baik-buruknya. Orang yang selalu mempertimbangkan
konsekuensi atas apa yang akan dilakukannya dapat mencegahnya dari akhlak tidak terpuji.
Setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah diperbuatnya.
Mengingat setiap perbuatan ada perhitungannya, hendaknya manusia menggunakan akal
pikiran dan hati sebagai penentu, akankah ia berbuat baik atau akankah ia hanya mengikuti
hawa nafsunya dan mengindahkan hati serta akal sehatnya. Jika perbuatan baik yang
dilakukannya maka kebaikan yang akan diperolehnya. Namun sebaliknya, jika perbuatan
buruk yang dilakukannya, maka hukumanlah yang akan diperolehnya baik di dunia maupun
diakhirat.
25. Biasakan Merawat dan Menjaga Barang Pribadi dan Keluarga
Begitu banyak barang yang dimiliki oleh sebuah keluarga, namun ada yang menjaga
dengan baik ada anggota keluarga yang mudah merusakkannya. Ada juga sebuah keluarga
yang tidak memiliki barang begitu banyak di rumahnya, namun ada yang apik atau merawat
barangnya ada juga anggota keluarga yang mudah merusakkannya.
Dengan harga barang-barang yang semakin naik dewasa ini, maka perlu kiranya
orangtua mencontohkan dan memerintahkan kepada seluruh anggota keluarga menjaga dan
merawat barang yang dimilikinya. Boleh jadi karena berasal dari keluarga mampu,
anggotanya menyatakan bahwa jika barang yang ada rusak atau hilang, tidak perlu khawatir
karena nanti dapat diganti dengan cepat. Akan tetapi bukankah ketika belajar berhemat
dengan menjaga dan merawat barang yang dimiliki, kelebihan harta dapat dialokasikan untuk
hal lain yang lebih bermanfaat. Berhemat dan bersahaja dengan merawat dan menjaga
barang-barang pribadi mapun keluarga merupakan karakter yang baik.
26. Biasakan Bekerja Terampil
Membiasakan bekerja dengan terampil adalah karakter yang baik. Dalam kehidupan
di rumah banyak hal yang dapat dilaksanakan dengan bekal keterampilan. Jika sekarang para
pendidik melihat dan mau jujur, maka tidak semua orang dapat bekerja dengan terampil dan
jujur dalam kegiatannya sehari-hari di rumah. Semua (perilaku baik) perlu pembiasaan sejak
dini.
Contoh kegiatan yang membutuhkan keterampilan dalam rumah, diantaranya adalah
memasak, mencuci, menyapu, menyetrika pakaian, dan lainnya. Semua kegiatan tersebut
perlu keterampilan. Dan karakter yang dapat muncul dari sikap terampil ini adalah karakter
teliti, rapi, rajin, tekun, hati-hati, dan lain sebagainya. Berbekal keterampilan itulah seseorang
akan terampil bekerja dan hasilnya memuaskan. Selain itu orang yang terampil dalam bekerja
tidak perlu menghabiskan waktu yang banyak saat mengerjakan tugasnya (efisien).

Simpulan
Pembiasaan merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengaplikasikan perilaku-
perilaku yang belum pernah atau jarang dilaksanakan menjadi sering dilaksanakan hingga
pada akhirnya menjadi kebiasaan. Hakikat dari pendidikan karakter adalah menerapkan
disiplin dalam setiap perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Karakter disiplin pertama-tama
dan utamanya harus dibiasakan dalam kehidupan di lingkungan keluarga. Beberapa
pembiasanaan karakter prakis yang dapat dilaksanakan dalam keluarga oleh seluruh anggota
keluarga dalam kehidupan sehari-hari diantaranya pembiasaan iman dan takwa, mengasih-
sayangi, saling melindungi, berdoa, mengucapkan salam dan mengetuk pintu, izin atau pamit
saat akan beraktivitas, beretika saat makan dan minum, menutup mulut saat menguap, bersin,
dan batuk, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, berpakaian rapi dan menutup aurat,
saling menghormati dan menghargai, berbahasa santun, sportif dan kreatif, bersyukur, jujur,
adil dan bijaksana, saling memaafkan, bersabar, lemah lembut, menepati janji, bergotong
royong, selalu bersemangat dan pantang menyerah, mandiri dan bertanggung jawab, serta
terampil.

Daftar Pustaka
Ahid, Nur. (2010). Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
An-Nawawi, Imam. (2013). Terjemah Riyadhus Shalihin. Semarang: Pustaka Nuun.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kepmendikbud RI No. 0186/P/1984.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Departemen, Pendidikan Nasional. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Djaali. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Helmawati. (2014). Pendidikan Keluarga ”Teoretis dan Praktis”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Helmawati. (2017). Pendidikan Karakter Sehari-Hari”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Khan, D. Yahya. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri “Mendongkrak Kualitas
Pendidikan”. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Langgulung, Hasan. (2004). Manusia dan Pendidikan “Suatu Analisa Psikologis, Filsafat
dan Pendidikan”. Jakarta Pustaka Al Husna Baru.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. (2001). Etika dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta: Al Ishlahy
Press.
Lickona, Thomas. (2013). Character Matters ”Persoalan Karakter Bagaimana Membantu
Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting
Lainnya”. Jakarta: Bumi Aksara.
Megawangi, Ratna. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Nata, Abuddin. (2003). Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Bogor: Kencana.
Oxford Learner’s Pocket Dictionary New Edition. (2000). Oxford University Press.
Pitamic, Maja. (2012). Teach Me To Do It Myself ”Aktivitas-Aktivitas Mentassori untuk Anda
dan Anak Anda”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pribadi, Harlina. (2011). Peduli Lingkungan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pribadi, Sikum. (1981). Menuju Keluarga Bijaksana. Bandung: Yayasan Sekolah Istri
Bijaksana.
Purwanto, M. Ngalim. (1994). Ilmu Pendidikan “Teoretis dan Praktis”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Santoso, Slamet Imam. (1981). Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: UI
Press.
Susanto, Darma. (1994). Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Tafsir, Ahmad. (2017). Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang PMDK IKIP Semarang. (1991). Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: IKIP
Semarang.
Ulwan, Abdullah Nashih. (2012). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: Asy-
Syifa.
Yamin, Martinis dan Jamilah Sabri Sanan. (2013). Panduan PAUD. Ciputat: Referensi.
Yusuf, Kadar M. (2010). Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amsah.

Anda mungkin juga menyukai