Anda di halaman 1dari 6

Golkar: Mesin Politik Soeharto

Dalam Pelaksanaan Pembangunan


Oleh: Adnan Yasir (1906387221)

Rezim otoriter Orde Baru dibawah kepimimpinan Soeharto yang berkuasa lebih dari tiga
dekade tercatat sebagai era Pemerintahan terlama di Indonesia. Selama masa Pemerintahan
tersebut, pencapaian khususnya di bidang ekonomi dan pembangunan telah mengukir banyak
prestasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,98% (World Bank, 2000). Namun di bidang
lainnya, sering terjadi berbagai macam kontroversi seperti konflik antar partai politik, kasus
pelanggaran HAM, dan praktik KKN yang menjadi ‘dosa’ selama Orde Baru. Lamanya Soeharto
berkuasa di era Pemerintahan Orde Baru tidak lain karena adanya dukungan kuat dari ABRI,
Birokrat, dan Golongan Karya (Rahmah, 2016).
Patron-klien antara Soeharto dengan tiga elemen ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) menyusun
berbagai macam strategi untuk melanggengkan posisinya di tampuk kepemimpinan. Terutama
Golkar yang merupakan organisasi non-parpol menjadi mesin politik Soeharto dan memegang
peranan sangat penting. Golkar dibentuk pada 20 Oktober 1964 oleh golongan militer Angaktan
Darat yang kala itu berupa organisasi politik Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan
Karya). Golkar saat itu hadir untuk menciptakan kekuatan sosial-politik dengan asas Pancasila dan
untuk menandingi pengaruh PKI (Nisa et al., 2017). Golkar baru menguat saat presiden Soekarno
digantikan oleh Soeharto pada 1967 (Pinter politik, 2019).
Strategi kejayaan Golkar selama Orde Baru digapai melalui kebijakan yang dibuat oleh
Soeharto dengan memanfaatkan kalangan ABRI, kaum birokrat, dan pegawai negeri (Topik,
1981). Perlakuan istimewa Soeharto yang menguntungkan Golkar membuatnya semakin
merajalela dan menjadikan kekuatan Single Majority (Nisa et al., 2017). Begitu pun sebaliknya,
pimpinan Golkar yang merupakan orang terdekat Soeharto dari kalangan militer selalu
mengusungnya sebagai calon Presiden. Simbiosis mutualisme antara Soeharto dan Golkar itulah
yang menjadikan keduanya terus berjaya.
Dilansir situs Tirto (2019), kemenangan Golkar secara berturut-turut di setiap pemilu selalu
menempatkan perwakilannya sebanyak lebih dari 60% dari total kursi di DPR (Lihat Tabel 1).
Mengacu pada Bab II Pasal 2 UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa MPR terdiri atas anggota
DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Sehingga dominasi Fraksi Golkar
di tubuh DPR otomatis menjadikan kekuatan politik di tubuh MPR (Asshiddiqie & Manan, 2006).
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (sebelum amademen), Presiden kala itu masih
dipilih langsung oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal tersebut menyebabkan Soeharto
yang dicalonkan oleh Golkar selalu terpilih kembali dan diangkat menjadi presiden pada sidang
umum MPR.
Tabel 1. Hasil Pemilu Orde Baru

