Anda di halaman 1dari 3

Wisata Halal menuju pemilu 2024

Aidil Ihfar*

Desiran ombak di Minggu pagi 04/12/2022 di pantai Lampuuk begitu tenang seperti
biasa. Pantai yang terletak di Jalan Meulaboh-Banda Aceh, tepatnya di Kecamatan Lhoknga,
Kabupaten Aceh Besar ini merupakan kawasan vakansi primadona yang sangat digemari para
turis, terutama para peselancar mancanegara. Kawasan dengan panorama pantai indah ini
juga memiliki pegunungan batu yang dijadikan bahan baku utama PT Solusi Bangun Andalas
(SBA), dulunya bernama PT Semen Andalas Indonesia (PT SAI). Walaupun proyek vital PT
SBA yang begitu luar biasa besar berdiri kokoh, saya sebagai penduduk asli melihat bahwa
masyarakat tidak terlena, apalagi menggantungkan harapan dan sumber penghasilan
utamanya hanya dari menjadi pekerja pabrik semen curah tersebut. Akan tetapi, banyak
warga di sepanjang bibir pantai yang membuka usaha kuliner seperti dengan dekorasi yang
unik dan instagramable bagi vakansi yang berkunjung dan menikmati keindahan pantai
Lampuuk. Mereka juga memproduksi beraneka makanan khas Aceh dan juga berbagai karya
kerajinan tangan berbahan baku rotan yang tergabung dalam usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Pantai Lampuuk semakin memikat dengan wisata Religi bukti nyata
kekuasaan Allah SWT yaitu masjid Baiturrahim -Peninggalan musibah Tsunami 13 tahun
silam yang menarik wisatawan untuk datang dan melihat langsung salah satu bangunan
masjid yang tetap berdiri kokoh walau sudah diterjang ombak Tsunami.
Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, saya menuju salah satu cafe di bibir pantai
Lampuuk untuk ngopi pagi dan melanjutkan bacaan sambil menikmati suasana pantai. Belum
banyak aktivitas yang kelihatan. Dalam perjalanan saya melihat hanya beberapa warung kopi
dan kios kecil yang sudah buka dan memulai aktivitasnya. Di perjalanan ada banyak ranjau
kotoran sapi yang sangat mengganggu pandangan mata dan indra penciuman saya. Apakah
ini termasuk indikator wisata halal yang digadang-gadang, entahlah. Kunjungan pertama saya
sebenarnya bermaksud untuk melihat terlebih dahulu kondisi tempat yang akan kami jadikan
lokasi workshop Jurnalisme Warga minggu mendatang. Karena melihat banyaknya video
tentang Cafe ini berseliweran di FYP beranda Tiktok, saya berencana menyarankan tempat ini
menjadi salah satu pilihan tempat workshop menulis. Perjalanan 10 menitan akhirnya saya
sampai di tujuan. Sebelumnya saya sudah kabari bahwa saya akan berkunjung pagi ini. Saya
disambut dengan hangat oleh suami istri yang namanya sudah sempat saya ketahui melalui
video berita yang dimuat di channel youtube serambinews. Sambil melihat-lihat suasana dan
berbagi koleksi buku di perpustakaan keluarga ini, kami saling berkenalan dan juga cerita-
cerita santai. Segelas teh lemon hangat mewakili sambutan yang hangat pula. Entah dari
mana obrolan ini dimulai hingga sampailah pada topik kotoran sapi di perjalanan menuju
pantai yang cukup mengganggu siapapun yang melewatinya terlebih lagi pengendara
kendaraan bermotor.
Pantai Lampuuk merupakan salah satu primadona wisata Aceh Besar sebelum terjadi
tsunami tahun 2004. Pantai ini selalu ramai dengan pengunjung, baik dari Banda Aceh,
Meulaboh, atau daerah-daerah lainnya. Dengan pasir putih dan pepohonan pinus yang
rindang, tempat ini menjadi tempat yang ideal untuk melepas kepenatan. Sampai sekarangpun
pantai Lampuuk tetap menjadi primadona baik turis lokal bahkan mancanegara. Berbagi
penghargaan pun khususnya di bidang pariwisata telah dicapai salah satunya berkat
keindahan pantai ini. Sudah banyak orang-orang hebat mulai dari para artis hingga politisi
