Anda di halaman 1dari 4

3

TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar di dunia


dengan luas kawasan hutan sebesar 120,7 juta ha. Namun, dalam kurun waktu 10
tahun terakhir terjadi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan manusia
diantaranya illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik kepentingan
yang tidak lagi mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kondisi tersebut
menyebabkan semakin menurunnya pasokan kayu, sehingga perlu dilakukan
upaya pengelolaan hutan salah satunya adalah dengan meningkatkan pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). komoditas HHBK dapat dikelompokkan
menjadi lima tujuan yaitu, makanan dan produk turunannya, ornamen tanaman,
hewan liar dan produknya, bahan bangunan non kayu, dan bahan bioorganik.
Sedangkan untuk ekonomi, yakni mengenai penggunaan dan analisis pasar,
HHBK terbagi dalam tiga kategori, yaitu tingkat subsisten (untuk konsumsi
sendiri), tingkat penggunaan lokal (semi komersial), dan
komersial ( Mohamad iqbal ,2018).
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dalam pasal 6 ayat (1)
disebutkan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi. Sedangkan pada pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa
pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut : hutan
konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi Peranan HHBK akhir-akhir ini
dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin
menurun. Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK
sebagai produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis diperoleh dari hutan
dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Perubahan paradigma dalam
pengelolaan hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan (ekosistem
hutan secara utuh), juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan selain
kayu (Harun, 2009).
Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah menetapkan jenisjenis kayu
pertukangan lokal prioritas untuk penelitian dan pengembangan terutama di
Sumatera bagian selatan. Jenis bambang lanang (Michelia sp.), sungkai
(Penorema canescens), kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) dan
4

tembesu (Fagraea fragrans) dinilai sebagai empat jenis teratas yang mewakili
lahan kering (tanah mineral), sementara gelam (Melaleuca cajuputi) merupakan
jenis prioritas bagi lahan basah (rawa). Dari keempat jenis kayu pertukangan
prioritas lahan kering, jenis yang mewakili lokalitas Sumatera bagian selatan
adalah bambang lanang (Michelia sp.), kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack)
Jacobs) dan tembesu (Fagraea fragrans). Adapun sungkai (Penorema canescens)
cenderung menyebar secara merata di seluruh daratan Sumatera. Bambang lanang
(Michelia sp.) dan kayu bawang (Azadirachta excelsa) prospektif untuk
dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman. Bambang lanang(Michelia sp.) dan
kayu bawang (Azadirachta excelsa Jacobs) mempunyai daur lebih pendek.
menyatakan bahwa umumnya masyarakat mulai memanen kayu bawang pada
umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m3 ( Nur Arifatul et al., 2015)
Pengembangan hutan rakyat perlu terus dilakukan untuk memperoleh
manfaat yang optimal. Akan tetapi, dalam pengembangan hutan rakyat perlu
memahami sistem pengelolaan hutan rakyat yang meliputi subsistem produksi,
pemasaran, pengolahan dan kelembagaan. Apabila sistem pengelolaan hutan
rakyat masih ada subsistem yang lemah, maka subsistem ini akan menentukan
keberhasilan dan keberlanjutan usaha hutan rakyat. Penelitian ini menganalisis
subsistem produksi dan pemasaran yang merupakan mata rantai dari sistem
pengelolaan hutan rakyat. Dengan demikian, akan diperoleh gambaran
pengelolaan hutan rakyat yang berjalan saat ini khususnya subsistem produksi dan
pemasaran untuk mengoptimalkan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten
Kebumen. Salah satu daerah yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat
adalah Kabupaten Kebumen yang memiliki luas wilayah 128 111.50 ha dengan
kondisi wilayah berupa daerah dataran rendah dan pegunungan. Pada tahun 2010
tercatat 88 343.50 ha merupakan lahan kering dan 39 768 ha
lahan sawah. Penggunaan lahan kering (bukan sawah) dibagi menjadi lahan untuk
pertanian seluas 42 799.50 ha dan bukan untuk pertanian
45 544 ha ( Andy Risasmoko et al., 2016)
Hutan rakyat telah lama dikembangkan oleh masyarakat di Indonesia.
Secara umum hutan rakyat memliki beberapa kelompok pengelolaan seperti
monokultur, polikultur dan agroforesti. Dalam pengaplikasiannya kelompok ini
5

hadir oleh beberapa faktor kebutuhan dan kebiasaan masyarakat dalam berkebun.
Faktanya pengelolaan hutan rakyat sejauh ini masih sepenuhnya bergantung pada
selera dan keinginan masyarakat pemilik lahan. Disisi lain hutan rakyat memiliki
potensi penghasil pangan yang dapat berkontribusi terhadap permasalahan
pemenuhan kebutuhan pangan tingkat lokal maupun nasional. Pengelolaan hutan
rakyat yang berorientasi sebagai penghasil pangan dapat memberi sulusi alternatif
terhadap permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia. Hutan tanaman
mampu berperan terhadap permasalahan ketahanan pangan melalui
pengembangan tanaman pangan menggunakan 4 kelompok hutan tanaman, yaitu:
hutan tanaman buah-buahan, hutan tanaman minyak lemak, hutan tanaman pati-
patian dan hutan tanaman agroforestri ( Daud Irundu, 2019)
Selain memproduksi kayu, hutan rakyat juga menghasilkan hasil hutan
bukan kayu Di Provinsi Jawa Tengah, sektor kehutanan menjadi salah satu
penggerak perekonomian daerah yang berkontribusi terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data BPS Jawa Tengah (2018),
perkembangan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Jawa Tengah dalam 5
tahun terakhir secara umum mengalami peningkatan. Hal ini didukung dengan
pertumbuhan jumlah industri pemanfaatan hasil hutan kayu yang semakin
berkembang. Hingga saat ini di Provinsi Jawa Tengah tercatat memiliki industri
kayu rakyat yang belum memiliki izin ( Suhartono, 2019)
Paket-paket kegiatan hutan kemasyarakatan pada kenyataanya hanya
menjadi proyek sosial dari HPH dan HPHTI. Secara teknis, paket-paket kegiatan
kehutanan masyarakat seperti PMDH bukanlah mengoptimalkan peran
masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan, namun lebih berupa pelayanan
sosial (seperti bantuan-bantuan sosial, pendidikan masyarakat, usaha kecil, dan
sebagainya) sebagai lip service dari pengusaha. Pembinaan kegiatan ekonomi
masyarakat sekitar kawasan hutan hanya berkisar dari kegiatan pemungutan hasil
hutan non kayu (HHNK) yang memang sudah dilakukan oleh masyarakat sejak
dahulu. Dari data ekspor tahun 1973 sampai dengan tahun 1983 terlihat bahwa
hasil hutan non kayu yang umumnya merupakan produk hutan yang dinikmati
oleh masyarakat masih sangat kecil proporsinya, yakni berkisar antara 2,8 %
sampai dengan 11,8 % (ratarata 6,1 %) dari total ekspor hasil hutan (Agus, 2002).
6

Anda mungkin juga menyukai