Pemilihan Orde Baru


Hasil 1971 1977 1982 1987
Golkar 62,8% 62,1% 64,3% 73,2%
PPP 27,1 29,3 27,2 16
PDI 10,1 8,6 7,9 10
Jumlah 100 100 100 100
Sumber: Liddle, 1992, hlm. 92
Perlakuan Istimewa Soeharto Kepada Golkar
Salah satu bentuk kelompok kepentingan yang menguntungkan Golkar yaitu melalui
pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dengan memanfaatkan birokrasi/PNS.
Korpri didirikan Soeharto lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 82 tahun 1971.
Korpri menjadi satu-satunya wadah resmi penghimpun pegawai negeri, pegawai BUMN, pegawai
BUMD, serta perusahaan dan Pemerintah desa (Kompas, 2019). Korpri merupakan bagian dari
birokrasi negara dan memiliki tugas sebagai pelaksana kebijakan publik, serta abdi negara yang
siap melayani seluruh masyarakat Indonesia. Namun, Korpri dipolitisasi oleh Pemerintah dengan
memobilisasi aggotanya untuk memberikan monoloyalitas dukungan terhadap Golkar (Nisa et al.,
2017).
Bentuk politisasi Korpri dilibatkan dalam proses pemenangan peserta pemilu dalam
suasana kultur politik yang belum demokratis, otoritarian, diskriminatif, dan tidak nertral
(Pengkajian et al., 2011). Kebijakan monoloyalitas juga mewajibkan pegawai negeri yang
tergabung dalam Korpri untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada Sekber Golkar dan dipaksa
mencoblos Golkar di setiap pemilu. Fenomena politik praktis semacam itu juga terjadi di tingkat
pejabat birokrat. Pejabat daerah tingkat Provinsi, Kotamadya, dan Kecamatan menekankan kepada
kepala-kepala desa untuk mengumpulkan suara dan menarik simpati rakyat untuk menusuk
gambar Golkar agar kemenangan Golkar bisa terus tercapai (Liddle, 1992).
Dukungan Pemerintah lain yang menjadikan Golkar berada di atas angin yaitu melalui
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 Tahun 1970. Peraturan tersebut
menyebabkan kehancuran partai-partai politik antara lain diputusnya hubungan struktural pegawai
negeri dengan partai politik. Golkar yang kala itu berupa non-parpol tidak dirugikan sedangkan
dua parpol lain (PDI dan PPP) sebagai peserta pemilu sangat dirugikan. Peraturan tersebut
mewajibkan seluruh pegawai negeri loyal pada Pemerintah Orde Baru dengan memenangkan
Golkar (Nisa et al., 2017).
Mengutip Surat Kabar Suara Karya, 14 April 1982, Mendagri Amirmachmud yang juga
selaku Ketua Dewan Pembina KORPRI Pusat menyatakan bahwa: “Monoloyalitas itu wajib
dilakukan agar warga KORPRI tidak pecah belah, tetapi tetap utuh, kokoh dan bersatu. Mendagri
Amirmachmud juga menegaskan kembali kepada seluruh jajaran KORPRI termasuk keluarganya
bahwa, tidak wajib hukumnya untuk menusuk gambar Ka’bah”1. Hal tersebut semakin jelas bahwa
doktrinasi dilakukan di tubuh Korpri baik di tingkat pusat maupun daerah agar pegawai negeri
senantiasa mencoblos Golkar.
Kebijakan-kebijakan lain oleh Pemerintah yang membuat Golkar semakin merajalela
diantaranya yaitu pemberlakuan Dwifungsi ABRI, penyederhanaan partai politik melalui fusi,
penetapan asas tunggal Pancasila, dan penerapan konsep Floating Mass (Pengkajian et al., 2011).
Berbagai perlakuan istimewa tersebut memperkuat akar beringin Golkar sehingga mengantarkan
kemenangan yang mutlak di setiap pemilu. Kemenagan partai Golkar sekaligus mencerminkan
kemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusungnya (Asshiddiqie & Manan, 2006).
Stabilitas Politik Bagi Pembangunan Ekonomi
Di era Orde Baru, MPR memiliki wewenang untuk menetapkan GBHN (Garis Besar
Haluan Negara) dengan dibantu Presiden yang bersidang tiap lima tahun sekali dan disahkan
melalui TAP MPR (Bratakusumah, 2003). Lebih lanjut, GBHN ini menjadi peletak dasar dalam
proses penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) selama Orde Baru (Lihat Bagan
1). Pemeran utama yang tak tergantikan oleh Soeharto dan Golkar di dalam panggung eksekutif
dan legislatif memberikan dampak pada penentuan kebijakan ekonomi. Indikasinya, Golkar dan
Pemerintah rezim Soeharto berupaya menjaga stabilitas politik pada masanya sebagai prasarat bagi
pembangunan ekonomi (Subkhan, 2014).
Bagan 1. Siklus Perencanaan Pembangunan Nasional 1969 – 1998

Sumber: Bratakusumah (2003)


Penentuan arah kebijakan yang berkesinambungan mampu menjaga stabilitas ekonomi dan
politik. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Adam Malik selaku menteri Luar Negeri di dalam
buku yang berjudul “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”. Adam Malik