besar datang menikmati keindahan pantai serambi mekah ini. Khususnya politisi, tentunya
ketika mereka berkunjung ke suatu tempat, sudah menjadi harapan jika ada sesuatu yang
yang tidak semestinya akan menjadi mempengaruhi kebijakan-kebijakan dalam tata kelola
negara sampai level terendah sekalipun. Namun yang menjadi titik poin keheranan saya,
masalah kotoran sapi menjadi ranjau perjalanan ke pantai lampuuk sepertinya tak kunjung
usai sejak tahun 2010 saya sebagai anak daerah yang bersekolah di kota Banda Aceh sering
di label dengan masyarakat di daerah “ranjau taik sapi” sampai dengan pagi ini. Mungkin
karena mereka datang duduk manis di dalam mobil sambutan ranjau di perjalanan ke pantai
tidak kelihatan orang mereka. Beda cerita dengan saya atau masyarakat lainnya yang hari-
hari melihat ranjau ini sebagai bagian dari ciri khas destinasi wisata halal Aceh Besar ini
ketusku dalam hati sambil melihat-lihat lagi koleksi buku dan melanjutkan mengobrol dengan
owner perpustakaan ini yang sedang sibuk merapikan buku-buku lainnya.
Ada banyak sekali buku dengan berbagai genre yang bisa dibaca di sini. Ini cukup
menarik konsep cafe dengan perpustakaan di pinggir pantai yang ditawarkan. Saya rasa akan
cocok untuk jadi tempat workshop kami di pertemuan mendatang. Saya akan rekomendasikan
kepada penanggung jawab program agar dijadikan salah satu pilihan. Di sela kami
mengobrol, owner juga mengeluhkan bahwa ada taman miliknya yang di obrak abrik oleh
hewan ternak sapi warga sekitar yang dilepas bebas. Nah sepertinya ini sapi-sapi yang sama
dengan empunya ranjau di sepanjang jalan. Keresahan ini cukup miris menurut saya, ternyata
di tengah melambungnya berbagai penghargaan dan julukan wisata halal dengan embel-
embel syariah ternyata di tengah masyarakat kita masih tidak merasakan kemerdekaan atau
sederhananya rasa aman dari gangguan. Dan yang lebih mengherankan lagi pelakunya juga
sesama masyarakat dalam hal ini pemilik hewan ternak sapi. Nah, sebenarnya perkara ini
sudah ada payung hukumnya undang-undang bahkan Aceh punya undang-undang khusus
bernama Qanun Aceh nomor 3 tahun 2016 dan seharusnya dipertegas oleh pemerintah lokal
di berbagai level sebagai bentuk nyata pekerjaannya disamping kegiatan rutin bersih-bersih
pantai yang mungkin bahkan para mahasiswa atau komunitas di masyarakat juga mampu
melakukannya. Karena menegakkan hukum dan peraturan hanya bisa diakses orang otoritas
tertentu dalam hal ini pejabat yang melalui gelut politiknya berhasil menjabat.
Akankah di pemilu 2024 melahirkan perubahan kearah yang lebih baik. Khususnya
lingkaran setan ranjau kotoran sapi di jalan menuju pantai Lampuuk yang saya ragukan
kehalalan wisatanya karena kita droe keu droe yang mengganggu kenyamanan masyarakat
yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri dan mirisnya pemimpin dari level terendah
sampai keatas yang memenangkan hati masyarakat sejauh ini melalui publikasinya hanya
rutin melakukan acara bersih-bersih pantai (https://posaceh.com/kampanye-sadar-wisata-pj-
bupati-aceh-besar-bersihkan-kawasan-pantai-lampuuk/) tapi menutup mata dengan otoritas
mempertegas peraturan yang ada. Satu jam berlalu saya pun pamit pulang melalui jalan yang
penuh ranjau kotoran sapi tadi. Terbesit ide saat di perjalanan untuk menulis tentang
keresahan ini dengan harapan semoga tulisan saya sampai ke indera baca siapapun yang pada
dasarnya semoga pihak punya andil dan tanggung jawab sesuai porsinya.[]

Penulis adalah salah satu jurnalis warga kecamatan Lhoknga, Aceh Besar dan merupakan
alumni D3 Keuangan dan Perbankan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas
Syiah Kuala.

Anda mungkin juga menyukai