1
Suara Karya, 14 April 1982 hal 1 yang berjudul “Jangan Malu Dan Takut, Tunjukkan Identitas KORPRI Di Tengah –
Tengah Masyarakat”
menyatakan bahwa: “Kemenangan Golkar ini, maka fihak luar negeri akan bertambah jakin bahwa
stabilitas ekonomi dan politik bisa lebih mantap lagi”.2
Menurut Subkhan (2014) dalam jurnalnya yang berjudul “GBHN dan Perubahan
Perencanaan Pembangunan Di Indonesia”, tahapan pembangunan yang disusun pada masa itu
telah meletakkan dasar-dasar dalam proses pembangunan berkelanjutan sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan
sosial. Fokus utama Pemerintah dalam melakukan kebijakan ekonomi mengacu pada Trilogi
Pembangunan yang terdiri dari: (i) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis; (ii) Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dilansir situs HM Soeharto (2014), Prestasi pembangunan oleh Soeharto meliputi: (1)
pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan rata-rata 7,2% pertahun selama periode tahun 1967-
1997; (2) peningkatan produksi beras pada tahun 1980-1989 sebanyak 28 juta ton dan
menjadikannya sebagai negara swasembada pangan; (3) pertumbuhan penduduk Indonesia
menurun 1,6% selama kurun waktu 1967-1996 melalui program KB; (4) meningkatnya pemasukan
modal dari luar negeri rata-rata 42,10% pertahun selama kurun waktu 1977-1997; dan masih
banyak pencapaian lainnya. Tak heran jika Golkar mengusulkan gelar untuk Soeharto sebagai
Bapak Pembangunan.

2
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam
Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 749-750.
Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J., & Manan, B. (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden
Secara Langsung. xvi.
Nisa, N. I., Na’im, M., & Umamah, N. (2017). Strategy of Golongan Karya to be Winner in
Election Year 1971-1997. Jurnal Historica, 1(1), 141–151.
Pengkajian, B., Pertanian, T., & Timur, J. (2011). Di Jawa Timur. 21(1), 185–190.
Subkhan, I. (2014). GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Aspirasi,
5(2), 131–144.
Rahmah, G. S. (2016). “Kiprah politik Harmoko pada masa Orde Baru melalui Analisis biografi
(1983-1999)”. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung.
Liddle, R. W. (1992). Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta:
LP3ES.
Suara Karya, 14 April 1982 hal 1 yang berjudul “Jangan Malu Dan Takut, Tunjukkan Identitas
KORPRI Di Tengah – Tengah Masyarakat”
Majalah Topik, (1981). Harapan Para Cendekiawan. Edisi Oktober (175):7-9
Bratakusumah, Deddy Supriady. 2003. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (makalah tidak diterbitkan)
Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita, Jakarta: Antara Pustaka Utama,
2008
Tirto. (2019). Jurus ABG Membuat Golkar Sapu Bersih Pemilu Orde Baru. Diakses melalui
https://tirto.id/jurus-abg-membuat-golkar-sapu-bersih-pemilu-orde-baru-eeYR
HM Soeharto. (2014). Prestasi Pembangunan - Bidang Ekonomi – Soeharto. Diakses melalui
https://soeharto.co/prestasi-pembangunan-bidang-ekonomiprestasi-pembangunan-bidang-
ekonomi/
Kompas. (2019). Menurut Pakar Tata Negara, Ini Perbedaan MPR Orde Baru dan Sekarang.
Diakses pada https://nasional.kompas.com/read/2019/08/13/11563191/menurut-pakar-tata-
negara-ini-perbedaan-mpr-orde-baru-dan-sekarang?page=all
STATEMENT OF AUTHORSHIP

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah atau tugas terlampir
merupakan murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan atau digunakan untuk makalah atau tugas pada mata
pelajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menggunakannya.
Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Nama : Adnan Yasir
NPM : 1906387221
Tanda Tangan :

Mata Kuliah : Ekonomi Politik


Judul Makalah/Tugas : Golkar: Mesin Politik Soeharto Dalam Pelaksanaan Pembangunan
Tanggal : 13 April 2021

Anda mungkin juga menyukai